Kebijakan Polresta Terhadap Tindak Pidana Kejahatan yang dilakukan Kelompok Geng Motor (Khususnya Polresta Medan)


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Geng motor merupakan kelompok anak muda (remaja) karena ada kesamaan latar belakang, sekolah, daerah dan lain-lain yang tergabung dalam suatu komunitas pengguna kendaraan bermotor roda dua. Komunitas bermotor saat ini bukan hanya menjadi trend masyarakat perkotaan, melainkan sudah menjamur sampai pelosok pedesaan. Hal tersebut selain semakin mudahnya cara masyarakat memiliki kendaraan bermotor roda dua, juga karena kebutuhan akan transportasi maupun sebagai gaya hidup bagi sebagaian orang[1].
Sebenarnya geng-geng motor sudah ada dari tahun 1978. Yang namanya melegenda saat itu adalah geng motor "M2R" atau Moonraker. Geng motor & gangster diseluruh dunia sedang naik daun, seperti di Jepang tahun 70an geng motor lagi zaman, di Amerika gangster tahun 70an baru-baru naik, di Korea tahun 70an juga sama kaya di Jepang dan sama halnya dengan di Indonesia tahun 70an sudah ada Moonraker[2].
Awal geng hanya merupakan kumpulan remaja yang memiliki tujuan yang sama. Berawal dari sekedar mencari pengalaman yang baru, lalu kelamaan perbuatan anggota geng menjadi semakin di luar kontrol, dan berubah aksi-aksinya menjadi tindak kekerasan dan kejahatan[3].
Geng diindikasi banyak tumbuh dan berkembang di kota-kota besar, dan bertanggung jawab atas banyaknya kejahatan, antara lain melakukan tindak kekerasan, melakukan perkelahian dengan siapapun juga tanpa suatu sebab yang jelas dengan tujuan untuk mengukur kekuatan kelompok sendiri, serta penganiayaan terhadap anggota geng yang berbeda.
Sebenarnya lawan dari sebuah geng bukanlah masyarakat, melainkan sesama geng. Perang antar geng untuk menjadi normor satu itulah yang berimbas ketakutan kepada masyarakat[4]. Hal inilah yang menjadi penyebab tindak pidana yang dilakukan geng motor terhadap geng lawannya lebih sering terjadi daripada tindak pidana lain seperti penganiayaan hingga sampai menelan korban, pencurian, pengerusakan milik orang lain atau fasilitas umum serta pelanggaran norma lainnya[5].
Seperti salah satu contoh kasus perkara dari sekian banyak kejadian peristiwa kejahatan yg dilakukan geng motor, diawal tahun 2014 ini, aksi keganasan gang motor terjadi. Suasana nyaman dan aman di awal tahun  yang seharusnya  penuh dengan kenyamanan dan  kedamaian yang dirasakan warga kota, tetapi  di kotori oleh kelompok geng motor tersebut. Seperti yang terjadi di wilayah Kecamatan Percut Sei Tuan, dalam sehari ini sudah dua orang menjadi keganasan ulah genk motor tersebut dengan lokasi yang berbeda. Korban keganasan aksi genk motor adalah Fandy (22) warga Jalan Pembinaan, Gang Mushala Bandar Setia dan M Fauzi (15) warga Jalan Rakyat Pasar 2 Gang Mesjid Medan Perjuangan. Keduanya menjadi korban aksi kebrutalan kawanan gang motor yang merampok keduanya ketika hendak pulang kerumah masing-masing. Kedua juga menjadi korban didalam satu hari yang sama. Menanggapi hal ini, pihak Kepolisian mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan tindakan tegas terhadap pelaku kejahatan perampok maupun gang motor yang berada di wilayah hukum Polsek Percut Sei Tuan[6].
Sebagaimana telah dijabarkan diatas sangat wajar apabila masyarakat merasa resah dan khawatir, bahkan Image di mata masyarakat geng motor identik dengan kelompok “pengacau”, “pembuat onar”, “brandalan” serta sebagai “pelaku kriminal” termasuk muncul pernyataan “perang” terhadap geng motor. Secara yuridis formal tindakan-tindakan yang dilakukan kelompok geng motor sudah memasuki ranah hukum pidana, sehingga perbuatan yang mereka lakukan bukan hanya berupa pelanggaran, melainkan termasuk perbuatan yang dikategorikan sebagai suatu kejahatan (crime). Perbuatan yang dilarang dan diancam sanksi pidana.
Suatu kenyataan bahwa di dalam pergaulan hidup manusia, individu maupun kelompok, sering terdapat adanya penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidupnya, terutama terhadap norma yang dikenal sebagai norma hukum. Dalam pergaulan hidup manusia, penyimpangan terhadap norma hukum ini disebut sebagai kejahatan. Kejahatan sebagai salah satu bentuk problema sosial merupakan sebuah kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap lapisan masyarakat. Untuk menganalisa atau mengadakan diagnosa terhadap kejahatan-kejahatan yang meningkat saat ini, belum dapat dilakukan, karena keadaan pengetahuan kriminologi dewasa ini belum memungkinkan untuk tegas menentukan sebab, mengapa orang melakukan kejahatan, sehingga hanya baru dapat dicari faktor-faktor yang berkaitan dengan kondisi masyarakat tertentu pada masa tertentu pula, yang berhubungan erat dengan timbulnya kejahatan.
Kejahatan akan terus bertambah dengan cara yang berbeda-beda bahkan dengan peralatan yang semakin canggih dan moderen sehingga kejahatan akan semakin meresahkan masyarakat saat ini.  Masalah kejahatan merupakan masalah abadi dalam kehidupan umat manusia, karena perkembangan tersebut sejalan dengan berkembangnya tingkat peradaban umat manusia yang semakin kompleks. Sejarah perkembangan manusia sampai saat ini telah ditandai oleh berbagai usaha manusia untuk mempertahankan kehidupannya, dimana kekerasan sebagai salah satu fenomena dalam usaha mencapai tujuan suatu kelompok tertentu dalam masyarakat atau tujuan yang bersifat perorangan untuk mempertahankan hidup tersebut. Berkaitan dengan kejahatan, maka kekerasan merupakan pelengkap dari bentuk kejahatan itu sendiri.
Emile Durkheim mengatakan bahwa kejahatan akan selalu ada dalam masyarakat dan kejahatan merupakan produk dari suatu masyarakat. Masyarakat memberi andil akan terjadinya kejahatan. Ada beberapa faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan antara lain:
(a)   Teori-teori ekologis tetang kepadatan penduduk dan mobilitas sosial; kota dan
pedesaan; urbanisasi dan urbanism; delinquency areas dan perumahan; distribusi menurut umur dan kelamin;
(b)   Dalam teori-teori konflik kebudayaan, masalah suku, agama, kelompok minoritas;
(c)   Dalam teori-teori ekonomis, pengaruh kemiskinan dan kemakmuran;
(d) Dalam teori defferential association, pengauh mass media;
(e)   Dalam teori anomie dan sub-culture, perbedaan nilai dan norma antara “middle class” dan “lower class”; ketegangan yang timbul karena terbatasnya kesempatan untuk mencapai tujuan[7].

Ada juga faktor penyebab terjadinya kejahatan, yaitu :
1.        Faktor pengaruh minuman keras; dan
2.        Faktor kondisi psikologis dan emosi yang kurang stabil[8];

Ada peraturan yang membatasi prilaku dari perserikatan atau perkumpulan tersebut yaitu didalam KUHP pasal 510 dan pasal 511, berbunyi sebagai berikut:
Pasal 510 KUHP à
(1)     Diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, barang siapa tanpa ijin kepala polisi atau pegawai negeri lain yang ditunjuk untuk itu:
          a.  Mengadakan pesta atau keramaian untuk umum
          b.  Mengadakan arak-arakan di jalan umum

(2)     Jika arak-arakan diadakan untuk menyatakan keinginan-keinginan secara menakjubkan, yang bersalah diancam dengan pidana paling lama dua minggu atau pidana denda dua ribu dua ratus lima puluh rupiah.


Pasal 511 KUHP à
         
          “Barang siapa di waktu ada pesta arak-arakan dan sebagainya, tidak menaati perintah dan petunjuk yang diadakan oleh polisi untuk mencegah kecelakaan oleh kemacetan lalu lintas di jalan umum, diancam dengan pidana paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah”.

Walaupun semua orang berhak untuk berkumpul atau membuat suatu geng motor, namun hal tersebut tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, suatu keharusan apabila pihak kepolisian sebagai aparat penegak hukum melakukan tindakan-tindakan yang lebih efektif dan rasional dengan mengambil langkah-langkah baik berupa tindakan preventif, maupun melakukan tindakan represif dengan cara penegakan hukum (law enforcement)[9].
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.
Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknyayaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Di Indonesia sendiri penegakan hukum sangat lambat, sangat jauh dari yang diharapkan. Selain mengalami masalah pada profesionalisme dan integritasnya, jalur yang rumit, disertai syarat-syarat birokratis yang panjang, menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi program penegakan hukum yang efisien dan efektif.
Adapun faktor-faktor yang menyebakan Penegakan Hukum sangat lambat, yaitu:
1.    Campur Tangan Politik.Kasus-kasus hukum di Indonesia banyak yang terhambat karena adanya campur tangan politik didalamnya Hal yang lumrah untuk dilontarkan karena kasus-kasus besar dan berdimensi struktural saat ini setidaknya melibatkan partai politik penguasa negara ini.
2.    Peraturan perundangan yang lebih berpihak kepada kepentingan penguasa dibandingkan  kepentingan rakyat.
3.    Rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum dalam menegakan hukum. Moral yang ada di beberapa aparat penegak hukum di Indonesia saat ini bisa dikatakan sangat rendah. Mereka dapat dengan mudahnya disuap oleh para tersangka agar mereka bisa terbebas atau paling tidak mendapat hukuman yang rendah dari kasus hukum yang mereka hadapi. Padahal para aparat ini telah disumpah saat ia memangkuh jabatannya sebagai penegak hukum.
4.         Kedewasaan Berpolitik. Berbagai sikap yang diperlihatkan oleh partai politik saat kadernya terkena kasus poltik sesungguhnya memperlihatkan ketidak dewasaan para elit politik di Negara hukum ini[10].


Sebenarnya masyarakat menghendaki hukum sebagai sarana dalam penegakan hukum tidak lagi menjadi alat untuk kepentingan penguasa, atau kepentingan politik. Memang harus diakui banyak faktor diluar hukum yang turut mewarnai didalam praktek yang kadang kala dipandang sebagian kelangan begitu transparan dan kasat mata, sehingga dapat mencederai hukum itu sendiri.
Fenomena ini harus direspons secara positif oleh setiap aparatur penegak hukum dan menjadi perhatian serius pihak Kepolisian Medan untuk terus menerus berupaya memperbaikinya dengan cara meningkatkan kinerjanya, sehingga tujuan penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen berorientasi kepada nilai-nilai dasar dari cita hukum berupa kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum dapat terwujud.
Berbagai upaya pencegahan tindak pidana kejahatan dan penegakan hukum harus tetap dilakukan agar Kelompok Geng Motor tidak meresahkan warga masyarakat. Dalam penanganan masalah tindakan pidana kejahatan yang dilakukan Kelompok Geng Motor tersebut tentunya ada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Kepolisian Medan (Polresta Medan). Sehubungan dengan latar belakang tersebut diatas penulis merasa tertarik untuk menyusun sebuah tesis menjadi sebuah karya ilmiah dengan judul “Kebijakan Polresta Terhadap Tindak Pidana Kejahatan yang dilakukan Kelompok Geng Motor (Khususnya Polresta Medan)”.
           
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka yang menjadi pokok permasalahan adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Kejahatan yang Dilakukan Kelompok Geng Motor dan Upaya Aparat Polresta Medan dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kejahatan Geng Motor?
2.      Bagaimana Kebijakan Polresta Medan terhadap Tindak Pidana Kejahatan yang dilakukan Kelompok Geng Motor?
3.      Bagaimana Penerapan dan Penegakan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Kejahatan yang dilakukan oleh Kelompok Geng Motor?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah:
1.    Menganalisis dan menjelaskan faktor penyebab terjadinya tindak pidana kejahatan yang dilakukan kelompok Geng Motor dan upaya aparat Polresta Medan dalam penanggulangan tindak pidana kejahatan Geng Motor;
2.    Menganalisis dan menjelaskan kebijakan Polresta Medan terhadap tindak pidana kejahatan yang dilakukan oleh Kelompok Geng Motor;
3.    Menganalisis dan menjelaskan penerapan dan penegakan sanksi pidana terhadap tindak pidana kejahatan yang dilakukan oleh Kelompok Geng Motor.

D. Manfaat Penelitian
Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan akan masukan bagi para pembentuk undang-undang dan para penegak hukum dan juga diharapkan berguna bagi akademisi guna pengembangan teori ilmu hukum khususnya hukum pidana dan undang-undang yang terkait dengan kepentingan masyarakat.
Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan tidak saja bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum tetapi juga bagi para pemerhati termasuk didalamnya lembaga/komisi yang bergerak dibidang hukum dan juga bagi masyarakat luas.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan dan penelusuran kepustakaan dari hasil penelitian yang telah dilakukan khususnya di Universitas Sumatera Utara maka penulis menerangkan bahwa penelitian mengenai “Kebijakan Polresta dalam Menangani Tindak Pidana Kejahatan yang dilakukan oleh Kelompok Geng Motor (Khususnya Polresta Medan)” belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama oleh peneliti yang lainnya. Kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penelitian ini semata-mata adalah sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam penelitian yang memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan penelitian ini.   

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual
1. Kerangka Teori
          Kerangka teori merupakan garis besar dari suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa[11]. Dalam penelitian hukum kerangka teori diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.[12] Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.[13]      
Defenisi landasan teori pada suatu penelitian merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian[14]. Landasan teori yang digunakan dan relevan dengan salah satu prinsip untuk menjamin ketertiban dan perlindungan hukum yang dalam menangani tindak pidana kejahatan yang ada di masyarakat.
Adapun teori hukum yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori kebijakan sebagai teori utama (Grand Theory), dan teori penegakan hukum (Middle Theory), teori relatif sebagai teori pendukung (Supporting Theory).
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini dengan segala kegiatan pemerintahan tidak dapat lepas dari apa yang disebut sebagai kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat ditemukan dalam bidang kesejahteraan sosial (social welfare), di bidang kesehatan, perumahan rakyat, pertanian, pembangunan ekonomi, hubungan luar negeri, pendidikan nasional dan lain sebagainya.
Menurut Carl Fredrich, kebijakan adalah suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu[15].
Harold D. Laswell memberikan definisi kebijakan publik sebagai berikut[16]:
1) Kebijakan Publik adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah;
2) Kebijakan publik adalah apa saja yang dilakukan maupun tidak dilakukan oleh pemerintah.
Thomas R.Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai “is whatever government choose to do or not to do”. Secara sederhana pengertian kebijakan publik dirumuskan dalam kalimat sebagai berikut[17]:
a. Apa yang dilakukan oleh pemerintah (What government do?)
b. Mengapa dilakukan tindakan itu (Why government do?)
c. Dan apa terjadi kesenjangan antara apa yang ingin diperbuat dengan kenyataan (What defference it make?)

Lebih lanjut James Anderson menyatakan 4 (empat) konsep kebijakan publik mempunyai beberapa implikasi[18]:
1) Kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan;
2) Kebijakan publik merupakan pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya;
3) Kebijakan publik adalah apa yang sebenarnya dilakukan pemerintah dan bukan apa yang diinginkan pemerintah;
4) Kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif dan negative. Positif : kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu. Negative: kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah.

Sedangkan teori penegakan hukum (Middle Theory) merupakan suatu proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Teori penegakan hukum merupakan penegakan hukum yang prosesnya dilakukan sebagai upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata yang bertujuan sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara[19].
   Sementara penegakan hukum dalam arti luas, (law enforcement policy) terkandung didalamnya makna politik kriminal (criminal policy), yaitu upaya yang rasional untuk menanggulangi kejahatan dan proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.  
Sedangkan penegakan hukum dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
   Penegakan hukum di Indonesia dijalankan atau ditugaskan kepada badan-badan peradilan dan/atau badan-badan hukum yang sesuai dengan Pasal 1 UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang sudah diperbaharui oleh UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman Jo. UU No. 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Pada Pasal 1 UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman menyatakan, bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru.
Oleh karena itu upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh melalui pendekatan kebijakan dalam arti, adanya keterpaduan antara politik kriminal dengan politik sosial dan keterpaduan antara penggunaan upaya penal dan non penal[20]. Penanganan masalah tindak pidana kejahatan melalui perangkat hukum pidana merupakan bagian dari penegakan hukum penal. Untuk itu penegakan hukum dapat dilakukan secara preventif, yaitu upaya penegak hukum mencegah terjadinya tindak pidana kejahatan yang dilakukan kelompok geng motor. Dan dapat juga dilakukan secara represif, yaitu upaya penegak hukum melakukan tindakan hukum kepada siapa yang melanggar ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian dilanjutkan dengan teori relatif[21] sebagai teori pendukung (Supporting Theory). Teori relatif memandang bahwa pemidanaan mempunyai tujuan lain yang lebih berarti dari tujuan pembalasan, yaitu perlindungan masyarakat dan pencegahan kejahatan, baik prevensi umum[22] diharapkan memberikan peringatan kepada masayarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini menurut Van Veen mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma. Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. Sedangkan fungsi perlindungan kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan pelaku[23].
Niger Walker menamakan teori ini sebagai paham reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Penganut reductivism menyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini[24]:
1.      Pencegahan terhadap pelaku kejahatan yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan;
2.      Pencegahan terhadap pelaku yang potensial, dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan pidana kepadanya;
3.      Perbaikan si pelaku, yaitu memperbaiki tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman pidana;
4.      Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan;
5.      Melindungi masyarakat melalui pidana penjara yang cukup lama.

2. Kerangka Konseptual
       Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum ini[25]. Konsep merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati, menentukan antara variabel-variabel yang lain, menentukan adanya hubungan empiris[26]. Konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Makna Kebijakan
Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari Bahasa Inggris “Policy” (inggris) atau dalam Bahasa Belanda “Politiek” yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah. Istilah kebijakan merupakan sesuatu yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan satu pekerjaan, kepemimpinan atau organisasi; arah tindakan yang memiliki maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan.

b. Makna Kepolisian
          Kepolisian merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

c. Makna Tindak Pidana
          Tindak Pidana merupakan suatu perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman; setiap perbuatan yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya.

d. Makna Kejahatan
          Kejahatan sebagai salah satu bentuk problema sosial merupakan sebuah kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap lapisan masyarakat. Untuk menganalisa atau mengadakan diagnosa terhadap kejahatan-kejahatan yang meningkat saat ini, belum dapat dilakukan, karena keadaan pengetahuan kriminologi dewasa ini belum memungkinkan untuk tegas menentukan sebab, mengapa orang melakukan kejahatan, sehingga hanya baru dapat dicari faktor-faktor yang berkaitan dengan kondisi masyarakat tertentu pada masa tertentu pula, yang berhubungan erat dengan timbulnya kejahatan. Suatu batasan kejahatan yang dipandang dari sudut yuridis, dikemukakan oleh Herman Mannheim adalah suatu konsep yuridis berarti tingkah laku manusia yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana.

d. Makna Geng Motor
Istilah geng umumnya dipakai untuk kelompok yang lebih besar dan terbatas pada kelompok yang kecil. Definisi tentang geng sangat jelas identik dengan kehidupan berkelompok. Hanya saja geng memang memiliki makna yang sedemikian negatif. Geng bukan sekedar kumpulan remaja yang bersifat informal. Geng dalam bahasa inggris adalah sebuah kelompok penjahat yang terorganisasi secara rapi. Dalam sebuah konsep yang moderat, geng merupakan sebuah kelompok kaum muda yang pergi secara bersama-sama dan sering kali menyebabkan keributan[27].
Kaum remaja yang terlibat dalam kehidupan geng sebenarnya sedang mengalami distorsi komunikasi. Kaum remaja tidak mampu memahami atau sengaja tidak sudi untuk menyepakati aturan-aturan budaya, masyarakat, dan komunitas tempat berfungsinya dengan baik.
Dalam hal kenakalan remaja yang terbentuk dalam suatu geng-geng atau gerombolan-gerombolan anak muda, fokusnya bukan lagi pelanggaran individual tetapi sudah terhadap kelompok sebagai keseluruhan dalam arti bahwa kolektivitas itu dipandang sebagai suatu kesatuan yang mengandung kualitas-kualitas diluar jumlah individu anggota semata-mata.
Geng motor berbeda dengan club motor. Club motor biasanya mengusung merek tertentu atau spesifikasi jenis motor tertentu dengan perangkat organisasi formal, seperti HDC (harley davidson club), scooter (kelompok pecinta vespa), kelompok honda, kelompok suzuki, tiger, mio, dan lain sebagainya. Ada juga brotherhood, yaitu kelompok pecinta motor besar tua[28].
Dengan demikian Geng motor merupakan kumpulan orang-orang pecinta motor yang doyan kebut-kebutan, tanpa membedakan jenis motor yang dikendarai.

G. Metode Penelitian
       Dalam penulisan karya ilmiah, selalu diperlukan data untuk mendukung penulisan yang tengah dilakukan dalam menyelesaikan tesis ini. Pengumpulan data tersebut diperoleh dengan melakukan sebuah penelitian.
       Metode penelitian merupakan satu unsur mutlak dalam suatu penelitian dan perkembangan ilmu pengetahuan, demikian pula dalam penulisan tesis ini penulis menggunakan beberapa metode penelitian, antara lain sebagai berikut:
1.             Jenis Penelitian
          Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam pembahasan tesis ini adalah metode penelitian yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum dan melakukan inventarisasi hukum positif yang berkaitan dengan efektifitas peraturan perundang-undangan di bidang hukum. Sehingga data yang dimaksud dalam penelitian ini secara deduktif penelitian ini dimulai dengan menganalisis data sekunder di bidang hukum, yang berkaitan dengan hal-hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini.

2.       Sumber Data Penelitian
          Sumber data yang terhimpun dari hasil penelitian ini diperoleh melalui penelitian lapangan, yang digolongkan ke dalam 2 jenis data, yaitu :
1. Data primer (primary atau basic data), adalah data yang diperoleh secara langsung di lokasi. Dengan mengadakan wawancara dan penelitian secara langsung dengan pihak-pihak yang terkait. Dan data diperoleh secara langsung dari sumber pertama (responden) pada lokasi penelitian.
2. Data sekunder (secondary data), yaitu data yang diperoleh berdasarkan studi dokumen yang dihimpun dari aturan perundang-undangan, buku-buku, arsip atau data di Polresta Medan serta bahan atau sumber lain yang menjadi faktor penunjang dalam penelitian ini.

3.       Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data dan informasi adalah sebagai berikut :
1. Penelitian Lapangan diperoleh langsung dari lokasi penelitian yang berupa hasil wawancara terhadap petugas kepolisian dan pejabat yang berwenang.
2. Penelitian Kepustakaan dilakukan dengan cara menelaah bahan-bahan pustaka yang relevan dengan dengan penelitian literatur-literatur, karya ilmiah (hasil penelitian), peraturan perundang-undangan, media massa, media cetak, dan dokumentasi dari instansi yang terkait dengan penelitian ini, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kerangka teori dari hasil pemikiran para ahli. Hal ini dilihat dari relevansinya yang terjadi di lapangan.

4.       Teknik Analisis Data
          Data yang diperoleh, baik secara data primer maupun data sekunder dianalisis dengan teknik kualitatif[29]  (analisis dengan menggambarkan faktor-faktor yang terjadi di lokasi penelitian), kemudian disajikan secara deskriptif yaitu mengemukakan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan keadaan yang nyata mengenai terjadinya tindak pidana kejahatan yang dilakukan geng motor.








































BAB II
gambaran umum geng motor
di wilayah hukum polresta medan

A. Gambaran Umum Keberadaan Geng Motor di Wilayah Hukum Polresta Medan
          Kelahiran geng motor di kota Medan, berawal dari adanya kelompok  pengendara bermotor yang sering melakukan aksi balapan liar seperti di Griya dan  Pasar VIII Padang Bulan. Kelompok ini dahulunya terbilang meresahkan, namun  keresahan yang diciptakan hanyalah sebatas penggunaan jalan raya untuk arena  balapan liar. Namun beberapa tahun belakangan, teradopsi dari kelompok pengendara bermotor di kota Bandung yang kerap melakukan perilaku kekerasan,  geng motor mulai lahir dan tumbuh di kota Medan. Dorongan untuk unjuk gigi  sebagai komunitas motor juga ikut meradang. Mereka ingin tampil beda dan dikenal luas, caranya dengan melakukan aksi-aksi yang kejahatan yang sensasional. Mulai dari  kebut-kebutan, hingga melakukan perilaku agresif di jalanan[30].
          Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat.
          Tentang definisi dari kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan pendapat di antara para sarjana. R. Soesilo[31] membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban. Secara formal kejahatan dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang oleh Negara diberi pidana. Pemberian pidana dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat perbuatan itu. Keseimbangan yang terganggu itu ialah ketertiban masyarakat terganggu, masyarakat resah akibatnya. Kejahatan dapat didefinisikan berdasarkan adanya unsur anti sosial. Berdasarkan unsur itu dapatlah dirumuskan bahwa kejahatan adalah suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.
Dalam bukunya, A. S. Alam membagi definisi kejahatan ke dalam dua sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang hukum (a crime from the legal point of view). Batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap tingkah laku yang melanggar hukum pidana. Bagaimanapun jeleknya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak dilarang di dalam perundang-undangan pidana, perbuatan itu tetap sebagai perbuatan yang bukan kejahatan. Kedua, dari sudut pandang masyarakat (a crime from the sociological point of view). Batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap perbuatan yang melanggar norma-norma yang masih hidup di dalam masyarakat.
   Kejahatan yang dilakukan geng motor seperti beberapa berita perilaku agresif yang ditunjukkan anggota geng motor di kota  Medan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kapolresta Medan bahwa ada beberapa geng motor di kota Medan yang anggotanya pernah melakukan perilaku agresif dan sudah tertangkap oleh pihak kepolisian kota Medan, geng-geng itu diantaranya adalah geng motor RNR (Rock n Roll), Simple Life, Water Blue, SKM (Skandal Kota Medan), Netral Community, DTRC (Daerah Tembung Racing Community), NKB (Nekat Kami Bro), PTC (Punya Tekat Coy), LRMC (Letsu Rasta Mista Community), Canabis (cara anak nekat bikin asik), CKM G1 (Cekak Merah Generasi1), Ezto, Batako (batak mentiko), KPK (Kami Punya Kuasa), dan Segi (setel gila).
          Adapun kejahatan yang dilakukan misalnya, tewasnya Briptu Marisi Silaen anggota Brimob Polda Sumut  oleh anggota geng motor di Jalan Sei Serahayu, Medan[32]. Perampokan disertai penganiayaan oleh kelompok bermotor terhadap warga di Jalan Yos Sudarso, menyebabkan korban harus kehilangan sepeda motor  Honda Beat dan menderita enam luka tikaman serta bacokan di tubuhnya[33]. Pengerusakan mobil Honda Jazz silver BK 1023 HV, oleh kawanan geng motor saat melintasi di Jalan Pattimura Medan[34]. Geng motor kini memang menjadi salah satu perhatian utama pihak kepolisian karena perilaku agresif mereka yang semakin mengancam dan menakutkan bagi masyarakat. Lembaga kepolisian sampai mempermaklumkan akan menembak di tempat anggota geng motor yang melakukan perilaku agresif. Menurut Indonesian Police Watch (IPW), perilaku agresif yang dilakukan geng motor tidak hanya merugikan korban secara materil bahkan sudah mengambil korban jiwa. Dalam setahun terakhir 60 orang tewas akibat perilaku  agresif yang dilakukan geng motor.
Keberadaan geng motor di Medan, sudah sangat menakutkan bagi masyarakat. Hampir setiap malam anggota geng motor berkonvoi di jalanan sambil membawa senjata tajam berjenis golok panjang.  Penjahat jalanan ini sudah terbiasa untuk mengambil nyawa orang lain sebelum merampas harta bendanya, bahkan membunuh korbannya[35].
Sekalipun belum separah geng-geng motor di pulau Jawa, namun perilaku agresif anggota geng motor di kota Medan semakin mengkhawatirkan. Hampir setiap malam minggu di kota Medan, remaja-remaja nakal ini membuat keonaran di jalanan[36].

B. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Kejahatan Geng Motor
          Dalam perkembangan, terdapat beberapa faktor berusaha menjelaskan sebab-sebab kejahatan. Dari pemikiran itu, berkembanglah aliran atau mazhab-mazhab kriminologi. Sebenarnya menjelaskan sebab-sebab kejahatan sudah dimulai sejak abad ke-18. Pada waktu itu, seseorang yang melakukan kejahatan dianggap sebagai orang yang dirasuk setan. Orang berpendapat bahwa tanpa dirasuk setan seseorang tidak akan melakukan kejahatan. Pandangan ini kemudian ditinggalkan dan munculah beberapa aliran, yaitu aliran klasik, kartografi, tipologi dan aliran sosiologi berusaha untuk menerangkan sebab-sebab kejahatan secara teoritis ilmiah.
Aliran klasik timbul dari Inggris, kemudian menyebar luaskan ke Eropa dan Amerika. Dengan aliran ini adalah psikologi hedonistik. Bagi aliran ini setiap perbuatan manusia didasarkan atas pertimbangan rasa senang dan tidak senang. Setiap manusia berhak memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Perbuatan berdasarkan pertimbangan untuk memilih kesenangan atau sebaliknya yaitu penderitaan. Dengan demikian, setiap perbuatan yang dilakukan sudah tentu lebih banyak mendatangkan kesenangan dengan konsekuensi yang telah dipertimbangkan, walaupun dengan pertimbangan perbuatan tersebut lebih banyak mendatangkan kesenangan[37].
Tokoh utama aliran ini adalah Beccaria yang mengemukakan bahwa setiap orang yang melanggar hukum telah memperhitungkan kesenangan dan rasa sakit yang diperoleh dari perbuatan tersebut. Masalah sebab-sebab kejahatan selalu merupakan persoalan yang sangat menarik. Berbagi teori yang menyangkut sebab kejahatan telah diajukan oleh para ahli dari berbagai disiplin dan bidang ilmu pengetahuan.
Namun, sampai dewasa ini masih belum juga ada satu jawaban penyelesaian yang memuaskan. Meneliti suatu kejahatan harus memahami tingkah laku manusia baik dengan pendekatan deskriptif, maupun dengan pendekatan kausal. Sebenarnya dewasa ini tidak lagi dilakuakan penyidikan sebab musabab kejahatan, karena smapai saat ini belum dapat ditentukan faktor pembawa resiko yang besar atau yang lebih kecil dalam menyebabkan orang tertentu melakukan kejahatan, dengan melihat betapa kompleksnya perilaku manusia baik individu maupun secara kelompok.
Meskipun demikian, para ahli belum bisa menemukan faktor lingkungan apa dan bagaimana, yang menjadi sebab dan akibat pasti daripada terjadinya kejahatan. Kriminologi saat ini belum sampai memungkinkan untuk dengan tegas menentukan sebab-sebab orang melakukan pelanggaran norma hukum (berbuat kejahatan)[38]. Tingkat pengetahuan kriminologi dewasa ini masih dalam taraf mencari, melalui penelitian dan penyusunan teori. Dalam usaha mencari dan meneliti sebab-sebab kejahatan dalam lingkungan masyarakat. Adapun penyebab kejahatan tersebut, yaitu pertama, Anomie (ketiadaan norma). Anomie (ketiadaan norma) menekankan pada “normlessness, lessens social control“ yang berarti mengendornya pengawasan dan pengendalian sosial yang berpengaruh terhadap terjadinya kemerosotan moral. Hal ini menyebabkan individu sukar menyesuaikan diri dalam perubahan norma, bahkan sering terjadi konflik dengan norma dalam pergaulan.
Dikatakan oleh Durkhheim bahwa “tren sosial dalam masyarakat industry perkotaan modern mengakibatkan perubahan norma, kebingungan dan berkurangnya kontrol sosial atas individu”.

individualisme meningkat dan timbul berbagai gaya hidup baru, yang besar kemungkinan menciptakan kebebasan yang lebih luas disamping meningkatkan kemungkinan perilaku yang menyimpang. Satu cara dalam mempelajari masyarakat adalah dengan melihan pada bagian-bagian komponennya untuk mengetahui bagaimana masing-masing komponen berhubungan satu sama lain .
Dengan kata lain, kita melihat kepada suatu struktur masyarakat guna melihat bagaimana ia berfungsi. Jika masyarakat itu stabil, bagian-bagiannya dapat beroperasi secara lancar, susunan-susunan sosial berfungsi dengan baik. Masyarakat seperti itu ditandai oleh kepaduan, kerjasama, dan kesepakatan. Namun, jika bagian-bagian komponenya ternyata dalam keadaan membahayakan secara keteraturan dan/atau ketertiban sosial, susunan msyarakat itu menjadi disfunctional (tidak berfungsi). Menurut Durkheim, penjelasan tentang perbuatan manusia tidak terletak pada diri siindividu, tetapi terletak pada kelompok dan organisasi sosial. Dalam konteks inilah Durkheim memperkenalkan istilah “anomie sebagai hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai”.
Anomie yang dikatakan Emile Durkheim juga dipandang sebagai kondisi yang mendorong sifat individualistis (memenangkan diri sendiri/egois) yang cenderung melepaskan pengendalian sosial. Keadaan ini akan diikuti dengan perilaku menyimpang dalam pergaulan masyarakat.
Durkheim meyakini bahwa jika sebuah masyarakat sederhana berkembang menuju suatu masyarakat yang modren dan kota, maka kedekatan (intimacy) yang dibutuhkan untuk melanjutkan seperangkat norma-norma umum (a common set of rules) akan merosot. Seperangkat aturan-aturan umum, tindakan-tindakan dan harapan-harapan orang di satu sektor mungkin bertentangan dengan tindakan dan harapan orang lain, sistem tersebut secara bertahap akan runtuh, dan masyarakat itu berbeda dalam kondisi anomie[39]. Durkheim mempercayai bahwa hasrat-hasrat manusia adalah tidak terbatas karena alam tidak mengatur batas-batas biologis yang ketat untuk kemampuan manusia sebagaimana ia mengatur makhluk lain seperti binatang-binatang. Menurut Durkheim, manusia telah mengembangkan aturan-aturan sosial yang menetapkan suatu takaran yang realistis di atas aspirasi-aspirsainya. Aturan-aturan ini menyatu dengan kasadaran individu dan membuatnya menjadi merasa terpenuhi. Akan tetapi, dengan satu ledakan kemakmuran yang tiba-tiba, harapan-harapan orang menjadi berubah. Manakala aturan-aturan lama tidak lagi menentukan bagaimana ganjaran/pengendali atas apa yang orang inginkan[40].
Emile Durkheim juga mengatakan bahwa kejahatan merupakan suatu fenomena sosial yang normal. Artinya bahwa kejahatan akan selalu ada dalam masyarakat dan kejahatan merupakan produk dari suatu masyarakat. Masyarakat memberi andil akan terjadinya kejahatan.
Adapun faktor-faktor yang berperan dan gejala yang dihadapi Negara-negara berkembang saat ini dalam timbulnya kejahatan, adalah sebagai berikut[41] :
a.       Gelombang urbanisasi remaja dari desa ke kota-kota jumlahnya cukup besar dan sukar dicegah;
b.       Terjadi konflik antara norma adat pedesaan tradisonal dengan norma-norma baru yang tumbuh dalam proses penggeseran sosial yang cepat, terutama di kota-kota besar;
c.       Memudarnya pola-pola kepribadian individu yang terkait kuat pada pola kontrol sosial tradisionalnya, sehingga anggota masyarakat terutama remanya menghadapi “samar pola” (ketidaktaatan pada pola) untuk menentukan perilakunya[42].
Secara umum bahwa faktor-faktor yang dapat mendorong munculnya perilaku kriminal dalam masyarakat, antara lain bahwa, pertama sebagai pengaruh dari sistem ekonomi yang buruk, terutama dari sistem kapitalis, sehingga ada hubungan antara bangunan ekonomi masyarakat dengan kejahatan.
Sementara ada beberapa faktor ekonomi yang dapat menyebabkan timbulnya kejahatan[43], yaitu bersumber dari bekerja terlalu muda, tak ada pengharapan maju, pengangguran berkala tetap, pengangguran biasa dan kekhawatiran dalam hal itu, berpindahnya pekerjaan dari tempat ke tempat lain, perubahanperubahan gaji sehingga tidak mungkin membuat anggaran belanja. Sebagai faktor yang sangat dominan terjadinya tindak kriminal dalam masyarakat diungkapkan oleh Hurwitz adalah faktor banyaknya pengangguran.
Kedua, rendahnya penghayatan terhadap norma-norma agama, sehingga nilai-nilai yang tinggi yang digariskan dalam ajaran agama sebagai tuntunan hidup banyak diabaikan. Diungkapkan oleh Florence G. Robins, bahwa agama merupakan salah satu kontrol sosial yang utama melalui organisasinya. Agama itu sendiri dapat menentukan tingkah laku manusia sesuai dengan nilai-nilai keagamaannya. Atas dasar itu, diperlukan penataan kehidupan pemuda karena pemuda perlu memainkan peranan yang penting dalam pelaksanaan pembangunan. Pembinaan dan pengembangan generasi muda harus menanamkan motivasi kepekaan terhadap masa datang.
Kepekaan terhadap masa datang membutuhkan pula kepekaan terhadap situasi-situasi lingkungan, untuk dapat merelevansikan partisipasinya dalam setiap kegiatan berbangsa dan bernegara. Tanpa peran serta pemuda pembangunan akan sulit berhasil, untuk itu pengembangan dan pemberdayaan pemuda sangat penting.
Dalam upaya menangani para pelanggar hukum, para kriminolog beranggapan bahwa perlu dilakukan tindakan yang lebih komprehensif dan menyeluruh. Hal yang penting dilakukan adalah dengan mencari akar permasalahan yang lebih substansial. Dalam usaha untuk mencari sebab-sebab kejahatan telah diterima secara umum bahwa tidak mungkin dicari hanya satu faktor yang dapat menerangkan sebab kejahatan pada umumnya maupun kejahatan yang khususnya.
Apa yang dapat dicari adalah faktor-faktor dalam hubungan dengan sejumlah faktor lain yang akan menghasilkan kejahatan. Didalam kepustakaan kriminologi terdapat pula beberapa faktor yang amat sering dihubungkan dengan kejahatan, walaupun faktor-faktor tersebut perlu dikaji lebih jauh seberapa jauh memiliki hubungan sebab akibat dengan kejahatan.
Faktor lain yang perlu mendapat perhatian khusus, faktor keluarga. Peranan keluarga sebagai faktor dalam sebab akibat kejahatan tidaklah disangkal. Akan tetapi mungkin tidak ada faktor yang begitu banyak dimanipulir sehingga kehilangan pengertiannya seperti faktor peranan keluarga ini. Menyikapi tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan geng motor, terdapat hubungan yang sangat erat antara lemahnya ikatan seseorang dengan keluarga, lingkungan pendidikan dengan perilaku pelanggaran hukum yang dilakukan para remaja yang merupakan anggota geng motor.
Begitu pula dalam kaitannya dengan rendahnya tingkat kepercayaan pada norma hukum dan norma agama pun menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda, dalam arti bahwa rendahnya kepercayaan seseorang terhadap norma hukum, dan norma agama, cenderung mendorong seseorang untuk berperilaku menyimpang.
Dengan demikian terjadinya penyimpangan-penyimpangan perilaku yang melanggar hukum sebagai akibat dari adanya dorongan-dorongan untuk mencapai keinginannya, baik yang datang dari individu si pelaku sebagai akibat ketidakmampuan untuk mengendalikan diri, serta ketidakmampuan seseorang untuk ikut menyesuaikan dengan norma-norma yang ada dalam lingkungan masyarakat, baik norma yang berlaku dalam keluarga, lingkungan pendidikan, maupun norma kelompok dimana ia berada.

C. Faktor Internal dan Eksternal Terjadinya Tindak Pidana Kejahatan Geng Motor
Faktor penyebab terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh geng motor di kota Medan, Sumatera Utara secara garis besar terbagi menjadi dua  yaitu[44]:
1.      Faktor pengaruh minuman keras;
2.      Faktor kondisi psikologis dan emosi yang kurang stabil;
Dari 2 (dua) faktor penyebab penganiayaan yang dilakukan oleh geng motor di atas faktor kondisi psikologis dan emosi yang kurang stabil merupakan faktor yang paling besar mempengaruhi terjadinya kejahatan penganiayaan yang dilakukan oleh geng motor di Kota Medan. Kerena pelaku geng motor yang kebayakan berasal dari kaum remaja yang  emosinya masih labil. Selain kedua faktor diatas faktor ekonomi dan pendidikan masyarakaat juga sangat berpengaruh.   
Lawrence M. Friedman mengatakan bahwa unsur sistem hukum ada 3[45], yaitu:
1.    struktur, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, dalam hal ini kepolisian, kejaksaan,dan pengadilan
2.    subtansi, yaitu keseluruhan aturan hukum yang ada
3.    kultur hukum, yaitu budaya hukum yang ada ditengah-tengah masyarakat.
Tiga unsur sistem bukum yang oleh Fridmen diatas  memberikan pengetahuan kepada kita bahwa jika ingin faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan geng motor di kota Medan. Pendekatanya bukan hanya dilekatkan pada pelakunya tetapi juga subtansi hukum serta budaya hukum ditengah masyarakat.
Oleh karena itu pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum khususnya anggota Kepolisian Resor Kota Besar Medan dalam menanggulangi tingkat perkembangan kejahatan geng motor harus melakukan upaya penyelesain bukan hanya upaya dan represif tetapi juga upaya preventif.
Hal ini diperparah oleh adanya perubahan yang cepat (reformasi) dalam masyarakat. Perubahan pada struktur sosial memperlemah nilai-nilai tradisional yang berasosiasi dengan penundaan kepuasan, belum lagi peningkatan jumlah anak muda dari kelas menengah yang tidak lagi memiliki keyakinan bahwa cara untuk mencapai tujuan mereka adalah melalui kerja keras dan menunda kesenangan. Perilaku nakal  pada remaja bisa disebabkan oleh faktor dari remaja itu sendiri (internal) maupun faktor dari luar (eksternal).
Faktor internal:
1. Krisis identitas
Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi.  Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran.  Kenakalan ramaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua.


2. Kontrol diri yang lemah
Remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku nakal. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.

Faktor eksternal:
1. Keluarga
Perceraian orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga atau perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan yang salah di keluargapun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja.
2. Teman sebaya yang kurang baik
3. Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik
Dapat dilihat dari dua faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja, ketika mereka memiliki krisis identitas, kontrol diri yang lemah, faktor keluarga, teman sebaya, dan komunitas/lingkungan tempat tinggal mereka yang kurang baik, yang menyebabkan perilaku mereka tidak sesuai dengan norma yang ada dilingkungannya sehingga lingkungan menolak mereka, sehingga mereka bersatu atas penolakan lingkungan yang diberikan kepada mereka contohnya seperti geng motor.
Disinilah psikologi komunitas berperan penting untuk masuk keranah masyaraka/komunitas yang bersangkutan. Memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai kenakalan remaja dan bagaimana cara menanganinya, terutama pemahaman kepada keluarga mengenai pola asuh anak, sehingga keluarga dapat mengontrol perkembangan anak, dengan siapa ia bergaul, dilingkungan mana saja yang anak kunjungi sehingga kenakalan remaja dapat diatasi lebih dini.
Dalam pendekatan psikologi penanganan kenakalan remaja memiliki banyak cara yang bervariasi namun dalam pembahasan fenomena komunitas geng motor kita memfokuskan menggunakan 2 metode, yaitu:
1.  Behavioural methods;
2. Cognitive-behavioral (CBT) methods.


BAB III
KEBIJAKAN POLRESTA MEDAN TERHADAP TINDAK PIDANA KEJAHATAN YANG DILAKUKAN OLEH KELOMPOK GENG MOTOR

A.      Pengertian Kebijakan
          Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini dengan segala kegiatan pemerintahan tidak dapat lepas dari apa yang disebut sebagai kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat ditemukan dalam bidang kesejahteraan sosial (social welfare), di bidang kesehatan, perumahan rakyat, pertanian, pembangunan ekonomi, hubungan luar negeri, pendidikan nasional dan lain sebagainya.
Menurut Carl Fredrich, kebijakan adalah suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu[46].
Harold D. Laswell memberikan definisi kebijakan publik sebagai berikut[47]:
1)      Kebijakan Publik adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah;
2)      Kebijakan publik adalah apa saja yang dilakukan maupun tidak dilakukan oleh pemerintah.

Thomas R.Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai “is whatever government choose to do or not to do”. Secara sederhana pengertian kebijakan publik dirumuskan dalam kalimat sebagai berikut[48]:
a. Apa yang dilakukan oleh pemerintah (What government do?)
b. Mengapa dilakukan tindakan itu (Why government do?)
c. Dan apa terjadi kesenjangan antara apa yang ingin diperbuat dengan kenyataan (What defference it make?)
Lebih lanjut James Anderson menyatakan 4 (empat) konsep kebijakan publik mempunyai beberapa implikasi[49]:
1)      Kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan;
2)      Kebijakan publik merupakan pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusankeputusan yang tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya;
3)      Kebijakan publik adalah apa yang sebenarnya dilakukan pemerintah dan bukan apa yang diinginkan pemerintah;
4)      Kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif dan negative. Positif: kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu. Negative: kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah.



B.      Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
          Secara umum, pengertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah “Policy” adalah suatu perencanaan atau program mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan bagaimana cara melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan[50].
          Menurut Marc Ancel, pengertian Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan[51].
          Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa pola hubungan antara Penal Policy dengan upaya penanggulangan kejahatan yaitu pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus digunakan dengan pendekatan integral dan ada keseimbangan antara penal dengan non penal. Beliau juga mengemukakan bahwa usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dijelaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan hukum pidana merupakan tindakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pidana (penal).
          Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Karena itu sering pula dikatakan bahwa kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy)[52].
          Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat. Dengan demikian seandainya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), maka kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya pada tahap formulasi/kebijakan legislasi yang merupakan tugas dari aparat pembuat undang-undang (aparat legislatif), harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial berupa social welfare  dan social defence[53].

C.      Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik
          Hubungan hukum dan kebijakan publik dapat dilihat dari[54]:
1) Formulasi Hukum dan Kebijakan Publik
Hubungan pembentukan hukum dan kebijakan publik saling memperkuat satu dengan yang lain. Sebuah produk hukum tanpa ada proses kebijakan publik di dalamnya maka produk hukum itu akan kehilangan makna substansinya. Sebaliknya sebuah proses kebijakan publik tanpa ada legalisasi hukum, akan lemah pada tatanan operasionalnya.
2) Penerapan/implementasi hukum dan kebijakan publik.
Pada dasarnya di dalam penerapan hukum tergantung pada 4 unsur[55]:
a) Unsur hukum
Unsur hukum disini oleh Setiono diartikan sbagai produk atau kalimat, aturan-aturan hukum. Kalimat-kalimat hukum harus ditata sedemikian rupa hingga maksud yang diinginkan oleh pembentuk hukum dapat terealisasikan di lapangan yang luas dengan tetap mengacu kepada satu pemaknaan hukum. Namun bukan berarti pemaknaan yang diberikan oleh pembentuk hukum harus dipaksanakan sedemikian rupa, sehingga di semua tempat harus direalisasikan sama persis dengan apa yang dimaksud oleh para pembentuk hukum. Modifikasi- modifikasi oleh penerap hukum dilapangan diperlukan sebatas semua itu dilakukan untuk menuju pemaknaan ideal dari aturan hukum yang dimaksud.

b) Unsur Struktural
Unsur structural adalah berkaitan dengan lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi yang diperlukan dalam penerapan hukum. Pentingnya unsur structural pada penerapan hukum ada dua :
(1) Organisasi atau isntitusi seperti apa yang tepat untuk melaksanakan undang-undang tertentu.
(2) Bagaimana organisasi itu dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Berkaitan dengan aspek pemilihan organisasi atau institusi maka pengambilan keputusan harus ekstra hati-hati untuk memilih organisasi atau institusi mana yang dianggap relevan dengan produk hukum yang hendak diterapkan itu. Kemudian berkaitan dengan aspek bagaimana organisasi yang telah ditunjuk mampu optimal dalam menjalankan tugasnya, ini berkaitan dengan manajemen yang ada pada perusahaan. Tidak jarang terjadi organisasi yang ditunjuk sudah tepat namun kinerja organisasi sangat lemah dan tidak professional, sehingga tugas-tugas yang dibebankan tidak dapat dijalankan dengan baik.
Kebijakan publik dalam hal ini lebih berperan dalam bagaimana organisasi atau instansi pelaksana itu seharusnya ditata dan bertindak agar tugas-tugas yang dibebankan hukum kepadanya dapat dijalankan dengan baik. Menunjuk orang yang dipercaya untuk mengendalikan organisasi tersebut harus dipilih yang mempunyai kemampuan dalam unsur structural ini lebih dominan berposisi sebagai sebuah seni, yaitu bagaimana ia mampu melaksanakan kreasi sedemikian rupa sehingga organisasi dapat tampil dengan baik.

c) Unsur Masyarakat
Unsur ini berkaitan dengan kondisi sosial politik dan sosial ekonomi dari masyarakat yang akan terkena dampak atas diterapkannya sebuah aturan hukum. Kondisi masyarakat yang ada harus diselesaikan lebih dahulu demi terselenggara dan lancarnya penerapan hukum.
d) Unsur budaya
Dalam unsur ini ada dua hal. Pertama: sedapat mungkin diupayakan bagaimana agar produk hukum atau undang-undang yang dibuat itu dapat sesuai dengan budaya yang ada dalam masyarakat. Kedua: bagaimana produk hukum yang tidak sesuai dengan budaya dalam masyarakat dapat diterima masyarakat.
Disinilah kebijakan publik akan sangat berperan. Namun harus diingat bahwa kebijakan publik yang diambil harus berdasar hukum dibutuhkan improvisasi dan kreasi.
3) Evaluasi Kebijakan Publik
Evaluasi kebijakan publik adalah suatu evaluasi yang akan menilai apakah kebijakan publik sudah sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Evaluasi kebijakan publik adalah sebagai hakim yang menentukan kebijakan yang ada telah sukses atau telah gagal mencapai tujuan. Evaluasi publik juga sebagai dasar apakah kebijakan yang ada layak diteruskan, direvisi, atau bahkan dihentikan sama sekali.
Evaluasi kebijakan dibedakan dalam 3 (tiga) macam[56]:
a) Evaluasi Administratif
Evaluasi administrative adalah evaluasi kebijakan publik yang dilakukan di dalam lingkup pemerintahan atau instansi-instansi yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah yang terkait dengan program tertentu.

b) Evaluasi yudisial
Evaluasi terhadap kebijakan publik yang berkaitan dengan objek-objek hukum: apa ada pelanggaran hukum atau tidak dari kebijakan yang dievaluasi tersebut. Yang melakukan evaluasi yudicial adalah lembaga-lembaga hukum seperti pengacara, pengadilan, kejaksaan, PTUN dan sebagainya.
c) Evaluasi Politik
Evaluasi politik pada umumnya dilakukan oleh lembaga-lembaga politik, baik parlemen maupun parpol. Namun sesungguhnya evaluasi politik bias juga dilakukan oleh masyarakat scara umum.

D.      Tindak Pidana Kejahatan Kelompok Geng Motor
Kelahiran geng motor, rata-rata diawali dari kumpulan remaja yang hobi balapan liar dan aksi-aksi yang menantang bahaya pada malam menjelang dini hari di jalan raya. Setelah terbentuk kelompok, bukan hanya hubungan emosinya yang menguat, dorongan untuk unjuk gigi sebagai komunitas bikers juga ikut meradang. Mereka ingin tampil beda dan dikenal luas. Caranya, tentu membuat aksi-aksi yang sensasional. Mulai dari kebut-kebutan, tawuran antar geng, tindakan kriminal tanpa pandang bulu mencuri di toko, hingga perlawanan terhadap aparat keamanan[57]. Dan hal tersebut dapat dikatakan suatu kejahatan geng motor yang merupakan kejahatan yang sudah menjadi trending topic dan banyak dilakukan oleh kaum remaja.
Semua kejahatan yang dilakukan oleh geng motor sangat meresahkan masyarakat Kota Medan. Tidak hanya pelanggaran ringan seperti pelanggaran lalu lintas, tetapi kejahatan seperti pengerusakan fasilitas umum, bentrok antar sesama geng motor, penganiayaan yang sampai merenggut nyawa orang lain, pemalakan, perampokan dan masih banyak kejahatan-kejahatan lain yang dilakukan oleh kelompok geng motor ini yang sudah sangat meresahkan masyarakat.   
Tindakan kejahatan penganiayaan yang dilakukan oleh geng motor khususnya di kota Medan tentunya telah melanggar ketentuan hukum pidana yang berlaku di negara kita ini. Yaitu yang tertulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 170 KUHP yang mengatur tentang perkelahian yang dilakukan secara bersama-sama di muka umum dan Pasal 351 yang mengatur tentang penganiayaan[58].
Tindakan penganiayaan tersebut dapat juga disebut sebagai tindakan anarkis atau aksi brutal. Aksi brutal merupakan bentuk pelanggaran hukum yang membahayakan keamanan dan mengganggu ketertiban umum masyarakat, sehingga perlu dilakukan penindakan secara cepat, tepat dan tegas dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip HAM serta sesuai ketentuan hukum yang berlaku dan agar aksi dapat ditangani secara cepat dan tepat untuk mengurangi dampak yang lebih luas, tugas peran Kepolisian harus dikedepankan sebagai alat negara yang berperan dalam memeliham kamtibmas, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Keamanan adalah hak warga negara. Hal ini secara jelas diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28G ayat (1) yang berbunyi[59]:
setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi ”.

Keamanan warga negara haruslah diwujudkan oleh negara sebagai  fungsi internalnya. Fungsi internal negara yaitu memelihara ketertiban umum, ketentraman, keamanan, perdamaian dalam negara serta melindungi hak setiap orang[60].
Negara mempunyai dua institusi penting dalam usaha menjaga keamanan dan ketertiban negara. Kedua institusi tersebut yaitu Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia. Tentara bertugas menjaga kedaulatan negara dari ganguan yang berasal dari luar maupun yang dari dalam. Sedangkan polisi bertugas menjaga keamanan dan ketertiban internal negara[61]. Peran kedua lembaga ini diamanatkan dalam Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 30 ayat (2) yang berbunyi[62]:
usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisisan Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”.

Kepolisian Republik Indonesia dan struktur dibawahnya sebagai institusi yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban internal negara, dalam menjalankan tugas dan fungsinya nampaknya belum maksimal. Hal ini terlihat dengan keadaan internal negara yang masih belum aman secara menyeluruh[63]. Indonesia Police Watch[64] melansir bahwa ditengah-tengah masyarakat saat ini muncul fenomana Geng Motor dengan aksi anarkis yang meresahkan masyarakat. Indonesian Police Watch menyarankan pihak Kepolisian segera membentuk tim pemburu geng motor yang minggu-minggu ini meresahkan masyarakat. Tim pemburu geng motor dianggap efektif dalam memberantas kejahatan dan tindak kriminal yang dilakukan geng motor.
Sangat banyak faktor penyebab remaja terjerumus ke dalam kawanan geng motor. Namun, salah satu penyebab utama mengapa remaja memilih bergabung dengan geng motor adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh terlalu sibuknya kedua orang tua mereka dengan pekerjaan, sehingga perhatian dan kasih sayang kepada anaknya hanya diekspresikan dalam bentuk materi saja. Padahal materi tidak dapat mengganti dahaga mereka akan kasih sayang dan perhatian orang tua.
Pada dasarnya setiap orang menginginkan pengakuan, perhatian, pujian, dan kasih sayang dari lingkungannya, khususnya dari orang tua atau keluarganya, karena secara alamiah orang tua dan keluarga memiliki ikatan emosi yang sangat kuat. Pada saat pengakuan, perhatian, dan kasih sayang tersebut tidak mereka dapatkan di rumah, maka mereka akan mencarinya di tempat lain. Salah satu tempat yang paling mudah mereka temukan untuk mendapatkan pengakuan tersebut adalah di lingkungan teman sebayanya. Sayangnya, kegiatan-kegiatan negatif kerap menjadi pilihan anak-anak broken home tersebut sebagai cara untuk mendapatkan pengakuan eksistensinya.
Faktor lain yang juga ikut berperan menjadi alasan mengapa remaja saat ini memilih bergabung dengan geng motor adalah kurangnya sarana atau media bagi mereka untuk mengaktualisasikan dirinya secara positif.
Remaja pada umumnya, lebih suka memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Namun, ajang-ajang lomba balap yang legal sangat jarang digelar. Padahal, ajang-ajang seperti ini sangat besar manfaatnya, selain dapat memotivasi untuk berprestasi, juga sebagai ajang aktualisasi diri. Karena sarana aktualisasi diri yang positif ini sulit mereka dapatkan, akhirnya mereka melampiaskannya dengan aksi ugal-ugalan di jalan umum yang berpotensi mencelakakan dirinya dan orang lain[65].  
Faktor lain yang juga ikut berperan yaitu kurangnya sarana atau media bagi mereka untuk mengaktualisasikan dirinya secara positif. Remaja pada umumnya lebih suka memacu kendaraan dengan kecapatan tinggi. Namun, ajang- ajang lomba balap yang legal sangat jarang digelar. Padahal, ajang-ajang seperti ini sangat besar manfaatnya, selain dapat memotifasi untuk berprestasi, juga sebagai ajang aktualisasi diri. Karena sarana aktualisasi diri yang positif ini sulit mereka dapatkan, akhirnya mereka melampiaskan dengan aksi ugal-ugalan di jalan umum yang berpotensi mencelakakan dirinya dan orang lain[66].

E.      Kebijakan Polresta Medan terhadap Tindak Pidana Kejahatan Geng Motor

Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Polda) merupakan satuan pelaksana utama Kewilayahan yang berada di bawah Kapolri. Polda bertugas menyelenggarakan tugas Polri pada tingkat kewilayahan. Polda dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Kapolda), yang bertanggung jawab kepada Kapolri. Kapolda dibantu oleh Wakil Kapolda (Wakapolda)[67]. Polda membawahi Kepolisian Negara Republik Indonesia Resor (Polres). Polres, membawahi Kepolisian Negara Republik Indonesia Sektor.
Kepolisian Resort (disingkat Polres) adalah struktur komando Kepolisian Republik Indonesia di daerah kabupaten/kota. Kepolisian Resort di wilayah perkotaan biasa disebut "Kepolisian Resort Kota" (Polresta) atau "Kepolisian Resort Kota Besar" (Polrestabes). Kepolisian Resort dikepalai oleh seorang Kepala Kepolisian Resort (Kapolres), Kepolisian Resort Kota dikepalai oleh seorang Kepala Kepolisian Resort Kota (Kapolresta) dan Kepolisian Resort Kota Besar dikepalai oleh seorang Kepala Kepolisian Resort Kota Besar (Kapolrestabes).
Adapun tugas dan fungsi Kepolisian yang dimuat dalam Undang-Undang Kepolisian No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat[68].
Seperti halnya didalam pergaulan masyarakat, setiap hari terjadi hubungan antara anggota-anggota masyarakat yang satu dengan lainnya. Pergaulan tersebut menimbulkan berbagai peristiwa atau kejadian yang dapat menggerakkan peristiwa hukum[69]. Hal ini pula yang kemudian mempengaruhi semakin beragamnya motif kejahatan dan tindak pidana yang terjadi saat ini. Dari sekian banyak motif kejahatan dan tindakan kriminal, salah satu hal yang cukup banyak menarik perhatian adalah tindak kriminal yang dilakukan oleh geng motor.
Kejahatan yang dilakukan oleh geng motor, pada dasarnya dapat ditekan jumlahnya. Tetapi untuk menghilangkannya sangatlah sulit. Oleh karena itu, usaha aparat penegak hukum khususnya Kepolisian Polresta Medan Sumatera Utara dalam menanggulangi tingkat perkembangan kejahatan yang dilakukan geng motor dapat dilakukan dengan upaya preventif dan represif.
Dalam menegakkan hukum pidana, cara penanggulangan atau penegakan, baik bersifat preventif maupun bersifat represif harus selalu melibatkan aparat penegak hukum dengan disertai peran aktif masyarakat. Penanggulangan kejahatan yang bersifat preventif ini juga merupakan tindakan pencegahan sebelum terjadinya suatu kejahatan. Tindakan preventif ini berusaha memberantas kejahatan itu dengan jalan menghilangkan segala sesuatu yang menjadi penyebab terjadinya suatu kejahatan. Dengan kata lain, kesempatan pelaku yang dicegah.
Dalam wawancara dengan Iptu S. Sitanggang dengan jabatan Urbin Ops. Sat. Reskrim Polresta Medan menerangkan bahwa tindakan preventif yang dilakukan oleh Kepolisian Polresta Medan, antara lain:
1) Meningkatkan penanganan terhadap daerah yang rawan terjadinya kejahatan;
2) Melaksanakan kegiatan-kegiatan patroli secara rutin;
3) Mengadakan penggerebekan terhadap para penjual minuman keras;
4) Menghimbau kepada seluruh lapisan masyarakat agar secepatnya melaporkan kepada pihak yang berwajib, apabila terjadi suatu kejahatan yang dilakukan oleh geng motor;
5) Mengadakan penyuluhan di setiap sekolah[70].

Sementara upaya penanggulangan kejahatan geng motor dengan bersifat represif merupakan usaha-usaha yang dilakukan setelah suatu kejahatan terjadi. Tindakan ini dapat berupa penangkapan, penahanan, dengan menjatuhkan pidana dan menempatkan dalam lembaga permasyarakataan. Tujuan pemidanaan terhadap perbuatan suatu kejahatan, untuk memperbaiki tingkah lakunya yang menyimpang dari norma-norma yang hidup dan dijunjung tinggi oleh masyarakat. Baik norma agama, adat, maupun norma hukum. Pembinaan merupakan tindakan yang efektif agar seseorang pembuat sesuatu kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat.
Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran[71] tentang tujuan yang ingin dicapai dalam suatu pemidanaan, yaitu:
1. Untuk memperbaiki pribadi terpidana
2. Untuk memmbuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan
3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lain, setelah mereka bebas dari tahanannya.
Adapun upaya represif untuk menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh geng motor, anggota Polresta Medan Sumatera Utara dan jajarannya melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
1. Melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap tersangka kejahatan.
2. Mengadakan pemeriksaan terhadap tersangka beserta barang bukti upaya lainnya dalam rangka penyidikan kasus tersebut, dan selanjutnya berkas perkaranya akan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri untuk diproses selanjutnya. Setelah keluar putusan Pengadilan Negeri, selanjutnya terdakwa dikirim ke Lembaga Pemasyarakatan untuk diberikan pembinaan-pembinaan dengan tujuan memperbaiki perilaku tersebut.  
Tetapi pada kasus tindak pidana kejahatan yang dilakukan geng motor memang merupakan kasus tindak pidana yang sulit diberantas, apalagi semakin maju dan berkembangnya teknologi canggih, kejahatan yang dilakukan geng motor pun berlangsung secara terangterangan. Contoh kasus seperti yang terjadi di Jalan S.Parman Medan[72], terjadi pada tanggal 17 Februari 2014 jam 01.00 WIB dengan kronologi para tersangka melakukan perampasan sepeda motor milik korban yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Kepala korban dihantam kayu broti sebelum sepeda motornya dirampas. Kemudian geng motor ini kembali melakukan kejahatan di Jl. Ahmad Yani Medan, sekitar setengah jam kemudian. Ada dua sepeda motor yang dirampas yakni, Yamaha Mio milik Muhammad Ayub Natawijaya dan Kawasaki Ninja milik Yudi Pranata. Korban kejahatan yang dilakukan geng motor tersebut langsung melaporkan hal tersebut ke polisi. Dibantu masyarakat setempat, polisi kemudian meringkus kelompok geng motor tersebut. Diduga, kelompok ini sudah berulangkali melakukan kejahatan perampokan sepeda motor. Para pelaku yang dijadikan tersangka itu adalah anggota geng motor Komuniti Medan Sexy (KMS). Mereka adalah Lerry Tarantino (17) warga Brigjen Katamso Komplek Rispa No 22 dan Rudi Andriyan (23) warga Jalan Sakti Lubis Gang Bengkel No 22. Selain itu, Boby Sopian (16) warga Jalan Sakti Lubis Gang Bengkel No 20, Rudi Pratama Sagala (23) warga Jalan Sakti Lubis Gang Bali No 4, Putra Maulana (21)
warga Jalan Sakti Lubis Gang Selamat No 1, dan Andi Mei Rizal Tanjung (29) warga Jalan Karya Muda No 12 Pangkalan Masyhur. Modus kejahatan para pelaku dengan cara mengepung korbannya saat mengendarai sepedamotor. Upaya ini dilakukan kelompok ini supaya korban tidak bisa melarikan diri. Setelah itu, dua di antara pelaku kemudian menghantamkan kayu balok ke kepala korbannya.
Aksi kejahatan jalanan yang semakin marak tersebut yang dilakukan oleh geng motor di Kota Medan mulai membuat pihak Kepolisian semakin gerah. Maka dibutuhkan suatu kebijakan dari pihak kepolisian. Oleh karena itu Kapolresta Medan, Kombes Nico Afinta Karo Karo membuat suatu kebijakan yaitu “tembak ditempat para pelaku kejahatan geng motor”. Hal tesebut didukung oleh Polda Sumut atas kebijakan dan tindakan tegas Kapolresta Medan Kombes Pol. Drs. Nico Afinta Karo-Karo tersebut. Dan tindakan tegas yang dilakukan  Polresta Medan tersebut sudah dibuktikan dengan menembak sejumlah penjahat dan untuk mengantisipasi terjadinya kejahatan, Polresta Medan mengatensis titik titik rawan. Namun bagaimanapun juga tindakan yang dilakukan polisi kepada para pelaku kejahatan, jika tidak didukung masyarakat, maka tidak akan berjalan sesuai harapan masyarakat.
Oleh karena itu, masyarakat tidak boleh apatis jika melihat terjadinya kejahatan. Namun harus bersama-sama mengantisipasi atau menangkap pelaku dan tidak boleh main hakim sendiri. Semua akan diproses melalui proses hukum. Tindakan yang dilakukan pihak Kepolisian telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan tidak ada terjadi pelanggaran.

F. Kebijakan Penal dan Non Penal
          Pada hakikatnya kebijakan dalam penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu kebijakan  penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana diluar hokum pidana (non penal policy).
          Dalam penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti[73]:
1. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik criminal dan politik social;
2. Ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan, penal dan non penal.
Pada dasarnya penal policy lebih menitik beratkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut politik kriminal secara makro, non penal policy merupakan kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan non penal policy lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya suatu tindak pidana.
Kebijakan untuk menggunakan sarana-sarana penal didalam menanggulangi tindak pidana kejahatan yang dilakukan geng motor pada dasarnya lebih menitik beratkan pada tindakan represif. Usaha dan/atau upaya represif dilakukan setelah terjadinya peristiwa pidana dengan menjatuhkan hukuman yang berat bagi si pelaku atau dengan mengasingkan di suatu tempat tertentu.
Tindakan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana kejahatan terutama kejahatan yang dilakukan geng motor yaitu berupa hukuman, maka hal ini juga merupakan penanggulangan bagi orang lain yang mungkin akan melakukan kejahatan tindak pidana agar tidak melakukannya lagi karena akibatnya akan dihukum. Namun dalam upaya represif ini perlu diperhatikan dengan baik sebelum memberikan hukuman.
Upaya pencegahan ini berarti bahwa hukum pidana juga harus menjadi salah satu instrumen pencegahan yang kemungkinan terjadinya kejahatan. Ini juga berarti bahwa penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk mencegah sebelum suatu kejahatan terjadi. 
Dengan demikian pada intinya kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu hukum pidana yang dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan yudikatif, dan pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif).
Berpedoman pada hukum pidana dan hukum acara pidana dan berbagai Undang-Undang Khusus, antara lain:
1.      Undang-Undang No. 8 tahun 1981;
2.      Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1983;
3.      Undang-Undang No. 28 tahun 1997;
4.      KUHP Pasal 170 yang mengatur tentang perkelahian yang dilakukan secara bersama-sama di muka umum; dan
5.      KUHP Pasal 351 yang mengatur tentang tindak pidana penganiayaan berat;
6.      KUHP Pasal 352 ayatt (1) tentang tindak pidana penganiayaan ringan.

Dalam upaya pencegahan (represif) tindak pidana kejahatan yang dilakukan kelompok geng motor di kota Medan, maka upaya penal yang dilakukan pihak Kepolisian POLRESTA Sumatera Utara berdasarkan wawancara[74], adalah sebagai berikut:
1.      Melakukan penyelidikan terhadap pelaku tindak pidana kejahatan;
2.      Melakukan penyelidikan terhadap pelaku kejahatan;
3.      Melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap suatu tindak pidana khususnya tindak pidana kejahatan penganiayaan, pencurian maupun pembunuhan, kemudian menindak sesuai prosedur;
4.      Melakukan tindakan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
5.      Melakukan LIDIK dan tindak pelaku dengan hukum yang sesuai dengan KUHP;
6.      Melakukan Penyidikan dan mengharapkan memvonis pelaku semaksimal mungkin sesuai dengan prosedur yang ada (objektif) agar ada efek jera serta diberikan pembenahan mental agar si pelaku sadar.

Pada dasarnya non penal policy lebih menitik beratkan pada tindakan preventif yaitu usaha untuk mencegah jauh sebelum terjadi kejahatan. Yaitu bagaimana upaya-upaya yang harus dilakukan sebelum terjadi kejahatan itu. Mencegah adalah lebih baik daripada mengobati untuk menyembuhkan suatu penyakit.
Oleh karena itu, upaya preventif adalah usaha yang baik untuk menanggulangi kejahatan maka perlu adanya kerjasama yang baik dari aparat pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat dalam mencegah terjadinya kejahatan. Selama ini kota Medan kerjasamanya tersebut belum kelihatan dimana penanggulangan tindak pidana kejahatan yang dibuat oleh kelompok geng motor tersebut selalu dilimpahkan kepada penegak hukum saja yaitu kepolisian, kejaksaan dan hakim.
Upaya preventif yang dilakukan oleh pihak kepolisian POLRESTA Medan adalah sebagai berikut:
1.             Upaya pencegahan kejahatan
Preventif disini dimaksudkan sebagai suatu usaha pencegahan tindak pidana kejahatan yang dilakukan oleh kelompok geng motor sebelum tindak pidana kejahatan tersebut terjadi.
a.       Pendidikan nilai-nilai moral bagi remaja, yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan dan ahli agama.
Pendidikan nilai-nilai moral saat ini sangat dibutuhkan mengingat perkembangan zaman dan teknologi yang semakin jauh sehingga dibutuhkan pendidikan nilai-nilai moral bagi remaja yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan dan ahli agama agar para remaja dibekali dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai moral sehingga menjadi manusia yang takut akan TUHAN dan mematuhi juga mentaati peraturan hukum yang telah dibuat oleh Pemerintah.
b.      Mengadakan peyuluhan kepada masyarakat oleh pihak aparat penegak hukum (polisi) yaitu melalui kepala lingkungan tentang masalah lingkungan yang rawan tindak pidana kejahatan yang dilakukan oleh kelompok geng motor.
Penyuluhan dilakukan oleh aparat penegak hukum  khususnya polisi kepada masyarakat akan pentingnya kerjasama masyarakat dengan aparat penegak hukum melalui kepala desa/kepala lingkungan tentang masalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan kelompok geng motor.
c.       Setiap kasus atau perkara harus diselesaikan seadil-adilnya hingga tuntas dengan melaksanakan undang-undang yang berlaku.
Hendaknya setiap kasus kejahatan yang dilakukan geng motor dapat diselesaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku hingga tuntas dan dilakukan dengan seadil-adilnya agar tidak terjadi kasus yang sama karena pelaku merasa jera serta masyarakat merasa aman dan tentram.
d.      Mengadakan penggalangan dengan tokoh agama, pemuda dan tokoh masyarakat.
Penggalangan yang dilakukan dengan tokoh agama, pemuda dan tokoh masyarakat merupakan usaha yang dilakukan polisi untuk mencegah terjadinya kejahatan yaitu tokoh agama dan tokoh masyarakat akan sangat dihormati sehingga warga dapat mentaati segala apa yang disampaikan oleh tokoh-tokoh tersebut, serta tokoh pemuda yang sangat berperan aktif dalam penjagaan keamaanan lingkungannya masing-masing.  

2.             Pengawasan Kejahatan
Upaya pengawasan kejahatan yang dilakukan[75], antara lain:
a.       Meningkatkan dinas patroli dari pihak petugas keamanan pengawasan dan razia lebih intensif terutama pada lingkungan yang rawan (Samapta, Reserse, Satreskrim, Intelkam dan Sat. Narkoba);
b.      Pemantapan sistem keamanan lingkungan atau Siskamling yang harus digalakkan di setiap daerah;
c.       Mengoptimalkan POLMAS (program dari Kepolisian);
d.      Melakukan pembinaan penyuluhan pada masyarakat melalui kepala lingkungan.
Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan, seperti yang dikemukakan diatas adalah masalah-masalah yang dulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata.
Oleh karena itu, pemecahan masalah diatas harus didukung oleh pendekatan non penal berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.  












BAB IV
PENERAPAN DAN PENEGAKAN sanksi Pidana terhadap TINDAK PIDANA Kejahatan Kelompok Geng Motor

a. Sanksi Pidana
          Dalam Pasal 1 KUHP juga mengatakan bahwa perbuatan yang pelakunya dapat dipidana/dihukum adalah perbuatan yang sudah disebutkan didalam perundang-undangan sebelum perbuatan itu dilakukan.
          Pidana adalah hukuman yang dijatuhkan atas diri seseorang yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana[76].
          Hukum merupakan himpunan peraturan-peraturan (perintah dan larangan) yang dibuat oleh penguasa negara atau pemerintah untuk mengatur tingkah laku manusia dalam bermasyarakat, bersifat memaksa, dan memiliki sanksi yang harus dipatuhi oleh masyarakat.
          Menurut “Black's Law Dictionary Seventh Edition”, sanksi (sanction) adalah:
“A penalty or coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or order (a sanction for discovery abuse)”

Di Indonesia, secara umum, dikenal sekurang-kurangnya tiga jenis sanksi hukum yaitu:
1.      sanksi hukum pidana
2.      sanksi hukum perdata
3.      sanksi administrasi/administratif
Sanksi pidana Menurut R. Soesilo, adalah:
“Suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana”

          Adapun sifat atau ciri dari sanksi pidana yaitu[77]:
a)      Adanya perintah dan larangan.
b)      Perintah dan larangan itu harus diputuhi atau ditaati oleh setiap orang.
c)      Memiliki sifat mengatur dan memaksa;

Dikatakan yang bersifat mengatur yaitu karena hukum memuat peraturan-peraturan berupa perintah dan larangan yang mengatur tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat demi terciptanya ketertiban dalam masyarakat. Sementara yang dimaksud dengan sifat memaksa yaitu karena hukum dapat memaksa anggota masyarakat untuk mematuhinya. Apabila melanggar hukum akan menerima sanksi yang tegas.
Dalam perilaku sosial, tindak kejahatan merupakan prilaku menyimpang, yaitu tingkah laku yang melanggar atau menyimpang dari aturan-aturan pengertian normatif atau dari harapan-harapan lingkungan sosial yang bersangkutan. Dan salah satu cara untuk mengendalikan adalah dengan sanksi pidana.
          Hakikat dari sanksi pidana adalah pembalasan, yang bersifat penderitaan dan siksaan. Hal itu dikarenakan bahwa hukuman tersebut dimaksudkan sebagai hukuman terhadap pelanggaran, yang dilakukan oleh seseorang terhadap kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana. Adapun kepentingan hukum tersebut adalah hidup, jasmani, kehormatan, kebebasan dan hak milik.
 Sedangkan tujuan sanksi pidana adalah penjeraan baik ditujukan pada pelanggar hukum itu sendiri maupun pada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat. Selain itu juga bertujuan melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan dan pendidikan atau perbaikan bagi para penjahat.
Adapun sanksi tindak pidana pembunuhan sesuai dengan KUHP bab XIX buku II adalah sebagai berikut :
1.      Pembunuhan biasa, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
2.      Pembunuhan dengan pemberatan, diancam dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
3.      Pembunuhan berencana, diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
4.      Pembunuhan bayi oleh ibunya, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun
5.      Pembunuhan bayi oleh ibunya secara berencana, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun
6.      Pembunuhan atas permintaan sendiri, bagi orang yang membunuh diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
7.      Penganjuran agar bunuh diri, jika benar-benar orangnya membunuh diri pelaku penganjuran diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

          Dasar hukum atas sanksi hukum pidana yaitu kejahatan. Kejahatan sebagai dasar bahwa hukuman itu harus dianggap sebagai “pembalasan”, “imbalan” terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Seperti halnya kejahatan yang dilakukan geng motor, semua telah diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
   Pengertian sanksi pada umumnya adalah alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku[78]. Sanksi dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Belanda “sanctie”. Dalam konteks hukum, sanksi berarti hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan. Sedangkan dalam konteks sosiologi, sanksi dapat berarti kontrol sosial. Sanksi dalam hukum pidana yang berupa pidana merupakan sanksi negatif dan hal inilah yang membedakan sanksi hukum pidana dengan sanksi-sanksi hukum lain.
          Sanksi pidana dalam perundang-undangan kita adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 10 KUHP, hukuman itu terdiri dari hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman pokok terdiri dari hukuman mati, hukuman penjara yang dapat berupa hukuman seumur hidup dan hukuman sementara waktu, hukuman kurungan dan hukuman denda. Sementara hukuman tambahan dapat berupa pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman keputusan hakim. Ketentuan hukum pidana mencakup ketentuan hukum pidana materiel maupun ketentuan hukum pidana formil. Untuk beberapa hal ketentuan tersebut merupakan pengaturan tersendiri di luar ketentuan umum yang terdapat dalam KUHAP maupun dalam KUHP.
Pidana berasal kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II Cetakan IX, pengertian pidana adalah hukum kejahatan (hukum untuk perkara kejahatan/kriminal)[79].
Istilah ”hukuman” untuk menyebut ”pidana” dan merumuskan bahwa huuman adalah suatu perasaan tidak enak/sengsara yang dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana[80]. Sudarto mendefenisikan dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

B.      Penerapan Sanksi Pidana
Perbedaan Hukum Pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi Hukum Pidana merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga pengenaan penderitaan[81]. Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap Hukum Pidana itu sebagai ultimum remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia, terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Oleh karena sanksinya bersifat penderitaan istimewa, maka penerapan hukum pidana sedapat mungkin dibatasi dengan kata lain penggunaannya dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain tidak memadai lagi[82].
Istilah ultimum remedium digunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen bernama Meckay dalam rangka pembahasan rancangan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), yang antara lain menyatakan bahwa:
“Asas tersebut ialah bahwa yang boleh dipidana yaitu mereka yang menciptakan “wederrechtelijk (perbuatan melawan hukum)[83]”. Hal ini merupakan condito sine qua non[84]. Bahwa syarat yang harus ditambahkan ialah bahwa perbuatan melawan hukum itu menurut pengalaman tidaklah dapat ditekan dengan cara lain. Pidana itu haruslah tetap merupakan upaya yang terakhir. Pada dasarnya terhadap setiap ancaman pidana terdapat keberatan-keberatan. Setiap manusia yang berakal dapat juga memahaminya sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa pemidanaan harus ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian tentang keuntungan dan kerugiannya pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat dari pada penyakit”.
Memang harus diakui pula, bahwa tidak semua sarjana hukum memandang pidana itu sebagai ultimum remedium. Misalnya L.H.C. Hulsman[85] dalam pidato penerimaan jabatannya sebagai Guru Besar di Rotterdam pada tahun 1965 dan dalam pidato perpisahannya di Leiden mengemukakan bahwa Hukum Pidana sama halnya dengan hukum lain bertujuan untuk mempertahankan hukum, dan oleh karenanya Hukum Pidana itu tidak mempunyai sifat yang berdiri sendiri.
Jadi sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa dalil ultimum remedium ini diperlukan untuk mempertimbangkan dahulu penggunaan sanksi lain sebelum sanksi pidana yang keras dan tajam dijatuhkan, apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru dipergunakan Hukum Pidana. Berkaitan dengan karakteristik Hukum Pidana dalam konteks ultimum remedium ini bahwa penegakan Hukum Pidana dengan sanksi yang keras dan tajam tetap harus diusahakan agar sedapat mungkin mengurangi penderitaan bagi pelaku. Dan mengenai penerapan ultimum remedium dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim dapat mengakomodasi kepentingan pelaku tindak pidana, setiap kegiatan yang mengacu kepada penerapan prinsip penjatuhan pidana penjara sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) tersebut sangat mendukung pelaku tindak pidana, karena sebelum sanksi pidana yang keras dijatuhkan, penggunaan sanksi lain seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata didahulukan sehingga ketika fungsi sanksi-sanksi hukum tersebut kurang, baru dikenakan sanksi pidana.
Namun melihat sisi lainnya melalui pendapat Van Bemmelen bahwa penerapan ultimum remedium ini harus diartikan “upaya” (middel), bukanlah sebagai alat untuk memulihkan ketidakadilan atau untuk memulihkan kerugian, melainkan upaya untuk memulihkan keadaan yang tidak tenteram di dalam masyarakat, yang apabila tidak dilakukan sesuatu terhadap ketidakadilan itu, dapat menyebabkan orang main hakim sendiri.
Seperti yang telah kami paparkan bahwa sanksi  pidana merupakan “obat terakhir” (ultimum remedium) dari rangkaian tahapan penegakan suatu aturan hukum. “Obat terakhir” ini merupakan jurus  pamungkas jika mekanisme penegakan pada bidang hukum lain tidak bekerja efektif. Namun, dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, sanksi  pidana dalam beberapa kasus tertentu bergeser kedudukannya. Tidak lagi sebagai ultimum remedium melainkan sebagai primum remedium (obat yang utama). Ketentuan pengaturan mengenai sanksi pidana sebagai primum remedium ini dapat dilihat dalam UU mengenai terorisme dan tindak pidana korupsi.
Dari perspektif sosiologis hal ini dikarenakan perbuatan yang diatur dalam dua UU tersebut merupakan tindakan yang “luar biasa” dan besar dampaknya bagi masyarakat. Sehingga dalam hal ini tidak lagi mempertimbangkan penggunaan sanksi lain, karena mungkin dirasa sudah tepat apabila langsung menggunakan atau menjatuhkan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana tersebut. Dan kini faktanya sanksi pidana itu bukan merupakan “obat terakhir” (ultimum remedium) lagi,  banyak perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan aturan Undang-Undang yang berlaku dan masyarakat merasa dirugikan, maka yang diberlakukan adalah sanksi pidana sebagai pilihan utama (premium remedium). Misalnya penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan yang dilakukan geng motor yang rata-rata pelaku merupakan anak-anak yang melakukan pencurian atau perbuatan melawan hukum lainnya, adalah tidak mudah untuk menerapkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium bagi mereka, mengingat adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak membolehkan adanya pejatuhan pidana penjara terhadap anak yang berumur 12-18 tahun, kemudian masyarakat menganggap keadilan tidak ditegakkan apabila anak yang melakukan kejahatan tidak dipidana, dan masyarakat menganggap bahwa siapapun yang melakukan suatu tindak pidana maka wajib dikenai sanksi berupa pidana penjara agar pelaku jera dan tidak mengulangi perbuatannya, hakim masih sering menganggap anak sebagai penjahat yang harus dibalas agar jera dan tidak mengulangi perbuatannya.
Jadi melihat hal tersebut di atas, bahwa dalam perkembangannya penerapan dalil ultimum remedium ini sulit diterapkan karena masih banyak mengalami kendala-kendala, dan faktor-faktor lain salah satunya adalah karena Hukum Pidana memiliki UU yang mengatur setiap tindak kejahatan dan pelanggaran dan tentunya di dalam penerapan sanksi Hukum Pidana tersebut tidak mengenal kompromi atau kata damai.

C.      Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kejahatan Geng Motor
         
          Hukum merupakan sarana yang didalamnya terkandung nilai-nilai atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya. Kandungan hukum ini bersifat abstrak. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak itu. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan.[86] Soerjono Soekanto mengatakan bahwa penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan nilai yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan memepertahankan kedamaian pergaulan hidup.[87]
          Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut ditaati. Oleh karena itu, memberikan keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan perkara dengan menerapkan hukum dan menemukan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.[88] Jika hakikat penegakan hukum itu mewujudkan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang.
          Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. Oleh karena itu, keberhasilan penegakan hukum akan dipengaruhi oleh hal-hal tersebut. Secara umum, sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, ada lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu:[89]
a.       faktor hukum sendiri;
b.      faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum;
c.       faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d.      faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
e.       faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
                                                                                                                 
Kelima faktor tersebut diatas saling berkaitan dengan eratnya, karena merupakan essensi dari penegakan hukum serta juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Pada tulisan Soerjono Soekanto mengatakan bahwa agar hukum dapat berfungsi dengan baik diperlukan keserasian dalam hubungan atara empat faktor, yakni sebagai berikut:[90]
a.       Hukum atau peraturan itu sendiri;
Kemungkinannya adalah bahwa terjadi ketidakcocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan lainnya adalah ketidakcocokan antara peraturan perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Kadangkala ada ketidakserasian antara hukum tercatat dengan hukum kebiasaan, dan seterusnya.
b.      Mentalitas petugas yang menegakan hukum penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan, dan seterusnya.Apabila peraturan perundang-undangan sudah baik, tetapi mental penegak hukum kurang baik, maka akan terjadi gangguan pada sistem penegakan hukum;
c.       Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum. Kalau peraturan perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai (dalam ukuran tertentu), maka penegakan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya;
d.      Kesadaran hukum, kepatuhan hukum dan perilaku warga masyarakat.

Keempat faktor tersebut diatas saling berkaitan dan merupakan inti dari sistem penegakan hukum. Apabila kempat faktor tersebut ditelaah dengan teliti, maka akan dapat terungkapkan hal yang berpengaruh terhadap sistem penegakan hukum. Dalam kaitan ini,  Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa agar hukum berjalan atau dapat berperan dengan baik dalam kehidupan masyarakat, maka harus diperhatikan hal-hal berikut ini[91]:
a.       Mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya;
b.      Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat;
c.       Membuat hipotesis-hipotesis dan memilih yang paling layak untuk dapat dilaksanakan;
d.      Mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.
         
          J.B.J.M. ten Berge menyebutkan beberapa aspek yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan dalam rangka penegakan hukum, yaitu sebagai berikut[92]:
a.       Suatu peraturan harus sedikit mungkin membiarkan ruang bagi perbedaan interpretasi;
b.       Ketentuan perkecualian harus dibatasi secara minimal;
c.       Peraturan harus sebanyak mungkin diarahkan pada kenyataan yang secara objektif dapat ditentukan;
d.      Peraturan harus dapat dilaksanakan oleh mereka yang terkena peraturan tersebut dan mereka yang dibebani dengan tugas penegakan hukum.

          Dari uraian diatas, maka penulis akan membahas mengenai penegakan hukum pidana. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk[93]:
  Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut
-    Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimanayang telah diancamkan
-    Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara istilah “pidana” dengan istilah “hukuman”. Sudarto mengatakan bahwa istilah “hukuman” kadang-kadang digunakan untuk pergantian perkataan “straft”, tetapi menurut beliau istilah “pidana” lebih baik daripada “hukuman. Menurut Muladi dan Bardanawawi Arief “Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukan cirri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas”. Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering dipergunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta delik.
Adapun delik hukum KUHP terhadap tindak pidana kejahatan yang dilakukan kelompok geng motor yaitu seperti perbuatan pidana penganiayaan terhadap orang lain yang dapat diancam dengan pasal 351 KUHP yang berbunyi :
(1)   Penganiayaan diancam pidana paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah;
(2)   Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3)   Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Adapun unsur-unsur dalam pasal 351 KUHP tentang tindak pidana penganiayaan:
a. Barang siapa.
b. Dengan sengaja.
c. Akibat yang ditimbulkan: ayat (1) mengakibatkan luka; ayat (2) mengakibatkan luka berat; ayat (3) mengakibatkan mati.
Apabila penganiayaan itu direncanakan terlebih dahulu maka diancam dengan pasal 353 KUHP yang berbunyi :
(1)   Penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun;
(2)   Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan penjara paling lama tujuh tajun;
(3)   Jika perbuatan mengakibatkan mati, dia dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Unsur- Unsur dalam pasal 353 KUHP tentang tindak pidana penganiayaan dengan direncanakan terlebih dahulu :
a. Barang siapa.
b. Dengan sengaja.
c. Dengan rencana terlebih dahulu.
d. Akibat yang ditimbulkan: ayat (1) mengakibatkan luka, ayat (2) mengakibatkan luka berat, ayat (3) mengakibatkan mati.

Dalam KUHP Pengeroyokan termasuk dalam kejahatan terhadap ketertiban umum diancam dengan pasal 170 KUHP yang berbunyi :
(1)     Barangsiapa terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan
(2)     Yang bersalah diancam :
Ke-1. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika dengan sengaja menghancurkan barang atau kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka; Ke-2. Dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat; Ke-3 Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut[94].
Unsur-unsur dalam pasal 170 KUHP tentang tindak pidana pengeroyokan yaitu:
a. Barang siapa.
b. Terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan.
c. Terhadap orang atau barang.
Kejahatan lain yang dengan sengaja merampas nyawa orang lain atau dengan kata lain yaitu pembunuhan akan dikenakan Pasal 338 dan Pasal 339 KUHP. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak pidana dalam bentuk pokok (Doodslag In Zijn Grondvorm), yaitu delik yang telah dirumuskan secara lengkap dengan semua unsur-unsurnya.
Adapun rumusan Pasal 338 KUHP adalah:
“Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Pada pembunuhan biasa ini, Pasal 338 KUHP menyatakan bahwa pemberian sanksi atau hukuman pidananya adalah pidana penjara paling lama lima belas tahun. Di sini disebutkan paling lama jadi tidak menutup kemungkinan hakim akan memberikan sanksi pidana kurang dari lima belas tahun penjara.
Dari ketentuan dalam Pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam pembunuhan biasa adalah sebagai berikut :
Unsur subyektif perbuatan dengan sengaja. Dengan sengaja (Doodslag) artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus) yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu. Unsur obyektif : perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain. Unsur obyektif yang pertama dari tindak pembunuhan, yaitu menghilangkan, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya pelaku harus menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan menghilangkan tersebut, dan ia pun harus mengetahui, bahwa tindakannya itu bertujuan untuk menghilangkan nyawa orang lain.
Berkenaan dengan nyawa orang lain maksudnya adalah nyawa orang lain dari si pembunuh. Terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi soal, meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap bapak/ibu sendiri, termasuk juga pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP.
Dari pernyataan ini, maka undang-undang pidana kita tidak mengenal ketentuan yang menyatakan bahwa seorang pembunuh akan dikenai sanksi yang lebih berat karena telah membunuh dengan sengaja orang yang mempunyai kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan khusus dengan pelaku.
Berkenaan dengan unsur nyawa orang lain juga, melenyapkan nyawa sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat dihukum, karena orang yang bunuh diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Pembunuhan Dengan Pemberatan (Gequalificeerde Doodslag) Hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
“Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.”
Perbedaan dengan pembunuhan Pasal 338 KUHP ialah: “diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan”. Kata diikuti (gevold) dimaksudkan diikuti kejahatan lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan dilakukannya kejahatan lain.
Ketiga, Pembunuhan Berencana (Moord). Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 340 KUHP, unsur-unsur pembunuhan berencana adalah; unsur subyektif, yaitu dilakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu, unsur obyektif, yaitu menghilangkan nyawa orang lain.
Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar dan sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan niatnya, maka ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP.
Ancaman pidana pada pembunuhan berencana ini lebih berat dari pada pembunuhan yang ada pada Pasal 338 dan 339 KUHP bahkan merupakan pembunuhan dengan ancaman pidana paling berat, yaitu pidana mati, di mana sanksi pidana mati ini tidak tertera pada kejahatan terhadap nyawa lainnya, yang menjadi dasar beratnya hukuman ini adalah adanya perencanaan terlebih dahulu. Selain diancam dengan pidana mati, pelaku tindak pidana pembunuhan berencana juga dapat dipidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.




BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.        KESIMPULAN
            Dari uraian tiap bab diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Geng motor dapat disamakan dengan kelompok-kelompok bersenjata yang lain lain, jika mereka terlibat dalam kegiatan kriminal dan kekerasan seperti kelompok bersenjata lainnya, walaupun biasanya dalam skala yang lebih kecil. Ketika terlibat dalam kegiatan tersebut, mereka beroperasi di luar hukum. Mereka juga beroperasi di kota-kota dimana tingkat kekerasan sangat tinggi yang meningkatkan keprihatinan tentang keberadaan geng. Adapun tindak pidana kejahatan geng motor tersebut berupa:
a. Kebut-kebutan di jalanan yang menggangu keamanan lalu lintas, dan membahayakan jiwa sendiri dan orang lain;
b. Perilaku ugal-ugalan, berandalan, urakan yang mengacaukan ketentraman masyarakat sekitarnya;
c. Perkelahian antar geng, antar kelompok, antar sekolah (tawuran), sehingga membawa korban jiwa;
d. Melakukan tindakan kriminalitas antara lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, maling, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang, merampok, menggarong, melakukan pembunuhan, dengan jalan menyembelih korbannya, mencekik, meracun, tindak kekerasan, dan pelanggaran lainnya;
f. Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif seksual atau didorong oleh raeksi-reaksi kompensatoris dari perasaan inferior, menuntut pengakuan diri, depresi hebat, rasa kesunyian, emosi balas dendam, dan lain-lain;
g. Kecanduan dan ketagihan bahan narkotika yang erat bergandengan dengan tindak kejahatan;
h. Tindakan-tindakan pelecehan seksual secara terang-terangan, tanpa rasa malu dengan cara yang kasar;
i.   Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan, sehingga mengakibatkan ekses kriminalitas;
j.   Tindakan radikal dan ekstrem, dengan cara kekerasan, penculikan, dan pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok geng motor;
k. Perbuatan asosial dan anti asosial lain disebabkan oleh gangguan kejiwaan dan remaja psikopatik, psikotik, neurotik, dan menderita gangguan kejiwaan lainnya;
                                                     
2.       Gambaran umum keberadaan anggota geng motor di wilayah hukum Polresta Medan, yaitu sudah sangat menakutkan bagi masyarakat. Hampir setiap malam anggota geng motor berkonvoi di jalanan sambil membawa senjata tajam berjenis golok panjang.  Penjahat jalanan ini sudah terbiasa untuk mengambil nyawa orang lain sebelum merampas harta bendanya, bahkan tega memotong tubuh korbannya[95]. Sekalipun belum separah geng-geng motor di pulau Jawa, namun perilaku agresif anggota geng motor di kota Medan semakin mengkhawatirkan. Hampir setiap malam minggu di kota Medan, remaja-remaja nakal ini membuat keonaran di jalanan[96].

Bahwa ada beberapa faktor penyebab terjadinya tindak kejahatan anggota geng motor :
a) Mudahnya mendapatkan sepeda motor yang berpotensi untuk melahirkan komunitas-komunitas roda dua yang mempunyai kesamaan kepentingan yang sama;
b) Faktor Lingkungan, seperti kurangnya pengawasan dari orang tua membuat anak-anak bebas sehingga memberi kesempatan bagi pelaku melancarkan aksinya;
c) Pengaruh minuman keras, Penggunaan minuman keras secara berlebihan dan tidak terkendali yang akan menimbulkan berbagai masalah, baik bagi diri sendiri maupun orang lain atau lingkungan masyarakat sekitarnya, sehingga lebih mudah melakukan kejahatan apabila sudah meminum minuman keras;
d)    Minimnya pendidikan formal dalam hal ini pendidikan moral dan agama yang sangat minim serta tingkat pengatahuan yang di wabah rata-rata;
e) Faktor sakit hati dan/atau dendam merupakan salah satu penyebab kelompok geng motor melakukan kejahatan/ pengrusakan fasilitas umum.
  
Ada faktor internal dan eksternal terjadinya tindak pidana kejahatan geng motor, yaitu:
Faktor Internal
a.       Krisis Identitas;
b.      Kontrol diri yang lemah
Faktor Eksternal
a. Keluarga
Perceraian orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga atau perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan yang salah di keluargapun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja.
b. Teman sebaya yang kurang baik
c. Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik

3.       Pengaturan tentang tindak pidana kejahatan yang dilakukan kelompok geng motor telah diatur dialam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu antara lain Pasal 338 KUHP, Pasal 351 KUHP, Pasal 353 KUHP, Pasal 339 KUHP dan Pasal 170 KUHP, dan Pasal lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan geng motor. Adapun rumusan Pasal 338 KUHP adalah:
“Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Pada pembunuhan biasa ini, Pasal 338 KUHP menyatakan bahwa pemberian sanksi atau hukuman pidananya adalah pidana penjara paling lama lima belas tahun. Di sini disebutkan paling lama jadi tidak menutup kemungkinan hakim akan memberikan sanksi pidana kurang dari lima belas tahun penjara.
Pembunuhan Dengan Pemberatan (Gequalificeerde Doodslag) Hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
“Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.”

Perbuatan pidana penganiayaan terhadap orang lain, diancam dengan pasal 351 KUHP yang berbunyi :
(1)   Penganiayaan diancam pidana paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah;
(2)   Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3)   Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Apabila penganiayaan itu direncanakan terlebih dahulu maka diancam dengan pasal 353 KUHP yang berbunyi :
(1)   Penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun;
(2)   Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan penjara paling lama tujuh tajun;
(3)   Jika perbuatan mengakibatkan mati, dia dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pengeroyokan juga termasuk dalam kejahatan terhadap ketertiban umum diancam dengan pasal 170 KUHP yang berbunyi :
(1)     Barangsiapa terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan
(2)     Yang bersalah diancam :
Ke-1. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika dengan sengaja menghancurkan barang atau kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka; Ke-2. Dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat; Ke-3 Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut[97].

4.       Dalam penerapan hukum pidana dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim dapat mengakomodasi kepentingan pelaku tindak pidana, setiap kegiatan yang mengacu kepada penerapan prinsip penjatuhan pidana penjara sebagai upaya terakhir tersebut sangat mendukung pelaku tindak pidana, karena sebelum sanksi pidana yang keras dijatuhkan, penggunaan sanksi lain seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata didahulukan sehingga ketika fungsi sanksi-sanksi hukum tersebut kurang, baru dikenakan sanksi pidana.

5.       Dan penegakkan hukum pidana, cara penanggulangan atau penegakan, baik bersifat preventif maupun bersifat represif harus selalu melibatkan aparat penegak hukum dengan disertai peran aktif masyarakat. Penanggulangan kejahatan yang bersifat preventif ini juga merupakan tindakan pencegahan sebelum terjadinya suatu kejahatan. Tindakan preventif ini berusaha memberantas kejahatan itu dengan jalan menghilangkan segala sesuatu yang menjadi penyebab terjadinya suatu kejahatan. Dengan kata lain, kesempatan pelaku yang dicegah. Ada beberapa hal dalam upaya mengurangi tindak kekerasan anggota geng motor, yaitu :
a) Meningkatkan penanganan terhadap daerah yang rawan terjadinya kejahatan;
b) Melaksanakan kegiatan-kegiatan patroli secara rutin;
c) Mengadakan penggerebekan terhadap penjual minuman keras;
d) Menghimbau kepada seluruh lapisan masyarakat agar secepatnya melaporkan kepada pihak yang berwajib, apabila terjadi suatu kejahatan yang dilakukan oleh geng motor;
e) Mengadakan penyuluhan di setiap sekolah.

Sementara upaya represif untuk menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh geng motor, anggota Polresta Medan Sumatera Utara dan jajarannya melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
1. Melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap tersangka kejahatan.
2. Mengadakan pemeriksaan terhadap tersangka beserta barang bukti upaya lainnya dalam rangka penyidikan kasus tersebut, dan selanjutnya berkas perkaranya akan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri untuk diproses selanjutnya. Setelah keluar putusan Pengadilan Negeri, selanjutnya terdakwa dikirim ke Lembaga Pemasyarakatan untuk diberikan pembinaan-pembinaan dengan tujuan memperbaiki perilaku tersebut.  

6.       Suatu kebijakan harus  berdasar hukum dibutuhkan improvisasi dan kreasi. Maka dalam hal menanggulangi tindak pidana kejahatan yang dilakukan geng motor yang tidak mudah menanganinya maka pihak Kapolresta Medan, Kombes Nico Afinta Karo Karo membuat suatu kebijakan yaitu “tembak ditempat para pelaku kejahatan geng motor”. Hal tesebut didukung oleh Polda Sumut atas kebijakan dan tindakan tegas Kapolresta Medan Kombes Pol. Drs. Nico Afinta Karo-Karo tersebut. Dan tindakan tegas yang dilakukan  Polresta Medan tersebut sudah dibuktikan dengan menembak sejumlah penjahat dan untuk mengantisipasi terjadinya kejahatan, Polresta Medan mengatensis titik titik rawan. Namun bagaimanapun juga tindakan yang dilakukan polisi kepada para pelaku kejahatan, jika tidak didukung masyarakat, maka tidak akan berjalan sesuai harapan masyarakat.

5.2.    SARAN
            Adapun saran yang dapat direkomendasikan oleh penulis adalah sebagai berikut :
a.       Memperbaiki sistem pengawasan untuk mencegah terjadinya tindakan-tindakan kejahatan.
b.       Menambah personil kepolisian dan personil penegak hukum lainnya untuk lebih meningkatkan tindakan reprensif maupun preventif.
c.       Peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mengurangi pengangguran, yang dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan.
d.      Peningkatan penyuluhan hukum untuk memeratakan kesadaran hukum rakyat.





DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abintoro Prakoso, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Laksbang Grafika, Yogyakarta.

Ali Masyhar, Gaya Indonesia atas Kebijakan Hukum Tindak Pidana di Indonesia, 2009.

Anwar, Yesmil dan Adang, Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 2010.

Andi Zainal Abidin, Penerapan Hukum Pidana sebagai Langkah Terakhir, 1987.

A. S. Alam, Pengantar Kriminologi, Makassar 2010.

Atmasasmita, Romli. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT Eresco, Bandung.

Bhineka Teruna Sari Putra, Persepsi Anggota Geng Motor dan Faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Tindak Pidana Penganiayaan, Purwokerto, 2009.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan, Media Presindo, Yogyakarta, 2002.

Darwin Siagian, Tinjauan Kriminologis Terhadap Kejahatan Penganiayaan, Makasar, 2011.

Esmi Warassih Pujirahayu, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru Utama, 2001.

G. Peter Hoefnagels, The Criminal, 1989.

J.M.van Bemmelen, Op.Cit., hal. 28.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta; Balai Pustaka, 1995.

Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Grafindo Persada, Jakarta, 2010.

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Mandar Maju, Bandung, 2009.
Mahmud Mulyadi, Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2006.

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2006.

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ctk.Keduapuluh enam, Bumi Aksara, Jakarta,2007.

Mooraker Speed Maniac, Geng Motor dari Segi Sosiologi dan Hukum serta Solusi Meminimalisir Geng Motor, 2011.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998.

Muh. Sahiri, Tinjauan Kriminologis Terhadap Perilaku Kekerasan Anggota Geng Motor, 2011.

Nandang Sambas, Penanggulangan Pelanggaran Hukum yang Dilakukan Geng Motor oleh Kepolisian, MIMBAR, Vol. XXVII, No. 2 (Desember 2011.

Neny Riski Ramadhani, Tinjauan Kriminologis tentang Kejahatan, Universitas Hasnuddin, Makassar, 2012.

Nigel Walker, Reductivism and Deterrence, dalam A Reader on Punisment, R.A.Duff and David Garland (Ed). New York: Oxford University Press.

Ninik Widiyanti-Panji Anaroga, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya Ditinjau dari Segi Kriminologi dan Sosial, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987.

P.A.F. Lamintang,Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1990.

R. Abdoel Djamali, Pengantar Ilmu Hukum, 2005.

Reksodiputro, Perkembangan Ilmu Kriminologi, 1996.

Romi Librayanto. Ilmu Negara. Makassar:Refleksi, 2009.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.

Soerjono Sukanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Seriono, Bahan Materi Matrikulai Hukum Kebijakan Publik, Mahasiswa Baru Prodi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS, 2004.

T. Mathiesen, General Prevention as Communication dalam A Reader on Punishment, R.A.Duff and David Garland (Ed), Oxford University Press, Inc., New York, 1995. 


Yaha Harahap M , Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian sengketa, Citra Aditya Bhakti, Bandung. 1987.

Yesmil Anwar dan Adang, Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 2010.


WEBSITE








PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)
UNDANG-UNDANG DASAR 1945 AMANDEMEN (I-IV)







[1] Nandang Sambas, Penanggulangan Pelanggaran Hukum yang Dilakukan Geng Motor, MIMBAR, Vol. XXVII, No. 2 (Desember 2011): 225-232, Fak. Hukum Universitas Islam Bandung.
[2] Mooraker Speed Maniac, Geng Motor dari Segi Sosiologi dan Hukum serta Solusi Meminimalisir Geng Motor, 2011.
[3] Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, GrafindoPersada, Jakarta,2010, hal 6.
[4] Ibid
[5] Bhineka Teruna Sari Putra, Persepsi Anggota Geng Motor dan Faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Tindak Pidana Penganiayaan, Purwokerto, 2009.
[7] Reksodiputro, Perkembangan Ilmu Kriminologi, 1996, hal. 6.
[8] Darwin Siagian, Tinjauan Kriminologis Terhadap Kejahatan Penganiayaan, Makasar, 2011.
[11] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta; Balai Pustaka, 1995), Hal. 520
[12] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 254.
[13]Ibid, hal. 253.
[14] Kaelan M.S., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), Paradigma, Yogyakarta, 2005, hal. 239.
[15] Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan, Media Presindo, Yogyakarta, 2002, hal. 16.
[16] Seriono, Bahan Materi Matrikulai Hukum Kebijakan Publik, Mahasiswa Baru Prodi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS, 2004. Hal 1.
[17] Esmi Warassih Pujirahayu, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru Utama, 2001, hal. 8.
[18] Budi Winarno, Op. Cit. hal. 18.
[19] Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, Universitas Indonesia, 2007, hal. 1.
[20] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aaditya, Bandung, 1996, hal. 26-27.
[21] Mahmud Mulyadi, Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2006, hal. 9-10.
[22] T. Mathiesen, General Prevention as Communication dalam A Reader on Punishment, R.A.Duff and David Garland (Ed), Oxford University Press, Inc., New York, 1995, hal. 221. 
[23] J.M.van Bemmelen, Op.Cit., hal. 28.
[24] Nigel Walker, Reductivism and Deterrence, dalam A Reader on Punisment, R.A.Duff and David Garland (Ed). New York: Oxford University Press, hal. 212.
[25] Soerjono Sukanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 7.
[26] Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 21.
[28] Mulyani hasan, op cit, hal. 5
[29] Pendekatan kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola yang menganalisis gejala-gejala social budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku.
[30] Nugraha, R. (2009). Geng Motor Kota Medan. Surat Kabar Harian Pos Metro, 11 November.
[31] R.Soesilo, Kriminologi; Pengantar tentang Sebab-Sebab Kejahatan, Politeia, Bogor 1985.
[32] Harian Analisa, 17 Mei  2013
[33] http://news.detik.com/read/2013/05/022153/10.
[34] http://www.tribunmedan.com/2012/08.
[35] Pikiran Rakyat, 27 November 2007.
[36] Nugraha, R. (2009). Geng Motor Kota Medan. Surat Kabar Harian Pos Metro, 11 November.

[37] Made Darma Weda, Kriminologi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 19.
[38] Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Universitas Indonesia, 1995, hal. 3

[39] Ibid., hlm 48
[40] Nandang Sambas, Op.Cit., hal. 225-232.
[41] Walter Lunden dalam Ninik Widiyanti-Panji Anaroga, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya Ditinjau dari Segi Kriminologi dan Sosial, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hlm. 2.
[42] A. S. Alam, Pengantar Kriminologi (Makassar 2010), hlm 46.
[43] Stephan Hurwitz, Kriminologi, saduran Ny. L. Moeljatno, Bina Aksara, Jakarta, 1982, hal. 161.
[44] Darwin Siagian, Tinjauan Kriminologis Terhadap Kejahatan Penganiayaan yang Dilakukan Oleh Geng Motor, Makasar, 2009.
[45]  Lawrence M, Friedman, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc, hal. 6-7, 1977.
[46] Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan, Media Presindo, Yogyakarta, 2002, hal. 16.
[47] Seriono, Bahan Materi Matrikulai Hukum Kebijakan Publik, Mahasiswa Baru Prodi Ilmu Hukum, Pascasarjana UNS, 2004, Hal 1.
[48] Esmi Warassih Pujirahayu, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru Utama, 2001, hal. 8.
[49] Budi Winarno, Op. Cit. hal. 18.
[50] Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Disertasi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1994, hal. 63.
[51] Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
[52] Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 29.
[53] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan, Op. Cit., hal. 73-74.
[54] Setiono, Op. Cit. hal. 2
[55] Ibid, hal. 3
[56] Ibid, hal. 6

[57] http;//kompasiana.com/post/4cd6acc89bc1d45330000/prihatin-brutal-dan-tidak-manusiawi/, diakses pada tanggal 2 April 2014.
[58] Darwin Siagian, Tinjauan Kriminologis Terhadap Kejahatan Penganiayaan yang Dilakukan Oleh Geng Motor, 2011, Makasar.
[59] Undang-Undang Dasar 1945 RI.
[60] Romi Librayanto. 2009. Ilmu Negara. Makassar : Refleksi. Hal 123.
[61] Puspen Tentara Nasional Indonesia. 2012. Perbedaan mendasar fungsi Tni dan Polri (http://www.tni.mil.id/pages-2-peran-fungsi-dan-tugas.html). Diakses tanggal 1 April 2014.
[62] Undang-undang Dasar 1945. 
[63] Indonesia Polive Watch. 2013. Anarkisme Geng Motor kembali berlanjut. (http://indonesia-policewatch.com/). Diakses tanggal 1 April 2014.
[64] Cikal bakal Indonesia Police Watch lahir di awal reformasi, beberapa saat setelah rezim Orde Baru Soeharto “jatuh”. Saat itu sejumlah aktivisnya terlibat dalam menggalang berbagai seminar dan diskusi tentang perlunya Polri yang mandiri, professional, dan terpisah dari ABRI (TNI). Di Awal tahun 2000 lembaga ini diberi nama Indonesia Police Watch (Lembaga Pengamat Polri).
[66] Mulyani hasan, http;//mulyanihasan.wordpres.com/2007/04/27/geng-motor-do-kota-bandung/, diakses pada tanggal 2 April 2014, hal 9. 
[68] Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia Pasal 13.
[69] Chainur Arasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, 2000, hlm.133. 
[70] Perguruan Nasional Yos Sudarso Jln. KL. Yos Sudarso No. 50 Pulo Brayan & Yayasan Pendidikan Medan Putri Jln. Timor Ujung No. 5; SMA Negeri 4 Jln. Gelas No. 12 Medan.
[71] Lamintang, Hukum Panitensier Indonesia, CV. Armico, Bandung, 1988, hal. 23.
[72] http://www.suarapembaruan.com, Surat Kabar Suara Pembaharuan, Senin, 17 Februari 2014.
[73] Barda Nawawi Arief,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, hal. 74. 
[74] Hasil wawancara dengan Iptu S. Sitanggang dengan Jabatan Urbin Ops. Sat. Reskrim Polresta Medan.
[75] Hasil wawancara dengan Iptu Pol. Iptu S. Sitanggang dengan jabatan Urbin Ops. Sat. Reskrim Polresta Medan.
[76] Abintoro Prakoso, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2013.
[78] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi. Asas-Asas hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.
Storia Grafika. Jakarta. 2002. Hlm. 29.

[79] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi I Cetakan IX. Balai Pustaka. Jakarta. 1997. Hlm. 360.
[80] R. Soesilo. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia. Bogor. 1996. Hlm. 35.
[81] Van Bemmelen dalam buku Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, 1968, hal. 21.
[82] Andi Zainal Abidin, Penerapan Hukum Pidana sebagai Langkah Terakhir,  1987, hal.16
[83] Bersifat Melawan Hukum (wederrechtelijk) berarti: Bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan larangan atau keharusan hukum atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum.Dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum adalah hukum positif (hukum yang berlaku).
[84] Conditio sine qua non dalam bahasa Latin menurut kamus hukum edisi lengkap adalah syarat mutlak atau dalam bahasa Inggris disebut “Absolute (ly) condition” yang menyatakan bahwa suatu syarat mutlak harus dicantumkan atau dinyatakan untuk menguatkan atau menetapkan sesuatu perjanjian itu berlaku. Penerapan teori Conditio sine qua non yang dicetuskan oleh Von Burie kemudian menjadi tren dalam menetapkan satus tersangka pidana pembunuhan. Hal ini disebabkan karena adakalanya penyidik sulit menemukan bukti langsung yang sangat kuat untuk dapat dijadikannnya seseorang sebagai tersangka.
[85] L.H.C. Hulsman diangkat sebagai Guru Besar Hukum Pidana dan Kriminologi NEH, Rotterdam, Departemen Hukum yang baru dibentuk. Bertujuan untuk mencapai suatu bentuk baru dari pendidikan hukum sangat terkait dengan disiplin ilmu lain seperti sosiologi, psikologi dan ekonomi (1964 -1986).
[86] Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung, Sinar Baru, hal. 15.  
[87] Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Jakarta, Binacipta, 1983, hal. 13.
[88] Sjachran Basah, Perlindungan Hukum atas Sikap Tindak Administrasi Negara, Bandung, Alumni, 1992, hal. 14.
[89] Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1983, hal. 4-5.
[90] Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bandung, Bina Cipta, 1983, hal. 15.
[91] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 208.
[92] J.B.J.M. ten Berge, Op. Cit., hal. 376.
[93] P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1990, hlm. 594.
[94] Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ctk. Ke- 26, Bumi Aksara, Jakarta,2007, hlm.65.

[95] Pikiran Rakyat, 27 November 2007.
[96] Nugraha, R. (2009). Geng Motor Kota Medan. Surat Kabar Harian Pos Metro, 11 November.

[97] Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ctk. Ke- 26, Bumi Aksara, Jakarta,2007, hlm.65.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Izin Lingkungan Dalam Kaitannya dengan Penegakan Sanksi Administrasi Lingkungan dan Sanksi Pidana Lingkungan Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)

PENGELOLAAN TERNAK KAMBING DAN DOMBA