Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Anak di Indonesia di Perkebunan Tebu Binjai Sumatera Utara


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini jumlah pekerja anak semakin tahun semakin bertambah. Yang menarik, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan juga hampir di seluruh belahan dunia. Menurut data yang diiperoleh dari International Labour Organization (ILO) Jakarta, saat ini sekitar 8,4 juta anak di seluruh dunia terjebak didalam perbudakan, perdagangan, pelacuran, pornografi, serta pekerjaan terlarang[1].
Anak merupakan bagian dari masyarakat, mereka mempunyai hak yang sama dengan masyarakat lain yang harus dilindungi dan dihormati. Setiap negara dimanapun di dunia ini wajib memberikan perhatian serta perlindungan yang cukup terhadap hak-hak anak, yang antara lain berupa hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya.
Defenisi lain anak[2] merupakan harta yang tak ternilai harganya, tidak saja dilihat dalam perspektif sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, tetapi juga dalam perspektif keberlanjutan sebuah generasi keluarga, suku, trah, maupun bangsa[3].
Pekerja anak merupakan masalah yang cukup kompleks. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kemiskinan, kondisi anak, keluarga dan budaya masyarakat.
Mempekerjakan anak tidak juga selalu berdampak negatif, karena dengan anak bekerja dapat melatih kemampuan fisik, mental, sosial serta intelektualitas anak. Meskipun dalam prakteknya tidak dapat dihindari banyak terjadinya diskriminasi ataupun eksploitasi yang dialami oleh pekerja anak.
Pekerja anak tidak selalu bekerja dalam sektor formal, namun pekerja anak justru lebih banyak yang berkecimpung di luar sektor formal (informal) sehingga tidak adanya hubungan kerja yang jelas.
Di bidang ketenagakerjaan, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, ketentuan mengenai pekerja anak diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 75. Undang ini memberikan ketentuan bagi pemberi kerja yang mempekerjakan anak untuk memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2), antara lain: izin tertulis dari orang tua atau wali, perjanjian tertulis anatara orang tua/wali dengan pengusaha, waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam, dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, menjamin kesehatan dan keselamatan kerja, ada hubungan kerjayang jelas, serta menerima ketentuan upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Namun ketentuan mengenai pekerja anak yang ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ini belum memberikan perlindungan hukum yang optimal bagi anak yang bekerja di luar sektor formal (informal), hal ini disebabkan karena ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mewajibkan pemerintah untuk menanggulangi anak yang bekerja di luar sektor formal, hingga kini belum dikeluarkan peraturan pelaksanaannya[4].
Kebanyakan anak yang bekerja merupakan salah satu bentuk strategi kelangsungan hidup rumah tangga (Household Survival Strategy). Hal ini terjadi dalam masyarakat yang mengalami transisi ekonomi atau kelompok miskin di perkotaan. Bila kondisi keluarga dalam kemiskinan, mereka akan memanfaatkan sumber yang tersedia.
Salah satu upaya untuk beradaptasi dengan kemiskinan adalah memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Akibatnya banyak orang tua harus rela melepaskan anaknya untuk bekerja demi membantu meningkatkan perekonomian keluarga.
Namun demikian, berbagai penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan ternyata berhubungan positif dengan kecenderungan anak untuk bekerja. Selain faktor kemiskinan, faktor budaya juga tampaknya turut berpengaruh terhadap kecenderungan anak untuk bekerja. Banyak orangtua yang berpendapat bahwa bekerja merupakan proses belajar yang akan berguna bagi perkembangan anak di kemudian hari.
Anak dianggap sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Namun sepertinya kedudukan dan hak-hak anak jika dilihat dari prespektif yuridis belum mendapatkan perhatian serius baik oleh pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya dan masih jauh dari apa yang sebenarnya harus diberikan kepada mereka.
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum internasional maupun hukum nasional, yang secara  universal dilindungi dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) dan International on Civil and Political Rights (ICPR)[5].
Di Indonesia telah dibuat peraturan-peraturan yang pada dasarnya sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu diratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) dengan ke.putusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Peraturan perundangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia antara lain, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perlindungan Khusus menurut Pasal 1 butir 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu Perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak berhadapan dengan hukum anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak dieksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan, perdagangan anak, anak korban kekerasan fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Pada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijelaskan juga bahwa Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Namun sayangnya dalam pengaplikasiannya sering mengalami hambatan maupun kendala, baik yang disebabkan karena faktor internal maupun faktor eksternal.
Anak dilahirkan merdeka, tidak boleh dilenyapkan atau dihilangkan, tetapi kemerdekaan anak harus dilindungi dan diperluas dalam hal mendapatkan hak atas hidup dan hak perlindungan baik dariorang tua, keluarga dan masyarakat, bangsa dan negara.
Perlindungan anak tersebut berkaitan erat untuk mendapatkan hak asasi mutlak dan mendasar yang tidak boleh dikurangi satupun atau mengorbankan hak mutlak lainnya untuk mendapatkan hak-haknya sebagai manusia seutuhnya bila ia menginjak dewasa, dengan demikian bila anak telah menjadi dewasa, maka anak tersebut akan mengetahui dan memahami mengenai apa yang menjadi dan kewajiban baik terhadap keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.
Hak asasi anak adalah hak asasi manusia plus dalam arti kata harus mendapatkan perhatian khusus dalam memberikan perlindungan, agar anak yang baru lahir, tumbuh dan berkembang mendapat hak asasi manusia secara utuh. Hak asasi manusia meliputi semua yang dibutuhkan untuk pembangunan manusia meliputi semua yang dibutuhkan untuk pembangunan manusia seutuhnya dan hukum positif mendukung pranata sosial yang dibutuhkan untuk pembangunan seutuhnya tersebut.
Para pekerja anak butuh perlindungan lebih, mengingat keadaan anak yang masih lemah baik secara fisik, mental, sosial maupun intelektualitas. Dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa bukan saja menjadi kewajiban orang tua untuk melindungi anak, tetapi juga masyarakat dan negara. Karena pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menjadi manusia seutuhnya sangat bergantung pada sistem moral meliputi nilai-nilai normatif yang sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat.
Semakin meningkatnya jumlah pekerja anak yang digunakan oleh perusahaan, berdampak semakin berkurangnya kesempatan kerja bagi pekerja dewasa. Hal ini disebabkan karena akibat dari hasil produktifitas pekerja anak ternyata tidak jauh berbeda dengan produktifitas pekerja dewasa.
Dari aspek ekonomi, pihak pengusaha sangat diuntungkan dengan banyaknya pekerja anak, yaitu dengan pembayaran upah yang rata-rata lebih rendah, mereka juga tidak banyak menuntut bahkan tidak mengetahui apa yang sebenarnya menjadi haknya sebagai pekerja.
Dampak lain dari semakin meningkatnya jumlah pekerja anak adalah dapat memicu hambatan dinamika proses pembangunan Sumber Daya Manusia di masa mendatang. Dampak yang sangat besar terkait dengan Sosial Cost yang diderita pekerja anak dan hilangnya kesempatan untuk memasuki dunia sekolah[6]. Eksploitasi anak juga semakin sering dijumpai karena banyak dari mereka yang tidak mengetahui hak-haknya sebagai pekerja yang sebenarnya dapat memberikan peningkatan kesejahteraan mereka. Eksploitasi seksual pekerja dewasa juga sangat rentan terjadi terhadap anak-anak yang bekerja.
Pada dasarnya ada 2 hal[7] yang menjadi kekhawatiran terhadap berlangsungnya fenomena pekerja anak, mengingat kondisi anak-anak sangatlah berbeda dengan kondisi orang dewasa. Hal pertama, mengenai kondisi fisiknya. Walaupun anak-anak dan orang dewasa sama-sama dapat mengalami resiko terhadap hal yang membahayakan mereka pada saat bekerja. Pada anak-anak respon tubuh mereka terhadap resiko yang membahayakan fisik, mental dan sosial berbeda dengan orang dewasa. Anak-anak terdapat potensi berlangsungnya akumulasi dampak yang mereka alami ketika bekerja atau pun efeknya akan muncul pada saat mereka dewasa atau pada perkembangannya kemudian. Hal kedua, menyangkut kondisi mental anak-anak. Perkembangan mental anak-anak berlangsung hingga tahapan dewasa mereka. Oleh karena itu, perkembangan mental anak yang belum sempurna karena usianya yang masih muda dapat menyebabkan anak-anak tidak mampu secara psikologis dan emosional untuk mengatasi situasi sulit atau pun kondisi eksploitatif yang dapat terjadi saat anak bekerja.  
Pada Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan yang memberikan perlindungan hukum bagi pekerja dan pemberi kerja. Terkait dengan pekerja anak, Undang-Undang ini memberikan pengertian dalam Pasal 1 Angka 26 menyebutkan bahwa Anak adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun. Maka dapat diartikan bahwa pekerja anak adalah mereka yang bekerja dalam usia di bawah 18 tahun.
Hal ini menjadi problematika pekerja anak dalam skala dunia merupakan masalah sosial yang cukup pelik bagi semua negara. Bagi yang bersangkutan, di usia mereka yang semestinya dipergunakan untuk menuntut ilmu dan menambah keterampilan di sekolah, bahkan untuk bermain dengan anak seusianya, justru digunakan untuk bekerja.
Anak yang bekerja juga merupakan salah satu gambaran betapa rumit dan kompleksnya permasalahan anak. Seorang anak yang terpaksa bekerja adalah bentuk penelantaran hak anak, karena pada saat bersamaan akan terjadi pengabaian hak yang harus diterima mereka. Seperti hak untuk memperoleh pendidikan, bermain, akses kesehatan dan lain-lain.
Hal tersebut diatas sangat patut mendapatkan perhatian adalah bahwa pekerja anak memiliki kemungkinan yang besar untuk putus sekolah karena waktu yang digunakan untuk bekerja tidak memungkinkannya mengikuti pelajaran sekolah. Mengingat pentingnya aspek pendidikan bagi anak, maka kondisi yang demikian tidak saja menyebabkan pekerja anak kehilangan kesempatan untuk meningkatkan pendidikannya, tetapi juga terpinggirkan dari kesempatan untuk memperbaiki taraf hidupnya.
Keadaan ini menjadikan pekerja anak masuk kategori yang memerlukan Perlindungan Khusus (Children In Need Of Special Protection) yang menuntut penanganan serius dari orangtua, keluarga, masyarakat dan kelompok terkait serta pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Ditambahkan lagi bahwa Sumatera Utara merupakan wilayah yang memiliki perkebunan yang wilayahnya sangat luas dan hal tersebut menjadi sangat penting dalam sektor perkebunan sebagaii sumber devisa negara ataupun pendapatan daerah, hal tersebut membuat telaah terhadap pekerja anak di sektor tersebut sangat dilakukan.
Sebagaimana dikemukakan Henri Sitorus[8] pada umumnya bentuk pekerjaan anak di perkebunan berbeda-beda berdasarkan jenis tanaman yang dibudidayakan. Di perkebunan sawit, pekerja anak bekerja untuk memindahkan polybag dari tempat pengisian tanah ke tempat pembibitan, menyiram bibit, mencari serangga perusak tanaman, membersihkan pohon sawit dari gulma, mengumpulkan buah sawit yang berserakan sewaktu panen, dan menanami kacang-kacangan di sekitar pohon sawit. Di perkebunan kakao, pekerja anak terlibat dalam pekerjaan memanen coklat, membersihkan benalu daun-daun kakao, dan memangkas tunas tanaman. Sementara di perkebunan tebu, anak-anak terlibat dalam proses penanaman, merumput, dan memotong tebu sewaktu panen.
Berdasarkan hasil Surve Angkatan Kerja Nasional dapat dilihat perkembangan pekerja anak. Pada tahun 2002 terdapat 842,228 ribu orang yang bekerja, menurun menjadi sebesar 566,526 ribu pada tahun 2003. Pekerja anak di Perdesaan lebih banyak dibandingkan di Perkotaan. Pada tahun 2002, anak yang bekerja di Perdesaan berjumlah 82 persen, dan pada tahun 2003 menurun menjadi sebesar 447,027 persen. Di Perkotaan, jumlah anak yang bekerja sebesar 18 persen atau 150,931 ribu. Dengan demikian pekerja anak lebih banyak berada di Perdesaan dibandingkan perkotaan.[9]
Sayangnya, berbagai literatur mengenai pekerja anak menunjukkan bahwa studi-studi selama ini cenderung melihat permasalahan anak yang bekerja di kota-kota besar, seperti anak jalanan yang secara kasat mata mudah terlihat, sementara permasalahan pekerja anak di pedesaan seperti di sektor perkebunan masih jarang dilakukan. Padahal, dilihat dari jumlah dan kondisi kerja yang dilakukan pekerja anak di sektor perkebunan tidak jauh berbeda, bahkan jauh lebih eksploitatif dan marginal. Eksploitatif berkaitan dengan jam kerja anak yang lama dan upah kerja rendah, sementara marginal letak perkebunan yang jauh dari masyarakat luas.
Sebagaimana dikemukakan Sitorus[10], bentuk-bentuk pekerjaan anak di Perkebunan berbeda-beda sesuai dengan jenis tanaman. Di perkebunan kakao, 3 (tiga)  pekerja anak terlibat dalam pekerjaan memanen coklat, membersihkan benalu, dan memangkas tunas tanaman. Di perkebunan sawit, anak bekerja untuk memindahkan polybag dari tempat pengisian tanah ke tempat pembibitan, menyiram bibit, dan mengumpulkan buah sawit yang berserakan.
Hal yang sama ditemukan pada perkebunan di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, dimana bentuk-bentuk pekerjaan yang melibatkan anak sudah lama terjadi, bahkan telah menjadi sebuah fenomena yang dianggap lumrah. Kabupaten Deli Serdang merupakan kawasan yang didominasi oleh perkebunan milik negara PTPN II, Perusahaan Perkebunan Swasta Nasional dan Perusahaan Perkebunan Swasta Asing. Komoditas utama sawit, karet, tebu, tembakau dan Kakao dengan luas keseluruhan areal perkebunan 138.373 Km2. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi memperkirakan bahwa pada tahun 2000 ada sekitar 10.000.000 buruh yang bekerja di perkebunan di Sumatera Utara dan Riau, diantaranya 10,8 persen tergolong pekerja anak dengan usia di bawah 18 tahun[11].
Berbagai penelitian terdahulu yang mengungkap masalah pekerja anak di Perkebunan memperlihatkan bahwa faktor utama munculnya pekerja anak di Perkebunan karena sistem pekerjaan yang berlaku di perkebunan. Menurut Sairin[12] menunjukkan bahwa anak-anak yang bekerja di perkebunan karet tidak dapat dilepaskan dari keadaan kemiskinan keluarga, sehingga cenderung eksploitatif. Fenomena eksploitasi anak dan kemiskinan keluarga di perkebunan diindikasikan adanya anak-anak yang bekerja dalam usia muda dengan upah yang rendah dan tidak memiliki jenjang karir yang tinggi.
Sementara Edy Ikhsan[13] menunjukkan bahwa secara kultural keluarga pekerja anak memberi makna terhadap anak yang bekerja karena upaya anak untuk menunjukkan keperdulian dan bakti anak kepada orang tuanya. Alasan putus sekolah merupakan wujud dari beberapa hal yakni ketiadaan biaya sekolah, dan disuruh berhenti sekolah untuk membantu pekerjaan orang tua. Sedangkan, Tjandraningsih dan Anarita[14] menemukan bahwa anak-anak terlibat dalam pekerjaan di perkebunan karena didorong oleh faktor historis, sosio-kultural dan sistem manajemen perkebunan. Faktor-faktor ini dalam prosesnya saling terkait dan menempatkan anak-anak sebagai tenaga kerja, baik sebagai tenaga kerja keluarga yang tidak diupah, maupun yang diupah karena hubungan kerja secara individu dan langsung dengan perusahaan.
Seiring dengan perkembangan jaman khususnya yang terkait dengan perkembangan ekonomi, demokratisasi serta karakteristik manajemen perkebunan di Indonesia, tampaknya fenomena pekerja anak di perkebunan tetap menonjol dan tidak banyak berubah, paling tidak bila dibandingkan dengan masa kolonial Belanda.
Rumahtangga buruh perkebunan Tembakau Deli (Nicotiana tobacco)  di Deli Serdang sebagian besar masih menginginkan anaknya menjadi generasi buruh di perkebunan. Padahal kesempatan kerja di luar sektor perkebunan sudah mulai terbuka dan dapat diakses oleh anak-anak dan pemuda di desa perkebunan.
Kenyataan yang terjadi saat ini keluarga buruh tembakau Deli melakukan sosialisasi nilai-nilai kerja terhadap anak-anak dengan cara melibatkan mereka bekerja di perkebunan, di sawah, dan pekerjaan domestik lainnya, meskipun usia anak-anak masih muda. Sosialisasi nilai kerja dilakukan agar anak-anak memiliki keterampilan kerja sebagaimana yang diharapkan pihak perkebunan. Keadaan inilah yang mendorong anak-anak yang belum mencapai usia kerja terpaksa harus bekerja.
Anak-anak yang bekerja bukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri saja , melainkan untuk membantu kebutuhan ekonomi dan bagian dari strategi bertahan hidup keluarga.
Dari uraian diatas, penulis memandang perlu melakukan penelitian untuk memahami kondisi pekerja anak di salah satu sektor perkebunan terutama perkebunan tebu yang ada di Sumatera Utara dan hal tersebut sebagai bahan masukan bagi upaya perlindungan pekerja anak di Perkebunan Tebu. Maka berdasarkan hal tersebut, penulis ingin melakukan penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Anak di Indonesia di Perkebunan Tebu Binjai Sumatera Utara”

B. Perumusan Masalah
       Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka yang menjadi pokok permasalahan adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana kondisi yuridis pekerja anak di Perkebunan Tebu Sumatera Utara?
2.      Bagaimana implementasi perlindungan hukum pekerja anak di Perkebunan Tebu di Binjai, Sumatera Utara jika dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku?
3.      Apa saja hambatan-hambatan dalam implementasi perlindungan hukum tersebut di Perkebunan Tebu di Binjai, Sumatera Utara?

C. Tujuan Penelitian
       Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1.        Menganalisis dan menjelaskan kondisi yuridis pekerja anak di Perkebunan Tebu Sumatera Utara;
2.        Menganalisis dan menjelaskan implementasi perlindungan hukum pekerja anak di Perkebunan Tebu di Binjai, Sumatera Utara jika dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3.        Menganalisis dan menjelaskan hambatan-hambatan dalam implementasi perlindungan hukum tersebut di Perkebunan Tebu di Binjai, Sumatera Utara.


D. Manfaat Penelitian
       Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai berikut:
1.        Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya tentang Perlindungan Hukum bagi Pekerja Anak Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
2.        Manfaat Praktis, yaitu terjawabnya permasalah dalam penilitian ini, sehingga dapat:
a.       Diketahuinya kondisi yuridis pekerja anak di Perkebunan Tebu Sumatera Utara;
b.      Diketahuinya implementasi perlindungan hukum pekerja anak di Perkebunan Tebu di Binjai, Sumatera Utara jika dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.       Diketahuinya hambatan-hambatan dalam implementasi perlindungan hukum tersebut di Perkebunan Tebu di Binjai, Sumatera Utara.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan dan penelusuran kepustakaan dari hasil penelitian yang telah dilakukan khususnya di Universitas Sumatera Utara maka penulis menerangkan bahwa penelitian mengenai Perlindungan Hukum bagi Pekerja Anak di Perkebunan Tebu Binjai Sumatera Utara, belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama oleh peneliti yang lainnya. Kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penelitian ini semata-mata adalah sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam penelitian yang memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan penelitian ini.  

F. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
       Kerangka teori merupakan garis besar dari suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa[15]. Peristiwa sebagaimana dimaksud didalam penelitian tersebut adalah Perlindungan Hukum bagi Pekerja Anak. Dalam penelitian hukum kerangka teori diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.[16] Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.[17] 
Defenisi landasan teori pada suatu penelitian merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian[18]. Landasan teori yang digunakan dan relevan dengan salah satu prinsip kesejahteraan, keadilan dan perlindungan anak yaitu Teori Keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls.
Menurut Rawls, keadilan adalah kejujuran (fairness). Agar hubungan sosial dapat berjalan secara berkeadilan, ia harus diatur atau berjalan sesuai dengan dua prinsip yang dirumuskan. Pertama, kebebasan yang sama (principle of equal liberty), bahwa setiap orang mempunyai kebebasan dasar yang sama. Kebebasan dasar ini, antara lain (1) kebebasan politik, (2) kebebasan berpikir, (3) kebebasan dari tindakan sewenang-wenang, (4) kebebasan personal, dan (5) kebebasan untuk memiliki kekayaan. Kedua, prinsip ketidaksamaan yang ada diantara manusia, dalam bidang ekonomi dan sosial, harus diatur sedemikian rupa, sehingga ketidaksamaan tersebut dapat menguntungkan setiap orang, khususnya orang-orangg yang secara kodrati tidak beruntung, dan melekat pada kedudukan dan fungsi-fungsi yang terbuka bagi semua orang. Artinya, Rawls tidak mengharuskan bagian semua orang adalah sama, seperti kekayaan, status, pekerjaan, dan lainnya, karena hal itu tidak mungkin, melainkan bagaimana ketidaksamaan tersebut diatur sedemikian rupa sehingga terjadi ikatan, kerjasama dan kaitan saling menguntungkan juga membutuhkan diantara mereka. Dalam hubungan diantara dua prinsip keadilan tersebut, menurut Rawls, prinsip pertama berlaku lebih dibanding prinsip kedua. Artinya, prinsip kebebasan dari I tidak dapat diganti oleh tujuan-tujuan untuk kepentingan sosial ekonomi dari prinsip II. Penegasan ini penting guna menghindari “kesalahan” dari konsep keadilan utilitarinisme. Menurut utilitarinisme, kegiatan yang adil adalah kegiatan yang paling besar menghasilkan keuntungan sosial ekonomi bagi sebanyak mungkin orang. Artinya, keadilan dipahami sebagai identik dengan tujuan memperbesar keuntungan sosial-ekonomi, sehingga ruang bagi perjuangan untuk kepentingan diri setiap orang menjadi sempit. Akibatnya, prinsip kebebasan dapat diabaikan dan kepincangan partisipasi dapat dihalalkan[19].
Teori kedua yang digunakan dalam perlindungan hukum anak pada umumnya yaitu Rechtstaat atau Teori Rule Of Law karena lahirnya teori tersebut tidak lepas dari keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Teori Rechtstaat muncul pada abad ke 19 yang pertama kali dicetuskan oleh Julius Stahl. Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula Teori Negara Hukum (Rule Of Law) yang dipelopori oleh A.V. Dicey, yang lahir dalam ruangan sistem hukum Anglo Saxon.
A. V. Dicey mengemukakan unsur-unsur Rule Of Law sebagai berikut:
a. Supremasi aturan-aturan hukum (Supremacy Of law), tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (Absence of Arbitrary Power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.
b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (Equality Before The law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat.
c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-Undang di Negara lain oleh undang-undang dasar serta keputusan-keputusan pengadilan. Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat.

Menurut Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah di landasi oleh dua prinsip, yaitu prinsip hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari negara hukum.
Perlindungan hukum bagi rakyat, menurut Philipus M. Hadjon dibedakan atas 2 (dua) macam:
a.  Perlindungan hukum yang preventif. Perlindungan hukum yang preventif kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Perlindungan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.
b.  Perlindungan hukum yang represif. Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum represif dilakukan antara lain melalui peradilan hukum dan peradilan administrasi negara.

Kedua macam perlindungan hukum di atas bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia serta berlandaskan prinsip negara hukum. Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) yang bertujuan untuk menjamin kesejahteraan bagi tiap-tiap warga negaranya, hal ini juga termasuk perlindungan terhadap hak anak yang juga merupakan hak asasi manusia.

2. Konseptual
       Dalam kerangka konseptual diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum[20]. Selanjutnya konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalah dan konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep sebenarnya adalah defenisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala tersebut. Agar tidak terjadi perbedaan dan dapat persamaan persepsi dan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini juga untuk dapat memahami penulisan didalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk dijelaskan beberapa kerangka konseptual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.    Perlindungan Hukum adalah suatu bentuk pelayanan hukum yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, ganguan, teror, dan kekerasa dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan[21];
b.    Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya[22];
d.    Perlindungan hukum terhadap anak adalah segala kegiatan hukum untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi[23];
e.    Pekerja Anak merupakan anak-anak yang bekerja, baik sebagai tenaga upahan maupun pekerja keluarga baik bekerja di sektor formal maupun informal dengan berbagai status hubungan kerja[24];
f.     Perkebunan Tebu merupakan perkebunan yang menanam tanaman sumber pemanis alamiah. Tanaman ini berasal sub-tropis dan dapat tumbuh di setiap jenis tanah, dari dataran rendah hingga dataran tinggi pada ketinggian 1.400 m di atas permukaan laut. Di Indonesia tanaman tebu berfungsi ganda, yakni bernilai ekonomi yang tinggi dan juga sebagai dapat berfungsi memelihara lingkungan. Seperti konservasi sumber air tanah, mencegah longsor dan menyerap CO2. Pada tahun 2007, perkebunan tebu di Indonesia melampaui 418.000 ha. Produksi utama industri tebu adalah gula putih. Serta terdapat 40 jenis produk turunan yang bisa dihasilkan dari gula. Dari limbah pengolahan tebu, pada tahun 2007 dapat dihasilkan 1,97 juta KWH listrik dan diperkirakan meningkat 2,75 juta KWH pada tahun 2025. Disamping itu, terkait dengan pelestarian lingkungan, jumlah CO2 yang diserap oleh perkebunan tebu pada tahun 2007 diperkirakan sekitar 9,56 juta ton dan akan meningkat menjadi 13,9 juta ton pada tahun 2025.
g.    Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja[25].
h.    Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat[26].
i.     Hukum Ketenagakerjaan adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha/majikan dengan segala konsekuensinya[27].

G. METODE PENELITIAN
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Berdasarkan karakteristik rumusan permasalahan dalam penelitian ini, maka jenis penelitian tergolong bersifat deskritif analisis, yaitu suatu metode yang dilakukan melalui pengkajian dan menganalisis dengan memberikan gambaran umum serta menyeluruh mengenai pelaksanaan hukum dibidang kesejahteraan dan perlindungan anak bagi para pekerja anak-anak, dimana penelitiannya dilakukan melalui studi kepustakaan dari berbagai referensi atau bahan bacaan yang tersedia serta yang relevan dengan materi yang dibahas. Secara lebih spesifik metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif).
Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, “penelitian hukum normatif (yuridis normatif) mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum”[28].
Adapun pendekatan yang digunakan dalam analisis pemecahan masalah adalah secara komprehensif, integral, holistik, dan sistematik untuk melahirkan berbagai fakta atau kenyataan yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum atau penegakan hukum kesejahteraan dan perlindungan anak berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

2.    Sumber Data Penelitian
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain:
a.         Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum[29] dan sumber bahan hukum primer tersebut berupa peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah yang telah berkekuatan hukum tetap dan terkait dengan keputusan tersebut akan dianalisis yang akan dijadikan pertimbangan hukum dalam memberikan perlindungan hukum bagi pekerja anak yang bekerja di Perkebunan Tebu Binjai Sumatera Utara.
b.    Bahan-bahan hukum primer diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pokok permasalahan yang akan diteliti,antara lain:
1.        UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2.        UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
3.        UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;

c.    Bahan hukum sekunder yang digunakan untuk membantu memahami berbagai konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik jurnal, buku-buku, makalah, serta karya ilmiah lainnya mengenai perlindungan hukum bagi pekerja anak.
d.   Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi penjelasanterhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder[30]. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penulisan ini adalah Kamus Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

3.    Teknik Pengumpulan Data
Menurut Bambang Sunggono:[31]
“Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dengan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut adakan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab”.

Oleh karenanya, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah snowball metohd (metode bola salju), dimana subjek berikutnya diketahui berdasarkan informasi yang diberikan subjek sebelumnya. Yang artinya, dimana subjek (pekerja anak) tersebut yang akan diwawancarai oleh peneliti akan menunjukkan teman-temannya yang bekerja seperti dirinya.
Penelitian ini juga menggunakan teknik pengumpulan data Field Research (penelitian lapangan) yaitu wawancara untuk mendapatkan data primer sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian yang terkait dengan perlindungan hukum bagi pekerja anak yang bekerja di perkebunan tebu Binjai, Sumatera Utara.

4. Alat Pengumpulan Data
          Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara :
a.    Studi Dokumen.
b.    Wawancara

5. Analisis Data
Analisis data adalah sesuatu yang harus dikerjakan untuk memperoleh pengertian tentang situasi yang sesungguhnya, disamping itu juga harus dikerjakan untuk situasi yang nyata.[32]
Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara kualitatif dengan mengumpulkan data sekunder, selanjutnya dilakukan pemeriksaan dan pengelompokkan agar menghasilkan data yang lebih sederhana sehingga mudah dibaca dan dimengerti. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data dipilih dan dipilah untuk diolah, selanjutnya dianalisis secara deskriptif sehingga disamping akan menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, tetapi juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.













DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdul Hakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

A. Khudori Soleh, Rowles Theory of Justice, Teori Keadilan John Rawls, diterbitkan dalam Jurnal Ulul Albab, Vol. 5/1, UIN Malang, 2005.

Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak. Penerbit Restu Agung, Jakarta, 2007.

Ahmad Sofian, Rinaldi, dkk, Kekerasan Seksual terhadap Anak Jermal, Kerjasama Fored Foundation dengan Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1999.

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Sanksi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001.

Edy Ikhsan, Ediyono, Suzanna, Hisar Siregar, dan Ali Martua, Pekerja Anak di Perkebunan Tebu, Kerjasama LAAI-ACIL, Medan, 2000.

Emei Dwinanarhati Setiamandani, Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Anak dan Cara Penanggulangannya, Malang, 2009.

Erickson dan  Nosanchuk, Memahami Data Statistik Untuk Ilmu Sosial, LP3ES, Jakarta, 1996

Henri Sitorus, Perlindungan Khusus Bagi Anak yang Mengalami Eksploitasi Ekonomi, dalam Konvensi, vol. III, No. 5, September, 1999.

Indrasari Tjandraningsih dan Anarita, Popon, Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau, Akatiga, Bandung, 2002.

Irwanto dan Farid Muhammad, Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus di Indonesia: Analisis Situasi, Kerjasama PKPM Unika Atmajaya Jakarta, Departemen Sosial, UNICEF, Jakarta.Siti Kunarti, Hukum Perburuhan, Universitas Jenderal Soedirman Press, Purwokerto, 2004.

Kaelan M.S., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), Yogyakarta: Paradigma, 2005).

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta; Balai Pustaka, 1995).

M. Marwas & Jimmy P, Kamus Hukum, Dictionary of Law Complete Edition, Cetakan 1,  Reality Publisher, Surabya, 2009.

Rika Kurniaty, Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia, Brawijaya.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Soerjono Soekanto, 1986,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2001, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sjafri Sairin, Pekerja Anak di Perkebunan: Hasil Penelitian Tahun 1985 makalah dalam Seminar Sehari Profil Pekerja Anak di Indonesia yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Antropologi Universitas Gajah Mada di Yogyakarta, 1994.


DATA INTERNET

www.google.com–http://id.wikipedia.org/wikil/Anak. Akses tanggal 27 Oktober 2013.


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

-            UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
-            UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
-            UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;





[1] Kompas, Edisi 16 Juni 2003, hal. 13.
[2] Lihat Makalah Emie Dwinanarhati Setiamandani, Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Anak dan Cara Penanggulangannya, Malang, 2009.
[3] Lihat Jurnal Sri Purnianti dan Martini, Perlindungan Hukum terhadap Anak, berpendapat bahwa anak dapat bermakna sosial (kehormatan harkat martabat keluarga tergantung pada sikap dan perilaku anak), budaya (anak merupakan harta dan kekayaan sekaligus merupakan lambang kesuburan sebuah keluarga),  politik (anak adalah penerus trah atau suku masyarakat tertentu)ekonomi (pada sementara anggapan masyarakat Jawa khususnya ada adagium ‘banyak anak banyak rejeki, sehingga ‘mengkaryakan’ atau memperkerjakan anak dapat menambah penghasilan atau rejeki)hukum (anak mempunyai posisi dan kedudukan strategis didepan hukum) mengingat sangat pentingnya status dan posisi anak, Malang, 2002, hal. 5. 

[4]Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak, Penerbit Restu Agung, Jakarta, 2007.

[5] Rika Kurniaty, Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak berdasarkan Hukum Positif di Indonesia, Brawijaya, hal. 2, 2009.
[6] Irwanto, dkk, Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus di Indonesia, Analisis Situasi, Kerjasama PKPM Unika Atmajaya Jakarta, Departemen Sosial, UNICEF, Jakarta, 1999.
[7] Ahmad Sofian, Rinaldi, dkk, Kekerasan Seksual terhadap Anak Jermal, Kerjasama Fored Foundation dengan Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1999.
[8] Henri Sitorus, Perlindungan Khusus Bagi Anaka yang Mengalami Eksploitasi Ekonomi, dalam Konvensi, Vol. III No. 5, September, 1999.
[9] Sumber data diperoleh dari SAKERNAS 2002-2003, SAKERNAS adalah Survei Tenaga Kerja Nasional yang merupakan salah satu kegiatan tahunan BPS untuk mengumpulkan informasi tentang tenaga kerja di Indonesia.  
[10] Henri Sitorus, Op.Cit.
[11] Sjafri Sairin, Pekerja Anak di Perkebunan: Hasil Penelitian Tahun 1985 makalah dalam Seminar Sehari Profil Pekerja Anak di Indonesia yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Antropologi Universitas Gajah Mada di Yogyakarta, 1994.
[12] Henri Sitorus, Op.Cit.
[13] Edy Ikhsan, Ediyono, Suzanna, Hisar Siregar, dan Ali Martua, Pekerja Anak di Perkebunan Tebu, Kerjasama LAAI-ACIL, Medan, 2000.
[14] Indrasari Tjandraningsih dan Anarita, Popon, Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau, Akatiga, Bandung, 2002.
[15] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta; Balai Pustaka, 1995), Hal. 520
[16] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 254.
[17]Ibid, hal. 253.
[18] Kaelan M.S., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), Paradigma, Yogyakarta, 2005, hal. 239.
[19] A. Khudori Soleh, Rowles Theory of Justice, Teori Keadilan John Rawls, diterbitkan dalam Jurnal Ulul Albab, Vol. 5/1, UIN Malang, 2005.
[20] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 7.
[21] Lihat Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat.
[22] M. Marwas & Jimmy P, Kamus Hukum, Dictionary of Law Complete Edition, Cetakan I, Reality Publisher, Surabaya, 2009, hal. 41.
[23] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
[24] Pasal 68 jo Pasal 69 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
[25] Pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
[26] Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
[27] Abdul Hakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 5-6.
[28] Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Rajawali, 1985, hal. 15.
[29] Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2001, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13.
[30] Soerjono Soekanto, 1986,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal.251-262
[31] Bambang Sunggono, Metode Penelitian Sanksi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 195-196.
[32] Erickson dan  Nosanchuk, Memahami Data Statistik Untuk Ilmu Sosial, LP3ES, Jakarta, 1996, hal. 17.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Izin Lingkungan Dalam Kaitannya dengan Penegakan Sanksi Administrasi Lingkungan dan Sanksi Pidana Lingkungan Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)

Kebijakan Polresta Terhadap Tindak Pidana Kejahatan yang dilakukan Kelompok Geng Motor (Khususnya Polresta Medan)

PENGELOLAAN TERNAK KAMBING DAN DOMBA