Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Anak di Indonesia di Perkebunan Tebu Binjai Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dewasa ini jumlah pekerja anak
semakin tahun semakin bertambah. Yang menarik, hal ini tidak hanya terjadi di
Indonesia saja, melainkan juga hampir di seluruh belahan dunia. Menurut data
yang diiperoleh dari International Labour
Organization (ILO) Jakarta, saat ini sekitar 8,4 juta anak di seluruh dunia
terjebak didalam perbudakan, perdagangan, pelacuran, pornografi, serta
pekerjaan terlarang[1].
Anak merupakan bagian dari masyarakat, mereka mempunyai hak yang sama
dengan masyarakat lain yang harus dilindungi dan dihormati. Setiap negara
dimanapun di dunia ini wajib memberikan perhatian serta perlindungan yang cukup
terhadap hak-hak anak, yang antara lain berupa hak-hak sipil, ekonomi, sosial
dan budaya.
Defenisi lain anak[2] merupakan harta yang tak
ternilai harganya, tidak saja dilihat dalam perspektif sosial, budaya, ekonomi,
politik, hukum, tetapi juga dalam perspektif keberlanjutan sebuah generasi
keluarga, suku, trah, maupun bangsa[3].
Pekerja anak merupakan masalah yang
cukup kompleks. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
kemiskinan, kondisi anak, keluarga dan budaya masyarakat.
Mempekerjakan anak tidak juga selalu
berdampak negatif, karena dengan anak bekerja dapat melatih kemampuan fisik,
mental, sosial serta intelektualitas anak. Meskipun dalam prakteknya tidak
dapat dihindari banyak terjadinya diskriminasi ataupun eksploitasi yang dialami
oleh pekerja anak.
Pekerja anak tidak selalu bekerja
dalam sektor formal, namun pekerja anak justru lebih banyak yang berkecimpung
di luar sektor formal (informal)
sehingga tidak adanya hubungan kerja yang jelas.
Di bidang ketenagakerjaan, pemerintah
telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
ketentuan mengenai pekerja anak diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 75.
Undang ini memberikan ketentuan bagi pemberi kerja yang mempekerjakan anak
untuk memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2), antara
lain: izin tertulis dari orang tua atau wali, perjanjian tertulis anatara orang
tua/wali dengan pengusaha, waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam, dilakukan pada
siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, menjamin kesehatan dan
keselamatan kerja, ada hubungan kerjayang jelas, serta menerima ketentuan upah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Namun ketentuan mengenai pekerja
anak yang ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ini belum memberikan
perlindungan hukum yang optimal bagi anak yang bekerja di luar sektor formal (informal), hal ini disebabkan karena ketentuan
yang ada dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mewajibkan pemerintah untuk
menanggulangi anak yang bekerja di luar sektor formal, hingga kini belum
dikeluarkan peraturan pelaksanaannya[4].
Kebanyakan anak yang bekerja
merupakan salah satu bentuk strategi kelangsungan hidup rumah tangga (Household Survival Strategy). Hal ini
terjadi dalam masyarakat yang mengalami transisi ekonomi atau kelompok miskin
di perkotaan. Bila kondisi keluarga dalam kemiskinan, mereka akan memanfaatkan
sumber yang tersedia.
Salah satu upaya untuk beradaptasi
dengan kemiskinan adalah memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Akibatnya banyak
orang tua harus rela melepaskan anaknya untuk bekerja demi membantu
meningkatkan perekonomian keluarga.
Namun demikian, berbagai penelitian
menunjukkan bahwa kemiskinan ternyata berhubungan positif dengan kecenderungan
anak untuk bekerja. Selain faktor kemiskinan, faktor budaya juga tampaknya
turut berpengaruh terhadap kecenderungan anak untuk bekerja. Banyak orangtua
yang berpendapat bahwa bekerja merupakan proses belajar yang akan berguna bagi
perkembangan anak di kemudian hari.
Anak dianggap
sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi penerus bangsa,
sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Namun sepertinya
kedudukan dan hak-hak anak jika dilihat dari prespektif yuridis belum
mendapatkan perhatian serius baik oleh pemerintah, penegak hukum maupun
masyarakat pada umumnya dan masih jauh dari apa yang sebenarnya harus diberikan
kepada mereka.
Hak asasi
anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan dan
perlindungan hukum internasional maupun hukum nasional, yang secara universal dilindungi dalam Universal
Declaration of Human Right (UDHR) dan International on Civil and
Political Rights (ICPR)[5].
Di
Indonesia telah dibuat peraturan-peraturan yang pada dasarnya sangat menjunjung
tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu diratifikasinya Konvensi Hak
Anak (KHA) dengan ke.putusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Peraturan
perundangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia antara lain,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perlindungan Khusus menurut Pasal 1
butir 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu
Perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak berhadapan
dengan hukum anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak dieksploitasi
secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya, anak korban penculikan, penjualan, perdagangan anak, anak korban
kekerasan fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban
perlakuan salah dan penelantaran.
Pada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijelaskan
juga bahwa Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Namun
sayangnya dalam pengaplikasiannya sering mengalami hambatan maupun kendala,
baik yang disebabkan karena faktor internal
maupun faktor eksternal.
Anak dilahirkan merdeka, tidak boleh dilenyapkan atau
dihilangkan, tetapi kemerdekaan anak harus dilindungi dan diperluas dalam hal
mendapatkan hak atas hidup dan hak perlindungan baik dariorang tua, keluarga
dan masyarakat, bangsa dan negara.
Perlindungan anak tersebut berkaitan erat untuk mendapatkan
hak asasi mutlak dan mendasar yang tidak boleh dikurangi satupun atau
mengorbankan hak mutlak lainnya untuk mendapatkan hak-haknya sebagai manusia
seutuhnya bila ia menginjak dewasa, dengan demikian bila anak telah menjadi
dewasa, maka anak tersebut akan mengetahui dan memahami mengenai apa yang
menjadi dan kewajiban baik terhadap keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.
Hak asasi anak adalah hak asasi manusia plus dalam arti kata
harus mendapatkan perhatian khusus dalam memberikan perlindungan, agar anak yang
baru lahir, tumbuh dan berkembang mendapat hak asasi manusia secara utuh. Hak
asasi manusia meliputi semua yang dibutuhkan untuk pembangunan manusia meliputi
semua yang dibutuhkan untuk pembangunan manusia seutuhnya dan hukum positif
mendukung pranata sosial yang dibutuhkan untuk pembangunan seutuhnya tersebut.
Para pekerja anak butuh perlindungan lebih, mengingat
keadaan anak yang masih lemah baik secara fisik, mental, sosial maupun
intelektualitas. Dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa anak berhak atas perlindungan oleh
orang tua, keluarga, masyarakat dan negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa bukan
saja menjadi kewajiban orang tua untuk melindungi anak, tetapi juga masyarakat
dan negara. Karena pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menjadi manusia
seutuhnya sangat bergantung pada sistem moral meliputi nilai-nilai normatif
yang sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat.
Semakin meningkatnya jumlah pekerja anak yang digunakan oleh
perusahaan, berdampak semakin berkurangnya kesempatan kerja bagi pekerja
dewasa. Hal ini disebabkan karena akibat dari hasil produktifitas pekerja anak
ternyata tidak jauh berbeda dengan produktifitas pekerja dewasa.
Dari aspek ekonomi, pihak pengusaha sangat diuntungkan
dengan banyaknya pekerja anak, yaitu dengan pembayaran upah yang rata-rata
lebih rendah, mereka juga tidak banyak menuntut bahkan tidak mengetahui apa
yang sebenarnya menjadi haknya sebagai pekerja.
Dampak lain dari semakin meningkatnya jumlah pekerja anak
adalah dapat memicu hambatan dinamika proses pembangunan Sumber Daya Manusia di
masa mendatang. Dampak yang sangat besar terkait dengan Sosial Cost yang diderita pekerja anak dan hilangnya kesempatan
untuk memasuki dunia sekolah[6].
Eksploitasi anak juga semakin sering dijumpai karena banyak dari mereka yang
tidak mengetahui hak-haknya sebagai pekerja yang sebenarnya dapat memberikan peningkatan
kesejahteraan mereka. Eksploitasi seksual pekerja dewasa juga sangat rentan
terjadi terhadap anak-anak yang bekerja.
Pada dasarnya ada 2 hal[7]
yang menjadi kekhawatiran terhadap berlangsungnya fenomena pekerja anak,
mengingat kondisi anak-anak sangatlah berbeda dengan kondisi orang dewasa. Hal pertama, mengenai kondisi fisiknya.
Walaupun anak-anak dan orang dewasa sama-sama dapat mengalami resiko terhadap
hal yang membahayakan mereka pada saat bekerja. Pada anak-anak respon tubuh
mereka terhadap resiko yang membahayakan fisik, mental dan sosial berbeda
dengan orang dewasa. Anak-anak terdapat potensi berlangsungnya akumulasi dampak
yang mereka alami ketika bekerja atau pun efeknya akan muncul pada saat mereka
dewasa atau pada perkembangannya kemudian. Hal kedua, menyangkut kondisi mental anak-anak. Perkembangan mental
anak-anak berlangsung hingga tahapan dewasa mereka. Oleh karena itu,
perkembangan mental anak yang belum sempurna karena usianya yang masih muda
dapat menyebabkan anak-anak tidak mampu secara psikologis dan emosional untuk
mengatasi situasi sulit atau pun kondisi eksploitatif yang dapat terjadi saat
anak bekerja.
Pada Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1964 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan yang memberikan perlindungan hukum
bagi pekerja dan pemberi kerja. Terkait dengan pekerja anak, Undang-Undang ini
memberikan pengertian dalam Pasal 1 Angka 26 menyebutkan bahwa Anak adalah
setiap orang yang belum berusia 18 tahun. Maka dapat diartikan bahwa pekerja
anak adalah mereka yang bekerja dalam usia di bawah 18 tahun.
Hal ini menjadi problematika pekerja anak dalam skala dunia
merupakan masalah sosial yang cukup pelik bagi semua negara. Bagi yang
bersangkutan, di usia mereka yang semestinya dipergunakan untuk menuntut ilmu
dan menambah keterampilan di sekolah, bahkan untuk bermain dengan anak
seusianya, justru digunakan untuk bekerja.
Anak yang bekerja juga merupakan
salah satu gambaran betapa rumit dan kompleksnya permasalahan anak. Seorang
anak yang terpaksa bekerja adalah bentuk penelantaran hak anak, karena pada
saat bersamaan akan terjadi pengabaian hak yang harus diterima mereka. Seperti
hak untuk memperoleh pendidikan, bermain, akses kesehatan dan lain-lain.
Hal tersebut diatas sangat patut
mendapatkan perhatian adalah bahwa pekerja anak memiliki kemungkinan yang besar
untuk putus sekolah karena waktu yang digunakan untuk bekerja tidak
memungkinkannya mengikuti pelajaran sekolah. Mengingat pentingnya aspek
pendidikan bagi anak, maka kondisi yang demikian tidak saja menyebabkan pekerja
anak kehilangan kesempatan untuk meningkatkan pendidikannya, tetapi juga
terpinggirkan dari kesempatan untuk memperbaiki taraf hidupnya.
Keadaan ini menjadikan pekerja anak
masuk kategori yang memerlukan Perlindungan Khusus (Children In Need Of Special Protection) yang menuntut penanganan
serius dari orangtua, keluarga, masyarakat dan kelompok terkait serta
pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Ditambahkan lagi bahwa Sumatera
Utara merupakan wilayah yang memiliki perkebunan yang wilayahnya sangat luas
dan hal tersebut menjadi sangat penting dalam sektor perkebunan sebagaii sumber
devisa negara ataupun pendapatan daerah, hal tersebut membuat telaah terhadap
pekerja anak di sektor tersebut sangat dilakukan.
Sebagaimana dikemukakan Henri
Sitorus[8]
pada umumnya bentuk pekerjaan anak di perkebunan berbeda-beda berdasarkan jenis
tanaman yang dibudidayakan. Di perkebunan sawit, pekerja anak bekerja untuk
memindahkan polybag dari tempat pengisian tanah ke tempat pembibitan, menyiram
bibit, mencari serangga perusak tanaman, membersihkan pohon sawit dari gulma,
mengumpulkan buah sawit yang berserakan sewaktu panen, dan menanami kacang-kacangan
di sekitar pohon sawit. Di perkebunan kakao, pekerja anak terlibat dalam
pekerjaan memanen coklat, membersihkan benalu daun-daun kakao, dan memangkas
tunas tanaman. Sementara di perkebunan tebu, anak-anak terlibat dalam proses
penanaman, merumput, dan memotong tebu sewaktu panen.
Berdasarkan
hasil Surve Angkatan Kerja Nasional dapat dilihat perkembangan pekerja anak.
Pada tahun 2002 terdapat 842,228 ribu orang yang bekerja, menurun menjadi
sebesar 566,526 ribu pada tahun 2003. Pekerja anak di Perdesaan lebih banyak
dibandingkan di Perkotaan. Pada tahun 2002, anak yang bekerja di Perdesaan
berjumlah 82 persen, dan pada tahun 2003 menurun menjadi sebesar 447,027
persen. Di Perkotaan, jumlah anak yang bekerja sebesar 18 persen atau 150,931
ribu. Dengan demikian pekerja anak lebih banyak berada di Perdesaan
dibandingkan perkotaan.[9]
Sayangnya,
berbagai literatur mengenai pekerja anak menunjukkan bahwa studi-studi selama
ini cenderung melihat permasalahan anak yang bekerja di kota-kota besar, seperti
anak jalanan yang secara kasat mata mudah terlihat, sementara permasalahan
pekerja anak di pedesaan seperti di sektor perkebunan masih jarang dilakukan. Padahal,
dilihat dari jumlah dan kondisi kerja yang dilakukan pekerja anak di sektor
perkebunan tidak jauh berbeda, bahkan jauh lebih eksploitatif dan marginal.
Eksploitatif berkaitan dengan jam kerja anak yang lama dan upah kerja rendah,
sementara marginal letak perkebunan yang jauh dari masyarakat luas.
Sebagaimana
dikemukakan Sitorus[10],
bentuk-bentuk pekerjaan anak di Perkebunan berbeda-beda sesuai dengan jenis
tanaman. Di perkebunan kakao, 3 (tiga) pekerja
anak terlibat dalam pekerjaan memanen coklat, membersihkan benalu, dan memangkas
tunas tanaman. Di perkebunan sawit, anak bekerja untuk
memindahkan polybag dari tempat pengisian tanah ke tempat pembibitan, menyiram
bibit, dan mengumpulkan buah sawit yang berserakan.
Hal yang sama ditemukan
pada perkebunan di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, dimana bentuk-bentuk
pekerjaan yang melibatkan anak sudah lama terjadi, bahkan telah menjadi sebuah
fenomena yang dianggap lumrah. Kabupaten Deli Serdang merupakan kawasan yang
didominasi oleh perkebunan milik negara PTPN II, Perusahaan Perkebunan Swasta
Nasional dan Perusahaan Perkebunan Swasta Asing. Komoditas utama sawit, karet,
tebu, tembakau dan Kakao dengan luas keseluruhan areal perkebunan 138.373 Km2.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi memperkirakan bahwa pada tahun 2000
ada sekitar 10.000.000 buruh yang bekerja di perkebunan di Sumatera Utara dan
Riau, diantaranya 10,8 persen tergolong pekerja anak dengan usia di bawah 18
tahun[11].
Berbagai
penelitian terdahulu yang mengungkap masalah pekerja anak di Perkebunan
memperlihatkan bahwa faktor utama munculnya pekerja anak di Perkebunan karena
sistem pekerjaan yang berlaku di perkebunan. Menurut Sairin[12]
menunjukkan bahwa anak-anak yang bekerja di perkebunan karet tidak dapat dilepaskan
dari keadaan kemiskinan keluarga, sehingga cenderung eksploitatif. Fenomena
eksploitasi anak dan kemiskinan keluarga di perkebunan diindikasikan adanya
anak-anak yang bekerja dalam usia muda dengan upah yang rendah dan tidak
memiliki jenjang karir yang tinggi.
Sementara Edy
Ikhsan[13]
menunjukkan bahwa secara kultural keluarga pekerja anak memberi makna terhadap
anak yang bekerja karena upaya anak untuk menunjukkan keperdulian dan bakti
anak kepada orang tuanya. Alasan putus sekolah merupakan wujud dari beberapa
hal yakni ketiadaan biaya sekolah, dan disuruh berhenti sekolah untuk membantu
pekerjaan orang tua. Sedangkan, Tjandraningsih dan Anarita[14]
menemukan bahwa anak-anak terlibat dalam pekerjaan di perkebunan karena
didorong oleh faktor historis, sosio-kultural dan sistem manajemen perkebunan.
Faktor-faktor ini dalam prosesnya saling terkait dan menempatkan anak-anak
sebagai tenaga kerja, baik sebagai tenaga kerja keluarga yang tidak diupah,
maupun yang diupah karena hubungan kerja secara individu dan langsung dengan
perusahaan.
Seiring
dengan perkembangan jaman khususnya yang terkait dengan perkembangan ekonomi,
demokratisasi serta karakteristik manajemen perkebunan di Indonesia, tampaknya
fenomena pekerja anak di perkebunan tetap menonjol dan tidak banyak berubah,
paling tidak bila dibandingkan dengan masa kolonial Belanda.
Rumahtangga
buruh perkebunan Tembakau Deli (Nicotiana tobacco) di Deli Serdang sebagian besar masih menginginkan anaknya menjadi
generasi buruh di perkebunan. Padahal kesempatan kerja di luar sektor
perkebunan sudah mulai terbuka dan dapat diakses oleh anak-anak dan pemuda di desa
perkebunan.
Kenyataan
yang terjadi saat ini keluarga buruh tembakau Deli melakukan sosialisasi
nilai-nilai kerja terhadap anak-anak dengan cara melibatkan mereka bekerja di
perkebunan, di sawah, dan pekerjaan domestik lainnya, meskipun usia anak-anak masih
muda. Sosialisasi nilai kerja dilakukan agar anak-anak memiliki keterampilan
kerja sebagaimana yang diharapkan pihak perkebunan. Keadaan inilah yang
mendorong anak-anak yang belum mencapai usia kerja terpaksa harus bekerja.
Anak-anak
yang bekerja bukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri saja , melainkan untuk
membantu kebutuhan ekonomi dan bagian dari strategi bertahan hidup keluarga.
Dari uraian diatas, penulis
memandang perlu melakukan penelitian untuk memahami kondisi pekerja anak di
salah satu sektor perkebunan terutama perkebunan tebu yang ada di Sumatera
Utara dan hal tersebut sebagai bahan masukan bagi upaya perlindungan pekerja anak
di Perkebunan Tebu. Maka berdasarkan hal tersebut, penulis ingin melakukan
penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Anak di Indonesia di
Perkebunan Tebu Binjai Sumatera Utara”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan
diatas maka yang menjadi pokok permasalahan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
kondisi yuridis pekerja anak di Perkebunan Tebu Sumatera Utara?
2. Bagaimana
implementasi perlindungan hukum pekerja anak di Perkebunan Tebu di Binjai,
Sumatera Utara jika dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku?
3. Apa
saja hambatan-hambatan dalam implementasi perlindungan hukum tersebut di
Perkebunan Tebu di Binjai, Sumatera Utara?
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan
permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai
dari penelitian ini adalah:
1.
Menganalisis dan menjelaskan kondisi
yuridis pekerja anak di Perkebunan Tebu Sumatera Utara;
2.
Menganalisis dan menjelaskan implementasi
perlindungan hukum pekerja anak di Perkebunan Tebu di Binjai, Sumatera Utara
jika dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3.
Menganalisis dan menjelaskan hambatan-hambatan
dalam implementasi perlindungan hukum tersebut di Perkebunan Tebu di Binjai,
Sumatera Utara.
D.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai berikut:
1.
Secara teoritis hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan menambah wawasan ilmu
pengetahuan khususnya tentang Perlindungan Hukum bagi Pekerja Anak Berdasarkan
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
2.
Manfaat Praktis, yaitu terjawabnya
permasalah dalam penilitian ini, sehingga dapat:
a.
Diketahuinya kondisi yuridis pekerja
anak di Perkebunan Tebu Sumatera Utara;
b.
Diketahuinya implementasi perlindungan
hukum pekerja anak di Perkebunan Tebu di Binjai, Sumatera Utara jika dilihat
dari peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.
Diketahuinya hambatan-hambatan dalam
implementasi perlindungan hukum tersebut di Perkebunan Tebu di Binjai, Sumatera
Utara.
E.
Keaslian Penelitian
Berdasarkan
pemeriksaan dan penelusuran kepustakaan dari hasil penelitian yang telah
dilakukan khususnya di Universitas Sumatera Utara maka penulis menerangkan
bahwa penelitian mengenai Perlindungan Hukum bagi Pekerja Anak di Perkebunan
Tebu Binjai Sumatera Utara, belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan
yang sama oleh peneliti yang lainnya. Kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam
penelitian ini semata-mata adalah sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam
penelitian yang memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan penelitian ini.
F.
Kerangka Teori dan Konseptual
1.
Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan garis besar dari
suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan
mengenai suatu peristiwa[15].
Peristiwa sebagaimana dimaksud didalam penelitian tersebut adalah Perlindungan
Hukum bagi Pekerja Anak. Dalam penelitian hukum kerangka teori diperlukan untuk
membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan
filosofisnya yang tertinggi.[16]
Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum
positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita
merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.[17]
Defenisi
landasan teori pada suatu penelitian merupakan dasar-dasar operasional
penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian bersifat strategis artinya
memberikan realisasi pelaksanaan penelitian[18]. Landasan
teori yang digunakan dan relevan dengan salah satu prinsip kesejahteraan,
keadilan dan perlindungan anak yaitu Teori Keadilan yang dikemukakan oleh John
Rawls.
Menurut
Rawls, keadilan adalah kejujuran (fairness). Agar hubungan sosial dapat
berjalan secara berkeadilan, ia harus diatur atau berjalan sesuai dengan dua
prinsip yang dirumuskan. Pertama,
kebebasan yang sama (principle of equal
liberty), bahwa setiap orang mempunyai kebebasan dasar yang sama. Kebebasan
dasar ini, antara lain (1) kebebasan politik, (2) kebebasan berpikir, (3)
kebebasan dari tindakan sewenang-wenang, (4) kebebasan personal, dan (5)
kebebasan untuk memiliki kekayaan. Kedua,
prinsip ketidaksamaan yang ada diantara manusia, dalam bidang ekonomi dan
sosial, harus diatur sedemikian rupa, sehingga ketidaksamaan tersebut dapat
menguntungkan setiap orang, khususnya orang-orangg yang secara kodrati tidak
beruntung, dan melekat pada kedudukan dan fungsi-fungsi yang terbuka bagi semua
orang. Artinya, Rawls tidak mengharuskan bagian semua orang adalah sama,
seperti kekayaan, status, pekerjaan, dan lainnya, karena hal itu tidak mungkin,
melainkan bagaimana ketidaksamaan tersebut diatur sedemikian rupa sehingga
terjadi ikatan, kerjasama dan kaitan saling menguntungkan juga membutuhkan
diantara mereka. Dalam hubungan diantara dua prinsip keadilan tersebut, menurut
Rawls, prinsip pertama berlaku lebih dibanding prinsip kedua. Artinya, prinsip
kebebasan dari I tidak dapat diganti oleh tujuan-tujuan untuk kepentingan
sosial ekonomi dari prinsip II. Penegasan ini penting guna menghindari “kesalahan”
dari konsep keadilan utilitarinisme.
Menurut utilitarinisme, kegiatan yang
adil adalah kegiatan yang paling besar menghasilkan keuntungan sosial ekonomi bagi
sebanyak mungkin orang. Artinya, keadilan dipahami sebagai identik dengan
tujuan memperbesar keuntungan sosial-ekonomi, sehingga ruang bagi perjuangan
untuk kepentingan diri setiap orang menjadi sempit. Akibatnya, prinsip
kebebasan dapat diabaikan dan kepincangan partisipasi dapat dihalalkan[19].
Teori kedua yang digunakan dalam
perlindungan hukum anak pada umumnya yaitu Rechtstaat atau Teori Rule Of Law karena lahirnya teori tersebut tidak lepas dari
keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Teori Rechtstaat muncul pada abad ke 19
yang pertama kali dicetuskan oleh Julius Stahl. Pada saat yang hampir bersamaan
muncul pula Teori Negara Hukum (Rule Of
Law) yang dipelopori oleh A.V. Dicey, yang lahir dalam ruangan sistem hukum
Anglo Saxon.
A. V. Dicey mengemukakan unsur-unsur
Rule Of Law sebagai berikut:
a. Supremasi aturan-aturan hukum (Supremacy Of law), tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (Absence of Arbitrary Power), dalam arti
bahwa seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.
b. Kedudukan yang sama
dalam menghadapi hukum (Equality Before
The law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat.
c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-Undang di
Negara lain oleh undang-undang dasar serta keputusan-keputusan pengadilan. Negara
hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat.
Menurut
Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan
pemerintah di landasi oleh dua prinsip, yaitu prinsip hak asasi manusia dan
prinsip negara hukum. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi mendapat
tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari negara hukum.
Perlindungan
hukum bagi rakyat, menurut Philipus M. Hadjon dibedakan atas 2 (dua) macam:
a. Perlindungan hukum
yang preventif. Perlindungan hukum yang preventif kepada rakyat diberikan
kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu
keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Perlindungan ini bertujuan
untuk mencegah terjadinya sengketa.
b. Perlindungan hukum
yang represif. Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa. Perlindungan hukum represif dilakukan antara lain melalui peradilan
hukum dan peradilan administrasi negara.
Kedua macam perlindungan hukum di
atas bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi
manusia serta berlandaskan prinsip negara hukum. Indonesia adalah negara hukum
(rechtstaat) yang bertujuan untuk
menjamin kesejahteraan bagi tiap-tiap warga negaranya, hal ini juga termasuk
perlindungan terhadap hak anak yang juga merupakan hak asasi manusia.
2.
Konseptual
Dalam
kerangka konseptual diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan
dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum[20].
Selanjutnya konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian,
kalau masalah dan konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula
fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep sebenarnya
adalah defenisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala tersebut. Agar
tidak terjadi perbedaan dan dapat persamaan persepsi dan pengertian tentang
konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini juga untuk dapat memahami
penulisan didalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk dijelaskan
beberapa kerangka konseptual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Perlindungan Hukum adalah suatu bentuk pelayanan hukum yang
wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk
memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari
ancaman, ganguan, teror, dan kekerasa dari pihak manapun, yang diberikan pada
tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan[21];
b. Anak adalah
setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak
yang masih dalam dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi
kepentingannya[22];
d. Perlindungan
hukum terhadap anak adalah segala kegiatan hukum untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi,
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi[23];
e. Pekerja
Anak merupakan anak-anak yang bekerja, baik sebagai tenaga upahan maupun
pekerja keluarga baik bekerja di sektor formal maupun informal dengan berbagai
status hubungan kerja[24];
f. Perkebunan
Tebu merupakan perkebunan yang menanam tanaman sumber
pemanis alamiah. Tanaman ini berasal sub-tropis dan dapat tumbuh di setiap
jenis tanah, dari dataran rendah hingga dataran tinggi pada ketinggian 1.400 m
di atas permukaan laut. Di Indonesia tanaman tebu berfungsi ganda, yakni
bernilai ekonomi yang tinggi dan juga sebagai dapat berfungsi memelihara
lingkungan. Seperti konservasi sumber air tanah, mencegah longsor dan menyerap
CO2. Pada tahun 2007, perkebunan
tebu di Indonesia melampaui 418.000 ha. Produksi utama industri
tebu adalah gula putih. Serta terdapat 40 jenis produk turunan yang bisa
dihasilkan dari gula. Dari limbah pengolahan tebu, pada tahun 2007 dapat
dihasilkan 1,97 juta KWH listrik dan diperkirakan meningkat 2,75 juta KWH pada
tahun 2025. Disamping itu, terkait dengan pelestarian lingkungan, jumlah CO2
yang diserap oleh perkebunan tebu pada tahun 2007 diperkirakan sekitar 9,56
juta ton dan akan meningkat menjadi 13,9 juta ton pada tahun 2025.
g. Ketenagakerjaan
adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum,
selama, dan sesudah masa kerja[25].
h. Tenaga
Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat[26].
i. Hukum
Ketenagakerjaan adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan pengusaha/majikan dengan segala konsekuensinya[27].
G.
METODE PENELITIAN
1.
Jenis dan Sifat Penelitian
Berdasarkan
karakteristik rumusan permasalahan dalam penelitian ini, maka jenis penelitian
tergolong bersifat deskritif analisis, yaitu suatu metode yang dilakukan
melalui pengkajian dan menganalisis dengan memberikan gambaran umum serta
menyeluruh mengenai pelaksanaan hukum dibidang kesejahteraan dan perlindungan
anak bagi para pekerja anak-anak, dimana penelitiannya dilakukan melalui studi
kepustakaan dari berbagai referensi atau bahan bacaan yang tersedia serta yang
relevan dengan materi yang dibahas. Secara lebih spesifik metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif).
Menurut
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, “penelitian hukum normatif (yuridis normatif) mencakup penelitian
terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian
terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah
hukum”[28].
Adapun
pendekatan yang digunakan dalam analisis pemecahan masalah adalah secara komprehensif,
integral, holistik, dan sistematik untuk melahirkan berbagai fakta atau
kenyataan yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum atau penegakan hukum kesejahteraan
dan perlindungan anak berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No.
4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
2. Sumber
Data Penelitian
Sumber
data yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain:
a.
Bahan hukum primer adalah bahan hukum
yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum[29] dan
sumber bahan hukum primer tersebut berupa peraturan perundang-undangan dan
peraturan pemerintah yang telah berkekuatan hukum tetap dan terkait dengan keputusan
tersebut akan dianalisis yang akan dijadikan pertimbangan hukum dalam memberikan
perlindungan hukum bagi pekerja anak yang bekerja di Perkebunan Tebu Binjai
Sumatera Utara.
b. Bahan-bahan
hukum primer diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
pokok permasalahan yang akan diteliti,antara lain:
1.
UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2.
UU
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
3.
UU
No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
c.
Bahan hukum sekunder yang digunakan
untuk membantu memahami berbagai konsep hukum dalam bahan hukum primer,
analisis bahan hukum primer dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh
dari berbagai sumber baik jurnal, buku-buku, makalah, serta karya ilmiah
lainnya mengenai perlindungan hukum bagi pekerja anak.
d. Bahan
hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi penjelasanterhadap bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder[30].
Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penulisan ini adalah Kamus Bahasa
Indonesia dan Kamus Hukum.
3.
Teknik Pengumpulan Data
Menurut Bambang
Sunggono:[31]
“Pengumpulan
data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian
ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data. Data yang diperoleh
melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna
memperoleh pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian
dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dengan disistematisasikan
sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam
penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut adakan dianalisis
secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok
permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab”.
Oleh karenanya, teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah snowball metohd (metode bola salju),
dimana subjek berikutnya diketahui berdasarkan informasi yang diberikan subjek
sebelumnya. Yang artinya, dimana subjek (pekerja anak) tersebut yang akan
diwawancarai oleh peneliti akan menunjukkan teman-temannya yang bekerja seperti
dirinya.
Penelitian ini juga menggunakan
teknik pengumpulan data Field Research
(penelitian lapangan) yaitu wawancara untuk mendapatkan data primer sehubungan
dengan permasalahan dalam penelitian yang terkait dengan perlindungan hukum
bagi pekerja anak yang bekerja di perkebunan tebu Binjai, Sumatera Utara.
4. Alat Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan
kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka data dalam
penelitian ini diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan
menggunakan cara :
a.
Studi
Dokumen.
b.
Wawancara
5. Analisis Data
Analisis data adalah sesuatu yang harus
dikerjakan untuk memperoleh pengertian tentang situasi yang sesungguhnya,
disamping itu juga harus dikerjakan untuk situasi yang nyata.[32]
Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara kualitatif dengan
mengumpulkan data sekunder, selanjutnya dilakukan
pemeriksaan dan pengelompokkan agar menghasilkan data yang lebih sederhana
sehingga mudah dibaca dan dimengerti. Data yang dianalisis secara kualitatif
akan dikemukakan dalam bentuk uraian sistematis pula dengan menjelaskan
hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data dipilih dan dipilah
untuk diolah, selanjutnya dianalisis secara deskriptif sehingga disamping akan
menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, tetapi juga dapat memberikan
solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU
Abdul Hakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan UU No. 13 Tahun
2003, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
A. Khudori Soleh, Rowles Theory of Justice,
Teori Keadilan John Rawls, diterbitkan dalam Jurnal Ulul Albab, Vol. 5/1, UIN
Malang, 2005.
Abdussalam,
Hukum Perlindungan Anak. Penerbit Restu
Agung, Jakarta, 2007.
Ahmad Sofian,
Rinaldi, dkk, Kekerasan Seksual terhadap
Anak Jermal, Kerjasama Fored Foundation dengan Penelitian Kependudukan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1999.
Bambang
Sunggono, Metode Penelitian Sanksi,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001.
Edy
Ikhsan, Ediyono, Suzanna, Hisar Siregar, dan Ali Martua, Pekerja Anak di Perkebunan
Tebu, Kerjasama LAAI-ACIL, Medan, 2000.
Emei Dwinanarhati Setiamandani, Perlindungan Hukum Bagi Pekerja
Anak dan Cara Penanggulangannya, Malang, 2009.
Erickson dan Nosanchuk, Memahami Data Statistik Untuk Ilmu Sosial, LP3ES, Jakarta, 1996
Henri Sitorus, Perlindungan Khusus Bagi Anak yang Mengalami Eksploitasi Ekonomi,
dalam Konvensi, vol. III, No. 5,
September, 1999.
Indrasari
Tjandraningsih dan Anarita, Popon, Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau, Akatiga,
Bandung, 2002.
Irwanto dan Farid Muhammad, Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus
di Indonesia: Analisis Situasi,
Kerjasama PKPM Unika Atmajaya Jakarta, Departemen Sosial, UNICEF, Jakarta.Siti Kunarti, Hukum
Perburuhan, Universitas Jenderal Soedirman Press, Purwokerto, 2004.
Kaelan M.S., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi
Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial,
Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), Yogyakarta: Paradigma, 2005).
Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta; Balai Pustaka, 1995).
M.
Marwas & Jimmy P, Kamus Hukum, Dictionary of Law Complete Edition,
Cetakan 1, Reality Publisher, Surabya, 2009.
Rika Kurniaty, Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak
Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia, Brawijaya.
Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1999.
Soerjono
Soekanto, 1986,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
Soerjono
Soekanto dan Sri Mamuji, 2001, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sjafri Sairin,
Pekerja Anak di Perkebunan: Hasil Penelitian Tahun 1985 makalah dalam Seminar
Sehari Profil Pekerja Anak di Indonesia yang diselenggarakan oleh Keluarga
Mahasiswa Antropologi Universitas Gajah Mada di Yogyakarta, 1994.
DATA INTERNET
http://dear.blogspot.com/2009/02/perlindungan-hukum-terhadap-pekerja-anak.html. Akses pada tanggal 16 April 2013.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
-
UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
-
UU
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
-
UU
No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
[1] Kompas, Edisi 16 Juni 2003, hal.
13.
[2] Lihat Makalah Emie Dwinanarhati Setiamandani, Perlindungan
Hukum Bagi Pekerja Anak dan Cara Penanggulangannya, Malang, 2009.
[3] Lihat Jurnal Sri Purnianti dan Martini, Perlindungan Hukum terhadap Anak, berpendapat bahwa anak dapat bermakna sosial (kehormatan harkat martabat
keluarga tergantung pada sikap dan perilaku anak), budaya (anak
merupakan harta dan kekayaan sekaligus merupakan lambang kesuburan sebuah
keluarga), politik (anak adalah penerus trah atau suku
masyarakat tertentu), ekonomi (pada sementara anggapan
masyarakat Jawa khususnya ada adagium ‘banyak anak banyak rejeki, sehingga
‘mengkaryakan’ atau memperkerjakan anak dapat menambah penghasilan atau rejeki), hukum (anak
mempunyai posisi dan kedudukan strategis didepan hukum) mengingat sangat
pentingnya status dan posisi anak, Malang, 2002, hal. 5.
[4]Abdussalam,
Hukum Perlindungan Anak, Penerbit
Restu Agung, Jakarta, 2007.
[5] Rika Kurniaty, Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak
berdasarkan Hukum Positif di Indonesia, Brawijaya, hal. 2, 2009.
[6] Irwanto, dkk, Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus di
Indonesia, Analisis Situasi, Kerjasama PKPM Unika Atmajaya Jakarta,
Departemen Sosial, UNICEF, Jakarta, 1999.
[7] Ahmad Sofian, Rinaldi, dkk, Kekerasan Seksual terhadap Anak Jermal,
Kerjasama Fored Foundation dengan Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 1999.
[8] Henri Sitorus, Perlindungan Khusus Bagi Anaka yang
Mengalami Eksploitasi Ekonomi, dalam Konvensi, Vol. III No. 5, September,
1999.
[9] Sumber data diperoleh dari
SAKERNAS 2002-2003, SAKERNAS adalah Survei Tenaga Kerja Nasional yang merupakan
salah satu kegiatan tahunan BPS untuk mengumpulkan informasi tentang tenaga
kerja di Indonesia.
[10] Henri Sitorus, Op.Cit.
[11] Sjafri Sairin,
Pekerja Anak di Perkebunan: Hasil Penelitian Tahun 1985 makalah dalam Seminar
Sehari Profil Pekerja Anak di Indonesia yang diselenggarakan oleh Keluarga
Mahasiswa Antropologi Universitas Gajah Mada di Yogyakarta, 1994.
[12] Henri Sitorus, Op.Cit.
[13] Edy Ikhsan,
Ediyono, Suzanna, Hisar Siregar, dan Ali Martua, Pekerja Anak di Perkebunan
Tebu, Kerjasama LAAI-ACIL, Medan, 2000.
[14] Indrasari
Tjandraningsih dan Anarita, Popon, Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau, Akatiga,
Bandung, 2002.
[15] Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Kedua, (Jakarta; Balai Pustaka, 1995), Hal. 520
[16] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1999), hal. 254.
[18] Kaelan M.S., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat
(Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat,
Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), Paradigma, Yogyakarta,
2005, hal. 239.
[19] A. Khudori Soleh, Rowles Theory
of Justice, Teori Keadilan John Rawls, diterbitkan dalam Jurnal Ulul Albab,
Vol. 5/1, UIN Malang, 2005.
[20] Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudi, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 7.
[21] Lihat Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2002
tentang Tata cara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang
Berat.
[22] M. Marwas
& Jimmy P, Kamus Hukum, Dictionary of
Law Complete Edition, Cetakan I, Reality Publisher, Surabaya, 2009, hal.
41.
[24] Pasal 68 jo Pasal 69 UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
[25] Pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
[26] Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
[27] Abdul Hakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
hal. 5-6.
[28] Soerjono Soekanto dan Sri
Mamuji, Penelitian Hukum Normatif,
Jakarta, Rajawali, 1985, hal. 15.
[29] Soerjono
Soekanto dan Sri Mamuji, 2001, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13.
[30] Soerjono Soekanto, 1986,Pengantar
Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal.251-262
[31] Bambang Sunggono, Metode Penelitian Sanksi, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 195-196.
[32] Erickson
dan Nosanchuk, Memahami Data Statistik Untuk Ilmu Sosial,
LP3ES, Jakarta,
1996,
hal. 17.
Komentar
Posting Komentar