ANALISIS YURIDIS TENTANG PEMBAKARAN HUTAN DITINJAU DARI SEGI KEARIFAN LOKAL MENURUT UNDANG - UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
BAB
I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Kebakaran hutan dan lahan adalah terbakarnya kawasan
hutan/lahan baik dalam luasan yang besar maupun kecil. Kebakaran hutan dan
lahan sering kali tidak terkendali dan bila ini terjadi maka api akan membakar
apa saja didekatnya dan menjalar mengikuti arah angin. Penyebab
kebakaran adalah interaksi dari tiga komponen yaitu manusia, iklim dan kondisi
lahan. Pengelolaan Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat (PKBM) merupakan cara
yang tepat dan adil dalam mencari solusi pengendalian kebakaran lahan dan hutan
karena menempatkan masyarakat sebagai subyek faktor utama.[1]
Sebagai contoh kebakaran yang sering terjadi terutama di Sumatera Selatan
didalam skala nasional termasuk salah satu daerah yang sangat rawan terjadi
kebakaran lahan dan hutan, karena itu selalu dipastikan terjadi kebakaran yang
sangat parah pada setiap tahun di Indonesia.
Kebakaran lahan dan hutan yang
terjadi menyebabkan kerusakan sumber daya alam yang sangat hebat yang sangat
sulit bagi kita dalam menghitung kerugiannya dengan tepat baik secara ekonomi
maupun nilai lingkungan. Dampak kebakaran lahan dan hutan selain menyebabkan
laju degradasi[2]
hutan yang super cepat, juga membawa dampak negatif pada dimensi sosial budaya
masyarakat. Selain itu juga dapat mengganggu hubungan baik dengan negara negara
lain terutama yang terkena dampak langsung kebakaran yang ditimbulkan dari
akumulasi asap yang mengalir memenuhi ruang udara negara lain.[3]
Penyebab
kebakaran disebabkan karena interaksi antara manusia, iklim dan kondisi lahan
sebagai contoh lahan basah gambut yang luasnya meliputi sekitar 30 % wilayah
provinsi Sumatera Selatan, Psisi
geografis Sumatera Selatan pada zona tropis yang memiliki iklim yang ekstrim
antara musim hujan dan kemarau dan terkadang diikuti fenomena alam El nino[4]
dan Praktek penggunaan api masih menjadi kebiasaan/budaya dalam kegiatan
perladangan (sonor), berburu, mencari
ikan dan pengembalaan[5]
Praktik penggunaan api yang tidak
benar oleh masyarakat lokal menjadi salah satu faktor terjadinya kebakaran
hutan selain itu praktik pembukaan lahan secara illegal dengan membakar hutan demi kepentingan pihak pihak tertentu
juga menjadi penyebab kebakaran hutan yang sulit untuk segera ditanggulangi,
Alat penegak hukum di Indonesia menjadi alat terakhir yang digunakan untuk
memberikan sanksi dan meminta pertanggung jawaban terhadap pihak pihak terkait
yang membakar hutan. Peraturan penegakan sanksi
diatur didalam Undang undang no 32 tahun 2009 tentang lingkungan hidup.
Akan tetapi didalam undang undang No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup terdapat celah hukum yang mengindikasikan dapat
terjadi kegiatan pembolehan untuk membakar hutan khususnya kepada masyarakat
yang bermukim di daerah tersebut sesuai dengan kearifan lokal. Dalam Pasal 69
ayat 2 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
menyebutkan “Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan
pembakaran lahan dengan luas maksimal 2 Ha per Kepala Keluarga untuk ditanami
jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegahan
penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Dengan adanya pasal 69 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan ini membuka celah hukum bagi para
untuk lepas dari tanggung jawab terhadap terjadinya kebakaran hutan di
Indonesia. Pada bab selanjutnya dalam skripsi ini akan dibahas lebih jauh sejauh
mana cara pengelolaan hutan yang benar sesuai dengan undang undang lingkungan
hidup, peran aktif masyarakat dan pemerintah dalam penanggulangan kebakaran
hutan khususnya pengelolaan hutan saat masyarakat membuka lahan.
ANALISIS YURIDIS TENTANG PEMBAKARAN
HUTAN DITINJAU DARI SEGI KEARIFAN LOKAL MENURUT
UNDANG UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP.
B.Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas
diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
ruang lingkup hutan di Indonesia?
2. Bagaimana
bentuk pengelolaan hutan ditinjau dari segi kearifan lokal menurut undang
undang lingkungan hidup?
3. Bagaimana
upaya untuk menciptakan pelestarian lingkungan hidup terhadap pembakaran hutan
yang marak terjadi di Indonesia?
C.Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dilakukannya
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui bagaimana ruang lingkup hutan terutama perlindungan hutan,
pengelolaan hutan dan sanksi yang diatur
dalam undang undang lingkungan hidup.
2. Untuk
mengetahui bagaimana bentuk pengelolaan hutan ditinjau dari segi kearifan lokal
menurut undang undang lingkungan hidup.
3. Untuk
mengetahui bagaimana upaya yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah
untuk menanggulangi masalah kebakaran hutan di Indonesia.
D.Kegunaan Penelitian
Manfaat
dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis yaitu :
1.
Secara teoritis, penelitian dapat
bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum khusus nya terutama dibidang hukum
lingkungan hidup dan penerapan undang undang no 32 tahun 2009 tentang [6]lingkungan
hidup khususnya menyangkut masalah pembolehan pembakaran hutan di Indonesia
2.
Secara
praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
penyempurnaan praktik dan memberikan pengetahuan kepada
masyarakat/pihak-pihak yang berkepentingan untuk itu guna mengetahui larangan
dan pencegahan pembakaran hutan yang merugikan masyarakat/ pihak pihak yang
terkena langsung dampak dari pembakaran hutan tersebut.
E. Landasan Teori
Kebakaran
Hutan dan Lahan Kebakaran hutan dan lahan didefinisikan sebagai kejadian dimana
api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di kawasan hutan dan
non-hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali.[7] Di
Indonesia istilah inilah yang lebih sering didengar terkait dengan kejadian
kebakaran hutan karena kebakaran tidak hanya terjadi di dalam hutan tapi juga
di kawasan nonhutan. Saat ini 70% kebakaran terjadi di lahan (non-hutan) dan 30
% di kawasan hutan.[8]
Factor
penyebab terjadinya karhutla[9]
dibagi menjadi faktor alam dan manusia. Di Indonesia, 99% factor penyebab kebakaran
hutan dan lahan disebabkan oleh manusia baik disengaja maupun tidak disengaja.[10]
Kesengajaan dilakukan terutama pada kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian
perkebunan dan ahli fungsi lainnya. Dalam beberapa kasus, api juga digunakan
dalam konflik lahan, misalnya api digunakan oleh perusahaan untuk mendesak
petani pemilik lahan agar menerima ganti rugi dengan harga rendah atau
digunakan oleh petani untuk membalas dendam terhadap perusahaan yang merugikam
mereka dalam jual beli bahan. Penyiapan lahan dengan membakar yang dilakukan
oleh masyarakat dilakukan baik dalam sistem perladangan maupun perkebunan milik
masyarakat. Dalam pertanian atau perladangan, kegiatan “sonor”[11] yang
dilakukan masyarakat Sumatera Selatan dan Lampung, menggunakan api untuk
membuka lahan yang akan ditanami padi rawa. Di Jambi sebagian besar pembukaan
perkebunan karet dimulai dengan kegiatan pembersihan lahan dengan cara membakar
baik di hutan primer maupun di hutan sekunder yang awalnya digunakan untuk
pertanian atau perladangan.[12]
Kegiatan masyarakat lainnya yang menggunakan api adalah kegiatan perikanan
pencarian kayu dan sumber daya lahan basah lainnya.[13]
Factor pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah
penyimpangan iklim dan adanya sumber energy berupa kayu, gambut dan batubara
(Sumantri 1997).[14]
Perubahan iklim yang menyebabkan musim kemarau yang lebih 6 panjang, adanya gelombang panas, serta adanya
kegiatan manusia yang menyebabkan mengeringnya lahan gambut dan rawa-rawa,
misalnya penebangan hutan, pembuatan kanal, serta pembangunan perkebunan dalam
skala besar memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Dengan demikian
kebakaran hutan dan lahan di Indonesia di pengaruhi oleh faktor manusia serta
didorong juga kondisi alami berupa faktor iklim.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hutan
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan.[15] Dalam pengertian lebih spesifik hutan, Hutan merupakan suatu wilayah yang memiliki banyak tumbuh tumbuhan lebat yang berisi antara lain pohon, semak, paku-pakuan, rumput, jamur dan lain sebagainya serta menempati daerah yang cukup luas.[16]
Menurut
para ahli Pengertian hutan atau definisi hutan menurut seorang pakar kehutanan
Dengler[17]
adalah sejumlah pepohonan yang tumbuh
pada lapangan yang cukup luas sehingga suhu, kelembaban, cahaya, angin, dan sebagainya
tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh
tumbuhan atau pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan
tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal)[18]
Menurut Spurr,[19]
hutan dianggap sebagai persekutuan antara tumbuhan dan binatang dalam suatu
asosiasi biotis. Asosiasi ini bersama-sama dengan lingkungannya membentuk suatu
sistem ekologis dimana organisme dan lingkungan saling berpengaruh di dalam
suatu siklus energi yang kompleks.[20]
Pengertian hutan bagi para ilmuan menjadi sangat bervariasi sesuai dengan
spesifikasi ilmu. Misalnya ahli silvikur[21] akan
memberikan pengertian hutan yang berbeda dengan ahli manajemen hutan atau ahli
ekologi. Sedangkan menurut Undang Undang No
41 Tahun 1999 tentang
kehutanan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya yang satu dengan yang lainnya yang tidak dapat dipisahkan. Jika
ditelaah lebih dalam tentang beberapa pengertian atau defenisi hutan tersebut,
maka di dalam pengertian hutan itu terkandung dan erat kaitannya dengan proses
alam yang saling berhubungan. Hutan dipandang sebagai ekosistem alam karena
hubungannya antara masyarakat tetumbuhan pembentuk hutan dengan binatang liar
dan alam lingkungannya sangat erat. [22]
B.
Jenis
dan Manfaat Hutan di Indonesia
A. Jenis-Jenis Hutan di Indonesia Berdasarkan Iklim :[23]
1. Hutan Hujan Tropika, adalah hutan yang terdapat
didaerah tropis dengan curah hujan sangat tinggi. Hutan jenis ini sangat kaya
akan flora dan fauna. Di kawasan ini keanekaragaman tumbuh-tumbuhan sangat
tinggi. Luas hutan hujan tropika di Indonesia lebih kurang 66 juta hektar.
Hutan hujan tropika berfungsi sebagai paru-paru dunia. Hutan hujan tropika
terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
2. Hutan Musim tumbuh didaerah yang mempunyai curah
hujan cukup tinggi, tetapi mempunyai musim kemarau yang panjang. Pada musim
kemarau, tumbuhan di hutan musim biasanya menggugurkan daunnya. Hutan musim
biasanya mempunyai tumbuhan sejenis, misalnya hutan jati, hutan bambu, dan
hutan kapuk. Hutan musim banyak terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
B. Jenis-Jenis Hutan di Indonesia Berdasarkan Variasi
Iklim, Jenis Tanah, dan Bentang Alam[24]
:
1. Kelompok Hutan Tropika :
a. Hutan Hujan Pegunungan Tinggi
b. Hutan Hujan Pegunungan Rendah
c. Hutan Tropika Dataran Rendah
d. Hutan Subalpin
e. Hutan Pantai
f. Hutan Mangrove
g. Hutan Rawa
h. Hutan Kerangas
i.
Hutan Batu
Kapur
j.
Hutan pada
batu Ultra Basik
2. Kelompok Hutan Monsun
a. Hutan Monsun Gugur Daun
b. Hutan Monsun yang Selalu Hijau (evergreen)
c. Sabana
C. Jenis-Jenis Hutan di Indonesia Berdasarkan
Terbentuknya
1. Hutan alam, yaitu suatu lapangan yang bertumbuhan
pohon-pohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam
hayati beserta alam lingkungannya. Hutan alam juga disebut hutan primer, yaitu
hutan yang terbentuk tanpa campur tangan manusia.
2. Hutan buatan disebut hutan tanaman, yaitu hutan
yang terbentuk karena campur tangan manusia.
D. Jenis-Jenis Hutan di Indonesia Berdasarkan Statusnya
1. Hutan negara, yaitu hutan yang berada pada tanah
yang tidak dibebani hak atas tanah.
2. Hutan hak, yaitu hutan yang berada pada tanah yang
dibebani hak atas tanah. Hak atas tanah, misalnya hak milik (HM), Hak Guna
Usaha (HGU), dan hak guna bangunan (HGB).
3. Hutan adat, yaitu hutan negara yang berada dalam
wilayah masyarakat hukum adat.
E.
Jenis-Jenis
Hutan di Indonesia Berdasarkan Jenis Tanamannya
1. Hutan Homogen (Sejenis), yaitu hutan yang arealnya
lebih dari 75 % ditutupi oleh satu jenis tumbuh-tumbuhan. Misalnya: hutan jati,
hutan bambu, dan hutan pinus.
2. Hutan Heterogen (Campuran), yaitu hutan yang
terdiri atas bermacam-macam jenis tumbuhan.
F. Jenis-Jenis Hutan di Indonesia Berdasarkan
Fungsinya
1.
Hutan Lindung
Hutan Lindung adalah
kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan.
2. Hutan Konservasi.
Hutan Konservasi adalah
kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri
atas :
a.
Hutan Suaka
alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan ekosistemnya serta
berfungsi sebagai wilayah penyangga kehidupan. Kawasan hutan suaka alam terdiri
atas cagar alam, suaka margasatwa dan Taman Buru.
b. Kawasan Hutan pelestarian alam adalah kawasan
dengan ciri khas tertentu, baik didarat maupun di perairan yang mempunyai
fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber alam hayati dan
ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam terdiri atas taman nasional, taman hutan
raya (TAHURA) dan taman wisata alam.
3. Hutan Produksi
Hutan Produksi adalah
kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi
keperluan masyarakat pada umumnya serta pembangunan, industri, dan ekspor pada
khususnya. Hutan Produksi dibagi menjadi tiga, yaitu hutan produksi terbatas
(HPT), hutan produksi tetap (HP), dan hutan produksi yang dapat dikonversikan
(HPK).
Manfaat Hutan di Indonesia
Menurut Emil Salim[25]
mengklasifikasi manfaat hutan menjadi 2 yaitu manfaat langsung dan manfaat
tidak langsung sebagai berikut : [26]
a. Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat
dirasakan/dinikmati secara langsung oleh masyarakat, yaitu masyarakat dapat
menggunakan dan memanfaatkan hasil hutan, antara lain kayu yang merupakan hasil
hutan, serta berbagai hasil hutan seperti rotan, getah, buah buahan, madu dan
hasil hutan lainnya.
b. Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang tidak
langsung dinikmati oleh masyarakat tetapi yang dapat dirasakan adalah
keberadaan hutan itu sendiri. Misalnya hutan yang berperan sebagai pengatur
tata air, hutan sebagai pencegah erosi, hutan juga dapat memberi manfaat pada
kesehatan, pemberi rasa keindahan, serta dapat memberi manfaat di sektor
pariwisata.
C.
Permasalahan kebakaran hutan di Indonesia
Permasalahan kebakaran
hutan di indonesia sulit untuk dijawab akan tetapi dalam hal ini dapat dilihat
dari karakteristik kebakaran hutan dan akibatnya, sebagai contoh kebakaran
hutan tahun 1982 sampai dengan 1983 dan kebakaran hutan 1997 sampai dengan
1998. Banyak studi sebelumnya yang melihat kebakaran hutan tahun 1982 sampai
1983 telah menghancurkan 3,7 juta hektar, dimana faktor utama penyebabnya
adalah salah pengelolaan hutan, karena dua alasan : 1 kebakaran hutan paling
banyak letaknya diarea konsesi[27]
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sekitar 70 % dan 20 % terletak di area peladangan
berpindang dan 10 % di hutan primer; 2. Dan kurangnya inspeksi[28]
dan sanksi yang tegas oleh aparat penegak hukum dan Departemen Kehutanan baik
tingkat provinsi dan kabupaten bagi pemilik pemegang HPH yang melanggar
peraturan. Kebakaran hutan tahun 1997- 1998 yang ditaksir kebakaran paling
besar, telah merusak 5 juta hektar, penyebab utamanya adalah pembersihan lahan
yang dilakukan oleh pemilik perkebunan, khususnya tanaman kelapa sawit di hutan
konversi. Menurut investigasi Walhi[29],
pemilik perkebunan mendorong pembakaran hutan secara sistematik tahun 1997- 1998,
ini terjadi karena kebijakan pertanian, bahwa pembangunan perkebunan kelapa
sawit adalah target utama di masa depan. Ludwig
Scrindler, peneliti dari Jerman,
mengkritisi kebakaran hutan di Indonesia. Dia mengatakan bahwa kebakaran hutan
di sebabkan oleh kesalahan manusia sekitar 99%.[30]
Permasalahan
hutan di Indonesia dapat dikatakan telah mengalami kondisi darurat di tambah
lagi kebakaran yang terjadi pada tahun 2016 ini yang terjadi di sejumlah titik
seperti di Palembang dan Kalimantan.
D. Penyebab
terjadinya kebakaran hutan
Sampai
saat ini hasil kajian tentang penyebab kebakaran menunjukkan bahwa kebakaran
hutan dan lahan yang terjadi di
Indonesia disebabkan oleh penyebab langsung yaitu:
1. Api digunakan dalam pembukaan lahan.
2. Api digunakan sebagai senjata dalam permasalahan
konflik tanah.
3. Api menyebar secara tidak sengaja.
4. Api yang berkaitan dengan ekstraksi sumber
daya alam.
Sedangkan
penyebab tidak langsung terdiri dari:[31]
1. Penguasaan lahan.
2. Alokasi penggunaan lahan.
3. Degradasi hutan dan lahan.
Setelah hutan
ditebang dan dimanfaatkan kayunya maka tindakan selanjutnya adalah pemanfaatan
lahan bekas ditebang tersebut dengan pembakaran.
4. Dampak dari perubahan karakteristik
kependudukan.
5. Lemahnya kapasitas kelembagaan.
Selain penyebab diatas ada juga
Faktor sosial budaya masyarakat mempunyai andil yang paling besar terhadap
adanya kebakaran hutan seperti:[32]
1.
Kegiatan pembalakan liar atau illegal logging lebih banyak
menghasilkan lahan-lahan kritis dengan tingkat
kerawanan kebakaran yang tinggi.
2.
Kehidupan masyarakat sekitar kawasan
hutan tidak lepas dari ternak dan penggembalaan. Ternak terutama sapi menjadi salah
satu bentuk usaha sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kebutuhan
akan HMT dan areal penggembalaan merupakan salah satu hal yang harus dipenuhi.
3.
Faktor lain yang tidak kalah
pentingnya sebagai agen penyebab kebakaran hutan adalah migrasi penduduk dalam
kawasan hutan (perambah hutan).
4.
Sebab lain yang bisa menjadi pemicu
terjadinya kebakaran adalah faktor kurangnya kesadaran masyarakat terhadap
bahaya api. Biasanya bentuk kegiatan yang menjadi penyebab adalah
ketidaksengajaan dari pelaku.
E. Dampak
yang ditimbulkan dari kebakaran hutan.
Dikelompokkan dari dampak yang
ditimbulkan secara langsung terhadap hutan adalah sebagai berikut:
Dampak kebakaran terhadap vegetasi dapat dikelompokkan
menjadi 3 kelas, yaitu:[33]
1. Terbakar ringan :
2. Terbakar sedang :.
3. Terbakar berat :
Berdasarkan dampak terhadap tanah, kebakaran gambut dapat diklasifikasikan
menjadi 3 kelas yaitu :
1. Terbakar ringan : jika lapisan
gambut yang terbakar sampai kedalaman 25 cm.
2. Terbakar sedang : jika lapisan
gambut yang terbakar sampai kedalaman 25 sampai dengan 50 cm.
3. Terbakar berat : jika lapisan gambut
yang terbakar sampai dengan kedalaman 50 cm.
Sedangkan
dampak terhadap kualitas udara, kebakaran lahan gambut menyebabkan buruknya
kualitas udara yang ditunjukkan oleh indeks Standar Kualitas Udara ( ISPU) yang
merupakan intergrasi dari kandungan beberapa senyawa seperti : PM10, SO2, CO,
O3 DAN NO2. Kualitas udara dikatakan baik jika nilai ISPUnya kurang dari 100
dan dikatakan dalam kondisi yang berbahaya bila nilai ISPUnya lebih dari 300.
Selain dampak diatas paling utama adalah dampak kabut asap yang menyelimuti
kawasan regional ASEAN.[34]
BAB III
METODE
PENELITIAN
A. Lokasi
Penelitian
Penulisan skripsi ini
penulis melakukan penelitian di perpustakaan dan sumber-sumber buku lainnya.
B. Jenis
Data
Dalam penelitian ini jenis
data yang digunakan adalah data primer dan data skunder. Hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1)
Data
Primer
Data primer adalah data yang
selain diperoleh langsung dari risponden melalui teknik wawancara juga termasuk
data-data berupa dokumen yang dikeluarkan oleh instansi yang belum dianalisis/diinterprestasikan
oleh peneliti lain.
2)
Data
Sekunder
Data sekunder meliputi arsip
dokumen, catatan dan sebagainya yang berhubungan dengn masalah penelitian.
C. Spesifikasi
Penelitian
Spesifikasi penelitian yang dipakai dalam
penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu penelitian yang bertujuan untuk
memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala
sesuatu yang berhubungan dengan masalah pemecahan dalam proses pembuktian dengan
menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan
splitsing dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum
positif yang menyangkut permasalahan diatas.
Kegiatan
penelitian yang dilakukan penulis adalah kegiatan penelitian kepustakaan
sekaligus penelitian lapangan karena penelitian ini tidak hanya mempelajari
materi kepustakaan yang berupa literatur, buku-buku, tulisan dan makalah
tentang pemecahan dalam proses pembuktian, akan tetapi dilakukan juga
pengambilan data langsung dilapangan.
D. Metode
Penelitian
Penelitian
ini bersifat yuridis normatif dan empiris, artinya penelitian yang di lakukan
dengan pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian melalui
literatur-literatur, buku-buku dan peraturan perundang-undangan yang mendukung
penulisan skripsi ini. Metode penelitian hukum normatif atau
metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan
di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
yang ada[35]Secara
empiris maksudnya ialah penelitian yang dilakukan dengan mengamati penyebab
terjadinya kebakaran hutan di Indonesia dan pembolehan pembakaran lahan yang
diatur dalam Undang Undang Lingkungan Hidup. Sedangkan data yang diperoleh melalui data primer dan data sekunder yang
berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.Dengan demikian, metode penelitian
dalam rangka pengumpulan data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini
adalah :
1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Metode ini
dilakukan dengan penelitian atas literatur-literatur, buku-buku dan peraturan perundang-undangan serta
sumber-sumber lainnya yang berhubungan dengan penyusunan skripsi
ini yang sifatnya teoritis, baik itu data primer maupun data sekunder.
2. Penelitian Observasi (Observation Research)
Metode ini dilakukan dengan cara pengumpulan data melalui observasi,
yaitu proses pengamatan dalam penelitian yang dilakukan secara langsung, di
mana peneliti melihat langsung informasi atau keterangan-keterangan dan studi
dokumen, yaitu dengan menelaah buku-buku, artikel dan dokumen yang berhubungan
langsung dengan masalah yang diteliti.
Data-data yang diperoleh tadi, baik yang diperoleh melalui library research maupun observation research kemudian dianalisis
secara kualitatif.
E.
Sistematika
Penelitian
Untuk lebih memahami dan lebih mudah menelaah pokok bahasan dalam skripsi
ini, maka penulis menyusun tulisan ini secara sistematis. Keseluruhan bagian
yang sistematis ini berupa satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu
dengan lainnya, di mana di dalamnya terdiri dari 4 (empat) bab dan
masing-masing bab dibagi lagi atas beberapa sub bab yaitu :
Bab I : Pendahuluan
Yang
terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penilitian, kegunaan
penelitian landasan teori.
Bab II : Tinjauan Pustaka
Yang
terdiri dari pengertian hutan,
jenis dan manfaat hutan di Indonesia permasalahan kebakaran hutan di Indonesia,
penyebab terjadinya kebakaran hutan, dampak yang ditimbulkan dari kebakaran.
Bab III : Metode Penelitian
Yang terdiri dari lokasi penelitian, jenis data, spesifikasi peneliti, metode penelitian,
sistematika penulisan. .
Bab IV : Hasil Penelitian atau Pembahasan
Yang terdiri dari sejarah hukum undang-undang dan pengelolaan lingkungan hidup, ahli
fungsi hutan untuk pengelolaan, mekanisme, perizinan untuk membuka lahan baru,
pengelolaan hutan menurut undang-undang lingkungan hidup, hak kewajiban dan
larangan terhadap pembakaran hutan, pengolaan hutan untuk membuka lahan sesuai
dengan prosedur, pengelolaan hutan dari segi kearifan local masyarakat setempat
upaya pelestarian lingkungan hidup terhadap pembakaran hutan.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
BAB IV
HASIL PENELITIAN ATAU PEMBAHASAN
Peranan
dunia secara global terhadap perkembangan asas pengelolaan lingkungan dan
pembangunan sangat penting arti nya bagi pengembangan hukum, baik secara
Internasional maupun Nasional. Berbagai negara telah menerapkan sistem yang
dirumuskan dalam konfrensi internasional mengenai lingkungan hidup dan
mengadopsinya sebagai bagian dari sistem hukum mereka. Konfrensi internasional
seperti Konfrensi lingkungan hidup di Stockholm
pada tahun 1972, kemudian di Rio de
Janeiro pada tahun 1992 dan di Johannesburg
pada tahun 2002.[36]Dari
Konfrensi tersebut melahirkan prinsip prinsip yang menjadi dasar asas
pengelolan dan pembangunan lingkungan hidup.
Di Indonesia terdapat 14 asas
pengelolaan lingkungan hidup dituangkan dalam Undang-Undang pengelolaan
lingkungan hidup beberapa diantaranya
yakni:[37]
1.
Asas
tanggung jawab negara merupakan perwujudan dari prinsip negara sebagai
organisasi yang berkewajiban melindungi warga negara atau penduduknya,
teritorialnya, an semua kekayaan alam serta harta benda dari negara dan
penduduknya. Asas ini relevan dengan pendapat pakar politik negara, Adolf Markel, yang menyatakan bahwa segala yang
berbau kepentingan umum harus dilindungi dan dijamin secara hukum oleh negara.
Dengan demikian, melalui asas ini di satu sisi negara menjamin bahwa pemanfaatan
sumber alam memberikan manfaat optimal kepada publik diikuti kualitas kehidupan
yang baik ( life quality), sementara
di sisi lain negara berkuasa untuk melakukan tindakan tindakan preventif dan
represif terhadap aktivitas yang merugikan lingkungan , individu serta
masyarakat dan penduduknya.
2.
Asas
berkelanjutan yang Penjelasan Pasal 3 disebut dengan istilah Asas
Keberlanjutan” mengandung makna bahwa setiap orang memikul kewajiban dan
tanggung jawab terhadap generasi mendatang, serta terhadap sesamanya dalam satu
generasi. Asas berkelanjutan (substainable
principle) diatas kita adopsi dari prinsip ekologi pembangunan
berkelanjutan (environmental sustainable
development) yang dihasilkan oleh KTT Rio.
3.
Asas
manfaat mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.
Pengertian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah
sebagai upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk
sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan,
kesejahteraan dan mutu generasi kini serta generasi mendatang. Istilah
pembangunan berkelanjutan dipakai secara beragam.
4.
Asas keserasian dan keseimbangan adalah
bahwa pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti
kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian
ekosistem.[38]
5.
Asas keterpaduan adalah bahwa perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau
mensinergikan berbagai komponen terkait.
6.
Asas kehati-hatian adalah bahwa
ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena
keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan
untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
7.
Asas keadilan adalah bahwa perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi,
maupun lintas gender.
8.
Asas ekoregion adalah bahwa perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya
alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan
lokal.
9.
Asas keanekaragaman hayati adalah bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu
untuk mempertahankan keberadaan, keragaman, dan
keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri atas sumber daya alam nabati
dan sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya
secara keseluruhan membentuk ekosistem.
10.
Asas pencemar membayar adalah bahwa setiap
penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan
lingkungan.
11.
Asas partisipasi adalah bahwa setiap
anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan
keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
12.
Asas kearifan lokal adalah bahwa dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai
luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
13.
Asas tata kelola pemerintahan yang baik
adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip
partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.
14.
Asas otonomi daerah adalah bahwa
Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Asas Pengelolaan lingkungan hidup
di Indonesia tidak terlepas dari Undang-Undang lingkungan hidup di Indonesia,
Asas dan Undang undang menjadi 2 hal yang tidak dapat dipisahkan. Asas adalah
dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan bertindak.
Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berarti dasar atau sesuatu
yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Kata asas
adalah prinsip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir,
berpendapat dan bertindak. [39] Mengenai asas hukum relevan
dikemukakan pandangan Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa asas hukum
merupakan ‘jantungnya’ peraturan hukum. Menurut Satjipto Rahardjo[40],
asas hukum disebut jantungnya peraturan hukum karena dua alasan. Pertama,
karena asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu
peraturan hukum. Kedua, merupakan alasan bagi lahirnya peraturan hukum, atau ratio legis dari peraturan hukum. Asas
hukum tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan peraturan hukum, melainkan
akan tetap saja ada dan melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya.
Asas hukum sebagai suatu sarana yang
membuat hukum hidup, tumbuh dan berkembang. Dengan adanya asas hukum,
menyebabkan hukum tidak sekedar kumpulan peraturan, karena asas itu mengandung
nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis. Sementara B Arief Sidharta menyebut
bahwa asas hukum lebih merupakan nilai, sebagai nilai maka fungsi asas hukum,
adalah: (1) sebagai norma kritis untuk menilai kualitas dari aturan hukum yang
seharusnya merupakan penjabaran nilai tersebut dan (2) sebagai sarana bantu
untuk mengintepretasikan aturan yang bersangkutan yaitu untuk menetapkan ruang
lingkup wilayah penerapan ketentuan undang-undang yang bersangkutan.[41] Oleh
karena itu antara Undang-Undang Lingkungan Hidup tidak dapat terpisah dengan
asas yang mencerminkan Undang- undang itu sendiri. Mengenal asas yang terdapat
dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup tidak terlepas dari sejarah pembentukan
asas yang melahirkan Undang undang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan
hidup seperti hal nya sejarah konfrensi Internasional yang menghasilkan
asas-asas lingkungan hidup kemudian dipedomani sebagai dasar yang terdapat
dalam hukum positif. Demikian juga halnya terhadap pembentukan Undang-Undang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup juga tidak terlepas dari tonggak
sejarah Pembentukan Undang-Undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
A. Sejarah Hukum Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup
Telah dijelaskan sebelumnya
mengenai dampak dan akibat terjadinya kebakaran hutan di Indonesia tidak
terlepas dari pengaruh manusia itu sendiri dalam mengolah lingkungan hidup
khususnya terjadi pembakaran hutan di Indonesia. Upaya penegakan hukum pada kasus
kebakaran hutan di Indonesia dalam hal ini mengacu pada sanksi yang dikenakan
dengan dasar hukum yang mengatur tentang hutan yakni:
1.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
adalah pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Hal-hal
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah sebagai berikut:
a.
Ketentuan umum (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
b.
Asas, tujuan, dan ruang lingkup (Pasal 2 sampai dengan Pasal 4
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
c.
Perencanaan ( Pasal 5 sampai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009);
d.
Pemanfaatan ( Pasal 12 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
e.
Pengendalian ( Pasal 13 sampai dengan Pasal 56 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009);
f.
Pemeliharaan ( Pasal 57 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
g.
Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun serta limbah bahan
berbahaya dan beracun (Pasal 58 sampai dengan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009);
h.
Sistem informasi ( Pasal 62 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
i.
Tugas dan wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pasal 63
sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
j.
Hak, kewajiban, dan larangan (Pasal 65 sampai dengan Pasal 69
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
k.
Peran masyarakat (Pasal 70 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
l.
Pengawasan dan sanksi administratif (Pasal 71 sampai dengan Pasal
83 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
m.
Penyelesaian sengketa lingkungan (Pasal 84 sampai dengan Pasal 93
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
n.
Penyidikan dan pembuktian (Pasal 94 sampai dengan Pasal 96
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
o.
Ketentuan pidana (Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009);
p.
Ketentuan peralihan (Pasal 121 sampai dengan Pasal 123
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
q.
Ketentuan penutup (Pasal 124 sampai dengan Pasal 127 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009).
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 ini merupakan
salah satu peraturan perundang-undangan kehutanan yang dibuat pada era
reformasi. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 ini merupakan ketentuan hukum yang
mengantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967.
Hal-hal yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan adalah sebagai berikut:
a.
Ketentuan umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999);
b.
Status dan fungsi hutan (Pasal 5 sampai dengan Pasal 9
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
c.
Pengurusan hutan (Pasal 10 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
d.
Perencanaan kehutanan (Pasal 11 sampai dengan Pasal 20
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
e.
Pengelolaan hutan (Pasal 21 sampai dengan Pasal 51 Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999);
f.
Penelitian dan pengembangan, pendidikan, dan latihan serta
penyuluhan kehutanan (Pasal 52 sampai dengan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999);
g.
Penyerahan kewenangan (Pasal 66 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999);
h.
Masyarakat hukum adat (Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999);
i.
Peran serta masyarakat (Pasal 68 sampai dengan Pasal 69 Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999);
j.
Gugatan perwakilan (Pasal 71 sampai dengan Pasal 73 Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999);
k.
Penyelesaian sengketa kehutanan (Pasal 74 sampai dengan Pasal 76
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
l.
Penyidikan (Pasal 77 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
m.
Ketentuan pidana (Pasal 78 sampai dengan Pasal 79 Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999);
n.
Ganti rugi dan sanksi administratif (Pasal 80 Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999);
o.
Ketentuan peralihan (Pasal 81 sampai dengan Pasal 82 Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999);
p.
Ketentuan penutup (Pasal 83 sampai dengan Pasal 84 Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999).
Sanksi atau hukuman pidana atas kejahatan ( tindakan
pidana ) bidang kehutanan sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967
tidak ada diatur, sehingga tidak ada sanksi pidana yang dapat diterapkan kepada
para pelaku yang melanggar ketentuan yang berkaitan dengan kehutanan. Setelah
muncul peraturan baru menyangkut hutan dan kehutanan, yakni Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, segala jenis sanksi pidana bagi oknum- oknum
atau pelaku pidana telah diatur di dalamnya. Hal-hal
yang baru itu adalah seperti gugatan perwakilan (class action), yaitu
gugatan yang diajukan oleh masyarakat ke pengadilan dan atau melaporkan ke
penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat;
penyelesaian sengketa kehutanan, ketentuan pidana; ganti rugi dan sanksi
administrasi. Apabila di dalam ketentuan khusus tidak
mengatur tentang persoalan yang terjadi di bidang kehutanan, sedangkan
persoalan mendesak untuk ditangani, maka yang diberlakukan adalah Undang-Undang
yang bersifat umum. Misalnya, dalam audit hutan maka aturan yang diterapkan
adalah ketentuan Pasal 48 sampai dengan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini
disebabkan dalam aturan UU Nomor 41 Tahun 1999 tidak mengatur tentang audit
lingkungan hidup.[42]
Hal tersebut diatas sejalan dengan Prinsip asas lex
specialis derogat legi generalis. Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Hukum Positif Indonesia. ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam
asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu:[43]
1.
Ketentuan-ketentuan yang
didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus
dalam aturan hukum khusus tersebut;
2.
Ketentuan-ketentuan lex
specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis
(undang-undang dengan undang-undang);
3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam
lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis.
Sebelum memahami ruang lingkup
sejarah Hukum lingkungan perlu terlebih dahulu mendudukkan sinergi hutan yakni
antara undang undang lingkungan hidup dan undang undang kehutanan.
Pada dasarnya Undang-Undang
Perlindungan hidup dan pengelolaan lingkungan hidup dan Undang-Undang kehutanan
merupakan dua undang undang yang saling melengkapi satu dengan yang lain.
Seperti yang diketahui bahwa Kementerian kabinet kerja Jokowi dengan
menggabungkan Kehutanan dan Lingkungan
hidup.[44]
Kementerian Kehutanan dominan
mengatur ”Pemanfaatan Hutan”, sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup lebih
fokus pada perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup. Cakupan Kemenhut juga
terbatas pada isu hutan dan kegiatan yang dilakukan dalam hutan, sedangkan cakupan
KLH lebih luas, menjangkau hutan, tambang, laut, sungai, udara, bahkan industri
dan seluruh pencemaran yang timbul dari kegiatan manusia. Namun, tak berarti keduanya tak
memiliki ”titik taut” satu sama lain. Kemenhut sejak awal juga dibentuk untuk memastikan
bahwa dalam ”pemanfaatan hutan dan hasil hutan” harus memperhatikan aneka
fungsi hutan, seperti fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi,
untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang
dan lestari. Semua itu sangat erat korelasinya dengan fungsi yang dikerjakan
oleh KLH walaupun konteksnya melampaui isu hutan (beyond forestry). Titik
taut lain adalah dalam memastikan penaatan (compliance)
atas aturan dan standar lingkungan yang telah ditetapkan dalam regulasi.
Kemenhut berkewajiban memastikan semua pemegang izin usaha sektor kehutanan
menjalankan semua persyaratan izin serta wajib melakukan penegakan hukum pada
pemegang izin dan masyarakat yang merusak kawasan hutan. Kewenangan ini juga
dimiliki KLH, bahkan Kemenhut dan KLH dalam kerangka hukum yang ada sekarang
dapat bekerja sama dalam penegakan hukum kehutanan dan lingkungan. Contoh,
dalam kasus pembakaran hutan dan penebangan liar, kedua instansi seharusnya
bekerja sama dalam penegakan hukumnya meski selama ini tak akur dalam
menjalankan fungsi penegakan hukum ini.[45]
Oleh dasar penjelasan diatas maka
pada pembahasan berikutnya perlu didudukkan bahwa sinergi atau hubungan hukum
antara Hukum Lingkungan dan Kehutanan adalah sama terlebih lagi permasalahan
kebakaran hutan diatur dalam Undang-undang Lingkungan hidup dan Undang-Undang
Kehutanan yang diatur mengenai pengelolaan dan sanksi terhadap pembakaran
hutan.
Perkembangan
yang berarti yang bersifat universal dan menjalar keseluruh pelosok dunia dalam
bidang peraturan perundang-undangan lingkungan hidup terjadi setelah adanya
Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia Stockholm, Swedia pada tanggal
5-16 Juni 1972. Konferensi ini lahir mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup
telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup
seluruh makhluk di dunia. Konferensi ini
dihadiri 113 negara dan beberapa puluh peninjau[46] serta mensahkan hasil-hasilnya berupa:[47]
1. Deklarasi tentang
Lingkungan Hidup Manusia, terdiri atas:
Preamble dan 26 asas yang
lazim disebut Stockholm Declaration.
2. Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (Action Plan), terdiri dari 109 rekomendasi termasuk di dalamnya 18
rekomendasi tentang Perencanaan dan Pengelolaan Pemukiman Manusia.
3. Rekomendasi tentang
kelembagaan dan keuangan yang menunjang pelaksanaan Rencana Aksi tersebut, yang
terdiri dari:
a. Dewan Pengurus (Govering Council) Program Lingkungan
Hidup (UN Environment Programme = UNP);
b. Sekretariat, yang
dikepalai oleh seorang Direktur Eksekutif;
c. Dana Lingkungan
Hidup;
d. Badan Koordinasi
Lingkungan Hidup;
e. Resolusi khusus
bahwa menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Dunia.
Konferensi ini menggugah semangat bangsa-bangsa di dunia untuk
memberikan perhatian lebih pada permasalahan lingkungan hidup, termasuk
Indonesia yang memulai penanganan secara langsung terhadap pencegahan dan
penanggulangan pencemaran lingkungan hidup.
Ada beberapa alasan perlunya dibuat suatu
undang-undang yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup secara lengkap, yakni:
1. Telah banyak
dikeluarkan peraturan yang mengatur tentang lingkungan hidup oleh Pemerintah
Kolonial Belanda maupun Pemerintah Republik Indonesia yang masih bersifat
sektoral, tersebar dan tidak lengkap, serta banyak yang tidak dapat dijalankan
karena sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip lingkungan hidup yang
dikembangkan saat ini.[48]
2. Adanya petunjuk dalam Repelita III, Bab 7 tentang “Sumber
Alam dan Lingkungan Hidup” yang mengisyaratkan untuk segera membuat suatu
undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok tentang masalah lingkungan.
3. Indonesia sedang memasuki tahap industrialisasi bersamaan
dengan peningkatan pengembangan pertanian, dimana perkembangan kesadaran
lingkungan sudah meningkat di kalangan produsen selaku “perusak lingkungan
potensial” dan dikalangan konsumen selaku “penderita kerusakan potensial”.[49]
Dari
alasan tersebutlah kemudian Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan
Lingkungan Hidup (PPLH) menyusun RUU Lingkungan Hidup, dimana diletakkan
landasan hukum bagi penggalian kembali lingkungan hidup untuk dikelola bagi
kesejahteraan generasi kini dan nanti sepanjang masa.[50]
Akhirnya pada tanggal 11 Maret 1982, disahkanlah
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Kemudian tepatnya tanggal 21
Desember 1990 dilaksanakan Konferensi Rio de Janeiro.
Konferensi ini diadakan dalam rangka pelaksanaan
resolusi Sidang Umum PBB No. 45/211 tertanggal 21 Desember 1990 dan Keputusan
No. 46/468 tertanggal 13 April 1992. Konferensi ini dinamakan United Nations Coference on Environment
Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) dan dilaksanakan di Rio de Janeiro pada tanggal 3-14 Juni 1992.
Dari
Konferensi Rio dapat deperoleh dua
hasil utama:[51]
1. Rio telah mengaitkan dengan sangat erat dua pengertian kunci
yaitu pembangunan seluruh bumi dan perlindungan lingkungan.
2. Bahwa jalan yang
dilalui kini telah diterangi oleh penerang baru, yaitu semangat Rio, yang meliputi tiga dimensi, yaitu
dimensi intelektual, ekonomi, dan politik.
Dimensi intelektual merupakan pengakuan
bahwa planet bumi adalah suatu perangkat luas tentang ketergantungan satu
dengan yang lain. Lalu dimensi ekonomi merupakan pengakuan bahwa pembangunan
berlebih atau pembangunan yang kurang menyebabkan keprihatinan yang sama, yaitu
kedua-duanya secara bertahap perlu diganti dengan pembangunan seluruh bumi.
Kemudian dimensi politik adalah adanya kesadaran yang jelas tentang kewajiban
politik, kewajiban untuk jangka panjang.[52]
KTT Rio juga menghasilkan apa
yang disebut “Agenda 21”, yang pada dasarnya menggambarkan kerangka kerja dari
suatu rencana kerja yang disepakati oleh masyarakat internasional, yang
bertujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan pada awal abad ke-21.[53]
Konferensi Rio juga mengilhami
pemerintah RI untuk mengubah UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Lingkungan Hidup menjadi UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang disahkan pada tanggal 19 September 1997. Yang menjadi
pertimbangan perubahan ini adalah karena kesadaran dan kehidupan masyarakat
dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang sedemikian
rupa sehingga perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.[54]
RUU PLH yang dihasilkan DPR telah mengalami perubahan dan penyempurnaan
yang cukup substansial dibanding RUU yang diajukan oleh pemerintah (Presiden).
Perubahan tersebut tidak hanya dari jumlah pasalnya saja, dari 45 menjadi 52,
namun juga beberapa hal prinsip seperti perubahan pada pasal kelembagaan,
termasuk kewenangan Menteri Lingkungan, impor B3, hak-hak prosedural seperti
hak gugat organisasi lingkungan, dan pencantuman dasar hukum bagi gugatan
perwakilan (representative action).
UU No 23 tahun
1997 dianggap memiliki banyak kelemahan terutama dalam hal penanganan kasus
sengketa lingkungan hidup pada kala itu. Jika ditelusuri lebih jauh, setidaknya
tiga masalah mendasar yang terlupakan dalam UU 23 tahun 1997, yakni:[55]
1. Persoalan subtansial yang berkaitan
dengan; pendekatan atur dan awasi (command
and control) AMDAL maupun perizinan; lemahnya regulasi audit
lingkungan; belum dijadikannya AMDAL sebagai persyaratan izin dan tidak
tegasnya sanksi bagi pelanggaran Amdal; penormaan yang multi tafsir; lemahnya kewenangan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Pegawai Pengawas Lingkungan Hidup
(PPLH); delik pidana yang belum mengatur hukuman minimum; multi tafsir soal
asas subsidiaritas dan belum adanya regulasi aturan yang spesifik yang
berhubungan dengan perubahan iklim dan pemanasan global.
2. Masalah struktural yaitu berhubungan
dengan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang belum dijadikan mainstream dalam memandang
lingkungan.
3. Problem kultural yaitu masih
rendahnya kesadaran masyarakat tentang lingkungan.
Karena
adanya banyak kelemahan-kelemahan tersebutlah mengapa pada akhirnya UU No. 23
Tahun 1997 diganti dengan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No 32 tahun 2009 tidak sekedar menyempurnakan
sejumlah kelemahan mendasar dalam UU sebelumnya, tetapi juga secara
komprehensif mengatur segala hal yang berkaitan dengan problem lingkungan. UU
ini pada akhirnya akan berorientasi pada penguatan institusional terutama
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan peran seluruh elemen untuk memandang
kasus lingkungan sebagai problem bersama yang subtansial.[56]
B.
Alih Fungsi hutan untuk Pengelolaan
Alih Fungsi hutan yang dimaksud
disini lebih di tekanan mengenai alih fungsi hutan untuk kegiatan ekonomi masyarakat,
dimana pengelolaan lingkungan hidup berorientasi pada kepentingan ekonomi atau
dapat dikatakan antroposentris. Maka akan cenderung pada usaha-usaha atau
kegiatan-kegiatan yang eksploitatif terhadap lingkungan hidup. Untuk memenuhi
kepentingannya, seringkali manusia cenderung melakukan dosa-dosa terhadap
lingkungan hidup (environmental sins).
Di sinilah kesadaran manusia terhadap kelestarian lingkungan diuji. [57] Alih fungsi untuk
kepentingan ekonomi masyarkat difokuskan disini adalah terhadap pengelolaan
hutan untuk membuka lahan baru.
Pada dasarnya hutan memiliki
fungsi sebagai berikut :[58]
1. Menghasilkan kayu industri
seperti papan, kertas, dan kemasan.
2. Menghasilkan kayu bakar dan
arang.
3. Menghasilkan hasil hutan
bukan kayu.
4. Menyediakan lahan untuk pemukiman
manusia.
5. Menyediakan lahan untuk
pertanian.
6. Memberikan perlindungan
terhadap siklus air dalam Daerah Aliran Sungai dan pengendali erosi.
7. Tempat menyimpan karbon.
8. Pemeliharaan keanekaragaman
hayati dan habitat.
9. Obyek ekoturisme dan rekreasi
alam.
Alih fungsi hutan untuk
pengelolaan menjadi penyebab rusaknya hutan di Indonesia. Kebakaran hutan
merupakan salah satu sebab alih fungsi hutan untuk untuk pengelolaan seperti
membuka areal perkebunan, membuka pertambangan ditambah lagi terjadinya pembalakan
liar atau illegal logging, dari alih
fungsi tersebut menghasilkan Sumber daya alam untuk kebutuhan manusia seperti
kayu industri, kayu arang, pembukaan lahan pemukiman, pembukaan lahan pertanian
dan lain sebagainya. Alih fungsi hutan membawa dampak yang merugikan terhadap
ekosistem alam dan juga tidak jarang terjadi konflik sosial.
Dalam Undang-undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pada Pasal 19, istilah alih fungsi dikenal
sebagai perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Perubahan peruntukan
kawasan hutan, terjadi melalui proses tukar-menukar kawasan hutan dan pelepasan
kawasan hutan.
Alih fungsi kawasan hutan, yang terjadi melalui perubahan peruntukan kawasan
hutan terfokus untuk mendukung kepentingan di luar kehutanan (pertanian,
perkebunan, transmigrasi, pengembangan wilayah, pertambangan, dan non kehutanan
lainnya).
Menurut Wahyuni (2014), dalam rangka
memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat, pada dasarnya
kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat,
karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah suatu kawasan
hutan yang memiliki fungsi perlindungan. Dalam pemanfaatan kawasan hutan harus
disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi,
lindung dan produksi.[59]
Didalam Undang-Undang Perlindungan dan
pengolahan lingkungan hidup tidak secara ekspisit menyebutkan tentang
pengolahan alih fungsi hutan akan tetapi jika dilihat dari pasal IV yakni Pasal
12 ayat 1 disebutkan bahwa Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan
RPPLH ( Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup),
dimana RPPLH ini terdiri atas tingkatan nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
RPPLH memuat rancangan tentang Pemanfaatan dan pencadangan sumber data alam,
pemeliharaan dan perlindungan kualitas fungsi lingkungan hidup, pengendalian,
pemantauan serta pendayagunaan dan pelestarian sumber data alam dan adaptasi
dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Rancangan berupa pendayagunaan ditambah
pemanfaatan sumber daya alam menekankan bahwa pemanfaatan sumber daya alam
dapat dimanfaatkan, ditambahkan dalam pasal 12
ayat 2 huruf c Undang undang
lingkungan hidup bahwa pemanfaatan SDA dengan memperhatikan keselamatan, mutu
hidup dan kesejahteraan masyarakat.[60]
Akan tetapi semuanya tentu harus mengacu pada izin-izin yang harus dijalani
untuk mengolah hutan tersebut. Sementara itu Kartodihardjo[61]
menyatakan bahwa berdasarkan kenyataan di lapangan (de facto), alih
fungsi dan kerusakan hutan setidaknya disebabkan oleh 3 hal yaitu: status hutan
negara tidak legitimate, penguasaan
SDA oleh swasta/pemegang izin, terdapat mekanisme formal untuk melakukan
konversi hutan, serta kebijakan perizinan yang dijalankan bukan sebagai alat
pengendalian. Adapun penjelasan penjelasan ke empat hal tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Legalitas
hutan negara. Status legal kawasan hutan negara yang dilakukan melalui proses
pengukuhan kawasan hutan oleh Panitia Tata Batas (PTB) hanya secara umum
menghasilkan Berita Acara Tata Batas (BATB) yang ditanda-tangani panitia itu,
tetapi adanya klaim terhadap hutan negara tidak diselesaikan. Akibatnya hutan
negara yang sudah legal tidak legitimate, dalam arti masih tidak diakui
keabsahan legalitasnya itu. Penyebab lain yaitu ukuran kinerja PTB berdasarkan
panjang batas (km) dan dibatasi waktu kerjanya hanya satu tahun. Kondisi
demikian itu bertentangan dengan mandat PP No 44/2004 tentang Perencanaan
Kehutanan, yang menyatakan bahwa permasalahan pihak ketiga dan
konflik-konfliknya dalam hutan negara yang belum dapat diselesaikan selama
pemancangan tanda batas harus dituntaskan oleh PTB (Pasal 22). Tanpa adanya
legitimasi itu, alih fungsi dan kerusakan terus terjadi, baik akibat
perkembangan penduduk maupun izin-izin tambang dan kebun secara illegal.
2. Penguasaan hutan oleh swasta. Kebijakan dan
skema perizinan secara umum mengharuskan para calon pemegang izin hutan,
tambang, kebun mencari sendiri calon lokasi izin di dalam wilayah yang telah
dialokasikan Pemerintah. Dengan demikian, swasta harus mempunyai informasi
akurat tentang lokasi itu, karena akan menentukan kelayakan usahanya.
Pemerintah/Pemda melakukan verifikasi ketepatan lokasi izin tersebut, namun
dalam prakteknya informasi yang digunakan sangat terbatas. Akibatnya, hampir
setiap lokasi izin masih terdapat konflik penggunaan atau pemanfaatan hutan
oleh pihak lain, termasuk adanya pemukiman, kebun dan lahan-lahan pertanian
masyarakat adat/lokal. Di sisi lain, legalitas hak atas hutan/tanah bagi warga
negara masyarakat adat/lokal untuk mendapatkan ruang hidup, praktis tidak
difasilitasi Pemerintah/Pemda. Sementara itu dalam proses penetapan hutan
negara secara hukum, legalitas hak atas hutan/tanah menjadi persyaratan yang
harus dipenuhi dan persyaratan demikian ini tidak dipunyai masyarakat. Jalan
lain bagi masyarakat adat/lokal untuk mendapat hak/akses terhadap pemanfaatan
hutan melalui skema izin dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman
Rakyat, Hutan Desa untuk mendapatkan legalitas tidak dapat dipenuhi akibat
persyaratan administrasi dan mahalnya pengurusan izin. Dalam 10 tahun terakhir
komposisi pemanfaatan hutan antara usaha besar dan kecil tidak berubah, dan
kini komposisi itu dengan angka 97% untuk usaha besar dan 3% untuk usaha kecil.
3. Konversi
hutan by design. Skema perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan
alam (IUPHHK-HA), hutan tanaman (IUPHHK-HT), dan tambang melalui izin pinjam
pakai kawasan hutan (IUPPKH), secara de
facto telah mewujudkan konversi hutan alam secara sistematis. Peran
IUPHHK-HA dalam menghasilkan kayu bulat selama 10 tahun terakhir telah
digantikan oleh IUPHHK-HT dan dalam waktu yang sama terjadi peningkatan usaha
tambang (IUPPKH). Data 2013 menunjukkan bahwa sejumlah 179 perusahaan IUPHHK-HA
dan 139 perusahaan IUPHHK-HT menuju kebangkrutan (APHI, 2013). Apabila ini
terjadi akan terdapat sekitar 39 juta Ha hutan produksi yang tidak ada
pengelolanya, atau secara de facto
terjadi open access. Kondisi ini akan semakin mempermudah usaha tambang
bekerja di hutan produksi. Design
yang lain yaitu berupa
penetapan kawasan hutan berdasarkan proses penataan ruang. Proses ini, walaupun
menurut Undang-undang Penataan Ruang tidak dilakukan dalam rangka pemutihan
terhadap keterlanjuran kesalahan penggunaan ruang, namun dalam prakteknya
hampir senantiasa mengakomodir keterlanjuran itu.
Sementara itu Maladi berpendapat bahwa, meski secara
normatif, konversi atau perubahan kawasan hutan dimaksud tidak dilarang oleh
undang-undang, namun untuk menjaga kualitas lingkungan, sejauh mungkin
dihindari terjadinya konversi/perubahan terhadap hutan alam yang masih
produktif, guna menghindari ketimpangan agraria seperti kerusakan kawasan hutan
dan konflik sosial.[62]
C.
Membakar
hutan untuk membuka lahan baru
Peristiwa
kebakaran hutan yang tidak terkendali bisa terjadi secara sengaja
maupun tidak sengaja. Di masa lalu membakar hutan merupakan suatu metode
praktis untuk membuka lahan. Pada awalnya banyak dipraktekkan oleh para
peladang tradisional atau peladang berpindah. Namun karena biayanya murah
praktek membakar hutan banyak diadopsi oleh perusahaan-perusahaan kehutanan
dan perkebunan. Di lingkup ilmu
kehutanan ada sedikit perbedaan antara istilah kebakaran hutan dan pembakaran
hutan. Pembakaran identik dengan kejadian yang disengaja pada satu lokasi
dan luasan yang telah ditentukan. Gunanya untuk membuka lahan, meremajakan
hutan atau mengendalikan hama. Sedangkan kebakaran hutan lebih pada kejadian
yang tidak disengaja dan tak terkendali. Pada prakteknya proses pembakaran bisa
menjadi tidak terkendali dan memicu kebakaran.[63]
Seperti
yang telah dijelaskan pada Bab sebelumnya penyebab terjadinya kebakaran hutan
adalah 99% disebabkan oleh Manusia itu sendiri. Di Indonesia, 99% kejadian
kebakaran hutan disebabkan oleh aktivitas manusia baik sengaja maupun tidak
sengaja. Hanya 1% diantaranya yang terjadi secara alamiah.[64]
Sejak era tahun 1980-an pembukaan lahan
perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri diduga menjadi biang kerok terjadinya kebakaran hutan
secara besar-besaran.
D.
Mekanisme
Perizinan untuk membuka lahan baru
Perubahan kawasan hutan dialih
fungsikan untuk pengelolaan dan pemanfaatan SDA dengan cara membuka lahan baru
memang diizinkan sesuai aturan normatif akan tetapi terdapat mekanisme yang
harus di jalani untuk membuka lahan baru, sebagai contoh alih fungsi hutan
dengan membuka lahan baru berupa Pertambangan, Perkebunan dan Usaha Kehutanan.
Kegiatan pertambangan dilakukan di tempat-tempat yang
tidak dapat perhitungkan sebelum dilakukan penelitian awal. Namun, kegiatan
pertambangan ini pada umumnya dilakukan di wilayah hutan. Hal ini disebabkan
oleh sifat dari bahan galian tambang yang merupakan fosil atau mineral-mineral
endapan dari sisa hasil hutan. Oleh karena itu, investasi untuk kegiatan
pertambangan sangat erat kaitannya dengan hukum kehutanan. Tanah yang
diperuntukkan bagi pembangunan proyek dapat digunakan tanah yang berstatus
sebagai tanah negara maupun tanah hak milik.[65]
Namun selain kedua tanah dengan status tersebut, dapat
juga digunakan tanah dengan status kawasan hutan. Hal ini berdasarkan ketentuan
di dalam Pasal 38 Undang-Undang No. 41 1999 yang mengatakan
“Penggunaan kawasan hutan untuk
kepentingan pembangunan diluar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di
dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung”.
Bedasarkan ketentuan diatas, kawasan hutan yang dapat
digunakan untuk kegiatan pembangunan selain dalam bidang kehutanan adalah
kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Kegiatan pembangunan lain
yang dimaksud diatas dapat diartikan bahwa penggunaan hutan untuk kegiatan
pertambangan juga dapat menggunakan hutan produksi atau hutan lindung. Namun
pertambangan yang dimaksud didalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 adalah
pertambangan yang bersifat tertutup. Hal ini diatur lebih lanjut di dalam
Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan untuk
Penambangan Bawah Tanah.
Untuk mekanisme Izin produksi pertambangan (dimana
eksploitasi mungkin terjadi di hutan produksi, hutan konversi, atau hutan
lindung), langkah-langkah yang sama seperti dengan izin eksplorasi pertambangan
harus diikuti, serta mengikuti izin tambahan:[66]
1.
Izin operasi pertambangan untuk
beroperasi (IUP-Operasi-produksi) yang didapat dari Bupati, dan
2.
Izin pinjaman untuk operasi (Izin
pinjam pakai Kawasan untuk Operasi-produksi) diperoleh dari Kementerian
Kehutanan.
3.
Persyaratan tambahan berikut harus
dipenuhi:
Untuk usaha perkebunan dan Usaha Kehutanan Peraturan
tentang Perkebunan diatur dalam Undang-undang nomor 18/2004 dengan aturan
pelaksanaanya lewat peraturan Menteri Pertanian nomor 26/2007. Pada prinsipnya
terdapat dua jenis utama perkebunan di Indonesia, kelapa sawit dan kayu. Ketika
perkebunan terletak di kabupaten, semua izin perkebunan diperoleh dari Bupati.
Pengecualian adalah untuk lisensi untuk menggunakan Kawasan Hutan, yang
membutuhkan izin pelepasan hutan. Rekomendasi dari Gubernur provinsi juga
diperlukan untuk beberapa izin. Ketika perkebunan di wilayah lebih dari satu
daerah, maka Gubernur adalah otoritas penerbit untuk semua izin lainnya dari
pelepasan hutan. Sebuah perusahaan atau pemohon wajib telah membangun fasilitas
perkebunan, dan telah melakukan pembukaan lahan (tanpa pembakaran) dalam waktu
dua tahun dari IUP yang diterbitkan. [67]
E. Pengelolaan Hutan menurut
Undang-undang Lingkungan Hidup
Secara
umum lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda, kondisi, keadaan dan
pengaruh yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati dan mempengaruhi hal
yang hidup termasuk kehidupan manusia. Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam Bab I pasal 1 telah
menetapkan beberapa ketentuan umum mengenai konsep atau batasan lingkungan
hidup dan berbagai hal lain yang ada kaitannya dengan lingkungan hidup. Hal
tersebut merupakan pengembangan dan penyempurnaan dari beberapa konsep
sebelumnya.[68]
Pada dasarnya Undang-Undang
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mengatur bagaimana upaya
sistematis dan terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
agar tidak terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi
perencanaan, pemanfaatan , pengendalian, pemeliharaan , pengawasan dan
penegakan hukum.[69]
F. Hak, Kewajiban dan Larangan
terhadap Pembakaran Hutan.
Pengelolaan
lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas
berkelanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang
beriman dan bertaqwa Kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Adapun sasaran yang hendak dicapai dalam pengelolaan
lingkungan hidup tersebut adalah:
a.
Tercapainya keselarasan, keserasian,
keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup.
b.
Terwujudnya manusia Indonesia
sebagai INSAN LINGKUNGAN HIDUP yang memiliki sikap dan tindakan melindungi dan
membina lingkungan.
c.
Terjaminnya kepentingan generasi
masa kini dan generasi masa depan;
d.
Tercapainya kelestarian fungsi
lingkungan.
e.
Terkendalinya pemanfaatan sumber
daya secara bijaksana;
f.
Terlindunginya NKRI terhadap dampak
dan atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan atau
perusakan lingkungan hidup.
Untuk
mencapai sasaran tersebut, masyarakat secara yuridis diberikan hak, kewajiban serta kesempatan untuk
berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup. Keikutsertaan masyarakat
dalam pengelolaan lingkungan hidup menunjukkan bahwa masalah lingkungan hidup
bukanlah tanggung jawab pemerintah
semata-mata, melainkan merupakan tanggung jawab
seluruh komponen bangsa dan
negara. Hak menurut UU No. 32 thn 2009
tentang PPLH diatur dalam pasal 65:[70]
1.
Setiap orang berhak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
2.
Setiap orang berhak mendapatkan
pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses
keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
3.
Setiap orang berhak mengajukan usul
dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan
dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
4.
Setiap orang berhak untuk berperan
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
5.
Setiap orang berhak melakukan pengaduan
akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
6.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 5 diatur dengan Peraturan
Menteri.
Hak atas informasi lingkungan hidup
merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan
lingkungan hidup yang berlandaskan ada ASAS KETERBUKAAN. Informasi lingkungan
ini ini dapat berupa data,keterangan atau informasi lain yang berkenaan dengan
pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka
untuk diketahui masyarakat seperti dokumen AMDAL. Laporan dan evaluasi hasil
pemantauan lingkungan hidup, baik pemantauan panataan maupun pemantauan
perubahan kualitas lingkungan hidup dan rencana tata ruang[71]
Pasal 67
“Setiap orang berkewajiban
memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup”.
Pasal 68
Setiap orang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan berkewajiban:
a.
memberikan informasi yang terkait
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat,
terbuka, dan tepat waktu;
b.
menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup;
dan
c.
menaati ketentuan tentang baku mutu
lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
1.
Setiap
orang dilarang:
a. Melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
b. Memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan
perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
c. Memasukkan limbah yang berasal dari
luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. Memasukkan limbah B3 ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e.
Membuang limbah ke media lingkungan
hidup;
f.
Membuang B3 dan limbah B3 ke media
lingkungan hidup;
g.
Melepaskan produk rekayasa genetik
ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
atau izin lingkungan;
h.
Melakukan pembukaan lahan dengan
cara membakar;
i.
Menyusun amdal tanpa memiliki
sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau
j.
Memberikan informasi palsu,
menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan
keterangan yang tidak benar.
2.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.
G. Pengelolaan
hutan untuk membuka lahan sesuai dengan
prosedur yang diatur dalam Undang-Undang Lingkungan hidup.
Pengelolaan
hutan menurut undang-undang lingkungan hidup yang dimaksud adalah cara
pengolahan pembukaan lahan. Seperti yang diketahui bahwa kebakaran hutan di
Indonesia di sebabkan oleh faktor manusia yang dalam pengolahan yang tidak
benar, didalam undang undang secara normatif memang tidak melarang untuk
mengolah hutan untuk membuka lahan, ketentuan pengolahan hutan dalam hal membuka
lahan baru memang tidak ada diatur secara eksplisit langsung disebutkan akan
tetapi dari ketentuan umum diatur dalam Undang-Undang Lingkungan hidup
mencerminkan pengelolaan hutan untuk membuka lahan baru dijelaskan dalam bab I tentang perencanaan,
pemanfaatan , pengendalian, pemeliharaan , pengawasan dan penegakan hukum, yang pada hakekatnya untuk
melindungi lingkungan hidup. Prosedur seperti izin- izin yang harus dipatuhi
oleh para pengusaha dan masyarakat menjadi upaya penegakan hukum yang dilakukan
oleh Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup. Dalam
Undang-Undang Lingkungan hidup pasal 69 jelas diatur mengenai larangan yang
tidak diperbolehkan yang dapat mengakibatkan kerusakan pada lingkungan hidup,
larangan ini menjadi dasar apabila ada yang melanggar maka sanksi dapat
ditegakkan.
Dalam
hal pembakaran hutan dan lahan untuk membuka lahan baru yaitu dengan melakukan
pembukaan lahan dengan cara membakar; jelas dilarang dalam pasal 69 huruf h
,sanksi yang dikenakan juga tegas yakni termuat dalam Pasal 108 yaitu setiap
orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat
(1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah). [74]
H. Pengelolaan hutan dari segi
kearifan lokal masyarakat setempat.
Dasar
hukum Pengolahan hutan/lahan dengan cara membakar
Pengelolaan
hutan untuk membuka lahan tidak terlepas dari prosedur hukum yang berlaku di
Indonesia, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya terdapat berbagai macam
prosedur berupa izin pengelolaan dan bagi yang melanggar terdapat sanksi yang
tegas yang diberikan terhadap
pihak-pihak yang merusak lingkungan hidup. Persoalan mengenai larangan
pembakaran hutan jelas ditegaskan dalam pasal 69 yaitu dilarang membuka lahan
dengan cara dibakar,akan tetapi menjadi problema dengan adanya pasal 69 ayat 2
Undang- Undang Lingkungan Hidup yang berbunyi
“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) huruf h
memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.”
terlebih lagi saat ini pemerintah sedang
“kesusahan” untuk menanggulangi bencana kebakaran hutan yang disebabkan oleh
faktor faktor yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dan menimbulkan
kerugian yang cukup besar bagi negara.
Kearifan
lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan
dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman
jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah
penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.[75]
Ini artinya, membuka lahan dengan cara membakar diperbolehkan dengan
persyaratan tertentu.
Aturan membuka lahan dengan cara
dibakar yang diatur dalam Undang undang Lingkungan hidup juga ada diatur dalam
undang-undang lain undang-undang lain yang mengatur tentang
larangan membuka lahan dengan cara membakar dapat ditemukan dalam:
Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka
dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya
pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup.
Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau
mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan
kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp
10 miliar.[76]
2. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
Sejalan dengan UU PPLH dan UU Perkebunan, peraturan lain soal membuka lahan
dengan cara membakar dapat kita lihat dalam
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang
Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang
Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (“Permen LH 10/2010”). Pasal 4
ayat (1) Permen LH 10/2010: Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran
lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk
ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa. Namun,
pembakaran lahan ini tidak berlaku pada kondisi curah hujan di bawah normal,
kemarau panjang, dan/atau iklim kering[77]
3. Menurut
Peraturan Daerah Serupa dengan apa yang diatur dalam UU PPLH dan Permen LH
10/2010, ada pula peraturan daerah setempat yang “membolehkan” membuka lahan
dengan cara membakar, namun ada syaratnya. Sebagai contoh dapat kita lihat
dalam Peraturan Gubernur
Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan
Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah
(“Pergub Kalteng 52/2008”) sebagaimana diubah dengan Peraturan Gubernur
Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010 (“Pergub Kalteng
15/2010”).Setiap orang yang melakukan kegiatan pembukaan lahan dan pekarangan
dengan cara pembakaran, harus dilaksanakan secara terbatas dan terkendali,
setelah mendapat izin dari pejabat berwenang.[78] Setiap orang yang melakukan
pembukaan lahan dan pekarangan dengan cara pembakaran terbatas dan terkendali
harus mendapatkan izin dari Bupati/Walikota. Semua perizinan pembakaran
terbatas dan terkendali dinyatakan tidak berlaku apabila Gubernur mengumumkan
status “BERBAHAYA” berdasarkan Indeks Kebakaran dan/atau Indeks Standar
Pencemar Udara (ISPU) sampai tingkat kebakaran dan/atau keadaan darurat
pencemaran udara dinyatakan berhenti.[79]
Kewenangan pemberian izin dengan
luas lahan di bawah 5 Ha, dilimpahkan kepada:[80]
a. Camat, untuk luas lahan di atas 2 Ha
sampai dengan 5 Ha;
b. Lurah/Kepala Desa, untuk luas lahan
di atas 1 Ha sampai dengan 2 Ha;
c.
Ketua RT, untuk luas lahan sampai
dengan 1 Ha
Dalam praktiknya, perbuatan
membuka lahan dengan cara membakar hutan yang tidak sesuai aturan ini dapat
didakwa dengan Pasal 108 UU PPLH maupun Pasal 48 ayat (1) UU Perkebunan. Hakim
yang akan menentukan akan menggunakan undang-undang yang mana sebagai dasar
penjatuhan hukuman.
Sebagai contoh dalam kasus Putusan Pengadilan Negeri Tembilahan Nomor
94/Pid.Sus/2014/PN.Tbh. Terdakwa dituntut berdasarkan dua
dakwaan, yaitu: Dakwaan Kesatu, melanggar Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat (1) huruf
h UU PPLH dan Dakwaan Kedua, melanggar Pasal 48 ayat (1) jo. Pasal 26 UU
Perkebunan. Berdasarkan
fakta-fakta yang terungkap di persidangan, Hakim menyatakan Terdakwa telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan
Sengaja Membuka dan atau Mengolah Lahan Dengan Cara Pembakaran Yang Berakibat
Terjadinya Pencemaran dan Kerusakan Fungsi Lingkungan Hidup” sesuai Pasal 48
ayat (1) jo. Pasal 26 UU Perkebunan. Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa
yaitu pidana penjara selama satu tahun, dan denda sebesar Rp.1 miliar, dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana
kurungan selama 4 (empat) bulan.[81]
Frasa
“kearifan lokal” dalam ayat tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam bagian
penjelasan UU. Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah
melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala
keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat
bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.[82]
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa
pada tahun ini, kebakaran terjadi di sejumlah tempat. Di Riau, areal yang
terbakar sejauh ini sekitar 2.025,42 hektare. Di Kalimantan Barat lahan yang
terbakar seluas 900,20 hektare. Di Kalimantan Tengah lahan membara seluas
655,78 hektare. Di Jawa Tengah lahan terbakar 247,73 hektare. Di Jawa Barat
231,85 hektare. Di Kalimantan Selatan lahan yang terbakar seluas 185,70
hektare. Kebakaran lahan juga dialami Sumatera Utara seluas 146 hektare,
Sumatera Selatan 101,57 hektare, dan Jambi seluas 92,50 hektare. Ada 944 titik
panas di kawasan Sumatera, dan 222 titik di Pulau Kalimantan. Jaksa Agung HM Prasetyo saat ditanya soal pentingnya penegakan hukum
yang konsisten dan persisten dalam kasus kejahatan kehutanan memastikan akan
mengubah perspektif penanganan perkara pembakaran hutan. Penyelidikan dan
penyidikan tak cukup menyasar kepada pelaku pembakaran, tetapi juga pihak yang
memberikan perintah pembakaran. Perusahaan yang bertanggung jawab atas
kebakaran lahan juga harus dijatuhi hukuman berat. Menurutnya ada yang juga harus menjadi perhatian, yaitu ambiguitas dalam
perumusan Undang-Undang. UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, misalnya, dalam Pasal 69 mengatur larangan, yang artinya
tindak pidana. Dalam ayat 1 huruf h, dicantumkan,
“Larangan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.”, menurutnya rumusan
kalimat tersebut sangat rawan digunakan sebagai alasan pembakaran lahan hutan,
jika implementasi kearifan lokal digunakan disaat terjadinya kebakaran hutan
akan sangat berbahaya.[83]
Kearifan Lokal Masyarakat di Indonesia.
Kearifan lokal menurut UU No.
32/2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup Bab :I Pasal I Butir 30 adalah: nilai-nilai
luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat antara lain melindungi dan
mengelolah lingkungan hidup secara lestari.[84]
Indonesia kaya akan budaya dan kearifan lokal
masyarakat. Setiap daerah di Indonesia memiliki kearifan lokal yang
berbeda-beda, perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan
hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan
maupun sosial. Tantangan perlindungan dan pengelolaan hutan di Indonesia
tersebut seringkali datang dari masyarakat lokal di sekitar hutan. Padahal
kelestarian pengelolaan hutan sangat tergantung kepada partisipasi masyarakat
lokal dalam pengelolaan.[85]
Namun demikian setiap kerarifan lokal di
berbagai daerah memiliki kesamaan fungsi sebagai pedoman, pengontrol, dan
rambu-rambu untuk berperilaku dan berinteraksi dengan alam. Menurut Zakaria dalam Fauzi mendefinisikan
kearifan tradisional sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki suatu
masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan.[86]
Kearifan lokal merupakan suatu bentuk warisan
budaya Indonesia. Kearifan lokal terbentuk sebagai proses interaksi antara
manusia dengan lingkungannya dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhannya.[87]Sementara
itu Keraf menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan,
keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun
perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Pemahaman
mengenai kearifan lokal di atas semakin menegaskan bahwa kearifan lokal menjadi
modal penting dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan.[88]
Masyarakat tradisional di Indonesia
maupun dibagian dunia lainya, sering dijadikan sebagai tersangka utama atas
terjadinya perusakan lahan hutan akibat sistem perladangan yang mereka lakukan.
Namun jika diperhatikan secara seksama, sesungguhnya sistem perladangan
masyarakat tradisional ini tidak berpengaruh besar terhadap kerusakan hutan.
Karena dalam kehidupan masyarakat tradisional ini terdapat juga aturan-aturan
adat yang mengatur tentang sistem pengelolaan dan pemanfaatan lahan.[89]
Kearifan lokal dibangun dari nilai-nilai sosial yang dijunjung dalam struktur
sosial masyarakat sendiri dan memiliki fungsi sebagai pedoman, pengontrol, dan
rambu-rambu untuk berperilaku dalam berbagai dimensi kehidupan baik saat
berhubungan dengan sesama maupun dengan alam.[90]
Masyarakat adat merupakan sekumpulan
orang yang hidup bersama dalam satu wilayah serta memiliki hubungan keterikatan
sebagai satu keturunan. Hutan, tanah, sungai serta gunung memiliki keterikatan
tersendiri dengan mereka. Hutan bukan hanya sebagai suatu ekosistem tempat
adanya tumbuhan yang bisa digunakan untuk kepentingan manusia, namun bagi
masyarakat adat, hutan merupakan symbol dari sebuah harga diri. Pengelolaan
hutan lestari telah dilakukan masyarakat adat sejak puluhan bahkan ratusan
tahun lalu dan itu tetap diterapkan sampai saat ini. Hal ini karena masyarakat
adat mengerti akan pentingnya hutan sebagai tempat mencari nafkah, penyedia
sumber daya, kawasan konservasi, penyedia air dan fungsi-fungsi lainnya.
Penerapan hal ini juga diperkuat dengan aturan-aturan adat yang mengikat.
Seperti pemberian sanksi dan denda bagi masyarakatnya yang terbukti salah.
Pembagian
kawasan dalam hutan juga menjadi bagian dari pengelolaan hutan oleh masyarakat
adat. Pembagian kawasan ini memiliki beragam fungsi, seperti kawasan yang
diperuntukan untuk kegiatan pertanian, kawasan untuk berburu dan kawasan
terlarang/ hutan larangan dan lain sebagainya tergantung kearifan lokal dari
masing-masing komunitas masyarakat adat. Kawasan-kawasan tadi digunakan sesuai
dengan fungsinya, misalnya kawasan pertanian harus digunakan hanya untuk
kegiatan pertanian sebaliknya juga dengan kawasan berburu.
Kawasan
terlarang biasanya tidak boleh diganggu dikarenakan adanya situs situs sejarah
dalam kawasan hutan tersebut. Namun fungsi lain dari kawasan ini juga sebagai
kawasan konservasi, menjaga mata air atau wilayah wilayah berlerang agar tidak
longsor pada musim hujan.
Pengelolaan hasil hutan dalam kawasan hutan
adat tetap diberikan kepada masyarakat untuk mengelola namun harus tetap berpatokan
kepada aturan-aturan adat yang berlaku. Aturan-aturan ini dimaksudkan supaya
sumber daya hutan seperti kayu, rotan, damar dll itu tetap tersedia bagi semua
orang yang membutuhkan serta berkelanjutan. Misalnya pengambilan kayu untuk
kebutuhan rumah telah ditentukan jenis kayu dan umurnya sehingga kayu yang
ditebang tersebut memang sudah bisa digunakan supaya tidak ada pembalakan liar
dalam kawasan hutan adat.
Analisis Hutan adat
Kearifan lokal masyarakat tidak
terlepas dari pengelolaan hutan adat. Keberadaan hutan adat di Indonesia sampai
saat ini masih diakui dan berhak untuk dikelola oleh masyarakat adat.
Pada dasarnya menurut Dr. Moira
Moeliono kerangka hukum yang berlaku sekarang, hutan adat dan hutan desa adalah
hutan negara yang dibebani hak pengelolaan yang diberikan oleh negara pada
masyarakat adat atau masyarakat desa.[91] Akan tetapi pada tahun
2013, aturan yang mengatur tentang hutan adat adalah bagian dari milik negara
dihapus dengan keluarnya putusan MK No 35
Thn 2013. MK mengabulkan sebagian uji materi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dimohonkan Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) dan dua komunitas masyarakat adat yaitu Kanegerian Kuntu dan
Kasepuhan Cisitu. Alhasil, puluhan juta hektar hutan adat yang tadinya diklaim
sebagai hutan negara diakui keberadaannya dan dapat dikelola oleh masyarakat
adat yang menempatinya. Dalam putusannya, MK membatalkan sejumlah kata,
frasa dan ayat dalam UU Kehutanan itu. Misalnya, MK menghapus kata “negara”
dalam Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan, sehingga Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan
menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum
adat.” MK juga menafsirkan bersyarat Pasal
5 ayat (1) UU Kehutanan sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak
termasuk hutan adat” dan menghapus frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5
ayat (3).“Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘penguasaan hutan oleh negara tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang”
Mahkamah berpendapat harus
ada pembedaan perlakuan terhadap hutan negara dan hutan adat, sehingga
dibutuhkan pengaturan hubungan antara hak menguasai negara dengan hutan negara,
dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, negara
mempunyai wewenang penuh untuk mengatur peruntukan, pemanfaatan, dan
hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara. Terhadap hutan
adat, wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam
hutan adat. Hutan adat ini berada dalam cakupan hak ulayat dalam satu kesatuan
wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat. ”Para warga masyarakat
hukum adat mempunyai hak membuka hutan ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan
tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya. Jadi, tidak mungkin
hak warga masyarakat hukum adat itu ditiadakan atau dibekukan sepanjang
memenuhi syarat dalam cakupan pengertian kesatuan masyarakat hukum adat seperti
dimaksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945,” kata Hakim Konstitusi M. Alim saat
membacakan pertimbangan hukumnya. Dengan demikian, hutan berdasarkan statusnya
dibedakan menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan hak. Adapun hutan hak
dibedakan antara hutan adat (hak ulayat) dan hutan perseorangan/badan hukum.
Ketiga status hutan tersebut pada tingkatan yang tertinggi seluruhnya dikuasai
oleh negara.
“Setelah
dibedakan antara hutan negara dan hutan hak, maka tidak dimungkinkan hutan hak
berada dalam wilayah hutan negara. Atau sebaliknya hutan negara dalam wilayah
hutan hak seperti dinyatakan Pasal 5 ayat (2) dan hutan hak ulayat dalam hutan
negara”[92]
Meski
begitu, dengan adanya putusan MK ini bukan serta merta masyarakat adat berhak
mengelola hutannya tanpa adanya aturan dari pemerintah (Kementerian Kehutanan).
Karena itu, Abdon meminta pemerintah segera menindaklanjuti putusan MK
ini dengan membuat peraturan pengelolaan hutan adat berikut pemetaannya.“Dengan
adanya putusan ini, hutan adat bukan lagi hutan negara. Harus ada pakem
(aturan) hukum yang mengaturnya, pemerintah tidak bisa lepas tangan. Pemerintah
harus tetap memastikan fungsi ekologis hutan adat,” pintanya.Menurutnya, jika
pemerintah tidak segera mengeluarkan ketentuan yang mengatur tentang
pengelolaan maupun pemetaan hutan adat, akan muncul masalah baru. Sebab, MK
hanya mengembalikan keberadaan hutan adat seperti dalam UUD 1945, bukan membuat
regulasi baru.“Tanpa adanya aturan hutan adat, statusnya masih belum bisa
dibedakan, mana yang hutan adat dan mana yang bukan. Dalam data Kementerian
Kehutanan pun, belum ada peta yang menegaskan daerah mana saja yang termasuk
dalam hutan adat. Ini agar tidak ada konflik baru yang dimanfaatkan pihak
lain,” lanjutnya.[93]
Mengenai
kegiatan pengelolaan hutan adat
ditegaskan dalam Pasal 67 huruf b melakukan kegiatan pengelolaan hutan
berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
undang-undang; dan mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.[94]
Kajian
Kearifan lokal masyarakat adat dalam pengelolaan lingkungan sebagai contoh
penerapan kearifan lokal pada Masyarakat Desa Rono dalam proses pemilihan
lahan, Masyarakat Desa Rano dalam hal pemilihan lahan yang baik dan subur untuk
diolah menjadi tanah pertanian atau perkebunan. dilakukan dengan membaca
tanda-tanda yang diberikan oleh alam dan petunjuk dari nenek moyang melalui
mimpi. Menurut pengetahuan masyarakat ada dua kriteria mimpi yang akan menjadi
pertimbangan yakni mimpi baik dan mimpi buruk. Mimpi baik antara lain, (mendaki
gunung, berjalan melewati sungai, diberikan sesuatu dan mendapat hadiah).
Selanjutnya yang termasuk mimpi buruk antara lain bertemu (malaikat, ada orang
meninggal dunia). Jika pada malam itu ia bermimpi baik maka keesokan paginya ia
dapat melaksanakan niatnya untuk memeriksa lahan.[95]
Dalam
proses untuk melihat lahan tersebut ada beberapa pantangan-pantangan yang harus
dipatuhi oleh masyarakat Desa Rano. Pantangan tersebut antara lain: ketika
sedang berjalan tiba-tiba dihalangi dahan yang jatuh dari pohon, bertemu
binatang yang telah mati, atau disegat binatang berbisa. Jika ketiga pantangan
tersebut ditemui maka ini bermakna suatu pertanda yang tidak baik sehingga
pembukaan lahan tersebut diundur sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan
yakni satu atau dua bulan, setahun atau lebih bahkan kadang-kadang pembukaan
lahan tersebut dibatalkan.[96]
Menurut
masyarakat Desa Rano bahwa dalam hal ini apabila tidak menemui
pantangan-pantangan yang dijelaskan di atas masih ada lagi tahap terakhir untuk
mengetahui bahwa lahan tersebut cocok untuk diolah yaitu membawa air yang
bersumber dari mata air yang meskipun musim kemarau tidak pernah kering,
kemudian air tersebut ditanah ditutupi dengan daun lebar di tanah yang akan
kita kelola. Bila keesokan harinya air tersebut air yang berada dalam botol tersebut
berkurang maka menurut mereka suatu pertanda hasil pertanian itu tidak
memuaskan, akan tetapi bila air tersebut meluap, maka mereka percaya bahwa
lahan itu sangat baik untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan. Dari
beberapa tahap yang dilalui dalam proses pemilihan lahan, dapat memberikan
gambaran kepada kita bahwa masyarakat Desa Rano masih memegang teguh tata cara
yang diajarkan oleh nenek moyang mereka dalam hal untuk membuka lahan.[97]
Menurut
masyarakat Desa Rano setelah pemilik lahan sudah mendapat izin dari pemangku
adat, kemudian dilakukan upacara pembukaan lahan yakni mengajak salah seorang
yang dituakan dalam masyarakat untuk memeriksa lahan tersebut. Satu hari
setelah pemeriksaan kemudian dilakukan pembacaan mantra-mantra dilahan tersebut,
ini bermakna memohon izin kepada mereka (makhluk gaib) yang mendiami areal
tersebut. Selain hal itu menurut masyarakat Desa Rano terdapat larangan tidak
diperbolehkan yaitu tidak boleh mendahului “sobo” dan “tuntung”
dalam melakukan pemarasan. “sobo”
dan “tuntung” menurut
masyarakat desa rano adalah pemimpin para petani, bertindak sebagai ketua
adalah “sobo” dan
wakilnya adalah “tuntung” keduanya
adalah bagian dari struktur dari lembaga adat.[98]
Selain
menjadi ketua para petani, “sobo” mempunyai
tugas untuk mendatangi para pemangku adat, untuk menentukan kapan dilakukan
pemarasan “montarah”, waktu penanaman “membula” dan setelah ditentukan oleh
lembaga adat, kemudian pemarasan dan penanaman akan diawali oleh Sobo dan
tuntung sebagai ketua dan wakil ketua para petani.[99]
Masyarakat Desa Rano adalah petani ladang
sejak turun temurun. Setiap masyarakat Desa Rano memiliki kebun. Terutama untuk
menaman padi “boah”, jagung “katela”, kacang “canggoreng”, ubi kayu “moloku kayu”, ubi jalar “moloku tingganafar”, Cabe “sasave”, Kacang panjang “lombi”, ketimun “atimung”, dan lain-lain. Pada awalnya
mereka menanam padi yang kemudian dipanen setelah 4 bulan 15 hari setelah itu,
lahan yang sama diganti dengan tanaman jagung, ubi, lombo, kacang, dan
lain-lain. Dan sampai sekarang masyarakat Desa Rano mempunyai tradisi untuk
membuahkan tumbuh-tumbuhan seperti durian langsat, rambutan mangga, jengkeh,
kelapa, dan semua tanaman atau tumbuhan yang berada di Desa Rano dengan
melakukan ritual yaitu Upacara Mompalit Rano (Upacara Mengelilingi
Danau).[100]
Bagi mereka yang melakukan penebangan
hutan di kenakan sanksi berupa seluruh peralatan yang digunakan di sita oleh
lembaga adat selain itu juga akan dikenakan sanksi salampale yakni, 12 Pes kain
putih, 1 buah parang, 1buah dulang, 3 kantung beras, uang tunai 5 real. Denda
tersebut dapat digantikan dengan uang tunai sebanyak Rp. 150.000.000,-.
Hutan bagi masyarakat Desa Rano bukan
hanya merupakan Sumber daya ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan kehidupan
mereka. Masyarakat Desa Rano juga sangat bergantung pada hutan, sandang, papan
dan pangan. Dari hutan, masyarakat Desa Rano membutuhkan berbagai jenis kayu,
bambu dan rotan untuk keperluan membangun rumah dan berbagai peralatan rumah
tangga. [101]
Kesadaran arti penting hutan bagi
kehidupan keseharian mereka menyebabkan masyarakat Desa Rano melihat hutan
bukan sebagai objek eksplorasi untuk memenuhi kebutuhan. Perilaku alam terhadap
kehidupan mereka disadari sebagai konsekuensi dari sikap dan perbuatan mereka
terhadap hutan dan lingkungan. Hal ini misalnya tercermin dari adanya upacara
ritual adat, pada saat membuka hutan untuk keperluan perladangan. Upacara
tersebut pada dasarnya dimaksudkan sebagai bentuk permohonan izin sekaligus
pemohonan kepada para mahluk yang mediami hutan. Dengan upacara tersebut juga
dimaksudkan agar kelak dikemudian hari tidak ada gangguan terhadap tanaman
diladang, baik berupa penyakit ataupun serangan hewan (liar dan peliharaan).[102]
Selain contoh bentuk kearifan lokal
masyarakat adat terdapat contoh masyarakat lain yang menjaga pelestarian
kawasan hutan
Suku
Cek Bocek Selensuri di Sumbawa, menjaga hutan mereka dengan aturan adat yang
bernama Mungka. Mungka merupakan kegiatan menjaga hutan larangan oleh
masyarakat adat yang sekaligus dilaksanakan ketika mereka mencari nafkah dalam
kawasan hutan seperti berburu dan mencari tumbuhan obat. Kegiatan ini diatur
dengan aturan adat, yaitu “Biat”. Bila ditemukan ada yang menebang pohon yang
belum cukup umur akan dikenakan sanksi dan denda. Sanksinya berupa orang
tersebut harus menanam pohon yang sama sebanyak 3 pohon sedangkan dendanya
biasanya harus menyediakan hewan sebagai korban yang nantinya akan dimakan
bersama oleh masyarakat dan juga orang tersebut dilarang untuk masuk kawasan
hutan selama satu tahun.[103]
Di
kepulauan Maluku, tata kelola hutan adat dikenal dengan Sasi. Sasi merupakan
larangan untuk mengambil hasil hutan dalam jangka waktu tertentu. Ini
dimaksudkan agar sumber daya hutan yang ada dapat dipergunakan tepat pada
waktunya serta tetap tersedia untuk semua orang. Waktu sasi biasanya 3 - 6
bulan bahkan bisa sampai 1 tahun. Setelah waktu itu selesai, masyarakat bisa
mengambil hasil hutan namun dalam batasan yang wajar, seperlunya dan sesuai
dengan aturan adat, proses ini dinamakan buka sasi. Aturan inipun mempunyai sanksi
dan denda jika dilanggar. Di Maluku tengah, sanksi yang dikenakan biasanya
diberi denda adat berupa membayar kembali sesuai dengan yang telah ditentukan
dalam aturan adat sedangkan di Maluku tenggara, denda adat bisanya berupa ganti
rugi dengan emas . Selain itupun mereka percaya bahwa jika sengaja melanggar
sasi akan mendapat musibah. Karena itulah masyarakat benar-benar tahu akan
pentingnya menjaga hutan.[104]
Contoh
lain dari bentuk kearifan lokal masyarakat adat dalam pencegahan kebakaran
hutan dan lahan adalah Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar desa Sirnaresmi,
pada dasarnya Masyarakat Ciptagelar masih menggunakan cara pembakaran dalam
penyiapan lahannya dengan alasan lebih cepat dan lebih mudah dilakukan, Namun
melakukan pembakaran mereka masih mempertahankan cara penyiapan lahan tanpa
bakar (zero burning), walaupun masih
dengan alat manual seperti cangkul. Sedangkan pada kelompok masyarakat yang
menyiapkan lahan dengan membakar, teknik pembakaran yang dilakukan sebagian
besar dengan teknik pile burning yaitu dengan menumpuk limbah penyiapan lahan
pada lokasi tertentu yang kemudian dilakukan pembakaran searah dengan angin.
Dibanding dengan teknik lainya teknik pembakaran tumpukan ( pile burning) memiliki resiko pembakaran api yang lebih kecil,
karena api terkonsentrasi pada lokasi tumpukan dan relatif lebih terkendali.
Menurut masyarakat, teknik pembakaran tumpukan yang menempatkan tumpukan di
tengah ladang yang sebagian besar dilakukan oleh masyarakat dapat menghindarkan penjalaran api
yang meluas. Upaya lain yang dilakukan untuk mengendalikan kebakaran adalah
dengan mengangkut limbah penyiapan lahan
ke bagian sisi ladang, sehingga tidak ada pembakaran yang bersifat
menyebar di seluruh ladang seperti yang biasa dilakukan oleh para
peladang/petani di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Tahapan kegiatan pembukaan
ladang yang dilakukan dengan pembakaran meliputi pemilihan calon ladang,
penebasan “nyacar”, pembakaran “ngahuru”, pembakaran ulang “ngaduruk”, dan penanaman ”ngaseuk”. Nilai-nilai
kearifan lokal masyarakat adat kasepuhan Ciptagelar terkait pencegahan
kebakaran hutan dan lahan diantaranya membuka lahan dilakukan pada musim
kemarau dan tidak membuka lahan dekat kawasan taman nasional.[105]
Pada dasarnya sebagian masyarakat
adat dalam rangka melestarikan lingkungan ataupun dalam hal mengolah membuka
lahan dengan cara membakar masih memperhatikan keberlangsungan ekosistem hutan
di sekitarnya, akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman yang semakin
modern khususnya terhadap alam menjadikan manusia cenderung berpandangan
Antroposentrisme dimana semakin banyak jumlah pertumbuhan manusia, maka
pertumbuhan ekonomi juga akan semakin terdesak dan Alam
dilihat hanya sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
dan kepentingan manusia,
dan yang terjadi adalah pembukaan lahan dimana-mana dengan mengolah lahan hutan
dengan cara membakar pohon, tanaman-tanaman, tanpa memperhatikan
keberlangsungan dan dampak terhadap lingkungan hidup disekitarnya, terlebih
pasal 69 ayat 2 masih memandang kearifan lokal masih diakui, akibatnya ini
membuka celah hukum bagi orang yang tidak bertanggung jawab.
Celah hukum
yang dimaksud disini terjadi ketika ada pihak-pihak yang membakar hutan dengan
alasan membuka lahan dan memakai pasal 69 ayat 2 UU lingkungan hidup sebagai
pembenaran yang diperbolehkan oleh undang-undang, dan ketika terjadi sengketa
dimana negara menggugat pihak pihak tersebut dengan dasar gugatan membakar
hutan maka dalam hal ini pihak pihak tersebut dapat memakai pasal 69 ayat 2
sebagai “tameng” untuk meloloskan diri dari jeratan hukuman.
Sebagai perbandingan kasus hukum
lain yang dimana Pasal 31 Undang Undang yang mengatur tentang bahasa dapat
menjadi alat untuk menggugat, dalam pasal 31 ayat 1 terdapat kewajiban
penggunaan bahasa Indonesia dalam pembuatan suatu perjanjian, dan ayat 2
kesepakatan dengan pihak lain di tulis juga dengan bahasa nasional pihak asing.
Setelah terjadi kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis menggunakan bahasa
Asing, salah satu pihak lalu menggugat ke pengadilan bahwa perjanjian yang
mereka buat melanggar pasal 31 tentang kewajiban penggunaan bahasa Indonesia,
jadi karena perjanjian yang mereka buat menggunakan bahasa asing maka
perjanjian tersebut batal demi hukum. Oleh hakim sendiri memandang hal tersebut
dari sisi penegakan hukum melalui undang undang dan mengacu pada Undang-Undang
bahasa. Maka secara otomatis perjanjian tersebut batal demi hukum.[106]
Demikian halnya dengan Pasal 69 ayat
2 Undang-Undang lingkungan hidup apabila gugatan pembakaran hutan sampai ke pengadilan,
dan hakim memutus dengan menggunakan dasar hukum pasal 69 ayat 2 bahwa membakar
hutan tidak melanggar karena sesuai dengan kearifan lokal, maka dalam hal ini
akan menimbulkan kerugian baik terhadap alam itu sendiri ataupun terhadap
masyarakat dan pemerintah.
UPAYA
PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP PEMBAKARAN HUTAN DI INDONESIA
Peranan
pemerintah dalam upaya mencegah terjadinya kebakaran hutan
Pemerintah
melalui Departemen Kehutanan sebagai pengelola hutan di Indonesia mengatur semua
urusan yang ada hubungannya dengan penggunaan kawasan hutan termasuk soal
peruntukan hutan dan bagi siapa serta seberapa lama.[107]
Peraturan dan perundangan yang
berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan diatur
dalam UU No5 tahun 1990, UU No 5 tahun 1994, UU No 32 tahun 2009 dan PP No 4
tahun 2001. Langkah langkah dan upaya-upaya dalam rangka penanggulangan
kebakaran hutan dan lahan terdiri dari :[108]
a.
Pemasyarakatan
tindakan pencegahan dan penanggulangan (pemadaman) melalui kegiatan penyuluhan
yang terkoordinasi seperti penggunaan media cetak, elektronik dan sebagainya;
b.
Pelarangan
kegiatan pembakaran dan pemasyarakatan kebijakan penyiapan lahan tanpa bakar
(PLTB);
c.
Peningkatan
keterampilan dan kemampuan sumber daya manusia baik yang berasal dari instansi
pemerintah maupun perusahaan;
d.
Pemenuhan
dan pengadaan peralatan pemadam kebakaran sesuai dengan standar yang
ditetapkan;
e.
Melakukan
kerjasama teknik dengan negara-negara donor;
f.
Peningkatan
kesejahteraan masyarakat disekitar hutan;
g.
Menindak
tegas setiap pelanggar hukum/peraturan yang telah ditetapkan;
h. Peningkatan
upaya penegakan hukum.
Purnasari merumuskan strategi
pencegahan kebakaran hutan melalui pendekatan sosial dan ekonomi kepada
masyarakat dengan bantuan dari pemerintah, adapun rumusan tersebut adalah
sebagai berikut:[109]
a. Pencegahan
kekeringan lahan gambut melalui pengaturan zona dalam pemanfaatan lahan dengan
memaksimalkan sumber daya yang ada di pemerintah dan desa.
b. Mempersatukan
sumber daya baik di pemerintah maupun masyarakat sekitar dalam upaya
rehabilitasi lahan.
c. Peningkatan
produksi hasil bumi dan peternakan di area tempat tinggal masyarakat demi
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
d. Penguatan
kelembagaan Masyarakat Peduli Api (MPA) yang dilakukan dengan cara melibatkan
masyarakat secara optimal dalam upaya pencegahan kebakaran hutan.
e. Mendirikan
koperasi sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan di sekitar area
hutan.
Pemerintah pusat (Departemen
Kehutanan) telah mendistribusikan 20 unit mobil operasional bagi daerah-daerah
rawan kebakaran, namun jumlah itu
dirasakan pemerintah daerah (pemda) belum cukup optimal untuk menunjang
upaya mengatasi kebakaran. Di sisi lain, pemerintah pusat pun mengaku sulit menjangkau seluruh daerah yang dinyatakan rawan kebakaran.
dirasakan pemerintah daerah (pemda) belum cukup optimal untuk menunjang
upaya mengatasi kebakaran. Di sisi lain, pemerintah pusat pun mengaku sulit menjangkau seluruh daerah yang dinyatakan rawan kebakaran.
Lambatnya reaksi dan keengganan
pemda setempat dalam
memberikan informasi selengkap mungkin mengenai kondisi di lapangan,
diakui sebagai hambatan bagi upaya pencegahan meluasnya kebakaran hutan dan
lahan. Asisten Deputi Urusan Ekosistem Darat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Antung Deddy mengemukakan hal itu di Jakarta, Rabu (11/6). Antung
berpendapat, seharusnya dengan otonomi daerah secara otomatis setiap pemda
mempunyai kewenangan dan tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah yang
terjadi di wilayahnya, termasuk kebakaran hutan dan lahan. Meski demikian,
pemerintah pusat tidak bisa begitu saja melimpahkan semua tugas berkaitan
dengan pencegahan maupun penanggulangan kebakaran.[110]
memberikan informasi selengkap mungkin mengenai kondisi di lapangan,
diakui sebagai hambatan bagi upaya pencegahan meluasnya kebakaran hutan dan
lahan. Asisten Deputi Urusan Ekosistem Darat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Antung Deddy mengemukakan hal itu di Jakarta, Rabu (11/6). Antung
berpendapat, seharusnya dengan otonomi daerah secara otomatis setiap pemda
mempunyai kewenangan dan tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah yang
terjadi di wilayahnya, termasuk kebakaran hutan dan lahan. Meski demikian,
pemerintah pusat tidak bisa begitu saja melimpahkan semua tugas berkaitan
dengan pencegahan maupun penanggulangan kebakaran.[110]
Antung menyampaikan, sejauh ini
KLH telah menjalankan tugas dan
kewenangannya dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan meminimalkan
dampaknya. Sejak awal tahun ini unit informasi dini kebakaran hutan KLH
telah menginformasikan kepada pemda terkait mengenai lokasi-lokasi rawan
kebakaran berdasarkan citra satelit. [111]
kewenangannya dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan meminimalkan
dampaknya. Sejak awal tahun ini unit informasi dini kebakaran hutan KLH
telah menginformasikan kepada pemda terkait mengenai lokasi-lokasi rawan
kebakaran berdasarkan citra satelit. [111]
Selain
itu, ia menambahkan, KLH juga terus berupaya menjangkau semua tingkatan
pemerintahan di daerah, mulai dari tingkat desa hingga provinsi.
Upaya itu dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai kesulitan dan
kendala yang dihadapi aparat di lapangan.[112]
Upaya itu dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai kesulitan dan
kendala yang dihadapi aparat di lapangan.[112]
Kepala Bidang Kebakaran Hutan dan
Lahan KLH Hermono Sigit mengatakan, setiap daerah mempunyai karakteristik
berbeda, baik geografis maupun kepedulian pemdanya dalam mengatasi kebakaran.
Hal itulah yang dirasakan menjadi kendala sehingga menyulitkan adanya
koordinasi dan kerja sama antar instansi.[113]
Dari sisi penegakan hukum mengenai
penjelasan pasal 69 ayat 2 yang memuat kearifan lokal yang membenarkan
melakukan pembukaan lahan dengan membakar sekitar 2 hektar sedang
dipertimbangkan untuk direvisi.
Aturan yang mengatur larangan
membakar hutan untuk membuka lahan dinilai masih longgar. Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) akan merevisi aturan tersebut. Menteri LHK
Siti Nurbaya Bakar menyatakan pihaknya sedang mempersiapkan pengkajian
peraturan daerah serta revisi Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Dia mengatakan sudah meminta revisi
undang-undang tersebut. Namun, revisi ini juga disertai dengan upaya
pelindungan hutan gambut. Menurutnya, dalam revisi UU 32 Tahun 2009 akan diatur
dengan detail norma-norma soal larangan pembukaan lahan. Terkait izin lurah dan
camat yang mudah, hal ini juga akan menjadi evaluasi.[114]
Pemerintah dituntut untuk dapat
memberikan sanki yang tegas, di undang undang Lingkungan Hidup sudah terdapat
sanksi yang tegas sanksi
yang dikenakan yakni termuat dalam Pasal 108 yaitu setiap
orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat
(1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
Peranan Masyarakat dalam upaya meminimalisasi
terjadinya kebakaran hutan
Masyarakat sebagai pihak yang
berada paling dekat dan terdampak langsung dari kebakaran bisa menjadi jalan
keluar. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan berada di lokasi ketika
bencana terjadi, namun setelah bisa mengatasi, mereka pun akan segera
pergi. Dengan demikian, masyarakat yang senantiasa berada di lokasi
hendaknya bisa mencegah pembakaran lahan dan hutan agar tidak menjadi
bencana. Peran serta masyarakat untuk mencegah terjadinya bencana
kebakaran lahan dan hutan bisa dimulai dari tingkat desa. Masyarakat Desa
Harapan Jaya, Kecamatan Tempuling, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau
telah memiliki Peraturan Desa (PerDes) Nomor 01 Tahun 2012 tentang Pencegahan
Kebakaran Hutan dan Lahan. Peraturan desa ini lahir karena keprihatinan warga
akan dampak kebakaran hutan dan lahan serta melihat penegakan peraturan daerah
di tingkat provinsi yang lemah. Di dalam peraturan desa tersebut diatur dengan
jelas dan tegas, bahwa setiap warga masyarakat yang membakar lahan tanpa
terkendali dan mengakibatkan kebun/ladang tetangga ikut terbakar akan dikenakan
sanksi. Besaran sanksi tersebut adalah sebagai berikut: tanaman karet dendanya
Rp 100.000/batang dan tanaman sawit dendanya Rp 350.000/batang. Aturan tersebut
terbukti ampuh dan sudah ada warga yang membayar denda sejumlah Rp 20.000.000.
Dalam mekanisme ini, pemerintah daerah tidak menerima denda, namun hanya sebagai
penengah antara korban dan pembakar. Peraturan Desa Harapan Jaya tersebut
memberikan pelajaran yang sangat berarti bagi penanggulangan bencana kebakaran
hutan dan lahan. Pertama, masyarakat dengan inisiatif sendiri bisa bekerja sama
untuk menghukum warga yang membakar lahan tanpa terkendali. Kedua, mekanisme
denda atau sanksi ampuh untuk memberikan efek jera kepada para pembakar.
Ketiga, kendati peraturan desa itu ampuh, namun cakupannya hanya terbatas pada
administrasi desa dan tidak berdaya untuk menghukum perusahaan yang membakar
lahan. Belajar dari peraturan desa dan penegakannya, maka inilah beberapa
hal yang kiranya bisa ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat dan daerah agar
kebakaran tidak terus berulang setiap tahun. Pertama, partisipasi masyarakat
harus ditingkatkan terutama untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan di
lingkungannya dengan pelatihan dan penyediaan sarana dan prasarana untuk
memadamkan api. Kedua, kemitraan antara perusahaan dan masyarakat perlu dijalin
oleh pemerintah daerah agar tidak timbul konflik. Ketiga, memberlakukan
mekanisme denda kepada perusahaan yang wilayah konsesinya terbakar dengan
perhitungan denda per hektar. Sistem denda ini akan efektif karena efek jera
dan kecepatan pelaksanaannya dibandingkan upaya pidana atau perdata. Keempat,
pengembangan penelitian dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk menggantikan
metode pembakaran lahan. Kelima, bila metode membakar masih tetap menjadi
pilihan, maka harus terkendali dan diawasi dengan ketat agar tidak meluas.[115]
Masyarakat adat di
Indonesia memiliki peran penting dalam mengatasi perubahan iklim. Hutan-hutan
bagus banyak berada di wilayah adat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
mengidentifikasi dari 57 juta hektar kawasan hutan dikuasai masyarakat adat,
sekitar 40 juta hektar masih hutan alam sangat baik. Sedang dari peta wilayah
adat seluas 6,8 juta hektar yang diserahkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK), 65% masih hutan alam. Dalam pidato Presiden Joko Widodo di
COP21 Paris menyatakan jelas perlu pelibatan masyarakat, termasuk masyarakat
adat dalam mengatasi perubahan iklim. “Pidato ini memberi apresiasi terhadap
upaya-upaya yang selama ini dilakukan masyarakat adat dalam menjaga hutan-hutan
terbaik yang masih ada di wilayah adat.
Pelibatan masyarakat adat penting
dalam mengatasi perubahan iklim, dikuatkan dari penelitian yang menyebutkan
hutan adat dunia menyimpan 20% karbon dari hutan tropis dunia. Penelitian yang
rilis 30 November 2015 ini menyatakan, pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat
adat bisa memberikan kontribusi besar dalam memperlambat perubahan iklim. Menurut penelitian itu, melindungi
hutan tropis tanah adat dari pembukaan, pembakaran, pertambangan, penebangan
tidak lestari dan ancaman lain tak hanya penting mencegah kenaikan CO2 juga
untuk menjaga manfaat lingkungan lain. Kerusakan hutan bisa berdampak
lingkungan dan kesehatan langsung, seperti kabut asap dari kabakaran
hutan.“Masyarakat adat mempraktikkan cara hidup tradisional yang memiliki
dampak jauh lebih rendah terhadap hutan tropis. [116]
BAB
V
KESIMPULAN
DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Pada
dasarnya hutan di Indonesia terbagi atas 3 bagian sesuai dengan fungsi
pengelolaannya yakni hutan lindung, hutan konservasi dan hutan produksi.
Permasalahan hutan di Indonesia muncul ketika terjadi kebakaran yang berdampak
besar terhadap lingkungan hutan dan sekitarnya termasuk pencemaran udara berupa
kabut asap yang mengganggu kesehatan serta telah menjalar sampai ke Negara
negara tetangga, berbagai faktor penyebab terjadinya kebakaran seperti
pembukaan lahan dengan cara menggunakan api yakni dengan membakar dengan tidak
sesuai aturan sehingga menyebabkan api menjalar ke sekitar area yang dibakar
dan faktor-faktor lain baik dari konflik pembukaan lahan tanpa izin oleh
perusahaan , dan juga illegal loging
atau pembalakan liar yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab tanpa memperdulikan akibat yang ditimbulkan.
2. Pengelolaan
hutan khususnya hutan diperuntukkan untuk membuka lahan baru oleh masyarakat
adat terhadap hutan adat negara dalam hal ini telah mengakui keberadaan hutan
adat, dan pengolahan hutan adat diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat adat
untuk mengelola sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi MK
No 35 Thn 2013 tentang penegasan tanah negara dan tanah adat. Dengan
demikian maka pengelolaan hutan adat sepenuhnya diakui oleh negara. Terkait
dengan cara pengelolaan hutan dari segi kearifan lokal beberapa masyarakat adat
masih menggunakan api untuk membakar akan tetapi tetap memperhatikan nilai
nilai luhur adatnya. Dan beberapa suku menetapkan sanksi ketat bagi para
pembakar hutan yang tidak melaksanakan sesuai dengan prosedur adat
yang ditetapkan.
3. Peranan
pemerintah dan masyarakat dalam upaya menciptakan pelestarian lingkungan hidup
terhadap terjadinya kebakaran hutan berupa mengadakan pencegahan dan
penanggulangan (pemadaman) melalui kegiatan penyuluhan dan menguatkan lembaga-lembaga
terkait dalam penanggulangan terjadi kebakaran hutan, selain itu Pemerintah
akan segera merevisi Undang-Undang lingkungan hidup khususnya pasal 69 ayat 2
tentang pembakaran lahan sesuai dengan kearifan lokal yang dianggap menjadi
celah hukum terjadinya pembakaran hutan selain itu Peran serta masyarakat untuk
mencegah terjadinya bencana kebakaran lahan dan hutan dimulai dari tingkat desa.
Di dalam peraturan desa tersebut diatur dengan jelas dan tegas, bahwa setiap
warga masyarakat yang membakar lahan tanpa terkendali dan mengakibatkan
kebun/ladang tetangga ikut terbakar akan dikenakan sanksi, selain itu Peran
masyarakat adat sangat penting karena hutan yang masih asri berada dikawasan
hutan adat, oleh karena itu keikutsertaan masyarakat adat dalam melestarikan
lingkungan khususnya hutan sangat penting.
SARAN
1. Dalam
pelestarian hutan harus menjadi perhatian pemerintah dalam hal pengamanan dan
izin pengelolaan khususnya hutan lindung sebab ekosistem dalam hutan lindung
terdiri dari berbagai keanekaragaman hayati dan hewani yang harus dilindungi,
Pengelolaan hutan sebagai hutan konservasi dan hutan produksi juga harus di
perhatikan pemerintah khususnya dalam hal penebangan hutan dan cara membuka
lahan, Sebaiknya pemerintah membuat sebuah kegiatan penyuluhan terhadap cara
pengelolaan hutan baik kepada instansi perusahaan maupun masyarakat khususnya
dalam membuka lahan agar cara pengelolaan hutan tidak sampai berakibat pada
kebakaran hutan yang meluas terjadi di Indonesia.
2. Bentuk
pengelolaan hutan oleh masyarakat adat perlu ada regulasi khususnya dalam hal
pengelolaan hutan atau lahan dengan cara membakar yang dibuat oleh pemerintah,
regulasi ini berguna untuk mengharmonisasikan kebudayaan masyarakat lokal
khususnya dalam pengelolaan lahan atau hutan dengan hukum yang mengatur tentang
pelestarian dan pengelolaan hutan dengan cara yang baik dan benar. Hal ini
menjadi penting karena saat terjadi kebakaran hutan bentuk kearifan lokal
khususnya dalam hal pengelolaan dengan cara membakar dengan hukum yang mengatur
tentang pelestarian lingkungan tidak saling bertentangan..
3. Perlunya
revisi terhadap undang-undang lingkungan
hidup khususnya pasal 69 ayat 2 tentang pembakaran lahan sesuai dengan kearifan
lokal yang dianggap menjadi celah hukum terjadinya pembakaran hutan, revisi ini
juga harus tetap menghormati dasar-dasar kebudayaan masyarakat adat hutan yang
sudah menjadi tradisi dan kebudayaan masyarakat yang menyangkut tata cara
mereka membuka lahan dan tata cara mereka membakar lahan, sebab masyarakat adat
juga memiliki hak untuk mengelola hutan adat dan hal ini perlu dilestarikan,
akan tetapi dengan tetap memperhatikan pelestarian dan perlindungan terhadap
lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
A.Buku
Adinugroho Wahyu catur, Panduan
pengendalian kebakaran hutan dan lahan gambut 2005
Arief,
Arifin, Hutan dan kehutanan,
Kanisus, Yogyakarta 2001
Barau, B. A. Kearifan Lokal Etnis Lokal Dalam Mendukung Kawasan Konservasi Taman
Nasional Lore Lindu. Studi Kasus Desa Katu, Kecamatan Lore Tengah Kabupaten
Donggala. Skripsi. Fakultas Kehutanan, Universitas Tadulako, Palu 2013,
Chokkalingan U, Kebakaran Lahan
Rawa/Gambut di Sumatera : Masalah dan Solusi. Palembang, 10-11 Desember
2003. Jakarta : CIFOR.
Echols, Jhon M dan Hassan Shadzily, Kamus
Inggris-Indonesia, Jakarta : PT Gramedia 1976
Erwin Muhamad, Hukum Lingkungan: Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan
Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2008
HS,
Salim, Dasar Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta: Sinar
Grafika, 2006
Hamdani, Fauzi,Pembangunan Hutan Berbasis
Kehuitanan Sosial, Karya Putra Darwati Bandung. 2013
Hidayat, Herman, Politik
lingkungan: pengelolaan hutan masa Orde
Baru dan reformasi , Edisi pertama Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
2008
Junaedi
A. 2010 Wanatani berbasis tanaman karet
klonal “ langkah menuju intenfikasi lahan “, di dalam sukmareni, editor. Catatan pendapingan Orang
Rimba menantang zaman komunitas Konservasi Indonesia Warsi. Jakarta : KKI
Warsi.
Khakim ,Abdul, Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia Dalam Era Otonomi Daera),
Cet.1,Bandung : PT Citra Aditya Bakti,2005
L, Syaufina,. Kebakaran
Hutan dan Lahan di Indonesia., Malang Bayumedia, 2008
Masykuri, Skripsi efektifitas hukum
penerapan undang undang no 41tahun 1999 tentang kehutanan terhadap penebangan
liar (ilegal logging) di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara Fakultas
Hukum Universitas Hasanurdin Makasar 2013
Manan, Bagir, Hukum
Positif Indonesia, FH UII PRESS: Yogyakarta________
Muhajir,Mumu, REDD
(Pengurangan emsisi dari deforestasi dan degradasi hutan)
di Indonesia, kemana akan melangkah studi tentang kebijakan pemerintah dan
keentatan sosial, HuMa Jakarta 2010
Pengtuluran, Yonathan, Manajemen
Sumber Daya alam dan Lingkungan, Yogyakarta Penerbit Andi 2015
Purnasari, Thesis Magister Universitas
Diponegoro Strategi pencegahan kebakaran Hutan berbasis Masyarakat ( Kajian
Biofisik, Ekonomi, Sosial dan Budaya Masyarakat Sekitar Kawasan Suaka
Margasatwa Padang Sugihan Di Provinsi Sumatera Selatan 2007
Rahardjo,
Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti__________
Rosadi,
Otong, Inkorporasi Prinsip Keadilan
Sosial dalam Pembentukan Undang-undang tentang Kehutanan dan Undang-undang
tentang Pertambangan Periode 1967-2009, Disertasi,Jakarta:Program
Pasca-sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
Santoso, I. Eksistensi Kearifan Lokal Pada
Petani Tepian Hutan dalam Memelihara Lingkungan Kelestarian Ekosistem
Sumberdaya Hutan 2009
Silas, Anton, Sinery Potensi dan Strategi
Pengelolaan Hutan Lindung, Yogyakarta Deepublish 2015
Sukardi,.Ileggal logging( dalam Perspektif
Papua),Cet.I,Yogyakarta 2005:Universitas Atma Jaya.
Sukardi. 2007. Pengendalian kebakaran lahan dan hutan, sebuah
pemikiran, teori, hasil praktek, dan pengalaman lapangan. Jakarta. Ditjen PHKA-
JICA
Sumantri 1997. Pencegahan
kebakaran hutan melalui peningkatan peran serta masyarakat sekitar kawasan
penyangga. Ditjen PHKA dan JICA. Bogor.
Suyanto, Kebakaran di Lahan Rawa/Gambut di Sumatera
: Masalah dan Solusi, penerbit Cifor Jakarta 2009
Siahaan, N.H.T.,Hukum Lingkungan dan Ekologi
Pembangunan, Jakarta ,PT Gelora Aksara Pratama 2004
Soemartono ,R.M. Gatot P, Hukum Lingkungan Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta, 1996
Suhendang ,Endang, Pengantar ilmu Kehutanan
Cet I Bogor, Badan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB 2002
S. Keraf, Etika
Lingkungan. Kompas Jakarta. 2006
Soekanto
Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum
Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke 11, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada 2009
Wijoyo
,Suparto, Hukum Lingkungan : Mengenal Instrumen Hukum Pengendalian Pencemaran
Udara di Indonesia, Surabaya : Airlangga University Press,2004
B.Artikel
Arianto, Jurnal Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako, Kearifan Masyarakat
Lokal dalam Pengelolaan hutan di desa Rano kecamatan Balaesang Tanjung
Kabupaten Donggala, Warta Rimba 2014
H, Kartidihardjo,Agraria Kehutanan: Kondisi,
Masalah-Akar Masalah, dan Rekomendasi. Makalah pada Diskusi Forum Ilmu
Pengelolaan Hutan, Fahutan IPB. Dramaga, Bogor, 22 Nopember 2014.
Moeliono, Moira Peneliti CIFOR , hutan adat dan
hutan desa Peluang dan kendala bagi masyarakat dalam mengelola hutan, diakses
dari media internet
http://wg-tenure.org/wp content/uploads/2013/05/Warta_Tenure_05f.pdf
pada tanggal 19 Maret 2016
Rasyid ,Fachmi Makalah persentasi Lokakarya
Regional Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) Provinsi Banten tanggal 10-11
November 2014 tentang Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan diakes melalui
media Internet http://juliwi.com/published/E0104/Paper0104_47-59.pdf
pada tanggal 15 Maret 2016
Setiawati, Tity Wahju, Hak,
Kewajiban dan Peranserta (Partisipasi) Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Artikel Media Hukum Vol IX No2 2009
Syaufina, Lailan, jurnal
IPB Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam
Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan(Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan
Ciptagelar Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten SukabumiPropinsi Jawa
Barat)
Wahyuni, Sustainable Forest Management In Indonesia’s Forest Law (Policy And
Institutional Framework).
Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. September 2014. Fakultas Hukum. Universitas
Jendral Soedirman.
Y, Maladi, Kajian Hukum Kritis Alih Fungsi
Lahan Hutan Berorientasi Kapitalis. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 1
Januari 2013. Fakultas Hukum. Universitas Jendral Soedirman.
C.Internet
Agus Sabahrani, MK Tegaskan hutan adat bukan milik negara,
masyarakat adat tetap berhak mengelola hutan adat, diakses dari www.hukumonline.com pada tanggal 19 Maret 2016
Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam
Menjaga Hutan, Menjamin Kelestarian Hutan Indonesia. Diakses dari
media Internet http://www.kompasiana.com/www.juniorabe.blogspot.com/kearifan-lokal-masyarakat-adat-dalam-menjaga-hutan-menjamin-kelestarian-hutan-indonesia_55205ad7813311297419f7cb pada tanggal 20 Maret 2016
Qandhi, F. F.. Pentingnya Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan lingkungan Di Pedesaan. http : / / fika fatia qandhi. wordpress. Com /
2012 / 05 / 07 / pentingnya – kearifan – lokal –masyarakat – dalam –
pengelolaan – sumberdaya – alam – dan – lingkungan – di – pedesaan /
Lisensi dan Perizinan Situs berita an
Informasi Lingkungan diakses melalui media internet
http://www.mongabay.co.id/lisensi-dan-perizinan/ pada tanggal 17 Maret 2016
Ilyas Asaad, Deputi Menteri Lingkungan
Hidup, bidang Penaatan lingkungan diakses dari media website http://green.kompasiana.com/iklim/2010/08/14/uu-pplh-no-32-tahun-2009-tonggak-baru-keberlanjutan-lh-225476.html pada tanggal 17 Maret 2016
BNPB :
Kebakaran Hutan 2015 Seluas 32 Wilayah DKI Jakarta Diakses dari www.cnnindonesia.comhttp://www.cnnindonesia.com/nasional/20151030133801-20-88437/bnpb-kebakaran-hutan-2015-seluas-32-wilayah-dki-jakarta/ diakses pada tanggal 13 Maret 2015
Pengertian
Hutan, Manfaat Hutan dan yang Mempengaruhi Persebaran Hutan, http://organisasi.org,
Diakses pada tanggal14 Maret 2016
Pengertian Hutan menurut para ahli Diakses dari media Internet www.pengertiaahli.com, diakses pada tanggal 14 Maret 2016
Pengertian Ekologi dan Pengertian Hutan diakses dari
www.pengertianpakar.com, diakses pada tanggal 14 Maret 2016
Hutan jenis dan manfaatnya diakses dari
Website Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat dishut.jabarprov.go.id/images/.../hutan-jenis-hutan-dan-manfaatnya.doc
diakses pada tanggal 15 Maret 2016
Bambang Hero Saharjono dan Lailan
Syaufina seminar Kebakaran hutan dan lahan gambut diakses dari
http://www.cifor.org/ipn-toolbox/wp-content/uploads/pdf/C3.pdf (Center for International Forestry Research) diakses pada tanggal 15
Maret 2016
Fachmi
Rasyid, Jurnal Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan, diakses dari
http://juliwi.com/published/E0104/Paper0104_47-59.pdf pada tanggal 15 Maret
2016
BNPB catat Kerugian Akibat Kebakaran
Hutan 2015 Rp 221 Triliun.Diakses dari media internet http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/12/20/nzms82359-bnpb-catat-kerugian-akibat-kebakaran-hutan-2015-rp-221-triliun
Diakses pada tanggal 15 Maret 2016
Joko Ariwibowo, Asas dalam peraturan perundang
undangan diakses dari media Internet http://jokopas.blogspot.co.id/2013/09/asas-asas-dalam-peraturan-perundang.html
pada tanggal 16 Maret 2016
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabinet Kerja Jokowi diakses
dari media internet http://www.tfcasumatera.org/siti-nurbaya-menteri-kehutanan-dan-lingkungan-hidup-kabinet-kerja-jokowi/
pada tanggal 16 Maret 2016
Laode M Syarif, Sinergi Lingkungan Kehutanan
diakses dari media internet
http://www.kemitraan.or.id/id/blog-partnership/sinergi-lingkungan-kehutanan
pada tanggal 16 Maret 2016
Kebakaran Hutan, diakses dari
media internet
https://jurnalbumi.com/kebakaran-hutan/ pada tanggal 18 Maret 2016
Yohannie Linggasari, Komisi
IV DPRD Nilai UU Langgengkan masyarakat Bakar Hutan dikutip dari media
internet http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151022141335-20-86632/komisi-iv-dpr-nilai-uu-langgengkan-masyarakat-bakar-hutan/
pada tanggal 19 Maret 2016
Uni lubis, Ketika membakar lahan dianggap
kearifan lokal, diakses dari
media internet http://www.rappler.com/indonesia/106067-ketika-membakar-lahan-dianggap-kearifan-lokal
pada tanggal 19 Maret 2016
Maqdalena. Peran Hukum dalam pengelolaan dan
Perlindungan hutan Di Desa Sesaot, nusa Tenggara Barat dan Desa Setulang
Kalimantan Timur. Jurnal. Nababan. A. 2003, Pengelolaan Sumberdaya Alam
Berbasis Masyarakat. http : / / www. ulayat. or .id / artikel / pengelolaan –
sumberdaya – alam – berbasis – masyarakat – adat / 2013
Kementerian lingkungan Hidup Republik
Indonesia, Soal Kebakaran hutan diakses melalui media internet
http://www.menlh.go.id/soal-kebakaran-hutan/ pada tanggal 20 Maret 2015
Masyarakat
dalam Penanggulangan Bencana Asap diakses
dari website www.bnpb.co.id http://www.bnpb.go.id/berita/2577/masyarakat-dalam-penanggulangan-bencana-asap pada tanggal 20 Maret 2016
Sapariah Saturi Perlibatan Masyarakat
Adat bisa jadi jurus ampuh atasi perubahan iklim diakses dari
media internet
http://www.mongabay.co.id/2015/12/06/pelibatan-masyarakat-adat-bisa-jadi-jurus-ampuh-atasi-perubahan-iklim/
pada tanggal 20 Maret 2016
D.Undang undang
Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan hidup Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 tentang upaya perlindungan dan
pengelolaan lingungan hidup
Undang
undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang
undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 2014 Tentang Perkebunan
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun
2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan
Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan
Putusan
Putusan Pengadilan Negeri Tembilahan
Nomor 94/Pid.Sus/2014/PN.Tbh
Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam Perkara no 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar
[1]
Suyanto, Kebakaran di
Lahan Rawa/Gambut di Sumatera : Masalah dan Solusi, penerbit Cifor Jakarta 2009
hal 69
[2]
Proses dimana
kondisi lingkungan biosfisik berubah akibat aktivitas manusia terhadap suatu
lahan
[3]
Ibid hal 70
[4]
Suatu
fenomena perubahan iklim yang secara global yang diakibatkan karena memanasnya
suhu di permukaan air laut pasifik bagian timur.
[5]
Ibid hal 70
[6]
Lingkungan
hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
[7] Syaufina Syaufina,
Lailan, jurnal IPB Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pencegahan Kebakaran
Hutan dan Lahan(Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar Desa
Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten SukabumiPropinsi Jawa Barat) 2008.
[11] Sonor artinya nalak atau membiarkan atau tidak diurus,
sistem penanaman padi tradisional diarea rawa atau gambut.
[13] Chokkalingan et al. 2004. Pengelolaan api perubahan
sumber daya alam dan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat di areal
rawa/gambut-sumatera bagian selatan. Jakarta. CIFOR. Hlm 45-47.
[14] Sumantri 1997. Penjegahan kebakaran hutan melalui
peningkatan peran serta masyarakat sekitar kawasan penyangga. Ditjen PHKA dan
JICA. Bogor.
[25]
Emil Salim adalah tokoh lingkungan hidup internasional dan seorang ahli ekonomi
[48] Ibid hal 72
[55] Ilyas
Asaad, Deputi Menteri Lingkungan Hidup, bidang Penaatan lingkungan diakses dari
media website http://green.kompasiana.com/iklim/2010/08/14/uu-pplh-no-32-tahun-2009-tonggak-baru-keberlanjutan-lh-225476.html pada tanggal 17 Maret 2016
[85]
Maqdalena. Peran Hukum dalam pengelolaan dan Perlindungan hutan Di Desa Sesaot,
nusa Tenggara Barat dan Desa Setulang Kalimantan Timur. Jurnal. Nababan. A.
2003, Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat. http : / / www. ulayat.
or .id / artikel / pengelolaan – sumberdaya – alam – berbasis – masyarakat –
adat / 2013
[87] Qandhi,
F. F. 2012. Pentingnya Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan lingkungan Di Pedesaan. http : / / fika fatia qandhi. wordpress. Com /
2012 / 05 / 07 / pentingnya – kearifan – lokal –masyarakat – dalam –
pengelolaan – sumberdaya – alam – dan – lingkungan – di – pedesaan /
[92]
Agus Sabahrani, MK Tegaskan hutan adat
bukan milik negara, masyarakat adat tetap berhak mengelola hutan adat, diakses
dari www.hukumonline.com pada tanggal 19 Maret 2016
[103]
Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Menjaga Hutan, Menjamin Kelestarian Hutan
Indonesia. Diakses dari media Internet http://www.kompasiana.com/www.juniorabe.blogspot.com/kearifan-lokal-masyarakat-adat-dalam-menjaga-hutan-menjamin-kelestarian-hutan-indonesia_55205ad7813311297419f7cb pada tanggal 20 Maret 2016
[115] Masyarakat dalam Penanggulangan Bencana Asap diakses dari
website www.bnpb.co.id http://www.bnpb.go.id/berita/2577/masyarakat-dalam-penanggulangan-bencana-asap pada tanggal 20
Maret 2016
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Ebobet merupakan situs slot online via deposit pulsa aman dan terpercaya, Dengan menggunakan Satu User ID bisa bermain semua game dari Bola, Live Casino, Slot online, tembak ikan, poker, domino dan masih banyak yang lain.
BalasHapusSangat banyak bonus yang tersedia di ebobet di antaranya :
Bonus yang tersedia saat ini
Bonus new member Sportbook 100%
Bonus new member Slot 100%
Bonus new member Slot 50%
Bonus new member ALL Game 20%
Bonus Setiap hari 10%
Bonus Setiap kali 3%
Bonus mingguan Cashback 5%-10%
Bonus Mingguan Rollingan Live Casino 1%
Bonus bulanan sampai Ratusan Juta
Bonus Referral
Minimal deposit hanya 10ribu
EBOBET juga menyediakan berbagai layanan transaksi deposit dan withdraw Bank Lokal terlengkap Indonesia seperti Bank BCA - Bank BNI46 - Bank BRI - Bank Mandiri - Bank Danamon - Bank Cimb Niaga, OVO, Deposit via Ovo. Deposit via Dana, Deposit via Go Pay, Telkomsel dan XL.
Situs :EBOBET
WA : +855967598801