TANGAN MIDAS: KAPAN KOKNSEP MENGUBAH PERDEBATAN LEGAL, ATAU MEREDAKAN PERDEBATAN HART-DWORKIN.


TANGAN MIDAS: KAPAN KOKNSEP MENGUBAH PERDEBATAN LEGAL, ATAU MEREDAKAN PERDEBATAN HART-DWORKIN.
Orang awam akan kesulitan untuk memahami  dokumen-dokumen hukum,  tidak seperti diagnosis dokter atau laporan analis di pasar saham, teks hukum hampir selalu menggunakan istilah-istilah non teknis, karena bidang wacana yang berbeda menggunakan istilah yang sama bisa memiliki  konten yang berbeda, sehingga maknanya pun dapat berbeda juga. Sebagai contoh dalam hukum pidana Jerman tanda pada coaster (pelindung pada tutup botol) bir bisa mengubahnya menjadi dokumen resmi pokok untuk pemalsuan, sedangkan pemahaman umum memiliki kesan yang berbeda terhadap dokumen yang resmi. Sering kali perkembangan konten konsep hukum mengambil sebagai titik awal konsep dalam wacana sehari hari dan, dalam beberapa kasus, bisa berhenti di situ. Yang lebih sering terjadi adalah memodifikasi konsep sehari-hari, sehingga cocok dengan eksistensi doktrin khusus.  Itulah mengapa orang awam memiliki kesulitan untuk memahami teks hukum.
Kesenjangan antara pemahaman istilah yang lebih bebas sehari-hari dan pengertian hukum teknis bisa jadi tidak terlalu memberikan dampak yang besar. Tetapi kadang-kadang itu bisa memiliki implikasi yang cukup serius. Dapat kita lihat dalam kasus di Darfur sebuah negara bagian di Sudan yang dihuni oleh mayoritas muslim. Persatuan Bangsa bangsa telah mengirimkan komisi internasional untuk menyelidiki konflik di Darfur untuk mengevaluasi kejahatan yang dilakukan di daerah itu di bawah hukum pidana internasional mengenai genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai pelanggaran kejahatan khusus. Komisi menemukan bahwa kekejaman yang meluas dan besar-besaran dilakukan di Darfur merupakan kejahatan tehadap kemanusiaan. Tetapi karena tidak adanya maksud untuk memusnahkan kelompok etnis komisi tidak bisa menguatkan bahwa genosida dalam kasus hukum telah dilakukan.  Berdasarkan kepada laporan  dari komisi internasional, masyarakat umum melihat laporan sebagai bukti bahwa situasi di Dafur tidak seburuk yang dibayangkan untuk menghadirkan tindakan, karena tidak ada genosida yang dilakukan. Oleh pengkritiknya, laporan dianggap sebagian bertanggungjawab untuk tidak adanya tindakan internasional dalam konflik.
Pemaknaan istilah hukum secara teknis tidak hanya menyimpang dari pemakaian konsep yang lebih bebas dalam publik umum. Hukum tidak begitu mematuhi gambaran teknis dari istilah dalam daerah pengetahuan khusus manapun. Hukum memiliki pengertiannya tersendiri terhadap hal-hal yang diaturnya.
Untuk memperjelas hubungan antar konsep hukum dan konsep ekstra hukum secara terminologis, perlu untuk  bertumpu secara bebas terhadap perbedaan antara konsep dan konsepsi. Perbedaan digunakan oleh W.B.Fallie untuk menggambarkan ‘konsep yang diperbandingkan secara esensial”. Gallie membedakan konsep moral dan konsep politik tertentu seperti baik, benar, adil, atau demokrasi dengan alasan bahwa walaupun mereka kelihatannya memiliki pengertian  umum, kriteria untuk aplikasinya berlawanan dalam cara cara yang tidak bisa diselesaikan: dalam teori politik konsepsi yang berbeda untuk konsep demokrasi dikedepankan, yang membuat konsep pada dasarnya ditentang.
Dalam hukum Jerman, konsep manusia dijelaskan secara berbeda dalam hukum pidana dan dalam hukum perdata. Dalam  hukum pidana, manusia mulai ada hanya setelah poin tertentu dalam proses dilahirkan, sedangkan dalam hukum perdata, eksistensinya sudah diakui pada titik tertentu setelah pembuahan. Kedua konsepsi bertumpu pada konsepsi medis dan konsepsi biologis kehidupan manusia. Perbedaan dalam konsepsi manusia dalam hukum pidana dan perdata bukan karena fakta bahwa hukum pidana dan hukum perdata mengikuti konsepsi medis atau biologis yang berbeda. Akan tetapi perbedaan dijelaskan dengan menggunakan eksigensi sistematis yang berbeda dari hukum pidana dan perundang undangan perdata. Dibandingkan dengan hukum perdata Jerman, hukum pidana Jerman mengandung norma norma yang didesain secara khusus untuk melindungi embrio selama kehamilan. Untuk mengadopsi konsepsi hukum perdata dalam hukum pidana akan menolak hukum pidana pada aborsi. Perkembangan konsepsi hukum tidak digerakkan oleh perhatian medis atau biologis.
Bahwa hukum mengembangkan konsepsi konsepnya sendiri yang saling dibagi dengan disiplin lain dijumpai luas dimana-mana. Akomodasi eksigensi doktrin hukum menimbulkan konsepsi hukum yang paling tidak memodifikasi koknsepsi yang digunakan di bidang bidang lain. Secara linguistik, ini menimbulkan polisemi, atau paling tidak menimbulkan variasi dalam makna. Polisemi dan variasi variasi dalam makna terutama terjadi karena pemakaian dalam wacana khusus yang berrbeda, dimana makna dari istilah menjadi spesifik dan dengan demikian dimodifikasi. Poliseminasi dalam artian ini adalah yang terjadi pada konsep yang dimunculkan dalam hukum. Secara filosofi, fenomena linguistik ini cocok dengan teori teori pragmatis bahasa, yang bertumpu pada pemakaian istilah.
Hukum seperti King Midas dalam legenda kuno, segala sesuatu yang dia sentuh akan berubah menjadi emas. konsep yang diambil oleh hukum berubah ke dalam konsep hukum, dalam artian bahwa konsepsi yang spesifik terhadap hukum harus diadopsi. Hukum hanya bisa mengembangkan konsepsinya dalam hal metode metode spesifik, standard doktrin, nilai nilai spesifik, dan lingkungan lembaga sistem  hukum dimana koknsepsi akan diterapkan. Fakta linguistik dimana hukum mengembangkan konsepsi konsepnya sendiri yang saling dibagi dengan disiplin lain memiliki penyebab yang dalam dan penting dalam struktur praktek hukum institusional dan doktrin, yang mengembangkan metode, standard doktrin, dan lembaga lembaga yang menentukan parameter untuk konsepsi hukum. Parameter ini berbeda bukan hanya dari parameter dalam ilmu pengetahuan, namun juga dari parameter dalam moralitas dan politik.
Priel menggunakan kualitas hukum asli dari konsepsi hukum untuk mempertanyakan perdebatan inklusif-eksklusif dalam positivisme. Dan walaupun argumennya dari metaetik dan epistemologi untuk mendukung spesifisitas konsepsi hukum adalah di samping poin yang jauh lebih umum dan penting dimana metode hukum dan eksigensi doktrin dan institusional hukum adalah bertanggungjawab untuk kualitas Midasnya, Namun demikian, jika konsep yang saling dibagi hukum dengan moralitas tidak diperkenalkan ke dalam hukum dengan konsepsi moralnya tetapi denagn konsepsi hukum yang berbeda, Pada satu sisi hukum tidak mengintegrasikan konsepsi moral ke dalam hukum, seperti yang diminta oleh positivist inklusif untuk kita percayai. Hukum hanya menggunakan konsep yang saling dibaginya dengan moralitas. Pada sisi lain, hukum tidak menyerahkan wewenangnya terhadap moralitas, karena alasan alasan independen yang diberikannya untuk tindakan tidak bertumpu pada konsepsi moral namun terhadap konsepsi hukum spesifik konsep yang saling dibagi hukum dengan moralitas. Masalah wewenang bisa muncul bila hukum memadukan norma norma dengan referensi dalam artian teknis, seperti dalam konflik aturan hukum, dimana hukum mengartikan aturan tatanan hukum luar negeri. Perdebatan tidak muncul sekitar peraturan yang secara teknis memadukan kode moral khusus dengan referensi, misalnya codex Vatican dan adalah miskonsepsi konsep yang saling dibagi hukum dengan moralitas untuk memahaminya dalam cara tersebut.
Tetapi pemahaman ke dalam spesifisitas konsepsi hukum memiliki konsekuensi di luar positivisme. Seluruh perdebatan Hart-Dowrkin, dengan mana jurisprudensi Anglo-Amerika telah diasikkan selama hampir 40 tahun sekarang paling tidak pada tingkat besar bertumpu pada serangan Dworkin pada Hart dengan gagasan bahwa dalam kasus kasus keras hukum harus bertumpu pada prinsip moral liberty, ekualitas, takdir dan sejenisnya dan bahwa dia bisa menunjukkan bahwa inilah yang terjadi secara aktual. Argumen Dworkin menantang paling tidak dua dalil positivisme sentral: Pertama, itu membentuk sebuah hubungan antara hukum dan moralitas yang mempertanyakan tesis pemisahan positivist. Jika hukum perlu kembali ke prinsip  moral untuk memutuskan kasus kasus keras, kelihatannya ada hubungan yang perlu antara hukum dan moralitas, yang tentu saja ditolak oleh positivist.
Kedua, itu menentang model adjudikasi Hart: Menurut model adjudikasi positivist, moralitas dan politik berperan bila materi  ledgal dalam kasus tidak memberikan  jawaban yang jelas terhadap pertanyaan hukum. Dalam kasus kasus keras, hakim, pengacara, dan sarjana hukum tidak lagi mempraktekkan hukum, akan  tetapi mereka mengungsi dalam keputusan moral atau politik. Dengan demikian, ada tempat bagi teori  moral atau politik dalam model adjudikasi positivist, tetapi hanya di luar hukum, bila alasan alasan hukum habis dan tidak ada keputusan yang bisa dicapai dengan dasar hukum.
Tetapi jika hukum adalah seperti King Midas, maka seluruh perdebatan bertumpu pada kesalahan umum dan deflate. Hukum dan moralitas hanya saling membagi konsep umum tetapi bukan konsepsi umum. Itu adalah tugas hukum, atau secara lebih tepat, seseorang yang bekerja dalam kerangka doktrin hukum--- hakim, pengacara, sarjana doktrin dan sebagainya--- untuk membahas konsepsi hukum asli dengan mengamati metode metode yang benar terhadap hukum, yang menghormati sejarah tradisi hukum tertentu, dan yang mempertimbangkan lingkungan institusioanl spesifik dari hukum. Untuk bertumpu pada pemikiran moral dalam proses tidak menimbulkan moralitas menjadi bagian dari hukum, juga itu tidak membuat hubungan antar hukum dan moralitas unik  secara struktural melalui perbandingan dengan hubungannya dengan disiplin lain.
Seperti halnya hubungan hukum dengan ilmu pengetahuan, hubungan dengan moralitas, namun demikian, bukan hanya inforatif namun  juga pada tingkat tertentu fungsional. Karena hukum hanya bisa menjauh sendiri ke tingkat tertetu dari pengetahuan ilmiah yang disimpan dalam konsepsi ilmiah yang diakui, itu hanya bisa menjauh sendiri dari konsepsi moral masyarakatnya ke tingkat tertentu tanpa menjalankan resiko mempengaruhi kondisi kondisi keefektifan empirisnya. Tetapi pertimbangan fungsional ini hanya bersifat umum, dan bertahap tahap. Hukum selalu bisa memodifikasi konsepsi moral, walaupun mereka saling dibagi secara luas. Bangunan bangunan  sakral menjadi tidak berfungsi secara sosial jika mereka melanggar hukum agama. Mesjid yang tidak menghadap Mekkah tidak bisa diterima oleh komunitas Muslim, tetapi itu tidak akan runtuh. Secara struktural hubungan fungsional antara hukum dan moralitas tidak berbeda dari hubungan antara arsitektur dan agama. Ada hubungan hubungan fungsional, tetapi mereka tiadk konstitutif.
Untuk argumennya Dworkin bertumpu pada praktek hukum aktual. Dalam argumen Dworkin yang diperhebat secara teoritis dengan mana positivist ingin menguji kelayakan teoritis dari posisinya, sistem sistem hukum fiksi dianggap yang hanya terdiri dari satu aturan, misalnya, Lakukan apa yang adil.
Jika laporan hukum oleh King Midas benar, ada dua kesimpulan utama yang akan ditarik dari deflasi perdebaatn Hart-Dworkin.
Pertama, Dworkin adalah benar dalam menunjukkan bahwa dalam mengembangkan beberapa konsepsinya hukum bertumpu pada teori moral atau politik. Namun demikian, dari sini tidak mengikut bahwa tesis pemisahan positivisme adalah keliru. Hukum belum tentu bertumpu pada konsepsi moral dalam kasus kasus keras, karena itu harus muncul dengan konsepsi hukum spesifik dalam setiap hal. Itu harus dikembangkan jika tidak ada koknsepsi moral yang tersedia, tetapi itu juga harus dikembangkan jika konsepsi moral tersedia, karena itu harus menyesuaikannya ke eksigensi spesifik hukum. Ada hubungan yang lemah sejauh hukum bisa mempertimbangkan konsepsi moral dalam proses mengembangkannya sendiri. Namun demikian, ini adalah hubungan  yang lemah, yang terjadi antara hukum dan banyak disiplin lainnya. Itu tidak mengganggu tesis pemisahan.
Kedua, model adjudikasi positivist, sebuah elemen positivisme hukum yang saling dibagi Hart dengan Hans Kelsen, adalah cacad. Menurut laporan adjudikasi positivist, tidak ada solusi hukum terhadap kasus kasus keras. Dalam kasus keras, hakim dianggap diwewenangkan untuk memutuskan mengikuti kriteria ekstra hukumnya sendiri. Dworkin adalah benar untuk mengkritik model adjudikasi positivist dan dia benar menekankan kualitas hukum dispute, bahkan dalam kasus kasus keras. Namun demikian, dia keliru dalam menunjukkan  bahwa dia menduga bahwa prinsip moral dan teori harus diperkenalkan ke dalam hukum. Dia mengabaikan perbedaan antar konsep dan konsepsi yang akan dia bentuk dalam teori politik. Bahwa hukum menggunakan konsep yang juga dibahas dalam teori moral dan bahwa hukum bisa menginformasikan sendiri mengenai konsepsi moral tidak menimbulkan konsepsi ini menjadi hukum. Orientasi yang diberikan oleh metode hukum secara spesifik, doktrin, dan institusi dengan demikian akan selalu menghasilkan konsepsi hukum secara spesifik. Seperti King Midas, hukum tidak bisa menghindarinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Izin Lingkungan Dalam Kaitannya dengan Penegakan Sanksi Administrasi Lingkungan dan Sanksi Pidana Lingkungan Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)

Kebijakan Polresta Terhadap Tindak Pidana Kejahatan yang dilakukan Kelompok Geng Motor (Khususnya Polresta Medan)

PENGELOLAAN TERNAK KAMBING DAN DOMBA