ANALISIS YURIDIS TENTANG PEMBAKARAN HUTAN DITINJAU DARI SEGI KEARIFAN LOKAL MENURUT UNDANG - UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP


BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
              Kebakaran hutan dan lahan adalah terbakarnya kawasan hutan/lahan baik dalam luasan yang besar maupun kecil. Kebakaran hutan dan lahan sering kali tidak terkendali dan bila ini terjadi maka api akan membakar apa saja didekatnya dan menjalar mengikuti arah angin. Penyebab kebakaran adalah interaksi dari tiga komponen yaitu manusia, iklim dan kondisi lahan. Pengelolaan Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat (PKBM) merupakan cara yang tepat dan adil dalam mencari solusi pengendalian kebakaran lahan dan hutan karena menempatkan masyarakat sebagai subyek faktor utama.[1] Sebagai contoh kebakaran yang sering terjadi terutama di Sumatera Selatan didalam skala nasional termasuk salah satu daerah yang sangat rawan terjadi kebakaran lahan dan hutan, karena itu selalu dipastikan terjadi kebakaran yang sangat parah pada setiap tahun di Indonesia.
              Kebakaran lahan dan hutan yang terjadi menyebabkan kerusakan sumber daya alam yang sangat hebat yang sangat sulit bagi kita dalam menghitung kerugiannya dengan tepat baik secara ekonomi maupun nilai lingkungan. Dampak kebakaran lahan dan hutan selain menyebabkan laju degradasi[2] hutan yang super cepat, juga membawa dampak negatif pada dimensi sosial budaya masyarakat. Selain itu juga dapat mengganggu hubungan baik dengan negara negara lain terutama yang terkena dampak langsung kebakaran yang ditimbulkan dari akumulasi asap yang mengalir memenuhi ruang udara negara lain.[3]
              Penyebab kebakaran disebabkan karena interaksi antara manusia, iklim dan kondisi lahan sebagai contoh lahan basah gambut yang luasnya meliputi sekitar 30 % wilayah provinsi Sumatera Selatan, Psisi geografis Sumatera Selatan pada zona tropis yang memiliki iklim yang ekstrim antara musim hujan dan kemarau dan terkadang diikuti fenomena alam El nino[4] dan Praktek penggunaan api masih menjadi kebiasaan/budaya dalam kegiatan perladangan (sonor), berburu, mencari ikan dan pengembalaan[5]
              Praktik penggunaan api yang tidak benar oleh masyarakat lokal menjadi salah satu faktor terjadinya kebakaran hutan selain itu praktik pembukaan lahan secara illegal dengan membakar hutan demi kepentingan pihak pihak tertentu juga menjadi penyebab kebakaran hutan yang sulit untuk segera ditanggulangi, Alat penegak hukum di Indonesia menjadi alat terakhir yang digunakan untuk memberikan sanksi dan meminta pertanggung jawaban terhadap pihak pihak terkait yang membakar hutan. Peraturan penegakan sanksi  diatur didalam Undang undang no 32 tahun 2009 tentang lingkungan hidup. Akan tetapi didalam undang undang No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup terdapat celah hukum yang mengindikasikan dapat terjadi kegiatan pembolehan untuk membakar hutan khususnya kepada masyarakat yang bermukim di daerah tersebut sesuai dengan kearifan lokal. Dalam Pasal 69 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan menyebutkan “Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas maksimal 2 Ha per Kepala Keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegahan penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Dengan adanya pasal 69 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan ini membuka celah hukum bagi para untuk lepas dari tanggung jawab terhadap terjadinya kebakaran hutan di Indonesia. Pada bab selanjutnya dalam skripsi ini akan dibahas lebih jauh sejauh mana cara pengelolaan hutan yang benar sesuai dengan undang undang lingkungan hidup, peran aktif masyarakat dan pemerintah dalam penanggulangan kebakaran hutan khususnya pengelolaan hutan saat masyarakat membuka lahan.
ANALISIS YURIDIS TENTANG PEMBAKARAN HUTAN  DITINJAU DARI SEGI KEARIFAN LOKAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN  HIDUP.
B.Rumusan Masalah
            Dari uraian latar belakang diatas diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana ruang lingkup  hutan di Indonesia?
2.    Bagaimana bentuk pengelolaan hutan ditinjau dari segi kearifan lokal menurut undang undang lingkungan hidup?
3.    Bagaimana upaya untuk menciptakan pelestarian lingkungan hidup terhadap pembakaran hutan yang marak terjadi di Indonesia?
C.Tujuan Penelitian
            Adapun yang menjadi tujuan dilakukannya penelitian adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui bagaimana ruang lingkup hutan terutama perlindungan hutan, pengelolaan hutan dan  sanksi yang diatur dalam undang undang lingkungan hidup.
2.    Untuk mengetahui bagaimana bentuk pengelolaan hutan ditinjau dari segi kearifan lokal menurut undang undang lingkungan hidup.
3.    Untuk mengetahui bagaimana upaya yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah untuk menanggulangi masalah kebakaran hutan di Indonesia.
D.Kegunaan Penelitian
            Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis yaitu :
1.    Secara teoritis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum khusus nya terutama dibidang hukum lingkungan hidup dan penerapan undang undang no 32 tahun 2009 tentang [6]lingkungan hidup khususnya menyangkut masalah pembolehan pembakaran hutan di Indonesia
2.    Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi penyempurnaan praktik dan memberikan pengetahuan kepada masyarakat/pihak-pihak yang berkepentingan untuk itu guna mengetahui larangan dan pencegahan pembakaran hutan yang merugikan masyarakat/ pihak pihak yang terkena langsung dampak dari pembakaran hutan tersebut.

E. Landasan Teori
            Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan dan lahan didefinisikan sebagai kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di kawasan hutan dan non-hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali.[7] Di Indonesia istilah inilah yang lebih sering didengar terkait dengan kejadian kebakaran hutan karena kebakaran tidak hanya terjadi di dalam hutan tapi juga di kawasan nonhutan. Saat ini 70% kebakaran terjadi di lahan (non-hutan) dan 30 % di kawasan hutan.[8]
            Factor penyebab terjadinya karhutla[9] dibagi menjadi faktor alam dan manusia. Di Indonesia, 99% factor penyebab kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh manusia baik disengaja maupun tidak disengaja.[10] Kesengajaan dilakukan terutama pada kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian perkebunan dan ahli fungsi lainnya. Dalam beberapa kasus, api juga digunakan dalam konflik lahan, misalnya api digunakan oleh perusahaan untuk mendesak petani pemilik lahan agar menerima ganti rugi dengan harga rendah atau digunakan oleh petani untuk membalas dendam terhadap perusahaan yang merugikam mereka dalam jual beli bahan. Penyiapan lahan dengan membakar yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan baik dalam sistem perladangan maupun perkebunan milik masyarakat. Dalam pertanian atau perladangan, kegiatan “sonor”[11] yang dilakukan masyarakat Sumatera Selatan dan Lampung, menggunakan api untuk membuka lahan yang akan ditanami padi rawa. Di Jambi sebagian besar pembukaan perkebunan karet dimulai dengan kegiatan pembersihan lahan dengan cara membakar baik di hutan primer maupun di hutan sekunder yang awalnya digunakan untuk pertanian atau perladangan.[12] Kegiatan masyarakat lainnya yang menggunakan api adalah kegiatan perikanan pencarian kayu dan sumber daya lahan basah lainnya.[13] Factor pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah penyimpangan iklim dan adanya sumber energy berupa kayu, gambut dan batubara (Sumantri 1997).[14] Perubahan iklim yang menyebabkan musim kemarau yang lebih 6  panjang, adanya gelombang panas, serta adanya kegiatan manusia yang menyebabkan mengeringnya lahan gambut dan rawa-rawa, misalnya penebangan hutan, pembuatan kanal, serta pembangunan perkebunan dalam skala besar memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Dengan demikian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia di pengaruhi oleh faktor manusia serta didorong juga kondisi alami berupa faktor iklim.

      

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pengertian Hutan

              Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan.[15] Dalam pengertian lebih spesifik hutan, Hutan merupakan suatu wilayah yang memiliki banyak tumbuh tumbuhan lebat yang berisi antara lain pohon, semak, paku-pakuan, rumput, jamur dan lain sebagainya serta menempati daerah yang cukup luas.[16]

              Menurut para ahli Pengertian hutan atau definisi hutan menurut seorang pakar kehutanan Dengler[17] adalah  sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas sehingga suhu, kelembaban, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh tumbuhan atau pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal)[18]
              Menurut Spurr,[19] hutan dianggap sebagai persekutuan antara tumbuhan dan binatang dalam suatu asosiasi biotis. Asosiasi ini bersama-sama dengan lingkungannya membentuk suatu sistem ekologis dimana organisme dan lingkungan saling berpengaruh di dalam suatu siklus energi yang kompleks.[20] Pengertian hutan bagi para ilmuan menjadi sangat bervariasi sesuai dengan spesifikasi ilmu. Misalnya ahli silvikur[21] akan memberikan pengertian hutan yang berbeda dengan ahli manajemen hutan atau ahli ekologi. Sedangkan menurut Undang Undang No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya yang tidak dapat dipisahkan. Jika ditelaah lebih dalam tentang beberapa pengertian atau defenisi hutan tersebut, maka di dalam pengertian hutan itu terkandung dan erat kaitannya dengan proses alam yang saling berhubungan. Hutan dipandang sebagai ekosistem alam karena hubungannya antara masyarakat tetumbuhan pembentuk hutan dengan binatang liar dan alam lingkungannya sangat erat. [22]
B.     Jenis dan Manfaat Hutan di Indonesia
A.    Jenis-Jenis Hutan di Indonesia Berdasarkan Iklim :[23]
1.      Hutan Hujan Tropika, adalah hutan yang terdapat didaerah tropis dengan curah hujan sangat tinggi. Hutan jenis ini sangat kaya akan flora dan fauna. Di kawasan ini keanekaragaman tumbuh-tumbuhan sangat tinggi. Luas hutan hujan tropika di Indonesia lebih kurang 66 juta hektar. Hutan hujan tropika berfungsi sebagai paru-paru dunia. Hutan hujan tropika terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
2.      Hutan Musim tumbuh didaerah yang mempunyai curah hujan cukup tinggi, tetapi mempunyai musim kemarau yang panjang. Pada musim kemarau, tumbuhan di hutan musim biasanya menggugurkan daunnya. Hutan musim biasanya mempunyai tumbuhan sejenis, misalnya hutan jati, hutan bambu, dan hutan kapuk. Hutan musim banyak terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
B.     Jenis-Jenis Hutan di Indonesia Berdasarkan Variasi Iklim, Jenis Tanah, dan Bentang Alam[24] :
1.      Kelompok Hutan Tropika :
a.       Hutan Hujan Pegunungan Tinggi
b.      Hutan Hujan Pegunungan Rendah
c.       Hutan Tropika Dataran Rendah
d.      Hutan Subalpin
e.       Hutan Pantai
f.       Hutan Mangrove
g.      Hutan Rawa
h.      Hutan Kerangas
i.        Hutan Batu Kapur
j.        Hutan pada batu Ultra Basik
2.      Kelompok Hutan Monsun
a.       Hutan Monsun Gugur Daun
b.      Hutan Monsun yang Selalu Hijau (evergreen)
c.       Sabana
C.     Jenis-Jenis Hutan di Indonesia Berdasarkan Terbentuknya
1.      Hutan alam, yaitu suatu lapangan yang bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya. Hutan alam juga disebut hutan primer, yaitu hutan yang terbentuk tanpa campur tangan manusia.
2.      Hutan buatan disebut hutan tanaman, yaitu hutan yang terbentuk karena campur tangan manusia.
D.    Jenis-Jenis Hutan di Indonesia Berdasarkan Statusnya
1.      Hutan negara, yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
2.      Hutan hak, yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hak atas tanah, misalnya hak milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), dan hak guna bangunan (HGB).
3.      Hutan adat, yaitu hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
E.     Jenis-Jenis Hutan di Indonesia Berdasarkan Jenis Tanamannya
1.      Hutan Homogen (Sejenis), yaitu hutan yang arealnya lebih dari 75 % ditutupi oleh satu jenis tumbuh-tumbuhan. Misalnya: hutan jati, hutan bambu, dan hutan pinus.
2.      Hutan Heterogen (Campuran), yaitu hutan yang terdiri atas bermacam-macam jenis tumbuhan.
F.      Jenis-Jenis Hutan di Indonesia Berdasarkan Fungsinya
1.      Hutan Lindung
Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan.
2.      Hutan Konservasi.
Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri atas :
a.       Hutan Suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan ekosistemnya serta berfungsi sebagai wilayah penyangga kehidupan. Kawasan hutan suaka alam terdiri atas cagar alam, suaka margasatwa dan Taman Buru.
b.      Kawasan Hutan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik didarat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam terdiri atas taman nasional, taman hutan raya (TAHURA) dan taman wisata alam.
3.      Hutan Produksi
Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya serta pembangunan, industri, dan ekspor pada khususnya. Hutan Produksi dibagi menjadi tiga, yaitu hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi tetap (HP), dan hutan produksi yang dapat dikonversikan (HPK).
Manfaat Hutan di Indonesia
              Menurut Emil Salim[25] mengklasifikasi manfaat hutan menjadi 2 yaitu manfaat langsung dan manfaat tidak langsung sebagai berikut : [26]
a.    Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat dirasakan/dinikmati secara langsung oleh masyarakat, yaitu masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan hasil hutan, antara lain kayu yang merupakan hasil hutan, serta berbagai hasil hutan seperti rotan, getah, buah buahan, madu dan hasil hutan lainnya.
b.    Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang tidak langsung dinikmati oleh masyarakat tetapi yang dapat dirasakan adalah keberadaan hutan itu sendiri. Misalnya hutan yang berperan sebagai pengatur tata air, hutan sebagai pencegah erosi, hutan juga dapat memberi manfaat pada kesehatan, pemberi rasa keindahan, serta dapat memberi manfaat di sektor pariwisata.
C.    Permasalahan kebakaran hutan di Indonesia
              Permasalahan kebakaran hutan di indonesia sulit untuk dijawab akan tetapi dalam hal ini dapat dilihat dari karakteristik kebakaran hutan dan akibatnya, sebagai contoh kebakaran hutan tahun 1982 sampai dengan 1983 dan kebakaran hutan 1997 sampai dengan 1998. Banyak studi sebelumnya yang melihat kebakaran hutan tahun 1982 sampai 1983 telah menghancurkan 3,7 juta hektar, dimana faktor utama penyebabnya adalah salah pengelolaan hutan, karena dua alasan : 1 kebakaran hutan paling banyak letaknya diarea konsesi[27] Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sekitar 70 % dan 20 % terletak di area peladangan berpindang dan 10 % di hutan primer; 2. Dan kurangnya inspeksi[28] dan sanksi yang tegas oleh aparat penegak hukum dan Departemen Kehutanan baik tingkat provinsi dan kabupaten bagi pemilik pemegang HPH yang melanggar peraturan. Kebakaran hutan tahun 1997- 1998 yang ditaksir kebakaran paling besar, telah merusak 5 juta hektar, penyebab utamanya adalah pembersihan lahan yang dilakukan oleh pemilik perkebunan, khususnya tanaman kelapa sawit di hutan konversi. Menurut investigasi Walhi[29], pemilik perkebunan mendorong pembakaran hutan secara sistematik tahun 1997- 1998, ini terjadi karena kebijakan pertanian, bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit adalah target utama di masa depan. Ludwig Scrindler, peneliti dari Jerman, mengkritisi kebakaran hutan di Indonesia. Dia mengatakan bahwa kebakaran hutan di sebabkan oleh kesalahan manusia sekitar 99%.[30]  Permasalahan hutan di Indonesia dapat dikatakan telah mengalami kondisi darurat di tambah lagi kebakaran yang terjadi pada tahun 2016 ini yang terjadi di sejumlah titik seperti di Palembang dan Kalimantan.
D.    Penyebab terjadinya kebakaran hutan
              Sampai saat ini hasil kajian tentang penyebab kebakaran menunjukkan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di  Indonesia disebabkan oleh penyebab langsung yaitu:
1.    Api  digunakan dalam pembukaan  lahan.
2.    Api digunakan sebagai senjata dalam permasalahan konflik tanah.
3.    Api menyebar secara tidak sengaja.
4.    Api yang berkaitan dengan ekstraksi sumber daya  alam.
              Sedangkan penyebab tidak langsung terdiri dari:[31]
1.    Penguasaan lahan.
2.    Alokasi penggunaan lahan.
3.    Degradasi hutan dan lahan.
Setelah hutan ditebang dan dimanfaatkan kayunya maka tindakan selanjutnya adalah pemanfaatan lahan bekas ditebang tersebut dengan pembakaran.
4.    Dampak dari perubahan karakteristik kependudukan.
5.    Lemahnya kapasitas kelembagaan.
Selain penyebab diatas ada juga Faktor sosial budaya masyarakat mempunyai andil yang paling besar terhadap adanya kebakaran hutan seperti:[32]
1.    Kegiatan pembalakan liar atau illegal logging lebih banyak menghasilkan lahan-lahan kritis dengan  tingkat kerawanan kebakaran yang tinggi.
2.    Kehidupan masyarakat sekitar kawasan hutan tidak lepas dari ternak dan penggembalaan. Ternak terutama sapi menjadi salah satu bentuk usaha sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kebutuhan akan HMT dan areal penggembalaan merupakan salah satu hal yang harus dipenuhi.
3.    Faktor lain yang tidak kalah pentingnya sebagai agen penyebab kebakaran hutan adalah migrasi penduduk dalam kawasan hutan (perambah hutan).
4.    Sebab lain yang bisa menjadi pemicu terjadinya kebakaran adalah faktor kurangnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya api. Biasanya bentuk kegiatan yang menjadi penyebab adalah ketidaksengajaan dari pelaku.

E.     Dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan.
Dikelompokkan dari dampak yang ditimbulkan secara langsung terhadap hutan adalah sebagai berikut:
Dampak kebakaran terhadap vegetasi dapat dikelompokkan menjadi 3 kelas, yaitu:[33]
1.    Terbakar ringan :
2.    Terbakar sedang :.
3.    Terbakar berat :
Berdasarkan dampak terhadap tanah, kebakaran gambut dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelas yaitu :
1.    Terbakar ringan : jika lapisan gambut yang terbakar sampai kedalaman 25 cm.
2.    Terbakar sedang : jika lapisan gambut yang terbakar sampai kedalaman 25 sampai dengan 50 cm.
3.    Terbakar berat : jika lapisan gambut yang terbakar sampai dengan kedalaman 50 cm.
              Sedangkan dampak terhadap kualitas udara, kebakaran lahan gambut menyebabkan buruknya kualitas udara yang ditunjukkan oleh indeks Standar Kualitas Udara ( ISPU) yang merupakan intergrasi dari kandungan beberapa senyawa seperti : PM10, SO2, CO, O3 DAN NO2. Kualitas udara dikatakan baik jika nilai ISPUnya kurang dari 100 dan dikatakan dalam kondisi yang berbahaya bila nilai ISPUnya lebih dari 300. Selain dampak diatas paling utama adalah dampak kabut asap yang menyelimuti kawasan regional ASEAN.[34]










BAB III
METODE PENELITIAN  
A.    Lokasi Penelitian
Penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian di perpustakaan dan sumber-sumber buku lainnya.
B.     Jenis Data
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data primer dan data skunder. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)      Data Primer
Data primer adalah data yang selain diperoleh langsung dari risponden melalui teknik wawancara juga termasuk data-data berupa dokumen yang dikeluarkan oleh instansi yang belum dianalisis/diinterprestasikan oleh peneliti lain.
2)      Data Sekunder
Data sekunder meliputi arsip dokumen, catatan dan sebagainya yang berhubungan dengn  masalah penelitian.
C.    Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah pemecahan dalam proses pembuktian dengan menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan splitsing dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan diatas.
Kegiatan penelitian yang dilakukan penulis adalah kegiatan penelitian kepustakaan sekaligus penelitian lapangan karena penelitian ini tidak hanya mempelajari materi kepustakaan yang berupa literatur, buku-buku, tulisan dan makalah tentang pemecahan dalam proses pembuktian, akan tetapi dilakukan juga pengambilan data langsung dilapangan.
D.    Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat yuridis normatif dan empiris, artinya penelitian yang di lakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian melalui literatur-literatur, buku-buku dan peraturan perundang-undangan yang mendukung penulisan skripsi ini. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada[35]Secara empiris maksudnya ialah penelitian yang dilakukan dengan mengamati penyebab terjadinya kebakaran hutan di Indonesia dan pembolehan pembakaran lahan yang diatur dalam Undang Undang Lingkungan Hidup. Sedangkan data yang diperoleh melalui data primer dan data sekunder yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.Dengan demikian, metode penelitian dalam rangka pengumpulan data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini adalah :
1.    Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Metode ini dilakukan dengan penelitian atas literatur-literatur, buku-buku dan peraturan perundang-undangan  serta  sumber-sumber  lainnya  yang berhubungan dengan penyusunan skripsi ini yang sifatnya teoritis, baik itu data primer maupun data sekunder.
2.    Penelitian Observasi (Observation Research)
Metode ini dilakukan dengan cara pengumpulan data melalui observasi, yaitu proses pengamatan dalam penelitian yang dilakukan secara langsung, di mana peneliti melihat langsung informasi atau keterangan-keterangan dan studi dokumen, yaitu dengan menelaah buku-buku, artikel dan dokumen yang berhubungan langsung dengan masalah yang diteliti.
Data-data yang diperoleh tadi, baik yang diperoleh melalui library research maupun observation research kemudian dianalisis secara kualitatif.
E.     Sistematika Penelitian
Untuk lebih memahami dan lebih mudah menelaah pokok bahasan dalam skripsi ini, maka penulis menyusun tulisan ini secara sistematis. Keseluruhan bagian yang sistematis ini berupa satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya, di mana di dalamnya terdiri dari 4 (empat) bab dan masing-masing bab dibagi lagi atas beberapa sub bab yaitu :
Bab I                   :    Pendahuluan
                                 Yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penilitian, kegunaan penelitian landasan teori.
Bab II                  :    Tinjauan Pustaka
Yang terdiri dari pengertian hutan, jenis dan manfaat hutan di Indonesia permasalahan kebakaran hutan di Indonesia, penyebab terjadinya kebakaran hutan, dampak yang ditimbulkan dari kebakaran.
Bab III                 :    Metode Penelitian
Yang terdiri dari lokasi penelitian, jenis data, spesifikasi peneliti, metode penelitian, sistematika penulisan. .
Bab IV                :     Hasil Penelitian atau Pembahasan

Yang terdiri dari sejarah hukum undang-undang dan pengelolaan lingkungan hidup, ahli fungsi hutan untuk pengelolaan, mekanisme, perizinan untuk membuka lahan baru, pengelolaan hutan menurut undang-undang lingkungan hidup, hak kewajiban dan larangan terhadap pembakaran hutan, pengolaan hutan untuk membuka lahan sesuai dengan prosedur, pengelolaan hutan dari segi kearifan local masyarakat setempat upaya pelestarian lingkungan hidup terhadap pembakaran hutan.   
BAB V                :    Kesimpulan dan Saran







BAB IV

HASIL PENELITIAN ATAU PEMBAHASAN

Peranan dunia secara global terhadap perkembangan asas pengelolaan lingkungan dan pembangunan sangat penting arti nya bagi pengembangan hukum, baik secara Internasional maupun Nasional. Berbagai negara telah menerapkan sistem yang dirumuskan dalam konfrensi internasional mengenai lingkungan hidup dan mengadopsinya sebagai bagian dari sistem hukum mereka. Konfrensi internasional seperti Konfrensi lingkungan hidup di Stockholm pada tahun 1972, kemudian di Rio de Janeiro pada tahun 1992 dan di Johannesburg pada tahun 2002.[36]Dari Konfrensi tersebut melahirkan prinsip prinsip yang menjadi dasar asas pengelolan dan pembangunan lingkungan hidup.
            Di Indonesia terdapat 14 asas pengelolaan lingkungan hidup dituangkan dalam Undang-Undang pengelolaan lingkungan hidup  beberapa diantaranya yakni:[37]
1.    Asas tanggung jawab negara merupakan perwujudan dari prinsip negara sebagai organisasi yang berkewajiban melindungi warga negara atau penduduknya, teritorialnya, an semua kekayaan alam serta harta benda dari negara dan penduduknya. Asas ini relevan dengan pendapat pakar politik negara, Adolf  Markel, yang menyatakan bahwa segala yang berbau kepentingan umum harus dilindungi dan dijamin secara hukum oleh negara. Dengan demikian, melalui asas ini di satu sisi negara menjamin bahwa pemanfaatan sumber alam memberikan manfaat optimal kepada publik diikuti kualitas kehidupan yang baik ( life quality), sementara di sisi lain negara berkuasa untuk melakukan tindakan tindakan preventif dan represif terhadap aktivitas yang merugikan lingkungan , individu serta masyarakat dan penduduknya.

2.    Asas berkelanjutan yang Penjelasan Pasal 3 disebut dengan istilah Asas Keberlanjutan” mengandung makna bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, serta terhadap sesamanya dalam satu generasi. Asas berkelanjutan (substainable principle) diatas kita adopsi dari prinsip ekologi pembangunan berkelanjutan (environmental sustainable development) yang dihasilkan oleh KTT Rio.
3.    Asas manfaat mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Pengertian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah sebagai upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu generasi kini serta generasi mendatang. Istilah pembangunan berkelanjutan dipakai secara beragam.
4.    Asas keserasian dan keseimbangan adalah bahwa pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem.[38]
5.    Asas keterpaduan adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau mensinergikan berbagai komponen terkait.
6.    Asas kehati-hatian adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
7.    Asas keadilan adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender.
8.     Asas ekoregion adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal.
9.    Asas keanekaragaman hayati adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk mempertahankan keberadaan, keragaman,    dan keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri atas sumber daya alam nabati dan sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
10.     Asas pencemar membayar adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan.
11.     Asas partisipasi adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung.
12.     Asas kearifan lokal adalah bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
13.     Asas tata kelola pemerintahan yang baik adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.
14.     Asas otonomi daerah adalah bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

              Asas Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia tidak terlepas dari Undang-Undang lingkungan hidup di Indonesia, Asas dan Undang undang menjadi 2 hal yang tidak dapat dipisahkan. Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan bertindak. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berarti dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Kata asas adalah prinsip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan bertindak. [39] Mengenai asas hukum relevan dikemukakan pandangan Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa asas hukum merupakan ‘jantungnya’ peraturan hukum. Menurut Satjipto Rahardjo[40], asas hukum disebut jantungnya peraturan hukum karena dua alasan. Pertama, karena asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Kedua, merupakan alasan bagi lahirnya peraturan hukum, atau ratio legis dari peraturan hukum. Asas hukum tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya. Asas hukum sebagai suatu sarana yang membuat hukum hidup, tumbuh dan berkembang. Dengan adanya asas hukum, menyebabkan hukum tidak sekedar kumpulan peraturan, karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis. Sementara B Arief Sidharta menyebut bahwa asas hukum lebih merupakan nilai, sebagai nilai maka fungsi asas hukum, adalah: (1) sebagai norma kritis untuk menilai kualitas dari aturan hukum yang seharusnya merupakan penjabaran nilai tersebut dan (2) sebagai sarana bantu untuk mengintepretasikan aturan yang bersangkutan yaitu untuk menetapkan ruang lingkup wilayah penerapan ketentuan undang-undang yang bersangkutan.[41] Oleh karena itu antara Undang-Undang Lingkungan Hidup tidak dapat terpisah dengan asas yang mencerminkan Undang- undang itu sendiri. Mengenal asas yang terdapat dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup tidak terlepas dari sejarah pembentukan asas yang melahirkan Undang undang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup seperti hal nya sejarah konfrensi Internasional yang menghasilkan asas-asas lingkungan hidup kemudian dipedomani sebagai dasar yang terdapat dalam hukum positif. Demikian juga halnya terhadap pembentukan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup juga tidak terlepas dari tonggak sejarah Pembentukan Undang-Undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
A. Sejarah Hukum Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup
              Telah dijelaskan sebelumnya mengenai dampak dan akibat terjadinya kebakaran hutan di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh manusia itu sendiri dalam mengolah lingkungan hidup khususnya terjadi pembakaran hutan di Indonesia. Upaya penegakan hukum pada kasus kebakaran hutan di Indonesia dalam hal ini mengacu pada sanksi yang dikenakan dengan dasar hukum yang mengatur tentang hutan yakni:
1.    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
                   Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah sebagai berikut:
a.         Ketentuan umum (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
b.        Asas, tujuan, dan ruang lingkup (Pasal 2 sampai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
c.         Perencanaan ( Pasal 5 sampai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
d.        Pemanfaatan ( Pasal 12 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
e.         Pengendalian ( Pasal 13 sampai dengan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
f.         Pemeliharaan ( Pasal 57 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
g.        Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun serta limbah bahan berbahaya dan beracun (Pasal 58 sampai dengan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
h.        Sistem informasi ( Pasal 62 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
i.          Tugas dan wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pasal 63 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
j.          Hak, kewajiban, dan larangan (Pasal 65 sampai dengan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
k.        Peran masyarakat (Pasal 70 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
l.          Pengawasan dan sanksi administratif (Pasal 71 sampai dengan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
m.      Penyelesaian sengketa lingkungan (Pasal 84 sampai dengan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
n.        Penyidikan dan pembuktian (Pasal 94 sampai dengan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
o.        Ketentuan pidana (Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
p.        Ketentuan peralihan (Pasal 121 sampai dengan Pasal 123 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009);
q.        Ketentuan penutup (Pasal 124 sampai dengan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009).

2.    Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 ini merupakan salah satu peraturan perundang-undangan kehutanan yang dibuat pada era reformasi. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 ini merupakan ketentuan hukum yang mengantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967.
              Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan adalah sebagai berikut:
a.    Ketentuan umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
b.    Status dan fungsi hutan (Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
c.    Pengurusan hutan (Pasal 10 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
d.   Perencanaan kehutanan (Pasal 11 sampai dengan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
e.    Pengelolaan hutan (Pasal 21 sampai dengan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
f.     Penelitian dan pengembangan, pendidikan, dan latihan serta penyuluhan kehutanan (Pasal 52 sampai dengan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
g.    Penyerahan kewenangan (Pasal 66 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
h.    Masyarakat hukum adat (Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
i.      Peran serta masyarakat (Pasal 68 sampai dengan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
j.      Gugatan perwakilan (Pasal 71 sampai dengan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
k.    Penyelesaian sengketa kehutanan (Pasal 74 sampai dengan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
l.      Penyidikan (Pasal 77 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
m.  Ketentuan pidana (Pasal 78 sampai dengan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
n.    Ganti rugi dan sanksi administratif (Pasal 80 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
o.    Ketentuan peralihan (Pasal 81 sampai dengan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999);
p.    Ketentuan penutup (Pasal 83 sampai dengan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999).

              Sanksi atau hukuman pidana atas kejahatan ( tindakan pidana ) bidang kehutanan sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tidak ada diatur, sehingga tidak ada sanksi pidana yang dapat diterapkan kepada para pelaku yang melanggar ketentuan yang berkaitan dengan kehutanan. Setelah muncul peraturan baru menyangkut hutan dan kehutanan, yakni Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, segala jenis sanksi pidana bagi oknum- oknum atau pelaku pidana telah diatur di dalamnya. Hal-hal yang baru itu adalah seperti gugatan perwakilan (class action), yaitu gugatan yang diajukan oleh masyarakat ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat; penyelesaian sengketa kehutanan, ketentuan pidana; ganti rugi dan sanksi administrasi. Apabila di dalam ketentuan khusus tidak mengatur tentang persoalan yang terjadi di bidang kehutanan, sedangkan persoalan mendesak untuk ditangani, maka yang diberlakukan adalah Undang-Undang yang bersifat umum. Misalnya, dalam audit hutan maka aturan yang diterapkan adalah ketentuan Pasal 48 sampai dengan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini disebabkan dalam aturan UU Nomor 41 Tahun 1999 tidak mengatur tentang audit lingkungan hidup.[42]
              Hal tersebut diatas sejalan dengan Prinsip asas lex specialis derogat legi generalis. Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Hukum Positif Indonesia. ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu:[43]   
1.    Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
2.    Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);
3.    Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis.
              Sebelum memahami ruang lingkup sejarah Hukum lingkungan perlu terlebih dahulu mendudukkan sinergi hutan yakni antara undang undang lingkungan hidup dan undang undang kehutanan.
              Pada dasarnya Undang-Undang Perlindungan hidup dan pengelolaan lingkungan hidup dan Undang-Undang kehutanan merupakan dua undang undang yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Seperti yang diketahui bahwa Kementerian kabinet kerja Jokowi dengan menggabungkan  Kehutanan dan Lingkungan hidup.[44]
              Kementerian Kehutanan dominan mengatur ”Pemanfaatan Hutan”, sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup lebih fokus pada perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup. Cakupan Kemenhut juga terbatas pada isu hutan dan kegiatan yang dilakukan dalam hutan, sedangkan cakupan KLH lebih luas, menjangkau hutan, tambang, laut, sungai, udara, bahkan industri dan seluruh pencemaran yang timbul dari kegiatan manusia. Namun, tak berarti keduanya tak memiliki ”titik taut” satu sama lain. Kemenhut sejak awal juga dibentuk untuk memastikan bahwa dalam ”pemanfaatan hutan dan hasil hutan” harus memperhatikan aneka fungsi hutan, seperti fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi, untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari. Semua itu sangat erat korelasinya dengan fungsi yang dikerjakan oleh KLH walaupun konteksnya melampaui isu hutan (beyond forestry). Titik taut lain adalah dalam memastikan penaatan (compliance) atas aturan dan standar lingkungan yang telah ditetapkan dalam regulasi. Kemenhut berkewajiban memastikan semua pemegang izin usaha sektor kehutanan menjalankan semua persyaratan izin serta wajib melakukan penegakan hukum pada pemegang izin dan masyarakat yang merusak kawasan hutan. Kewenangan ini juga dimiliki KLH, bahkan Kemenhut dan KLH dalam kerangka hukum yang ada sekarang dapat bekerja sama dalam penegakan hukum kehutanan dan lingkungan. Contoh, dalam kasus pembakaran hutan dan penebangan liar, kedua instansi seharusnya bekerja sama dalam penegakan hukumnya meski selama ini tak akur dalam menjalankan fungsi penegakan hukum ini.[45]
              Oleh dasar penjelasan diatas maka pada pembahasan berikutnya perlu didudukkan bahwa sinergi atau hubungan hukum antara Hukum Lingkungan dan Kehutanan adalah sama terlebih lagi permasalahan kebakaran hutan diatur dalam Undang-undang Lingkungan hidup dan Undang-Undang Kehutanan yang diatur mengenai pengelolaan dan sanksi terhadap pembakaran hutan.
              Perkembangan yang berarti yang bersifat universal dan menjalar keseluruh pelosok dunia dalam bidang peraturan perundang-undangan lingkungan hidup terjadi setelah adanya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia Stockholm, Swedia pada tanggal 5-16 Juni 1972. Konferensi ini lahir mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup seluruh makhluk di dunia. Konferensi ini dihadiri 113 negara dan beberapa puluh peninjau[46] serta mensahkan hasil-hasilnya berupa:[47]
1.    Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia, terdiri atas:    Preamble dan 26 asas yang lazim disebut Stockholm Declaration.
2.  Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (Action Plan), terdiri dari 109 rekomendasi termasuk di dalamnya 18 rekomendasi tentang Perencanaan dan Pengelolaan Pemukiman Manusia.
3.    Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang pelaksanaan Rencana Aksi tersebut, yang terdiri dari:
a.    Dewan Pengurus (Govering Council) Program Lingkungan Hidup (UN Environment Programme = UNP);
b.    Sekretariat, yang dikepalai oleh seorang Direktur Eksekutif;
c.    Dana Lingkungan Hidup;
d.   Badan Koordinasi Lingkungan Hidup;
e.    Resolusi khusus bahwa menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Dunia.
       Konferensi ini menggugah semangat bangsa-bangsa di dunia untuk memberikan perhatian lebih pada permasalahan lingkungan hidup, termasuk Indonesia yang memulai penanganan secara langsung terhadap pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup.
Ada beberapa alasan perlunya dibuat suatu undang-undang yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup secara lengkap, yakni:
1.    Telah banyak dikeluarkan peraturan yang mengatur tentang lingkungan hidup oleh Pemerintah Kolonial Belanda maupun Pemerintah Republik Indonesia yang masih bersifat sektoral, tersebar dan tidak lengkap, serta banyak yang tidak dapat dijalankan karena sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip lingkungan hidup yang dikembangkan saat ini.[48]
2.    Adanya petunjuk dalam Repelita III, Bab 7 tentang “Sumber Alam dan Lingkungan Hidup” yang mengisyaratkan untuk segera membuat suatu undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok tentang masalah lingkungan.
3.    Indonesia sedang memasuki tahap industrialisasi bersamaan dengan peningkatan pengembangan pertanian, dimana perkembangan kesadaran lingkungan sudah meningkat di kalangan produsen selaku “perusak lingkungan potensial” dan dikalangan konsumen selaku “penderita kerusakan potensial”.[49]
              Dari alasan tersebutlah kemudian Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) menyusun RUU Lingkungan Hidup, dimana diletakkan landasan hukum bagi penggalian kembali lingkungan hidup untuk dikelola bagi kesejahteraan generasi kini dan nanti sepanjang masa.[50] Akhirnya pada tanggal 11 Maret 1982, disahkanlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
              Kemudian tepatnya tanggal 21 Desember 1990 dilaksanakan Konferensi Rio de Janeiro. Konferensi ini diadakan dalam rangka pelaksanaan resolusi Sidang Umum PBB No. 45/211 tertanggal 21 Desember 1990 dan Keputusan No. 46/468 tertanggal 13 April 1992. Konferensi ini dinamakan United Nations Coference on Environment Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) dan dilaksanakan di Rio de Janeiro pada tanggal 3-14 Juni 1992.
              Dari Konferensi Rio dapat deperoleh dua hasil utama:[51]
1.    Rio telah mengaitkan dengan sangat erat dua pengertian kunci yaitu pembangunan seluruh bumi dan perlindungan lingkungan.
2.    Bahwa jalan yang dilalui kini telah diterangi oleh penerang baru, yaitu semangat Rio, yang meliputi tiga dimensi, yaitu dimensi intelektual, ekonomi, dan politik.
Dimensi intelektual merupakan pengakuan bahwa planet bumi adalah suatu perangkat luas tentang ketergantungan satu dengan yang lain. Lalu dimensi ekonomi merupakan pengakuan bahwa pembangunan berlebih atau pembangunan yang kurang menyebabkan keprihatinan yang sama, yaitu kedua-duanya secara bertahap perlu diganti dengan pembangunan seluruh bumi. Kemudian dimensi politik adalah adanya kesadaran yang jelas tentang kewajiban politik, kewajiban untuk jangka panjang.[52]
KTT Rio juga menghasilkan apa yang disebut “Agenda 21”, yang pada dasarnya menggambarkan kerangka kerja dari suatu rencana kerja yang disepakati oleh masyarakat internasional, yang bertujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan pada awal abad ke-21.[53]
Konferensi Rio juga mengilhami pemerintah RI untuk mengubah UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup menjadi UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disahkan pada tanggal 19 September 1997. Yang menjadi pertimbangan perubahan ini adalah karena kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang sedemikian rupa sehingga perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.[54]
RUU PLH yang dihasilkan DPR telah mengalami perubahan dan penyempurnaan yang cukup substansial dibanding RUU yang diajukan oleh pemerintah (Presiden). Perubahan tersebut tidak hanya dari jumlah pasalnya saja, dari 45 menjadi 52, namun juga beberapa hal prinsip seperti perubahan pada pasal kelembagaan, termasuk kewenangan Menteri Lingkungan, impor B3, hak-hak prosedural seperti hak gugat organisasi lingkungan, dan pencantuman dasar hukum bagi gugatan perwakilan (representative action).
UU No 23 tahun 1997 dianggap memiliki banyak kelemahan terutama dalam hal penanganan kasus sengketa lingkungan hidup pada kala itu. Jika ditelusuri lebih jauh, setidaknya tiga masalah mendasar yang terlupakan dalam UU 23 tahun 1997, yakni:[55]
1.    Persoalan subtansial yang berkaitan dengan; pendekatan atur dan awasi (command and control) AMDAL maupun perizinan; lemahnya regulasi audit lingkungan; belum dijadikannya AMDAL sebagai persyaratan izin dan tidak tegasnya sanksi bagi pelanggaran Amdal; penormaan yang multi tafsir; lemahnya kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Pegawai Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH); delik pidana yang belum mengatur hukuman minimum; multi tafsir soal asas subsidiaritas dan belum adanya regulasi aturan yang spesifik yang berhubungan dengan perubahan iklim dan pemanasan global.
2.    Masalah struktural yaitu berhubungan dengan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang belum dijadikan mainstream dalam memandang lingkungan.
3.   Problem kultural yaitu masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang lingkungan.
              Karena adanya banyak kelemahan-kelemahan tersebutlah mengapa pada akhirnya UU No. 23 Tahun 1997 diganti dengan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No 32 tahun 2009 tidak sekedar menyempurnakan sejumlah kelemahan mendasar dalam UU sebelumnya, tetapi juga secara komprehensif mengatur segala hal yang berkaitan dengan problem lingkungan. UU ini pada akhirnya akan berorientasi pada penguatan institusional terutama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan peran seluruh elemen untuk memandang kasus lingkungan sebagai problem bersama yang subtansial.[56]
B.     Alih Fungsi hutan untuk Pengelolaan
              Alih Fungsi hutan yang dimaksud disini lebih di tekanan mengenai alih fungsi hutan untuk kegiatan ekonomi masyarakat, dimana pengelolaan lingkungan hidup berorientasi pada kepentingan ekonomi atau dapat dikatakan antroposentris. Maka akan cenderung pada usaha-usaha atau kegiatan-kegiatan yang eksploitatif terhadap lingkungan hidup. Untuk memenuhi kepentingannya, seringkali manusia cenderung melakukan dosa-dosa terhadap lingkungan hidup (environmental sins). Di sinilah kesadaran manusia terhadap kelestarian lingkungan diuji. [57] Alih fungsi untuk kepentingan ekonomi masyarkat difokuskan disini adalah terhadap pengelolaan hutan untuk membuka lahan baru.
              Pada dasarnya hutan memiliki fungsi sebagai berikut :[58]
1.    Menghasilkan kayu industri seperti papan, kertas, dan kemasan.
2.    Menghasilkan kayu bakar dan arang.
3.    Menghasilkan hasil hutan bukan kayu.
4.    Menyediakan lahan untuk pemukiman manusia.
5.    Menyediakan lahan untuk pertanian.
6.    Memberikan perlindungan terhadap siklus air dalam Daerah Aliran Sungai dan pengendali erosi.
7.    Tempat menyimpan karbon.
8.    Pemeliharaan keanekaragaman hayati dan habitat.
9.    Obyek ekoturisme dan rekreasi alam.
              Alih fungsi hutan untuk pengelolaan menjadi penyebab rusaknya hutan di Indonesia. Kebakaran hutan merupakan salah satu sebab alih fungsi hutan untuk untuk pengelolaan seperti membuka areal perkebunan, membuka pertambangan ditambah lagi terjadinya pembalakan liar atau illegal logging, dari alih fungsi tersebut menghasilkan Sumber daya alam untuk kebutuhan manusia seperti kayu industri, kayu arang, pembukaan lahan pemukiman, pembukaan lahan pertanian dan lain sebagainya. Alih fungsi hutan membawa dampak yang merugikan terhadap ekosistem alam dan juga tidak jarang terjadi konflik sosial.
              Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pada Pasal 19, istilah alih fungsi dikenal sebagai perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Perubahan peruntukan kawasan hutan, terjadi melalui proses tukar-menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan. Alih fungsi kawasan hutan, yang terjadi melalui perubahan peruntukan kawasan hutan terfokus untuk mendukung kepentingan di luar kehutanan (pertanian, perkebunan, transmigrasi, pengembangan wilayah, pertambangan, dan non kehutanan lainnya).
Menurut Wahyuni (2014), dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat, pada dasarnya kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah suatu kawasan hutan yang memiliki fungsi perlindungan. Dalam pemanfaatan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi  pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi.[59]
Didalam Undang-Undang Perlindungan dan pengolahan lingkungan hidup tidak secara ekspisit menyebutkan tentang pengolahan alih fungsi hutan akan tetapi jika dilihat dari pasal IV yakni Pasal 12 ayat 1 disebutkan bahwa Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH ( Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), dimana RPPLH ini terdiri atas tingkatan nasional, provinsi dan kabupaten/kota. RPPLH memuat rancangan tentang Pemanfaatan dan pencadangan sumber data alam, pemeliharaan dan perlindungan kualitas fungsi lingkungan hidup, pengendalian, pemantauan serta pendayagunaan dan pelestarian sumber data alam dan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Rancangan berupa pendayagunaan ditambah pemanfaatan sumber daya alam menekankan bahwa pemanfaatan sumber daya alam dapat dimanfaatkan, ditambahkan dalam pasal 12  ayat 2 huruf c  Undang undang lingkungan hidup bahwa pemanfaatan SDA dengan memperhatikan keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat.[60] Akan tetapi semuanya tentu harus mengacu pada izin-izin yang harus dijalani untuk mengolah hutan tersebut. Sementara itu Kartodihardjo[61] menyatakan bahwa berdasarkan kenyataan di lapangan (de facto), alih fungsi dan kerusakan hutan setidaknya disebabkan oleh 3 hal yaitu: status hutan negara tidak legitimate, penguasaan SDA oleh swasta/pemegang izin, terdapat mekanisme formal untuk melakukan konversi hutan, serta kebijakan perizinan yang dijalankan bukan sebagai alat pengendalian. Adapun penjelasan penjelasan ke empat hal tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Legalitas hutan negara. Status legal kawasan hutan negara yang dilakukan melalui proses pengukuhan kawasan hutan oleh Panitia Tata Batas (PTB) hanya secara umum menghasilkan Berita Acara Tata Batas (BATB) yang ditanda-tangani panitia itu, tetapi adanya klaim terhadap hutan negara tidak diselesaikan. Akibatnya hutan negara yang sudah legal tidak legitimate, dalam arti masih tidak diakui keabsahan legalitasnya itu. Penyebab lain yaitu ukuran kinerja PTB berdasarkan panjang batas (km) dan dibatasi waktu kerjanya hanya satu tahun. Kondisi demikian itu bertentangan dengan mandat PP No 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan, yang menyatakan bahwa permasalahan pihak ketiga dan konflik-konfliknya dalam hutan negara yang belum dapat diselesaikan selama pemancangan tanda batas harus dituntaskan oleh PTB (Pasal 22). Tanpa adanya legitimasi itu, alih fungsi dan kerusakan terus terjadi, baik akibat perkembangan penduduk maupun izin-izin tambang dan kebun secara illegal.
2.     Penguasaan hutan oleh swasta. Kebijakan dan skema perizinan secara umum mengharuskan para calon pemegang izin hutan, tambang, kebun mencari sendiri calon lokasi izin di dalam wilayah yang telah dialokasikan Pemerintah. Dengan demikian, swasta harus mempunyai informasi akurat tentang lokasi itu, karena akan menentukan kelayakan usahanya. Pemerintah/Pemda melakukan verifikasi ketepatan lokasi izin tersebut, namun dalam prakteknya informasi yang digunakan sangat terbatas. Akibatnya, hampir setiap lokasi izin masih terdapat konflik penggunaan atau pemanfaatan hutan oleh pihak lain, termasuk adanya pemukiman, kebun dan lahan-lahan pertanian masyarakat adat/lokal. Di sisi lain, legalitas hak atas hutan/tanah bagi warga negara masyarakat adat/lokal untuk mendapatkan ruang hidup, praktis tidak difasilitasi Pemerintah/Pemda. Sementara itu dalam proses penetapan hutan negara secara hukum, legalitas hak atas hutan/tanah menjadi persyaratan yang harus dipenuhi dan persyaratan demikian ini tidak dipunyai masyarakat. Jalan lain bagi masyarakat adat/lokal untuk mendapat hak/akses terhadap pemanfaatan hutan melalui skema izin dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa untuk mendapatkan legalitas tidak dapat dipenuhi akibat persyaratan administrasi dan mahalnya pengurusan izin. Dalam 10 tahun terakhir komposisi pemanfaatan hutan antara usaha besar dan kecil tidak berubah, dan kini komposisi itu dengan angka 97% untuk usaha besar dan 3% untuk usaha kecil.
3.    Konversi hutan by design. Skema perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam (IUPHHK-HA), hutan tanaman (IUPHHK-HT), dan tambang melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IUPPKH), secara de facto telah mewujudkan konversi hutan alam secara sistematis. Peran IUPHHK-HA dalam menghasilkan kayu bulat selama 10 tahun terakhir telah digantikan oleh IUPHHK-HT dan dalam waktu yang sama terjadi peningkatan usaha tambang (IUPPKH). Data 2013 menunjukkan bahwa sejumlah 179 perusahaan IUPHHK-HA dan 139 perusahaan IUPHHK-HT menuju kebangkrutan (APHI, 2013). Apabila ini terjadi akan terdapat sekitar 39 juta Ha hutan produksi yang tidak ada pengelolanya, atau secara de facto terjadi open access. Kondisi ini akan semakin mempermudah usaha tambang bekerja di hutan produksi. Design yang lain yaitu berupa penetapan kawasan hutan berdasarkan proses penataan ruang. Proses ini, walaupun menurut Undang-undang Penataan Ruang tidak dilakukan dalam rangka pemutihan terhadap keterlanjuran kesalahan penggunaan ruang, namun dalam prakteknya hampir senantiasa mengakomodir keterlanjuran itu.
        Sementara itu Maladi berpendapat bahwa, meski secara normatif, konversi atau perubahan kawasan hutan dimaksud tidak dilarang oleh undang-undang, namun untuk menjaga kualitas lingkungan, sejauh mungkin dihindari terjadinya konversi/perubahan terhadap hutan alam yang masih produktif, guna menghindari ketimpangan agraria seperti kerusakan kawasan hutan dan konflik sosial.[62]
C.    Membakar hutan untuk membuka lahan baru
              Peristiwa kebakaran hutan yang tidak terkendali bisa terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja. Di masa lalu membakar hutan merupakan suatu metode praktis untuk membuka lahan. Pada awalnya banyak dipraktekkan oleh para peladang tradisional atau peladang berpindah. Namun karena biayanya murah praktek membakar hutan banyak diadopsi oleh perusahaan-perusahaan kehutanan dan perkebunan. Di lingkup ilmu kehutanan ada sedikit perbedaan antara istilah kebakaran hutan dan pembakaran hutan. Pembakaran identik dengan kejadian yang disengaja pada satu lokasi dan luasan yang telah ditentukan. Gunanya untuk membuka lahan, meremajakan hutan atau mengendalikan hama. Sedangkan kebakaran hutan lebih pada kejadian yang tidak disengaja dan tak terkendali. Pada prakteknya proses pembakaran bisa menjadi tidak terkendali dan memicu kebakaran.[63]
              Seperti yang telah dijelaskan pada Bab sebelumnya penyebab terjadinya kebakaran hutan adalah 99% disebabkan oleh Manusia itu sendiri. Di Indonesia, 99% kejadian kebakaran hutan disebabkan oleh aktivitas manusia baik sengaja maupun tidak sengaja. Hanya 1% diantaranya yang terjadi secara alamiah.[64] Sejak era tahun 1980-an pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri diduga menjadi biang kerok terjadinya kebakaran hutan secara besar-besaran.
D.    Mekanisme Perizinan untuk membuka lahan baru
              Perubahan kawasan hutan dialih fungsikan untuk pengelolaan dan pemanfaatan SDA dengan cara membuka lahan baru memang diizinkan sesuai aturan normatif akan tetapi terdapat mekanisme yang harus di jalani untuk membuka lahan baru, sebagai contoh alih fungsi hutan dengan membuka lahan baru berupa Pertambangan, Perkebunan dan Usaha Kehutanan.
              Kegiatan pertambangan dilakukan di tempat-tempat yang tidak dapat perhitungkan sebelum dilakukan penelitian awal. Namun, kegiatan pertambangan ini pada umumnya dilakukan di wilayah hutan. Hal ini disebabkan oleh sifat dari bahan galian tambang yang merupakan fosil atau mineral-mineral endapan dari sisa hasil hutan. Oleh karena itu, investasi untuk kegiatan pertambangan sangat erat kaitannya dengan hukum kehutanan. Tanah yang diperuntukkan bagi pembangunan proyek dapat digunakan tanah yang berstatus sebagai tanah negara maupun tanah hak milik.[65]
              Namun selain kedua tanah dengan status tersebut, dapat juga digunakan tanah dengan status kawasan hutan. Hal ini berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 38 Undang-Undang No. 41 1999 yang mengatakan
“Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung”.
              Bedasarkan ketentuan diatas, kawasan hutan yang dapat digunakan untuk kegiatan pembangunan selain dalam bidang kehutanan adalah kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Kegiatan pembangunan lain yang dimaksud diatas dapat diartikan bahwa penggunaan hutan untuk kegiatan pertambangan juga dapat menggunakan hutan produksi atau hutan lindung. Namun pertambangan yang dimaksud didalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 adalah pertambangan yang bersifat tertutup. Hal ini diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan untuk Penambangan Bawah Tanah.
              Untuk mekanisme Izin produksi pertambangan (dimana eksploitasi mungkin terjadi di hutan produksi, hutan konversi, atau hutan lindung), langkah-langkah yang sama seperti dengan izin eksplorasi pertambangan harus diikuti, serta mengikuti izin tambahan:[66]
1.    Izin operasi pertambangan untuk beroperasi (IUP-Operasi-produksi) yang didapat dari Bupati, dan
2.    Izin pinjaman untuk operasi (Izin pinjam pakai Kawasan untuk Operasi-produksi) diperoleh dari Kementerian Kehutanan.
3.    Persyaratan tambahan berikut harus dipenuhi:
              Untuk usaha perkebunan dan Usaha Kehutanan Peraturan tentang Perkebunan diatur dalam Undang-undang nomor 18/2004 dengan aturan pelaksanaanya lewat peraturan Menteri Pertanian nomor 26/2007. Pada prinsipnya terdapat dua jenis utama perkebunan di Indonesia, kelapa sawit dan kayu. Ketika perkebunan terletak di kabupaten, semua izin perkebunan diperoleh dari Bupati. Pengecualian adalah untuk lisensi untuk menggunakan Kawasan Hutan, yang membutuhkan izin pelepasan hutan. Rekomendasi dari Gubernur provinsi juga diperlukan untuk beberapa izin. Ketika perkebunan di wilayah lebih dari satu daerah, maka Gubernur adalah otoritas penerbit untuk semua izin lainnya dari pelepasan hutan. Sebuah perusahaan atau pemohon wajib telah membangun fasilitas perkebunan, dan telah melakukan pembukaan lahan (tanpa pembakaran) dalam waktu dua tahun dari IUP yang diterbitkan. [67]
E.     Pengelolaan Hutan menurut Undang-undang Lingkungan Hidup
              Secara umum lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia. Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam Bab I pasal 1 telah menetapkan beberapa ketentuan umum mengenai konsep atau batasan lingkungan hidup dan berbagai hal lain yang ada kaitannya dengan lingkungan hidup. Hal tersebut merupakan pengembangan dan penyempurnaan dari beberapa konsep sebelumnya.[68]
            Pada dasarnya Undang-Undang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mengatur bagaimana upaya sistematis dan terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah agar tidak terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan , pengendalian, pemeliharaan , pengawasan dan penegakan hukum.[69]
F.     Hak, Kewajiban dan Larangan terhadap Pembakaran Hutan.
            Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa Kepada Tuhan Yang  Maha Esa. Adapun sasaran yang hendak dicapai dalam pengelolaan lingkungan  hidup tersebut adalah:
a.    Tercapainya keselarasan, keserasian, keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup.
b.    Terwujudnya manusia Indonesia sebagai INSAN LINGKUNGAN HIDUP yang memiliki sikap dan tindakan melindungi dan membina lingkungan.
c.    Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
d.   Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan.
e.    Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
f.     Terlindunginya NKRI terhadap dampak dan atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.

              Untuk mencapai sasaran tersebut, masyarakat secara yuridis diberikan  hak, kewajiban serta kesempatan untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup. Keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup menunjukkan bahwa masalah lingkungan hidup bukanlah tanggung jawab  pemerintah semata-mata, melainkan merupakan tanggung jawab  seluruh komponen  bangsa dan negara. Hak menurut UU No. 32 thn 2009 tentang PPLH diatur dalam pasal 65:[70]
1.    Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
2.    Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
3.    Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
4.    Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5.    Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
6.    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 5 diatur dengan Peraturan Menteri.

Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan ada ASAS KETERBUKAAN. Informasi lingkungan ini ini dapat berupa data,keterangan atau informasi lain yang berkenaan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat seperti dokumen AMDAL. Laporan dan evaluasi hasil pemantauan lingkungan hidup, baik pemantauan panataan maupun pemantauan perubahan kualitas lingkungan hidup dan rencana tata ruang[71]
              Sedangkan kewajiban menurut UU No. 32 thn 2009 ttg PPLH[72]
Pasal 67
“Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”.
Pasal 68
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
a.    memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b.     menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c.    menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

              Sedangkan larangan menurut UU No. 32 thn 2009 ttg PPLH Pasal 69[73]
1.    Setiap orang dilarang:
a.    Melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
b.    Memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
c.    Memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d.   Memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e.    Membuang limbah ke media lingkungan hidup;

f.     Membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;

g.    Melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;

h.    Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;

i.      Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau

j.      Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.

2.    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.

G.    Pengelolaan hutan untuk membuka lahan  sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Undang-Undang Lingkungan hidup.
            Pengelolaan hutan menurut undang-undang lingkungan hidup yang dimaksud adalah cara pengolahan pembukaan lahan. Seperti yang diketahui bahwa kebakaran hutan di Indonesia di sebabkan oleh faktor manusia yang dalam pengolahan yang tidak benar, didalam undang undang secara normatif memang tidak melarang untuk mengolah hutan untuk membuka lahan, ketentuan pengolahan hutan dalam hal membuka lahan baru memang tidak ada diatur secara eksplisit langsung disebutkan akan tetapi dari ketentuan umum diatur dalam Undang-Undang Lingkungan hidup mencerminkan pengelolaan hutan untuk membuka lahan baru  dijelaskan dalam bab I tentang perencanaan, pemanfaatan , pengendalian, pemeliharaan , pengawasan dan penegakan hukum, yang pada hakekatnya untuk melindungi lingkungan hidup. Prosedur seperti izin- izin yang harus dipatuhi oleh para pengusaha dan masyarakat menjadi upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup. Dalam Undang-Undang Lingkungan hidup pasal 69 jelas diatur mengenai larangan yang tidak diperbolehkan yang dapat mengakibatkan kerusakan pada lingkungan hidup, larangan ini menjadi dasar apabila ada yang melanggar maka sanksi dapat ditegakkan.
            Dalam hal pembakaran hutan dan lahan untuk membuka lahan baru yaitu dengan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar; jelas dilarang dalam pasal 69 huruf h ,sanksi yang dikenakan juga tegas yakni termuat dalam Pasal 108 yaitu setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). [74]
H. Pengelolaan hutan dari segi kearifan lokal masyarakat setempat.
Dasar hukum Pengolahan hutan/lahan dengan cara membakar
            Pengelolaan hutan untuk membuka lahan tidak terlepas dari prosedur hukum yang berlaku di Indonesia, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya terdapat berbagai macam prosedur berupa izin pengelolaan dan bagi yang melanggar terdapat sanksi yang tegas  yang diberikan terhadap pihak-pihak yang merusak lingkungan hidup. Persoalan mengenai larangan pembakaran hutan jelas ditegaskan dalam pasal 69 yaitu dilarang membuka lahan dengan cara dibakar,akan tetapi menjadi problema dengan adanya pasal 69 ayat 2 Undang- Undang Lingkungan Hidup yang berbunyi
“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.”

 terlebih lagi saat ini pemerintah sedang “kesusahan” untuk menanggulangi bencana kebakaran hutan yang disebabkan oleh faktor faktor yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dan menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi negara.
            Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.[75] Ini artinya, membuka lahan dengan cara membakar diperbolehkan dengan persyaratan tertentu.
Aturan membuka lahan dengan cara dibakar yang diatur dalam Undang undang Lingkungan hidup juga ada diatur dalam undang-undang lain undang-undang lain yang mengatur tentang larangan membuka lahan dengan cara membakar dapat ditemukan dalam:
1.    Pasal 26 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (“UU Perkebunan”):
Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup.
Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar.[76]
2.    Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Sejalan dengan UU PPLH dan UU Perkebunan, peraturan lain soal membuka lahan dengan cara membakar dapat kita lihat dalam  Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (“Permen LH 10/2010”). Pasal 4 ayat (1) Permen LH 10/2010: Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa. Namun, pembakaran lahan ini tidak berlaku pada kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang, dan/atau iklim kering[77]
3.    Menurut Peraturan Daerah Serupa dengan apa yang diatur dalam UU PPLH dan Permen LH 10/2010, ada pula peraturan daerah setempat yang “membolehkan” membuka lahan dengan cara membakar, namun ada syaratnya. Sebagai contoh dapat kita lihat dalam Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah (“Pergub Kalteng 52/2008”) sebagaimana diubah dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010 (“Pergub Kalteng 15/2010”).Setiap orang yang melakukan kegiatan pembukaan lahan dan pekarangan dengan cara pembakaran, harus dilaksanakan secara terbatas dan terkendali, setelah mendapat izin dari pejabat berwenang.[78] Setiap orang yang melakukan pembukaan lahan dan pekarangan dengan cara pembakaran terbatas dan terkendali harus mendapatkan izin dari Bupati/Walikota. Semua perizinan pembakaran terbatas dan terkendali dinyatakan tidak berlaku apabila Gubernur mengumumkan status “BERBAHAYA” berdasarkan Indeks Kebakaran dan/atau Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) sampai tingkat kebakaran dan/atau keadaan darurat pencemaran udara dinyatakan berhenti.[79] Kewenangan pemberian izin dengan luas lahan di bawah 5 Ha, dilimpahkan kepada:[80]
a.    Camat, untuk luas lahan di atas 2 Ha sampai dengan 5 Ha;
b.    Lurah/Kepala Desa, untuk luas lahan di atas 1 Ha sampai dengan 2 Ha;
c.    Ketua RT, untuk luas lahan sampai dengan 1 Ha

              Dalam praktiknya, perbuatan membuka lahan dengan cara membakar hutan yang tidak sesuai aturan ini dapat didakwa dengan Pasal 108 UU PPLH maupun Pasal 48 ayat (1) UU Perkebunan. Hakim yang akan menentukan akan menggunakan undang-undang yang mana sebagai dasar penjatuhan hukuman. Sebagai contoh dalam kasus Putusan Pengadilan Negeri Tembilahan Nomor 94/Pid.Sus/2014/PN.Tbh. Terdakwa dituntut berdasarkan dua dakwaan, yaitu: Dakwaan Kesatu, melanggar Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat (1) huruf h UU PPLH dan Dakwaan Kedua, melanggar Pasal 48 ayat (1) jo. Pasal 26 UU Perkebunan. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, Hakim menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan Sengaja Membuka dan atau Mengolah Lahan Dengan Cara Pembakaran Yang Berakibat Terjadinya Pencemaran dan Kerusakan Fungsi Lingkungan Hidup” sesuai Pasal 48 ayat (1) jo. Pasal 26 UU Perkebunan. Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa yaitu pidana penjara selama satu tahun, dan denda sebesar Rp.1 miliar, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan.[81]
              Frasa “kearifan lokal” dalam ayat tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam bagian penjelasan UU. Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.[82]
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa pada tahun ini, kebakaran terjadi di sejumlah tempat. Di Riau, areal yang terbakar sejauh ini sekitar 2.025,42 hektare. Di Kalimantan Barat lahan yang terbakar seluas 900,20 hektare. Di Kalimantan Tengah lahan membara seluas 655,78 hektare. Di Jawa Tengah lahan terbakar 247,73 hektare. Di Jawa Barat 231,85 hektare. Di Kalimantan Selatan lahan yang terbakar seluas 185,70 hektare. Kebakaran lahan juga dialami Sumatera Utara seluas 146 hektare, Sumatera Selatan 101,57 hektare, dan Jambi seluas 92,50 hektare. Ada 944 titik panas di kawasan Sumatera, dan 222 titik di Pulau Kalimantan. Jaksa Agung HM Prasetyo saat ditanya soal pentingnya penegakan hukum yang konsisten dan persisten dalam kasus kejahatan kehutanan memastikan akan mengubah perspektif penanganan perkara pembakaran hutan. Penyelidikan dan penyidikan tak cukup menyasar kepada pelaku pembakaran, tetapi juga pihak yang memberikan perintah pembakaran. Perusahaan yang bertanggung jawab atas kebakaran lahan juga harus dijatuhi hukuman berat. Menurutnya ada yang juga harus menjadi perhatian, yaitu ambiguitas dalam perumusan Undang-Undang. UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, misalnya, dalam Pasal 69 mengatur larangan, yang artinya tindak pidana. Dalam ayat 1 huruf h, dicantumkan, “Larangan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.”, menurutnya rumusan kalimat tersebut sangat rawan digunakan sebagai alasan pembakaran lahan hutan, jika implementasi kearifan lokal digunakan disaat terjadinya kebakaran hutan akan sangat berbahaya.[83]
Kearifan Lokal Masyarakat di Indonesia.
Kearifan lokal menurut UU No. 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup  Bab :I Pasal I Butir 30 adalah: nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat antara lain melindungi dan mengelolah lingkungan hidup secara lestari.[84]
 Indonesia kaya akan budaya dan kearifan lokal masyarakat. Setiap daerah di Indonesia memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda, perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Tantangan perlindungan dan pengelolaan hutan di Indonesia tersebut seringkali datang dari masyarakat lokal di sekitar hutan. Padahal kelestarian pengelolaan hutan sangat tergantung kepada partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan.[85]
Namun demikian setiap kerarifan lokal di berbagai daerah memiliki kesamaan fungsi sebagai pedoman, pengontrol, dan rambu-rambu untuk berperilaku dan berinteraksi dengan alam. Menurut Zakaria dalam Fauzi mendefinisikan kearifan tradisional sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan.[86]
 Kearifan lokal merupakan suatu bentuk warisan budaya Indonesia. Kearifan lokal terbentuk sebagai proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhannya.[87]Sementara itu Keraf menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Pemahaman mengenai kearifan lokal di atas semakin menegaskan bahwa kearifan lokal menjadi modal penting dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan.[88]
Masyarakat tradisional di Indonesia maupun dibagian dunia lainya, sering dijadikan sebagai tersangka utama atas terjadinya perusakan lahan hutan akibat sistem perladangan yang mereka lakukan. Namun jika diperhatikan secara seksama, sesungguhnya sistem perladangan masyarakat tradisional ini tidak berpengaruh besar terhadap kerusakan hutan. Karena dalam kehidupan masyarakat tradisional ini terdapat juga aturan-aturan adat yang mengatur tentang sistem pengelolaan dan pemanfaatan lahan.[89] Kearifan lokal dibangun dari nilai-nilai sosial yang dijunjung dalam struktur sosial masyarakat sendiri dan memiliki fungsi sebagai pedoman, pengontrol, dan rambu-rambu untuk berperilaku dalam berbagai dimensi kehidupan baik saat berhubungan dengan sesama maupun dengan alam.[90]
Masyarakat adat merupakan sekumpulan orang yang hidup bersama dalam satu wilayah serta memiliki hubungan keterikatan sebagai satu keturunan. Hutan, tanah, sungai serta gunung memiliki keterikatan tersendiri dengan mereka. Hutan bukan hanya sebagai suatu ekosistem tempat adanya tumbuhan yang bisa digunakan untuk kepentingan manusia, namun bagi masyarakat adat, hutan merupakan symbol dari sebuah harga diri. Pengelolaan hutan lestari telah dilakukan masyarakat adat sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu dan itu tetap diterapkan sampai saat ini. Hal ini karena masyarakat adat mengerti akan pentingnya hutan sebagai tempat mencari nafkah, penyedia sumber daya, kawasan konservasi, penyedia air dan fungsi-fungsi lainnya. Penerapan hal ini juga diperkuat dengan aturan-aturan adat yang mengikat. Seperti pemberian sanksi dan denda bagi masyarakatnya yang terbukti salah.
              Pembagian kawasan dalam hutan juga menjadi bagian dari pengelolaan hutan oleh masyarakat adat. Pembagian kawasan ini memiliki beragam fungsi, seperti kawasan yang diperuntukan untuk kegiatan pertanian, kawasan untuk berburu dan kawasan terlarang/ hutan larangan dan lain sebagainya tergantung kearifan lokal dari masing-masing komunitas masyarakat adat. Kawasan-kawasan tadi digunakan sesuai dengan fungsinya, misalnya kawasan pertanian harus digunakan hanya untuk kegiatan pertanian sebaliknya juga dengan kawasan berburu.
              Kawasan terlarang biasanya tidak boleh diganggu dikarenakan adanya situs situs sejarah dalam kawasan hutan tersebut. Namun fungsi lain dari kawasan ini juga sebagai kawasan konservasi, menjaga mata air atau wilayah wilayah berlerang agar tidak longsor pada musim hujan.
  Pengelolaan hasil hutan dalam kawasan hutan adat tetap diberikan kepada masyarakat untuk mengelola namun harus tetap berpatokan kepada aturan-aturan adat yang berlaku. Aturan-aturan ini dimaksudkan supaya sumber daya hutan seperti kayu, rotan, damar dll itu tetap tersedia bagi semua orang yang membutuhkan serta berkelanjutan. Misalnya pengambilan kayu untuk kebutuhan rumah telah ditentukan jenis kayu dan umurnya sehingga kayu yang ditebang tersebut memang sudah bisa digunakan supaya tidak ada pembalakan liar dalam kawasan hutan adat.


 Analisis Hutan adat
Kearifan lokal masyarakat tidak terlepas dari pengelolaan hutan adat. Keberadaan hutan adat di Indonesia sampai saat ini masih diakui dan berhak untuk dikelola oleh masyarakat adat.
Pada dasarnya menurut Dr. Moira Moeliono kerangka hukum yang berlaku sekarang, hutan adat dan hutan desa adalah hutan negara yang dibebani hak pengelolaan yang diberikan oleh negara pada masyarakat adat atau masyarakat desa.[91] Akan tetapi pada tahun 2013, aturan yang mengatur tentang hutan adat adalah bagian dari milik negara dihapus dengan keluarnya putusan MK No 35 Thn 2013. MK mengabulkan sebagian uji materi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dimohonkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua komunitas masyarakat adat yaitu Kanegerian Kuntu dan Kasepuhan Cisitu. Alhasil, puluhan juta hektar hutan adat yang tadinya diklaim sebagai hutan negara diakui keberadaannya dan dapat dikelola oleh masyarakat adat yang menempatinya. Dalam putusannya, MK membatalkan sejumlah kata, frasa dan ayat dalam UU Kehutanan itu. Misalnya, MK menghapus kata “negara” dalam Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan, sehingga Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” MK juga menafsirkan bersyarat Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat” dan menghapus frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3).“Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang
  Mahkamah berpendapat harus ada pembedaan perlakuan terhadap hutan negara dan hutan adat, sehingga dibutuhkan pengaturan hubungan antara hak menguasai negara dengan hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur peruntukan, pemanfaatan, dan hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara. Terhadap hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hutan adat ini berada dalam cakupan hak ulayat dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat. ”Para warga masyarakat hukum adat mempunyai hak membuka hutan ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya. Jadi, tidak mungkin hak warga masyarakat hukum adat itu ditiadakan atau dibekukan sepanjang memenuhi syarat dalam cakupan pengertian kesatuan masyarakat hukum adat seperti dimaksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945,” kata Hakim Konstitusi M. Alim saat membacakan pertimbangan hukumnya. Dengan demikian, hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan adat (hak ulayat) dan hutan perseorangan/badan hukum. Ketiga status hutan tersebut pada tingkatan yang tertinggi seluruhnya dikuasai oleh negara.
“Setelah dibedakan antara hutan negara dan hutan hak, maka tidak dimungkinkan hutan hak berada dalam wilayah hutan negara. Atau sebaliknya hutan negara dalam wilayah hutan hak seperti dinyatakan Pasal 5 ayat (2) dan hutan hak ulayat dalam hutan negara”[92]
Meski begitu, dengan adanya putusan MK ini bukan serta merta masyarakat adat berhak mengelola hutannya tanpa adanya aturan dari pemerintah (Kementerian Kehutanan). Karena itu,  Abdon meminta pemerintah segera menindaklanjuti putusan MK ini dengan membuat peraturan pengelolaan hutan adat berikut pemetaannya.“Dengan adanya putusan ini, hutan adat bukan lagi hutan negara. Harus ada pakem (aturan) hukum yang mengaturnya, pemerintah tidak bisa lepas tangan. Pemerintah harus tetap memastikan fungsi ekologis hutan adat,” pintanya.Menurutnya, jika pemerintah tidak segera mengeluarkan ketentuan yang mengatur tentang pengelolaan maupun pemetaan hutan adat, akan muncul masalah baru. Sebab, MK hanya mengembalikan keberadaan hutan adat seperti dalam UUD 1945, bukan membuat regulasi baru.“Tanpa adanya aturan hutan adat, statusnya masih belum bisa dibedakan, mana yang hutan adat dan mana yang bukan. Dalam data Kementerian Kehutanan pun, belum ada peta yang menegaskan daerah mana saja yang termasuk dalam hutan adat. Ini agar tidak ada konflik baru yang dimanfaatkan pihak lain,” lanjutnya.[93]
Mengenai kegiatan pengelolaan hutan adat  ditegaskan dalam Pasal 67 huruf b melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.[94]
Kajian Kearifan lokal masyarakat adat dalam pengelolaan lingkungan sebagai contoh penerapan kearifan lokal pada Masyarakat Desa Rono dalam proses pemilihan lahan, Masyarakat Desa Rano dalam hal pemilihan lahan yang baik dan subur untuk diolah menjadi tanah pertanian atau perkebunan. dilakukan dengan membaca tanda-tanda yang diberikan oleh alam dan petunjuk dari nenek moyang melalui mimpi. Menurut pengetahuan masyarakat ada dua kriteria mimpi yang akan menjadi pertimbangan yakni mimpi baik dan mimpi buruk. Mimpi baik antara lain, (mendaki gunung, berjalan melewati sungai, diberikan sesuatu dan mendapat hadiah). Selanjutnya yang termasuk mimpi buruk antara lain bertemu (malaikat, ada orang meninggal dunia). Jika pada malam itu ia bermimpi baik maka keesokan paginya ia dapat melaksanakan niatnya untuk memeriksa lahan.[95]
Dalam proses untuk melihat lahan tersebut ada beberapa pantangan-pantangan yang harus dipatuhi oleh masyarakat Desa Rano. Pantangan tersebut antara lain: ketika sedang berjalan tiba-tiba dihalangi dahan yang jatuh dari pohon, bertemu binatang yang telah mati, atau disegat binatang berbisa. Jika ketiga pantangan tersebut ditemui maka ini bermakna suatu pertanda yang tidak baik sehingga pembukaan lahan tersebut diundur sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan yakni satu atau dua bulan, setahun atau lebih bahkan kadang-kadang pembukaan lahan tersebut dibatalkan.[96]
Menurut masyarakat Desa Rano bahwa dalam hal ini apabila tidak menemui pantangan-pantangan yang dijelaskan di atas masih ada lagi tahap terakhir untuk mengetahui bahwa lahan tersebut cocok untuk diolah yaitu membawa air yang bersumber dari mata air yang meskipun musim kemarau tidak pernah kering, kemudian air tersebut ditanah ditutupi dengan daun lebar di tanah yang akan kita kelola. Bila keesokan harinya air tersebut air yang berada dalam botol tersebut berkurang maka menurut mereka suatu pertanda hasil pertanian itu tidak memuaskan, akan tetapi bila air tersebut meluap, maka mereka percaya bahwa lahan itu sangat baik untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan. Dari beberapa tahap yang dilalui dalam proses pemilihan lahan, dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa masyarakat Desa Rano masih memegang teguh tata cara yang diajarkan oleh nenek moyang mereka dalam hal untuk membuka lahan.[97]
Menurut masyarakat Desa Rano setelah pemilik lahan sudah mendapat izin dari pemangku adat, kemudian dilakukan upacara pembukaan lahan yakni mengajak salah seorang yang dituakan dalam masyarakat untuk memeriksa lahan tersebut. Satu hari setelah pemeriksaan kemudian dilakukan pembacaan mantra-mantra dilahan tersebut, ini bermakna memohon izin kepada mereka (makhluk gaib) yang mendiami areal tersebut. Selain hal itu menurut masyarakat Desa Rano terdapat larangan tidak diperbolehkan yaitu tidak boleh mendahului “sobo” dan “tuntung” dalam melakukan pemarasan. “sobo” dan “tuntung” menurut masyarakat desa rano adalah pemimpin para petani, bertindak sebagai ketua adalah “sobo” dan wakilnya adalah “tuntung” keduanya adalah bagian dari struktur dari lembaga adat.[98]
Selain menjadi ketua para petani, “sobo” mempunyai tugas untuk mendatangi para pemangku adat, untuk menentukan kapan dilakukan pemarasan “montarah”, waktu penanaman “membula” dan setelah ditentukan oleh lembaga adat, kemudian pemarasan dan penanaman akan diawali oleh Sobo dan tuntung sebagai ketua dan wakil ketua para petani.[99]
Masyarakat Desa Rano adalah petani ladang sejak turun temurun. Setiap masyarakat Desa Rano memiliki kebun. Terutama untuk menaman padi “boah”, jagung “katela”, kacang “canggoreng”, ubi kayu moloku kayu”, ubi jalar moloku tingganafar”, Cabe “sasave”, Kacang panjang lombi”, ketimun atimung”, dan lain-lain. Pada awalnya mereka menanam padi yang kemudian dipanen setelah 4 bulan 15 hari setelah itu, lahan yang sama diganti dengan tanaman jagung, ubi, lombo, kacang, dan lain-lain. Dan sampai sekarang masyarakat Desa Rano mempunyai tradisi untuk membuahkan tumbuh-tumbuhan seperti durian langsat, rambutan mangga, jengkeh, kelapa, dan semua tanaman atau tumbuhan yang berada di Desa Rano dengan melakukan ritual yaitu Upacara Mompalit Rano (Upacara Mengelilingi Danau).[100]
Bagi mereka yang melakukan penebangan hutan di kenakan sanksi berupa seluruh peralatan yang digunakan di sita oleh lembaga adat selain itu juga akan dikenakan sanksi salampale yakni, 12 Pes kain putih, 1 buah parang, 1buah dulang, 3 kantung beras, uang tunai 5 real. Denda tersebut dapat digantikan dengan uang tunai sebanyak Rp. 150.000.000,-.
Hutan bagi masyarakat Desa Rano bukan hanya merupakan Sumber daya ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan kehidupan mereka. Masyarakat Desa Rano juga sangat bergantung pada hutan, sandang, papan dan pangan. Dari hutan, masyarakat Desa Rano membutuhkan berbagai jenis kayu, bambu dan rotan untuk keperluan membangun rumah dan berbagai peralatan rumah tangga. [101]
Kesadaran arti penting hutan bagi kehidupan keseharian mereka menyebabkan masyarakat Desa Rano melihat hutan bukan sebagai objek eksplorasi untuk memenuhi kebutuhan. Perilaku alam terhadap kehidupan mereka disadari sebagai konsekuensi dari sikap dan perbuatan mereka terhadap hutan dan lingkungan. Hal ini misalnya tercermin dari adanya upacara ritual adat, pada saat membuka hutan untuk keperluan perladangan. Upacara tersebut pada dasarnya dimaksudkan sebagai bentuk permohonan izin sekaligus pemohonan kepada para mahluk yang mediami hutan. Dengan upacara tersebut juga dimaksudkan agar kelak dikemudian hari tidak ada gangguan terhadap tanaman diladang, baik berupa penyakit ataupun serangan hewan (liar dan peliharaan).[102]
Selain contoh bentuk kearifan lokal masyarakat adat terdapat contoh masyarakat lain yang menjaga pelestarian kawasan hutan
              Suku Cek Bocek Selensuri di Sumbawa, menjaga hutan mereka dengan aturan adat yang bernama Mungka. Mungka merupakan kegiatan menjaga hutan larangan oleh masyarakat adat yang sekaligus dilaksanakan ketika mereka mencari nafkah dalam kawasan hutan seperti berburu dan mencari tumbuhan obat. Kegiatan ini diatur dengan aturan adat, yaitu “Biat”. Bila ditemukan ada yang menebang pohon yang belum cukup umur akan dikenakan sanksi dan denda. Sanksinya berupa orang tersebut harus menanam pohon yang sama sebanyak 3 pohon sedangkan dendanya biasanya harus menyediakan hewan sebagai korban yang nantinya akan dimakan bersama oleh masyarakat dan juga orang tersebut dilarang untuk masuk kawasan hutan selama satu tahun.[103]
              Di kepulauan Maluku, tata kelola hutan adat dikenal dengan Sasi. Sasi merupakan larangan untuk mengambil hasil hutan dalam jangka waktu tertentu. Ini dimaksudkan agar sumber daya hutan yang ada dapat dipergunakan tepat pada waktunya serta tetap tersedia untuk semua orang. Waktu sasi biasanya 3 - 6 bulan bahkan bisa sampai 1 tahun. Setelah waktu itu selesai, masyarakat bisa mengambil hasil hutan namun dalam batasan yang wajar, seperlunya dan sesuai dengan aturan adat, proses ini dinamakan buka sasi. Aturan inipun mempunyai sanksi dan denda jika dilanggar. Di Maluku tengah, sanksi yang dikenakan biasanya diberi denda adat berupa membayar kembali sesuai dengan yang telah ditentukan dalam aturan adat sedangkan di Maluku tenggara, denda adat bisanya berupa ganti rugi dengan emas . Selain itupun mereka percaya bahwa jika sengaja melanggar sasi akan mendapat musibah. Karena itulah masyarakat benar-benar tahu akan pentingnya menjaga hutan.[104]
              Contoh lain dari bentuk kearifan lokal masyarakat adat dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan adalah Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar desa Sirnaresmi, pada dasarnya Masyarakat Ciptagelar masih menggunakan cara pembakaran dalam penyiapan lahannya dengan alasan lebih cepat dan lebih mudah dilakukan, Namun melakukan pembakaran mereka masih mempertahankan cara penyiapan lahan tanpa bakar (zero burning), walaupun masih dengan alat manual seperti cangkul. Sedangkan pada kelompok masyarakat yang menyiapkan lahan dengan membakar, teknik pembakaran yang dilakukan sebagian besar dengan teknik pile burning yaitu dengan menumpuk limbah penyiapan lahan pada lokasi tertentu yang kemudian dilakukan pembakaran searah dengan angin. Dibanding dengan teknik lainya teknik pembakaran tumpukan ( pile burning) memiliki resiko pembakaran api yang lebih kecil, karena api terkonsentrasi pada lokasi tumpukan dan relatif lebih terkendali. Menurut masyarakat, teknik pembakaran tumpukan yang menempatkan tumpukan di tengah ladang yang sebagian besar dilakukan oleh masyarakat dapat menghindarkan penjalaran api yang meluas. Upaya lain yang dilakukan untuk mengendalikan kebakaran adalah dengan mengangkut limbah penyiapan lahan  ke bagian sisi ladang, sehingga tidak ada pembakaran yang bersifat menyebar di seluruh ladang seperti yang biasa dilakukan oleh para peladang/petani di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Tahapan kegiatan pembukaan ladang yang dilakukan dengan pembakaran meliputi pemilihan calon ladang, penebasan “nyacar”, pembakaran “ngahuru”, pembakaran ulang “ngaduruk”, dan penanaman ”ngaseuk. Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat adat kasepuhan Ciptagelar terkait pencegahan kebakaran hutan dan lahan diantaranya membuka lahan dilakukan pada musim kemarau dan tidak membuka lahan dekat kawasan taman nasional.[105]
            Pada dasarnya sebagian masyarakat adat dalam rangka melestarikan lingkungan ataupun dalam hal mengolah membuka lahan dengan cara membakar masih memperhatikan keberlangsungan ekosistem hutan di sekitarnya, akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern khususnya terhadap alam menjadikan manusia cenderung berpandangan Antroposentrisme dimana semakin banyak jumlah pertumbuhan manusia, maka pertumbuhan ekonomi juga akan semakin terdesak dan Alam dilihat hanya sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan manusia, dan yang terjadi adalah pembukaan lahan dimana-mana dengan mengolah lahan hutan dengan cara membakar pohon, tanaman-tanaman, tanpa memperhatikan keberlangsungan dan dampak terhadap lingkungan hidup disekitarnya, terlebih pasal 69 ayat 2 masih memandang kearifan lokal masih diakui, akibatnya ini membuka celah hukum bagi orang yang tidak bertanggung jawab.
            Celah hukum yang dimaksud disini terjadi ketika ada pihak-pihak yang membakar hutan dengan alasan membuka lahan dan memakai pasal 69 ayat 2 UU lingkungan hidup sebagai pembenaran yang diperbolehkan oleh undang-undang, dan ketika terjadi sengketa dimana negara menggugat pihak pihak tersebut dengan dasar gugatan membakar hutan maka dalam hal ini pihak pihak tersebut dapat memakai pasal 69 ayat 2 sebagai “tameng” untuk meloloskan diri dari jeratan hukuman.
Sebagai perbandingan kasus hukum lain yang dimana Pasal 31 Undang Undang yang mengatur tentang bahasa dapat menjadi alat untuk menggugat, dalam pasal 31 ayat 1 terdapat kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam pembuatan suatu perjanjian, dan ayat 2 kesepakatan dengan pihak lain di tulis juga dengan bahasa nasional pihak asing. Setelah terjadi kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis menggunakan bahasa Asing, salah satu pihak lalu menggugat ke pengadilan bahwa perjanjian yang mereka buat melanggar pasal 31 tentang kewajiban penggunaan bahasa Indonesia, jadi karena perjanjian yang mereka buat menggunakan bahasa asing maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Oleh hakim sendiri memandang hal tersebut dari sisi penegakan hukum melalui undang undang dan mengacu pada Undang-Undang bahasa. Maka secara otomatis perjanjian tersebut batal demi hukum.[106]
Demikian halnya dengan Pasal 69 ayat 2 Undang-Undang lingkungan hidup apabila gugatan pembakaran hutan sampai ke pengadilan, dan hakim memutus dengan menggunakan dasar hukum pasal 69 ayat 2 bahwa membakar hutan tidak melanggar karena sesuai dengan kearifan lokal, maka dalam hal ini akan menimbulkan kerugian baik terhadap alam itu sendiri ataupun terhadap masyarakat dan pemerintah.












UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP PEMBAKARAN HUTAN DI INDONESIA
Peranan pemerintah dalam upaya mencegah terjadinya kebakaran hutan
              Pemerintah melalui Departemen Kehutanan sebagai pengelola hutan di Indonesia mengatur semua urusan yang ada hubungannya dengan penggunaan kawasan hutan termasuk soal peruntukan hutan dan bagi siapa serta seberapa lama.[107]
              Peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan diatur dalam UU No5 tahun 1990, UU No 5 tahun 1994, UU No 32 tahun 2009 dan PP No 4 tahun 2001. Langkah langkah dan upaya-upaya dalam rangka penanggulangan kebakaran hutan dan lahan terdiri dari :[108]
a.    Pemasyarakatan tindakan pencegahan dan penanggulangan (pemadaman) melalui kegiatan penyuluhan yang terkoordinasi seperti penggunaan media cetak, elektronik dan sebagainya;
b.    Pelarangan kegiatan pembakaran dan pemasyarakatan kebijakan penyiapan lahan tanpa bakar (PLTB);
c.    Peningkatan keterampilan dan kemampuan sumber daya manusia baik yang berasal dari instansi pemerintah maupun perusahaan;
d.   Pemenuhan dan pengadaan peralatan pemadam kebakaran sesuai dengan standar yang ditetapkan;
e.    Melakukan kerjasama teknik dengan negara-negara donor;
f.     Peningkatan kesejahteraan masyarakat disekitar hutan;
g.    Menindak tegas setiap pelanggar hukum/peraturan yang telah ditetapkan;
h.    Peningkatan upaya penegakan hukum.
              Purnasari merumuskan strategi pencegahan kebakaran hutan melalui pendekatan sosial dan ekonomi kepada masyarakat dengan bantuan dari pemerintah, adapun rumusan tersebut adalah sebagai berikut:[109]
a.    Pencegahan kekeringan lahan gambut melalui pengaturan zona dalam pemanfaatan lahan dengan memaksimalkan sumber daya yang ada di pemerintah dan desa.
b.    Mempersatukan sumber daya baik di pemerintah maupun masyarakat sekitar dalam upaya rehabilitasi lahan.
c.    Peningkatan produksi hasil bumi dan peternakan di area tempat tinggal masyarakat demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
d.   Penguatan kelembagaan Masyarakat Peduli Api (MPA) yang dilakukan dengan cara melibatkan masyarakat secara optimal dalam upaya pencegahan kebakaran hutan.
e.    Mendirikan koperasi sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan di sekitar area hutan.

              Pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) telah mendistribusikan 20 unit mobil operasional bagi daerah-daerah rawan kebakaran, namun jumlah itu
dirasakan pemerintah daerah (pemda) belum cukup optimal untuk menunjang
upaya mengatasi kebakaran. Di sisi lain, pemerintah pusat pun mengaku sulit menjangkau seluruh daerah yang dinyatakan rawan kebakaran.
              Lambatnya reaksi dan keengganan pemda setempat dalam
memberikan informasi selengkap mungkin mengenai kondisi di lapangan,
diakui sebagai hambatan bagi upaya pencegahan meluasnya kebakaran hutan dan
lahan. Asisten Deputi Urusan Ekosistem Darat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Antung Deddy mengemukakan hal itu di Jakarta, Rabu (11/6). Antung
berpendapat, seharusnya dengan otonomi daerah secara otomatis setiap pemda
mempunyai kewenangan dan tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah yang
terjadi di wilayahnya, termasuk kebakaran hutan dan lahan. Meski demikian,
pemerintah pusat tidak bisa begitu saja melimpahkan semua tugas berkaitan
dengan pencegahan maupun penanggulangan kebakaran.[110]
              Antung menyampaikan, sejauh ini KLH telah menjalankan tugas dan
kewenangannya dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan meminimalkan
dampaknya. Sejak awal tahun ini unit informasi dini kebakaran hutan KLH
telah menginformasikan kepada pemda terkait mengenai lokasi-lokasi rawan
kebakaran berdasarkan citra satelit. [111]
              Selain itu, ia menambahkan, KLH juga terus berupaya menjangkau semua tingkatan pemerintahan di daerah, mulai dari tingkat desa hingga provinsi.
Upaya itu dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai kesulitan dan
kendala yang dihadapi aparat di lapangan.[112]
              Kepala Bidang Kebakaran Hutan dan Lahan KLH Hermono Sigit mengatakan, setiap daerah mempunyai karakteristik berbeda, baik geografis maupun kepedulian pemdanya dalam mengatasi kebakaran. Hal itulah yang dirasakan menjadi kendala sehingga menyulitkan adanya koordinasi dan kerja sama antar instansi.[113]
              Dari sisi penegakan hukum mengenai penjelasan pasal 69 ayat 2 yang memuat kearifan lokal yang membenarkan melakukan pembukaan lahan dengan membakar sekitar 2 hektar sedang dipertimbangkan untuk direvisi.
              Aturan yang mengatur larangan membakar hutan untuk membuka lahan dinilai masih longgar. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) akan merevisi aturan tersebut. Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menyatakan pihaknya sedang mempersiapkan pengkajian peraturan daerah serta revisi Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dia mengatakan sudah meminta revisi undang-undang tersebut. Namun, revisi ini juga disertai dengan upaya pelindungan hutan gambut. Menurutnya, dalam revisi UU 32 Tahun 2009 akan diatur dengan detail norma-norma soal larangan pembukaan lahan. Terkait izin lurah dan camat yang mudah, hal ini juga akan menjadi evaluasi.[114]
              Pemerintah dituntut untuk dapat memberikan sanki yang tegas, di undang undang Lingkungan Hidup sudah terdapat sanksi yang tegas sanksi yang dikenakan yakni termuat dalam Pasal 108 yaitu setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 
 Peranan Masyarakat dalam upaya meminimalisasi terjadinya kebakaran hutan
              Masyarakat sebagai pihak yang berada paling dekat dan terdampak langsung dari kebakaran bisa menjadi jalan keluar. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan berada di lokasi ketika bencana terjadi, namun setelah bisa mengatasi, mereka pun akan segera pergi.  Dengan demikian, masyarakat yang senantiasa berada di lokasi hendaknya bisa mencegah pembakaran lahan dan hutan agar tidak menjadi bencana. Peran serta masyarakat untuk mencegah terjadinya bencana kebakaran lahan dan hutan bisa dimulai dari tingkat desa. Masyarakat Desa Harapan Jaya, Kecamatan Tempuling, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau telah memiliki Peraturan Desa (PerDes) Nomor 01 Tahun 2012 tentang Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan. Peraturan desa ini lahir karena keprihatinan warga akan dampak kebakaran hutan dan lahan serta melihat penegakan peraturan daerah di tingkat provinsi yang lemah. Di dalam peraturan desa tersebut diatur dengan jelas dan tegas, bahwa setiap warga masyarakat yang membakar lahan tanpa terkendali dan mengakibatkan kebun/ladang tetangga ikut terbakar akan dikenakan sanksi. Besaran sanksi tersebut adalah sebagai berikut: tanaman karet dendanya Rp 100.000/batang dan tanaman sawit dendanya Rp 350.000/batang. Aturan tersebut terbukti ampuh dan sudah ada warga yang membayar denda sejumlah Rp 20.000.000. Dalam mekanisme ini, pemerintah daerah tidak menerima denda, namun hanya sebagai penengah antara korban dan pembakar. Peraturan Desa Harapan Jaya tersebut memberikan pelajaran yang sangat berarti bagi penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan. Pertama, masyarakat dengan inisiatif sendiri bisa bekerja sama untuk menghukum warga yang membakar lahan tanpa terkendali. Kedua, mekanisme denda atau sanksi ampuh untuk memberikan efek jera kepada para pembakar. Ketiga, kendati peraturan desa itu ampuh, namun cakupannya hanya terbatas pada administrasi desa dan tidak berdaya untuk menghukum perusahaan yang membakar lahan. Belajar dari peraturan desa dan penegakannya, maka inilah beberapa hal yang kiranya bisa ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat dan daerah agar kebakaran tidak terus berulang setiap tahun. Pertama, partisipasi masyarakat harus ditingkatkan terutama untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan di lingkungannya dengan pelatihan dan penyediaan sarana dan prasarana untuk memadamkan api. Kedua, kemitraan antara perusahaan dan masyarakat perlu dijalin oleh pemerintah daerah agar tidak timbul konflik. Ketiga, memberlakukan mekanisme denda kepada perusahaan yang wilayah konsesinya terbakar  dengan perhitungan denda per hektar. Sistem denda ini akan efektif karena efek jera dan kecepatan pelaksanaannya dibandingkan upaya pidana atau perdata. Keempat, pengembangan penelitian dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk menggantikan metode pembakaran lahan. Kelima, bila metode membakar masih tetap menjadi pilihan, maka harus terkendali dan diawasi dengan ketat agar tidak meluas.[115]
                   Masyarakat adat di Indonesia memiliki peran penting dalam mengatasi perubahan iklim. Hutan-hutan bagus banyak berada di wilayah adat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengidentifikasi dari 57 juta hektar kawasan hutan dikuasai masyarakat adat, sekitar 40 juta hektar masih hutan alam sangat baik. Sedang dari peta wilayah adat seluas 6,8 juta hektar yang diserahkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 65% masih hutan alam. Dalam pidato Presiden Joko Widodo di COP21 Paris menyatakan jelas perlu pelibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam mengatasi perubahan iklim. “Pidato ini memberi apresiasi terhadap upaya-upaya yang selama ini dilakukan masyarakat adat dalam menjaga hutan-hutan terbaik yang masih ada di wilayah adat.
              Pelibatan masyarakat adat penting dalam mengatasi perubahan iklim, dikuatkan dari penelitian yang menyebutkan hutan adat dunia menyimpan 20% karbon dari hutan tropis dunia. Penelitian yang rilis 30 November 2015 ini menyatakan, pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat bisa memberikan kontribusi besar dalam memperlambat perubahan iklim. Menurut penelitian itu, melindungi hutan tropis tanah adat dari pembukaan, pembakaran, pertambangan, penebangan tidak lestari dan ancaman lain tak hanya penting mencegah kenaikan CO2 juga untuk menjaga manfaat lingkungan lain. Kerusakan hutan bisa berdampak lingkungan dan kesehatan langsung, seperti kabut asap dari kabakaran hutan.“Masyarakat adat mempraktikkan cara hidup tradisional yang memiliki dampak jauh lebih rendah terhadap hutan tropis. [116]















BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1.      Pada dasarnya hutan di Indonesia terbagi atas 3 bagian sesuai dengan fungsi pengelolaannya yakni hutan lindung, hutan konservasi dan hutan produksi. Permasalahan hutan di Indonesia muncul ketika terjadi kebakaran yang berdampak besar terhadap lingkungan hutan dan sekitarnya termasuk pencemaran udara berupa kabut asap yang mengganggu kesehatan serta telah menjalar sampai ke Negara negara tetangga, berbagai faktor penyebab terjadinya kebakaran seperti pembukaan lahan dengan cara menggunakan api yakni dengan membakar dengan tidak sesuai aturan sehingga menyebabkan api menjalar ke sekitar area yang dibakar dan faktor-faktor lain baik dari konflik pembukaan lahan tanpa izin oleh perusahaan , dan juga illegal loging atau pembalakan liar yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tanpa memperdulikan akibat yang ditimbulkan.
2.      Pengelolaan hutan khususnya hutan diperuntukkan untuk membuka lahan baru oleh masyarakat adat terhadap hutan adat negara dalam hal ini telah mengakui keberadaan hutan adat, dan pengolahan hutan adat diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat adat untuk mengelola sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi MK No 35 Thn 2013 tentang penegasan tanah negara dan tanah adat. Dengan demikian maka pengelolaan hutan adat sepenuhnya diakui oleh negara. Terkait dengan cara pengelolaan hutan dari segi kearifan lokal beberapa masyarakat adat masih menggunakan api untuk membakar akan tetapi tetap memperhatikan nilai nilai luhur adatnya. Dan beberapa suku menetapkan sanksi ketat bagi para pembakar hutan yang tidak melaksanakan sesuai dengan prosedur adat yang ditetapkan.
3.      Peranan pemerintah dan masyarakat dalam upaya menciptakan pelestarian lingkungan hidup terhadap terjadinya kebakaran hutan berupa mengadakan pencegahan dan penanggulangan (pemadaman) melalui kegiatan penyuluhan dan menguatkan lembaga-lembaga terkait dalam penanggulangan terjadi kebakaran hutan, selain itu Pemerintah akan segera merevisi Undang-Undang lingkungan hidup khususnya pasal 69 ayat 2 tentang pembakaran lahan sesuai dengan kearifan lokal yang dianggap menjadi celah hukum terjadinya pembakaran hutan selain itu Peran serta masyarakat untuk mencegah terjadinya bencana kebakaran lahan dan hutan dimulai dari tingkat desa. Di dalam peraturan desa tersebut diatur dengan jelas dan tegas, bahwa setiap warga masyarakat yang membakar lahan tanpa terkendali dan mengakibatkan kebun/ladang tetangga ikut terbakar akan dikenakan sanksi, selain itu Peran masyarakat adat sangat penting karena hutan yang masih asri berada dikawasan hutan adat, oleh karena itu keikutsertaan masyarakat adat dalam melestarikan lingkungan khususnya hutan sangat penting.
SARAN
1.      Dalam pelestarian hutan harus menjadi perhatian pemerintah dalam hal pengamanan dan izin pengelolaan khususnya hutan lindung sebab ekosistem dalam hutan lindung terdiri dari berbagai keanekaragaman hayati dan hewani yang harus dilindungi, Pengelolaan hutan sebagai hutan konservasi dan hutan produksi juga harus di perhatikan pemerintah khususnya dalam hal penebangan hutan dan cara membuka lahan, Sebaiknya pemerintah membuat sebuah kegiatan penyuluhan terhadap cara pengelolaan hutan baik kepada instansi perusahaan maupun masyarakat khususnya dalam membuka lahan agar cara pengelolaan hutan tidak sampai berakibat pada kebakaran hutan yang meluas terjadi di Indonesia.
2.      Bentuk pengelolaan hutan oleh masyarakat adat perlu ada regulasi khususnya dalam hal pengelolaan hutan atau lahan dengan cara membakar yang dibuat oleh pemerintah, regulasi ini berguna untuk mengharmonisasikan kebudayaan masyarakat lokal khususnya dalam pengelolaan lahan atau hutan dengan hukum yang mengatur tentang pelestarian dan pengelolaan hutan dengan cara yang baik dan benar. Hal ini menjadi penting karena saat terjadi kebakaran hutan bentuk kearifan lokal khususnya dalam hal pengelolaan dengan cara membakar dengan hukum yang mengatur tentang pelestarian lingkungan tidak saling bertentangan..
3.      Perlunya revisi  terhadap undang-undang lingkungan hidup khususnya pasal 69 ayat 2 tentang pembakaran lahan sesuai dengan kearifan lokal yang dianggap menjadi celah hukum terjadinya pembakaran hutan, revisi ini juga harus tetap menghormati dasar-dasar kebudayaan masyarakat adat hutan yang sudah menjadi tradisi dan kebudayaan masyarakat yang menyangkut tata cara mereka membuka lahan dan tata cara mereka membakar lahan, sebab masyarakat adat juga memiliki hak untuk mengelola hutan adat dan hal ini perlu dilestarikan, akan tetapi dengan tetap memperhatikan pelestarian dan perlindungan terhadap lingkungan.










































DAFTAR PUSTAKA

A.Buku

Adinugroho Wahyu catur, Panduan pengendalian kebakaran hutan dan lahan gambut  2005 

Arief, Arifin,  Hutan dan kehutanan, Kanisus, Yogyakarta 2001

Barau, B. A. Kearifan Lokal Etnis Lokal Dalam Mendukung Kawasan Konservasi Taman Nasional Lore Lindu. Studi Kasus Desa Katu, Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Donggala. Skripsi. Fakultas Kehutanan, Universitas Tadulako, Palu 2013,

Chokkalingan U, Kebakaran Lahan Rawa/Gambut di Sumatera : Masalah dan Solusi. Palembang, 10-11 Desember 2003. Jakarta : CIFOR.

Echols, Jhon M dan Hassan Shadzily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta : PT Gramedia 1976

Erwin Muhamad, Hukum Lingkungan: Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2008

HS, Salim, Dasar Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta: Sinar Grafika, 2006

Hamdani, Fauzi,Pembangunan Hutan Berbasis Kehuitanan Sosial, Karya Putra Darwati Bandung. 2013

Hidayat, Herman, Politik lingkungan:  pengelolaan hutan masa Orde Baru dan reformasi , Edisi pertama Jakarta : Yayasan Obor Indonesia 2008
Junaedi A. 2010 Wanatani berbasis tanaman karet klonal “ langkah menuju intenfikasi lahan “, di dalam sukmareni, editor. Catatan pendapingan Orang Rimba menantang zaman komunitas Konservasi Indonesia Warsi. Jakarta : KKI Warsi.  
Khakim ,Abdul, Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia Dalam Era Otonomi Daera), Cet.1,Bandung : PT Citra Aditya Bakti,2005

L, Syaufina,. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia., Malang Bayumedia, 2008

Masykuri, Skripsi efektifitas hukum penerapan undang undang no 41tahun 1999 tentang kehutanan terhadap penebangan liar (ilegal logging) di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara Fakultas Hukum Universitas Hasanurdin Makasar 2013

Manan, Bagir, Hukum Positif Indonesia, FH UII PRESS: Yogyakarta________

Muhajir,Mumu, REDD (Pengurangan emsisi dari deforestasi dan degradasi hutan) di Indonesia, kemana akan melangkah studi tentang kebijakan pemerintah dan keentatan sosial, HuMa Jakarta 2010

Pengtuluran, Yonathan, Manajemen Sumber Daya alam dan Lingkungan, Yogyakarta Penerbit Andi 2015

Purnasari, Thesis Magister Universitas Diponegoro Strategi pencegahan kebakaran Hutan berbasis Masyarakat ( Kajian Biofisik, Ekonomi, Sosial dan Budaya Masyarakat Sekitar Kawasan Suaka Margasatwa Padang Sugihan Di Provinsi Sumatera Selatan 2007

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti__________

Rosadi, Otong, Inkorporasi Prinsip Keadilan Sosial dalam Pembentukan Undang-undang tentang Kehutanan dan Undang-undang tentang Pertambangan Periode 1967-2009, Disertasi,Jakarta:Program Pasca-sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
Santoso, I. Eksistensi Kearifan Lokal Pada Petani Tepian Hutan dalam Memelihara Lingkungan Kelestarian Ekosistem Sumberdaya Hutan  2009

Silas, Anton, Sinery Potensi dan Strategi Pengelolaan Hutan Lindung, Yogyakarta Deepublish 2015

Sukardi,.Ileggal logging( dalam Perspektif Papua),Cet.I,Yogyakarta 2005:Universitas Atma Jaya.

Sukardi. 2007. Pengendalian kebakaran lahan dan hutan, sebuah pemikiran, teori, hasil praktek, dan pengalaman lapangan. Jakarta. Ditjen PHKA- JICA

Sumantri 1997. Pencegahan kebakaran hutan melalui peningkatan peran serta masyarakat sekitar kawasan penyangga. Ditjen PHKA dan JICA. Bogor.

Suyanto,  Kebakaran di Lahan Rawa/Gambut di Sumatera : Masalah dan Solusi, penerbit Cifor Jakarta 2009

Siahaan, N.H.T.,Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Jakarta ,PT Gelora Aksara Pratama 2004

Soemartono ,R.M. Gatot P, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996 

Suhendang ,Endang, Pengantar ilmu Kehutanan Cet I Bogor, Badan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB 2002

S. Keraf, Etika Lingkungan. Kompas Jakarta. 2006

Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke 11, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 2009

Wijoyo ,Suparto, Hukum Lingkungan : Mengenal Instrumen Hukum Pengendalian Pencemaran Udara di Indonesia, Surabaya : Airlangga University Press,2004

B.Artikel
Arianto, Jurnal Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako, Kearifan Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan hutan di desa Rano kecamatan Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala, Warta Rimba 2014

H, Kartidihardjo,Agraria Kehutanan: Kondisi, Masalah-Akar Masalah, dan Rekomendasi. Makalah pada Diskusi Forum Ilmu Pengelolaan Hutan, Fahutan IPB. Dramaga, Bogor, 22 Nopember 2014.

Moeliono, Moira Peneliti CIFOR , hutan adat dan hutan desa Peluang dan kendala bagi masyarakat dalam mengelola hutan, diakses dari media internet  http://wg-tenure.org/wp content/uploads/2013/05/Warta_Tenure_05f.pdf pada tanggal 19 Maret 2016

Rasyid ,Fachmi Makalah persentasi Lokakarya Regional Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) Provinsi Banten tanggal 10-11 November 2014 tentang Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan diakes melalui media Internet http://juliwi.com/published/E0104/Paper0104_47-59.pdf pada tanggal 15 Maret 2016

Setiawati, Tity Wahju, Hak, Kewajiban dan Peranserta (Partisipasi) Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Artikel Media Hukum Vol IX No2 2009

Syaufina, Lailan, jurnal IPB Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan(Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten SukabumiPropinsi Jawa Barat) 
Wahyuni, Sustainable Forest Management In Indonesia’s Forest Law (Policy And Institutional Framework). Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. September 2014. Fakultas Hukum. Universitas Jendral Soedirman.

Y, Maladi, Kajian Hukum Kritis Alih Fungsi Lahan Hutan Berorientasi Kapitalis. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 1 Januari 2013. Fakultas Hukum. Universitas Jendral Soedirman.

C.Internet

Agus Sabahrani, MK Tegaskan hutan adat bukan milik negara, masyarakat adat tetap berhak mengelola hutan adat, diakses dari www.hukumonline.com pada tanggal 19 Maret 2016

Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Menjaga Hutan, Menjamin Kelestarian Hutan Indonesia. Diakses dari media Internet http://www.kompasiana.com/www.juniorabe.blogspot.com/kearifan-lokal-masyarakat-adat-dalam-menjaga-hutan-menjamin-kelestarian-hutan-indonesia_55205ad7813311297419f7cb  pada tanggal 20 Maret 2016

Qandhi, F. F.. Pentingnya Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan lingkungan Di Pedesaan. http : / / fika fatia qandhi. wordpress. Com / 2012 / 05 / 07 / pentingnya – kearifan – lokal –masyarakat – dalam – pengelolaan – sumberdaya – alam – dan – lingkungan – di – pedesaan /

Lisensi dan Perizinan Situs berita an Informasi Lingkungan diakses melalui media internet http://www.mongabay.co.id/lisensi-dan-perizinan/ pada tanggal 17 Maret 2016

Ilyas Asaad, Deputi Menteri Lingkungan Hidup, bidang Penaatan lingkungan diakses dari media website http://green.kompasiana.com/iklim/2010/08/14/uu-pplh-no-32-tahun-2009-tonggak-baru-keberlanjutan-lh-225476.html pada tanggal 17 Maret 2016

BNPB : Kebakaran Hutan 2015 Seluas 32 Wilayah DKI Jakarta Diakses dari www.cnnindonesia.comhttp://www.cnnindonesia.com/nasional/20151030133801-20-88437/bnpb-kebakaran-hutan-2015-seluas-32-wilayah-dki-jakarta/ diakses pada tanggal 13 Maret 2015

Pengertian Hutan, Manfaat Hutan dan yang Mempengaruhi Persebaran Hutan, http://organisasi.org, Diakses pada tanggal14 Maret 2016
Pengertian Hutan menurut para ahli Diakses dari media Internet www.pengertiaahli.com, diakses pada tanggal 14 Maret 2016

Pengertian Ekologi dan Pengertian Hutan diakses dari www.pengertianpakar.com, diakses pada tanggal 14 Maret 2016

Hutan jenis dan manfaatnya diakses dari Website Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat dishut.jabarprov.go.id/images/.../hutan-jenis-hutan-dan-manfaatnya.doc diakses pada tanggal 15 Maret 2016

Bambang Hero Saharjono dan Lailan Syaufina seminar Kebakaran hutan dan lahan gambut diakses dari  http://www.cifor.org/ipn-toolbox/wp-content/uploads/pdf/C3.pdf (Center for International Forestry Research) diakses pada tanggal 15 Maret 2016

Fachmi Rasyid, Jurnal Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan, diakses dari http://juliwi.com/published/E0104/Paper0104_47-59.pdf pada tanggal 15 Maret 2016
BNPB catat Kerugian Akibat Kebakaran Hutan 2015 Rp 221 Triliun.Diakses dari media internet http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/12/20/nzms82359-bnpb-catat-kerugian-akibat-kebakaran-hutan-2015-rp-221-triliun Diakses pada tanggal 15 Maret 2016

Joko Ariwibowo, Asas dalam peraturan perundang undangan diakses dari media Internet http://jokopas.blogspot.co.id/2013/09/asas-asas-dalam-peraturan-perundang.html pada tanggal 16 Maret 2016

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabinet Kerja Jokowi diakses dari media internet http://www.tfcasumatera.org/siti-nurbaya-menteri-kehutanan-dan-lingkungan-hidup-kabinet-kerja-jokowi/ pada tanggal 16 Maret 2016

Laode M Syarif, Sinergi Lingkungan Kehutanan diakses dari media internet http://www.kemitraan.or.id/id/blog-partnership/sinergi-lingkungan-kehutanan pada tanggal 16 Maret 2016

Kebakaran Hutan, diakses dari media internet  https://jurnalbumi.com/kebakaran-hutan/ pada tanggal 18 Maret 2016

Yohannie Linggasari, Komisi IV DPRD Nilai UU Langgengkan masyarakat Bakar Hutan dikutip dari media internet http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151022141335-20-86632/komisi-iv-dpr-nilai-uu-langgengkan-masyarakat-bakar-hutan/ pada tanggal 19 Maret 2016

Uni lubis, Ketika membakar lahan dianggap kearifan lokal,  diakses dari media internet http://www.rappler.com/indonesia/106067-ketika-membakar-lahan-dianggap-kearifan-lokal pada tanggal 19 Maret 2016

Maqdalena. Peran Hukum dalam pengelolaan dan Perlindungan hutan Di Desa Sesaot, nusa Tenggara Barat dan Desa Setulang Kalimantan Timur. Jurnal. Nababan. A. 2003, Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat. http : / / www. ulayat. or .id / artikel / pengelolaan – sumberdaya – alam – berbasis – masyarakat – adat / 2013
Kementerian lingkungan Hidup Republik Indonesia, Soal Kebakaran hutan diakses melalui media internet http://www.menlh.go.id/soal-kebakaran-hutan/ pada tanggal 20 Maret 2015

Masyarakat dalam Penanggulangan Bencana Asap diakses dari website www.bnpb.co.id http://www.bnpb.go.id/berita/2577/masyarakat-dalam-penanggulangan-bencana-asap pada tanggal 20 Maret 2016

Sapariah Saturi Perlibatan Masyarakat Adat bisa jadi jurus ampuh atasi perubahan iklim diakses dari media internet  http://www.mongabay.co.id/2015/12/06/pelibatan-masyarakat-adat-bisa-jadi-jurus-ampuh-atasi-perubahan-iklim/ pada tanggal 20 Maret 2016





D.Undang undang

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 tentang upaya perlindungan dan pengelolaan lingungan hidup

Undang undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 2014 Tentang Perkebunan

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan
Putusan Putusan Pengadilan Negeri Tembilahan Nomor 94/Pid.Sus/2014/PN.Tbh

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam Perkara no 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar




[1] Suyanto,  Kebakaran di Lahan Rawa/Gambut di Sumatera : Masalah dan Solusi, penerbit Cifor Jakarta 2009 hal 69
[2] Proses dimana kondisi lingkungan biosfisik berubah akibat aktivitas manusia terhadap suatu lahan
[3] Ibid hal 70
[4] Suatu fenomena perubahan iklim yang secara global yang diakibatkan karena memanasnya suhu di permukaan air laut pasifik bagian timur.
[5] Ibid hal 70
[6] Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
[7] Syaufina Syaufina, Lailan, jurnal IPB Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan(Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten SukabumiPropinsi Jawa Barat)  2008.
[8] Dit. PKH 2010.
[9] Kejahatan Kemanusiaan yang Luar Biasa.
[10] Sumantri 2007 pengendalian kebakaran lahan dan hutan. Jakarta. Ditjen PHKA-JICA
[11] Sonor artinya nalak atau membiarkan atau tidak diurus, sistem penanaman padi tradisional diarea rawa atau gambut.
[12] Junaedi 2010. Langkah menuju intensifikasi lahan. Jakarta : KKI Warsi Hlm 109-121.
[13] Chokkalingan et al. 2004. Pengelolaan api perubahan sumber daya alam dan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat di areal rawa/gambut-sumatera bagian selatan. Jakarta. CIFOR. Hlm 45-47.
[14] Sumantri 1997. Penjegahan kebakaran hutan melalui peningkatan peran serta masyarakat sekitar kawasan penyangga. Ditjen PHKA dan JICA. Bogor.
             [15] Pasal 1 ayat 1 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
             [16] Pengertian Hutan, Manfaat Hutan dan yang Mempengaruhi Persebaran Hutan, http://organisasi.org, Diakses pada tanggal14 Maret 2016
[17] Pakar kehutanan
             [18] Salim HS, Dasar Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 hal 41
[19] Ahli hutan
             [20] Ibid
[21] Ilmu pembinaan hutan
             [22] Ali diakses dari www.pengertianpakar.com, Pengertian Ekologi dan Pengertian Hutan diakses pada tanggal 14 Maret 2016
             [23] Website Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat dishut.jabarprov.go.id/images/.../hutan-jenis-hutan-dan-manfaatnya.doc diakses pada tanggal 15 Maret 2016
[24] www.google.com
[25] Emil Salim adalah tokoh lingkungan hidup internasional dan seorang ahli ekonomi
             [26] Anton Silas Sinery Potensi dan Strategi Pengelolaan Hutan Lindung, Yogyakarta Deepublish 2015 hal 5
[27] Konsesi adalah hak, izin atau tanah oleh pemerintah, perusahaan atau individu.
[28] Inspeksi adalah proses pemeriksaan dengan metode pengamatan.
[29] Organisasi lingkungan hidup
             [30] Herman Hidayat, Politik lingkungan:  pengelolaan hutan masa Orde Baru dan reformasi , Edisi pertama Jakarta : Yayasan Obor Indonesia 2008 hal 124
             [31] Ibid
             [32] Fachmi Rasyid, Jurnal Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan, diakses dari http://juliwi.com/published/E0104/Paper0104_47-59.pdf pada tanggal 15 Maret 2016
             [33] Ibid
             [34] Ibid
             [35] Soerjono Soeanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetaan ke 11 Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 2009 hal 13-14
             [36] N.H.T.Siahaan Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Jakarta ,PT Gelora Aksara Pratama 2004 hal 143
             [37] Ibid hal 156
             [38] Website kementerian lingkungan hidup http://www.menlh.go.id/asas-perlindungan-dan-pengelolaan-lingkungan-hidup/  Asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, diakses pada tanggal 16 Maret 2016
             [39] Joko Ariwibowo, diakses dari media Internet http://jokopas.blogspot.co.id/2013/09/asas-asas-dalam-peraturan-perundang.html Asas dalam peraturan perundang undangan pada tanggal 16 Maret 2016
             [40] Satjipto Rahardjo Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti hal 45
             [41] Otong Rosadi, , Inkorporasi Prinsip Keadilan Sosial dalam Pembentukan Undang-undang tentang Kehutanan dan Undang-undang tentang Pertambangan Periode 1967-2009, Disertasi,Jakarta:Program Pasca-sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010 hal. 94.
             [42] Masykuri, Skripsi efektifitas hukum penerapan undang undang no 41tahun 1999 tentang kehutanan terhadap penebangan liar (ilegal logging) di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara Fakultas Hukum Universitas Hasanurdin Makasar 2013
             [43]  Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, FH UII PRESS: Yogyakarta hal 56
             [44] Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabinet Kerja Jokowi diakses dari media internet http://www.tfcasumatera.org/siti-nurbaya-menteri-kehutanan-dan-lingkungan-hidup-kabinet-kerja-jokowi/ pada tanggal 16 Maret 2016
             [45] Laode M Syarif, Sinergi Lingkungan Kehutanan diakses dari media internet http://www.kemitraan.or.id/id/blog-partnership/sinergi-lingkungan-kehutanan pada tanggal 16 Maret 2016
             [46] Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan: Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 4.
             [47]  R.M. Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996  hal.  31
[48] Ibid hal 72
             [49] Ibid hal 74
             [50] Ibid hal 76
             [51] Ibid hal 39
             [52] Muhamad Erwin, op.cit., hal. 5.
             [53] Ibid hal 6
             [54] Ibid., hal. 16
             [55] Ilyas Asaad, Deputi Menteri Lingkungan Hidup, bidang Penaatan lingkungan diakses dari media website http://green.kompasiana.com/iklim/2010/08/14/uu-pplh-no-32-tahun-2009-tonggak-baru-keberlanjutan-lh-225476.html pada tanggal 17 Maret 2016
             [56]  Ibid
             [57] Tity Wahju Setiawati, Hak, Kewajiban dan Peranserta (Partisipasi) Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Artikel Media Hukum Vol IX No2 2009
             [58]  Endang Suhendang, Pengantar ilmu Kehutanan Cet I Bogor, Badan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB 2002 hal 87
             [59] Wahyuni, Sustainable Forest Management In Indonesia’s Forest Law (Policy And Institutional Framework). Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. September 2014. Fakultas Hukum. Universitas Jendral Soedirman. Hal 475
             [60] Undang Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup.
             [61] Kartidihardjo, H. 2014. Agraria Kehutanan: Kondisi, Masalah-Akar Masalah, dan Rekomendasi. Makalah pada Diskusi Forum Ilmu Pengelolaan Hutan, Fahutan IPB. Dramaga, Bogor, 22 Nopember 2014.
             [62] Maladi, Y. Kajian Hukum Kritis Alih Fungsi Lahan Hutan Berorientasi Kapitalis. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 1 Januari 2013. Fakultas Hukum. Universitas Jendral Soedirman. Hal 109
             [63]Kebakaran Hutan, diakses dari media internet  https://jurnalbumi.com/kebakaran-hutan/ pada tanggal 18 Maret 2016
             [64] Syaufina, L. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia., Malang Bayumedia, 2008 hal 13.
             [65] Sukardi,.Ileggal logging( dalam Perspektif Papua),Cet.I,Yogyakarta 2005:Universitas Atma Jaya.  Hal 86
             [66] Lisensi dan Perizinan Situs berita an Informasi Lingkungan diakses melalui medai internet http://www.mongabay.co.id/lisensi-dan-perizinan/ pada tanggal 17 Maret 2016
             [67] Ibid
             [68] Yonathan Pengtuluran Manajemen Sumber Daya alam dan Lingkungan, Yogyakarta Penerbit Andi 2015 hal 51
             [69] Undang Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 tentang upaya perlindungan dan pengelolaan lingungan hidup
             [70] Undang Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingungan Hidup
             [71]Tity Wahju Setiawati, Op.Cit
             [72] Ibid
             [73] Ibid
             [74] Undang Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup.
             [75] Pasal 69 ayat (2) UU PPLH dan penjelasannya
             [76] Pasal 48 ayat (1) UU Perkebunan
             [77] Pasal 4 ayat (3) Permen LH 10/2010
             [78] Pasal 2 ayat (4) Pergub Kalteng 52/2008
             [79] Pasal 3 ayat (7) Pergub Kalteng 15/2010
             [80] Pasal 3 ayat (3) Pergub Kalteng 15/2010
             [81] Putusan Putusan Pengadilan Negeri Tembilahan Nomor 94/Pid.Sus/2014/PN.Tbh
             [82]Yohannie Linggasari, Komisi IV DPRD Nilai UU Langgengkan masyarakat Bakar Hutan dikutip dari media internet http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151022141335-20-86632/komisi-iv-dpr-nilai-uu-langgengkan-masyarakat-bakar-hutan/ pada tanggal 19 Maret 2016
             [83] Uni lubis, Ketika membakar lahan dianggap kearifan lokal,  diakses dari media internet http://www.rappler.com/indonesia/106067-ketika-membakar-lahan-dianggap-kearifan-lokal pada tanggal 19 Maret 2016
             [84] Undang Undang No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
             [85] Maqdalena. Peran Hukum dalam pengelolaan dan Perlindungan hutan Di Desa Sesaot, nusa Tenggara Barat dan Desa Setulang Kalimantan Timur. Jurnal. Nababan. A. 2003, Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat. http : / / www. ulayat. or .id / artikel / pengelolaan – sumberdaya – alam – berbasis – masyarakat – adat / 2013
             [86] Fauzi, Hamdani.Pembangunan Hutan Berbasis Kehuitanan Sosial. Karya Putra Darwati Bandung. 2013 hal 20
             [87] Qandhi, F. F. 2012. Pentingnya Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan lingkungan Di Pedesaan. http : / / fika fatia qandhi. wordpress. Com / 2012 / 05 / 07 / pentingnya – kearifan – lokal –masyarakat – dalam – pengelolaan – sumberdaya – alam – dan – lingkungan – di – pedesaan /
             [88] Keraf, S. Etika Lingkungan. Kompas Jakarta. 2006 hal 13
             [89] Barau, B. A. Kearifan Lokal Etnis Lokal Dalam Mendukung Kawasan Konservasi Taman Nasional Lore Lindu. Studi Kasus Desa Katu, Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Donggala. Skripsi. Fakultas Kehutanan, Universitas Tadulako, Palu 2013, hal 45
             [90] Santoso, I. Eksistensi Kearifan Lokal Pada Petani Tepian Hutan dalam Memelihara Lingkungan Kelestarian Ekosistem Sumberdaya Hutan 2009 hal 23
             [91] Dr Moira Moeliono Peneliti CIFOR , hutan adat dan hutan desa Peluang dan kendala bagi masyarakat dalam mengelola hutan, diakses dari media internet  http://wg-tenure.org/wp content/uploads/2013/05/Warta_Tenure_05f.pdf pada tanggal 19 Maret 2016
             [92] Agus Sabahrani, MK Tegaskan hutan adat bukan milik negara, masyarakat adat tetap berhak mengelola hutan adat, diakses dari www.hukumonline.com pada tanggal 19 Maret 2016
             [93] Ibid
             [94] Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
             [95] Arianto, Jurnal Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako, Kearifan Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan hutan di desa Rano kecamatan Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala, Warta Rimba 2014 hal 87
             [96] Ibid
             [97] Ibid hal 88
             [98] Ibid
             [99] Ibid
             [100] Ibid
             [101] Ibid hal 89
             [102] Ibid
             [103] Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Menjaga Hutan, Menjamin Kelestarian Hutan Indonesia. Diakses dari media Internet http://www.kompasiana.com/www.juniorabe.blogspot.com/kearifan-lokal-masyarakat-adat-dalam-menjaga-hutan-menjamin-kelestarian-hutan-indonesia_55205ad7813311297419f7cb  pada tanggal 20 Maret 2016
             [104] Ibid
             [105] Lailan Syaufina, jurnal IPB Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan(Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten SukabumiPropinsi Jawa Barat)  hal 168
             [106] Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam Perkara no 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar
             [107] Mumu Muhajir, REDD (Pengurangan emsisi dari deforestasi dan degradasi hutan) di Indonesia, kemana akan melangkah studi tentang kebijakan pemerintah dan keentatan sosial, HuMa Jakarta 2010 hal 147
             [108] Wahyu catur adinugroho, Panduan pengendalian kebakaran hutan dan lahan gambut 2005  hal 25
             [109] Purnasari, Thesis Magister Universitas Diponegoro Strategi pencegahan kebakaran Hutan berbasis Masyarakat ( Kajian Biofisik, Ekonomi, Sosial dan Budaya Masyarakat Sekitar Kawasan Suaka Margasatwa Padang Sugihan Di Provinsi Sumatera Selatan 2007
             [110] Kementerian lingkungan Hidup Republik Indonesia, Soal Kebakaran hutan diakses melalui media internet http://www.menlh.go.id/soal-kebakaran-hutan/ pada tanggal 20 Maret 2015
             [111] Ibid
             [112] Ibid
             [113] Ibid
             [114] Hardani Triyoga Larangan Pembakaran hutan ,Menteri LHK setuju Revisi UU Lingkungan Hidup, diakses dari media internet http://news.detik.com/berita/3053381/larang-pembakaran-hutan-menteri-lhk-setuju-revisi-uu-lingkungan-hidup pada tanggal 20 Maret 2016
             [115] Masyarakat dalam Penanggulangan Bencana Asap diakses dari website www.bnpb.co.id http://www.bnpb.go.id/berita/2577/masyarakat-dalam-penanggulangan-bencana-asap pada tanggal 20 Maret 2016
             [116] Sapariah Saturi Perlibatan Masyarakat Adat bisa jadi jurus ampuh atasi perubahan iklim diakses dari media internet  http://www.mongabay.co.id/2015/12/06/pelibatan-masyarakat-adat-bisa-jadi-jurus-ampuh-atasi-perubahan-iklim/ pada tanggal 20 Maret 2016

Komentar


  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus
  2. Ebobet merupakan situs slot online via deposit pulsa aman dan terpercaya, Dengan menggunakan Satu User ID bisa bermain semua game dari Bola, Live Casino, Slot online, tembak ikan, poker, domino dan masih banyak yang lain.

    Sangat banyak bonus yang tersedia di ebobet di antaranya :
    Bonus yang tersedia saat ini
    Bonus new member Sportbook 100%
    Bonus new member Slot 100%
    Bonus new member Slot 50%
    Bonus new member ALL Game 20%
    Bonus Setiap hari 10%
    Bonus Setiap kali 3%
    Bonus mingguan Cashback 5%-10%
    Bonus Mingguan Rollingan Live Casino 1%
    Bonus bulanan sampai Ratusan Juta
    Bonus Referral
    Minimal deposit hanya 10ribu

    EBOBET juga menyediakan berbagai layanan transaksi deposit dan withdraw Bank Lokal terlengkap Indonesia seperti Bank BCA - Bank BNI46 - Bank BRI - Bank Mandiri - Bank Danamon - Bank Cimb Niaga, OVO, Deposit via Ovo. Deposit via Dana, Deposit via Go Pay, Telkomsel dan XL.

    Situs :EBOBET
    WA : +855967598801

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Izin Lingkungan Dalam Kaitannya dengan Penegakan Sanksi Administrasi Lingkungan dan Sanksi Pidana Lingkungan Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)

Kebijakan Polresta Terhadap Tindak Pidana Kejahatan yang dilakukan Kelompok Geng Motor (Khususnya Polresta Medan)

PENGELOLAAN TERNAK KAMBING DAN DOMBA