Kebijakan Polresta Terhadap Tindak Pidana Kejahatan yang dilakukan Kelompok Geng Motor (Khususnya Polresta Medan)
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Geng
motor merupakan kelompok anak muda (remaja) karena ada kesamaan latar belakang,
sekolah, daerah dan lain-lain yang tergabung dalam suatu komunitas pengguna kendaraan
bermotor roda dua. Komunitas bermotor saat ini bukan hanya menjadi trend
masyarakat perkotaan, melainkan sudah menjamur sampai pelosok pedesaan. Hal
tersebut selain semakin mudahnya cara masyarakat memiliki kendaraan bermotor
roda dua, juga karena kebutuhan akan transportasi maupun sebagai gaya hidup
bagi sebagaian orang[1].
Sebenarnya
geng-geng motor sudah ada dari tahun 1978. Yang namanya melegenda saat itu
adalah geng motor "M2R" atau Moonraker.
Geng motor & gangster diseluruh dunia sedang naik daun, seperti di Jepang
tahun 70an geng motor lagi zaman, di Amerika gangster tahun 70an baru-baru
naik, di Korea tahun 70an juga sama kaya di Jepang dan sama halnya dengan di
Indonesia tahun 70an sudah ada Moonraker[2].
Awal geng hanya merupakan kumpulan
remaja yang memiliki tujuan yang sama. Berawal dari sekedar mencari pengalaman
yang baru, lalu kelamaan perbuatan anggota geng menjadi semakin di luar
kontrol, dan berubah aksi-aksinya menjadi tindak kekerasan dan kejahatan[3].
Geng diindikasi banyak tumbuh dan
berkembang di kota-kota besar, dan bertanggung jawab atas banyaknya kejahatan,
antara lain melakukan tindak kekerasan, melakukan perkelahian dengan siapapun
juga tanpa suatu sebab yang jelas dengan tujuan untuk mengukur kekuatan
kelompok sendiri, serta penganiayaan terhadap anggota geng yang berbeda.
Sebenarnya lawan dari sebuah geng
bukanlah masyarakat, melainkan sesama geng. Perang antar geng untuk menjadi
normor satu itulah yang berimbas ketakutan kepada masyarakat[4]. Hal
inilah yang menjadi penyebab tindak pidana yang dilakukan geng motor terhadap
geng lawannya lebih sering terjadi daripada tindak pidana lain seperti penganiayaan
hingga sampai menelan korban, pencurian, pengerusakan milik orang lain atau
fasilitas umum serta pelanggaran norma lainnya[5].
Seperti salah satu contoh
kasus perkara dari sekian banyak kejadian peristiwa kejahatan yg dilakukan geng
motor, diawal tahun 2014 ini, aksi keganasan gang motor terjadi. Suasana nyaman
dan aman di awal tahun yang seharusnya penuh dengan kenyamanan
dan kedamaian yang dirasakan warga kota, tetapi di kotori oleh
kelompok geng motor tersebut. Seperti yang terjadi di wilayah Kecamatan Percut
Sei Tuan, dalam sehari ini sudah dua orang menjadi keganasan ulah genk motor
tersebut dengan lokasi yang berbeda. Korban keganasan aksi genk motor adalah
Fandy (22) warga Jalan Pembinaan, Gang Mushala Bandar Setia dan M Fauzi (15)
warga Jalan Rakyat Pasar 2 Gang Mesjid Medan Perjuangan. Keduanya menjadi
korban aksi kebrutalan kawanan gang motor yang merampok keduanya ketika hendak
pulang kerumah masing-masing. Kedua juga menjadi korban didalam satu hari yang
sama. Menanggapi hal ini, pihak Kepolisian mengatakan bahwa pihaknya akan
melakukan tindakan tegas terhadap pelaku kejahatan perampok maupun gang motor
yang berada di wilayah hukum Polsek Percut Sei Tuan[6].
Sebagaimana telah
dijabarkan diatas sangat wajar apabila masyarakat merasa resah dan khawatir,
bahkan Image di mata masyarakat geng motor identik dengan kelompok “pengacau”,
“pembuat onar”, “brandalan” serta sebagai “pelaku kriminal” termasuk muncul
pernyataan “perang” terhadap geng motor. Secara yuridis formal
tindakan-tindakan yang dilakukan kelompok geng motor sudah memasuki ranah hukum
pidana, sehingga perbuatan yang mereka lakukan bukan hanya berupa pelanggaran,
melainkan termasuk perbuatan yang dikategorikan sebagai suatu kejahatan (crime). Perbuatan yang dilarang dan
diancam sanksi pidana.
Suatu kenyataan bahwa di dalam pergaulan hidup manusia,
individu maupun kelompok, sering terdapat adanya penyimpangan-penyimpangan
terhadap norma-norma pergaulan hidupnya, terutama terhadap norma yang dikenal
sebagai norma hukum. Dalam pergaulan hidup manusia, penyimpangan terhadap norma
hukum ini disebut sebagai kejahatan. Kejahatan sebagai salah
satu bentuk problema sosial merupakan sebuah kenyataan yang harus dihadapi oleh
setiap lapisan masyarakat. Untuk menganalisa atau mengadakan diagnosa terhadap
kejahatan-kejahatan yang meningkat saat ini, belum dapat dilakukan, karena keadaan
pengetahuan kriminologi dewasa ini belum memungkinkan untuk tegas menentukan
sebab, mengapa orang melakukan kejahatan, sehingga hanya baru dapat dicari
faktor-faktor yang berkaitan dengan kondisi masyarakat tertentu pada masa
tertentu pula, yang berhubungan erat dengan timbulnya kejahatan.
Kejahatan akan terus bertambah dengan cara
yang berbeda-beda bahkan dengan peralatan yang semakin canggih dan moderen
sehingga kejahatan akan semakin meresahkan masyarakat saat ini. Masalah kejahatan merupakan masalah abadi
dalam kehidupan umat manusia, karena perkembangan tersebut sejalan dengan
berkembangnya tingkat peradaban umat manusia yang semakin kompleks. Sejarah
perkembangan manusia sampai saat ini telah ditandai oleh berbagai usaha manusia
untuk mempertahankan kehidupannya, dimana kekerasan sebagai salah satu fenomena
dalam usaha mencapai tujuan suatu kelompok tertentu dalam masyarakat atau
tujuan yang bersifat perorangan untuk mempertahankan hidup tersebut. Berkaitan
dengan kejahatan, maka kekerasan merupakan pelengkap dari bentuk kejahatan itu
sendiri.
Emile
Durkheim mengatakan bahwa kejahatan akan selalu ada dalam masyarakat dan
kejahatan merupakan produk dari suatu masyarakat. Masyarakat memberi andil akan
terjadinya kejahatan. Ada beberapa faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan
antara lain:
(a) Teori-teori ekologis tetang kepadatan penduduk
dan mobilitas sosial; kota dan
pedesaan;
urbanisasi dan urbanism; delinquency areas dan perumahan; distribusi menurut
umur dan kelamin;
(b) Dalam teori-teori konflik kebudayaan, masalah
suku, agama, kelompok minoritas;
(c) Dalam teori-teori ekonomis, pengaruh
kemiskinan dan kemakmuran;
(d) Dalam teori defferential association, pengauh
mass media;
(e) Dalam teori anomie dan sub-culture, perbedaan
nilai dan norma antara “middle class” dan “lower class”; ketegangan yang timbul
karena terbatasnya kesempatan untuk mencapai tujuan[7].
Ada
juga faktor penyebab terjadinya kejahatan, yaitu :
1.
Faktor pengaruh minuman keras; dan
2.
Faktor kondisi psikologis dan emosi yang
kurang stabil[8];
Ada
peraturan yang membatasi prilaku dari perserikatan atau perkumpulan tersebut
yaitu didalam KUHP pasal 510 dan pasal 511, berbunyi sebagai berikut:
Pasal 510 KUHP à
(1)
Diancam dengan pidana denda paling
banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, barang siapa tanpa ijin kepala
polisi atau pegawai negeri lain yang ditunjuk untuk itu:
a. Mengadakan
pesta atau keramaian untuk umum
b. Mengadakan
arak-arakan di jalan umum
(2)
Jika arak-arakan diadakan untuk
menyatakan keinginan-keinginan secara menakjubkan, yang bersalah diancam dengan
pidana paling lama dua minggu atau pidana denda dua ribu dua ratus lima puluh
rupiah.
Pasal 511 KUHP à
“Barang
siapa di waktu ada pesta arak-arakan dan sebagainya, tidak menaati perintah dan
petunjuk yang diadakan oleh polisi untuk mencegah kecelakaan oleh kemacetan
lalu lintas di jalan umum, diancam dengan pidana paling banyak tiga ratus tujuh
puluh lima rupiah”.
Walaupun
semua orang berhak untuk berkumpul atau membuat suatu geng motor, namun hal tersebut
tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, suatu
keharusan apabila pihak kepolisian sebagai aparat penegak hukum melakukan
tindakan-tindakan yang lebih efektif dan rasional dengan mengambil
langkah-langkah baik berupa tindakan preventif, maupun melakukan tindakan
represif dengan cara penegakan hukum (law
enforcement)[9].
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu
dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya
penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti
luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap
hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan
hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam
arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan
sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan
bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.
Dalam memastikan tegaknya hukum itu,
apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan
daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari
segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan
sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan
yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu
hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Di
Indonesia sendiri penegakan hukum sangat lambat, sangat jauh dari yang
diharapkan. Selain mengalami masalah pada profesionalisme dan integritasnya,
jalur yang rumit, disertai syarat-syarat birokratis yang panjang, menciptakan
situasi yang tidak kondusif bagi program penegakan hukum yang efisien dan
efektif.
Adapun faktor-faktor yang menyebakan Penegakan
Hukum sangat lambat, yaitu:
1. Campur Tangan Politik.Kasus-kasus hukum di
Indonesia banyak yang terhambat karena adanya campur tangan politik didalamnya
Hal yang lumrah untuk dilontarkan karena kasus-kasus besar dan berdimensi
struktural saat ini setidaknya melibatkan partai politik penguasa negara ini.
2. Peraturan perundangan yang lebih berpihak
kepada kepentingan penguasa dibandingkan kepentingan rakyat.
3. Rendahnya integritas moral, kredibilitas,
profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum dalam menegakan hukum.
Moral yang ada di beberapa aparat penegak hukum di Indonesia saat ini bisa
dikatakan sangat rendah. Mereka dapat dengan mudahnya disuap oleh para
tersangka agar mereka bisa terbebas atau paling tidak mendapat hukuman yang
rendah dari kasus hukum yang mereka hadapi. Padahal para aparat ini telah
disumpah saat ia memangkuh jabatannya sebagai penegak hukum.
4. Kedewasaan Berpolitik. Berbagai sikap yang
diperlihatkan oleh partai politik saat kadernya terkena kasus poltik
sesungguhnya memperlihatkan ketidak dewasaan para elit politik di Negara hukum
ini[10].
Sebenarnya masyarakat menghendaki
hukum sebagai sarana dalam penegakan hukum tidak lagi menjadi alat untuk
kepentingan penguasa, atau kepentingan politik. Memang harus diakui banyak
faktor diluar hukum yang turut mewarnai didalam praktek yang kadang kala
dipandang sebagian kelangan begitu transparan dan kasat mata, sehingga dapat
mencederai hukum itu sendiri.
Fenomena
ini harus direspons secara positif oleh setiap aparatur penegak hukum dan
menjadi perhatian serius pihak Kepolisian Medan untuk terus menerus berupaya
memperbaikinya dengan cara meningkatkan kinerjanya, sehingga tujuan penegakan
hukum yang konsisten dan konsekuen berorientasi kepada nilai-nilai dasar dari
cita hukum berupa kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum dapat
terwujud.
Berbagai
upaya pencegahan tindak pidana kejahatan dan penegakan hukum harus tetap dilakukan
agar Kelompok Geng Motor tidak meresahkan warga masyarakat. Dalam penanganan
masalah tindakan pidana kejahatan yang dilakukan Kelompok Geng Motor tersebut
tentunya ada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Kepolisian Medan (Polresta
Medan). Sehubungan dengan latar belakang tersebut diatas penulis merasa
tertarik untuk menyusun sebuah tesis menjadi sebuah karya ilmiah dengan judul “Kebijakan Polresta Terhadap Tindak
Pidana Kejahatan yang dilakukan Kelompok Geng Motor (Khususnya Polresta Medan)”.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
diuraikan diatas maka yang menjadi pokok permasalahan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Kejahatan yang Dilakukan Kelompok Geng
Motor dan Upaya Aparat Polresta Medan dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kejahatan
Geng Motor?
2. Bagaimana
Kebijakan Polresta Medan terhadap Tindak Pidana Kejahatan yang dilakukan
Kelompok Geng Motor?
3. Bagaimana
Penerapan dan Penegakan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Kejahatan yang
dilakukan oleh Kelompok Geng Motor?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah
dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini
adalah:
1.
Menganalisis dan menjelaskan faktor penyebab
terjadinya tindak pidana kejahatan yang dilakukan kelompok Geng Motor dan upaya
aparat Polresta Medan dalam penanggulangan tindak pidana kejahatan Geng Motor;
2.
Menganalisis dan menjelaskan kebijakan Polresta
Medan terhadap tindak pidana kejahatan yang dilakukan oleh Kelompok Geng Motor;
3.
Menganalisis dan menjelaskan penerapan dan
penegakan sanksi pidana terhadap tindak pidana kejahatan yang dilakukan oleh
Kelompok Geng Motor.
D. Manfaat Penelitian
Secara Teoritis, hasil
penelitian ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan akan masukan bagi para
pembentuk undang-undang dan para penegak hukum dan juga diharapkan berguna bagi
akademisi guna pengembangan teori ilmu hukum khususnya hukum pidana dan
undang-undang yang terkait dengan kepentingan masyarakat.
Secara Praktis, hasil
penelitian ini diharapkan tidak saja bermanfaat bagi kalangan aparat penegak
hukum tetapi juga bagi para pemerhati termasuk didalamnya lembaga/komisi yang
bergerak dibidang hukum dan juga bagi masyarakat luas.
E.
Keaslian Penelitian
Berdasarkan
pemeriksaan dan penelusuran kepustakaan dari hasil penelitian yang telah
dilakukan khususnya di Universitas Sumatera Utara maka penulis menerangkan
bahwa penelitian mengenai “Kebijakan Polresta dalam Menangani Tindak Pidana Kejahatan
yang dilakukan oleh Kelompok Geng Motor (Khususnya Polresta Medan)” belum
pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama oleh peneliti yang
lainnya. Kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penelitian ini semata-mata
adalah sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam penelitian yang memang
sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan
Kerangka Konseptual
1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan garis besar
dari suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan
mengenai suatu peristiwa[11].
Dalam penelitian hukum kerangka teori diperlukan untuk membuat jelas
nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya
yang tertinggi.[12]
Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum
positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita
merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.[13]
Defenisi
landasan teori pada suatu penelitian merupakan dasar-dasar operasional
penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian bersifat strategis artinya
memberikan realisasi pelaksanaan penelitian[14].
Landasan teori yang digunakan dan relevan dengan salah satu prinsip untuk
menjamin ketertiban dan perlindungan hukum yang dalam menangani tindak pidana
kejahatan yang ada di masyarakat.
Adapun teori hukum yang
digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori kebijakan sebagai teori utama
(Grand Theory), dan teori penegakan
hukum (Middle Theory), teori relatif
sebagai
teori pendukung (Supporting Theory).
Dalam kehidupan modern
seperti sekarang ini dengan segala kegiatan pemerintahan tidak dapat lepas dari
apa yang disebut sebagai kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat
ditemukan dalam bidang kesejahteraan sosial (social welfare), di bidang
kesehatan, perumahan rakyat, pertanian, pembangunan ekonomi, hubungan luar
negeri, pendidikan nasional dan lain sebagainya.
Menurut Carl Fredrich,
kebijakan adalah suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok
atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan
hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan
untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan
suatu sasaran atau suatu maksud tertentu[15].
Harold D. Laswell
memberikan definisi kebijakan publik sebagai berikut[16]:
1)
Kebijakan Publik adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek
yang terarah;
2)
Kebijakan publik adalah apa saja yang dilakukan maupun tidak dilakukan oleh
pemerintah.
Thomas R.Dye
mendefinisikan kebijakan publik sebagai “is whatever government choose to do
or not to do”. Secara sederhana pengertian kebijakan publik
dirumuskan dalam kalimat sebagai berikut[17]:
a. Apa yang dilakukan oleh pemerintah (What
government do?)
b. Mengapa dilakukan tindakan itu (Why
government do?)
c.
Dan apa terjadi kesenjangan antara apa yang ingin diperbuat dengan kenyataan (What
defference it make?)
Lebih lanjut James
Anderson menyatakan 4 (empat) konsep kebijakan publik mempunyai beberapa implikasi[18]:
1)
Kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara
serampangan;
2)
Kebijakan publik merupakan pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat
pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri. Suatu
kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang
mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta dengan
pelaksanaannya;
3)
Kebijakan publik adalah apa yang sebenarnya dilakukan pemerintah dan bukan apa
yang diinginkan pemerintah;
4)
Kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif dan negative. Positif
: kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk
mempengaruhi suatu masalah tertentu. Negative: kebijakan mungkin mencakup suatu
keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil
tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan
keterlibatan pemerintah.
Sedangkan teori
penegakan hukum (Middle Theory)
merupakan suatu proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya
norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau
hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Teori
penegakan hukum merupakan penegakan hukum yang prosesnya dilakukan sebagai upaya
untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata yang bertujuan sebagai
pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara[19].
Sementara penegakan hukum dalam arti luas, (law enforcement policy) terkandung didalamnya makna politik
kriminal (criminal policy), yaitu
upaya yang rasional untuk menanggulangi kejahatan dan proses penegakan hukum
itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang
menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia
menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
Sedangkan penegakan
hukum dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya
diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam
memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Dengan uraian di atas
jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih
merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil
yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku
dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan
maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan
oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Penegakan hukum di Indonesia dijalankan atau ditugaskan kepada badan-badan
peradilan dan/atau badan-badan hukum yang sesuai dengan Pasal 1 UU No. 14 Tahun
1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang sudah
diperbaharui oleh UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman Jo. UU No. 35
Tahun 1999 tentang perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Pada Pasal 1 UU No. 14 Tahun
1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman menyatakan, bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan, guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya
negara hukum Republik Indonesia.
Upaya penegakan hukum
hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai Negara Hukum
yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu
sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang
hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya
sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan
tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan
upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru.
Oleh karena itu upaya
penanggulangan kejahatan dapat ditempuh melalui pendekatan kebijakan dalam
arti, adanya keterpaduan antara politik kriminal dengan politik sosial dan
keterpaduan antara penggunaan upaya penal
dan non penal[20].
Penanganan masalah tindak pidana kejahatan melalui perangkat hukum pidana merupakan
bagian dari penegakan hukum penal. Untuk itu penegakan hukum dapat dilakukan
secara preventif, yaitu upaya penegak hukum mencegah terjadinya tindak pidana
kejahatan yang dilakukan kelompok geng motor. Dan dapat juga dilakukan secara
represif, yaitu upaya penegak hukum melakukan tindakan hukum kepada siapa yang
melanggar ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian dilanjutkan
dengan teori relatif[21]
sebagai teori pendukung (Supporting
Theory). Teori relatif memandang bahwa pemidanaan mempunyai tujuan lain
yang lebih berarti dari tujuan pembalasan, yaitu perlindungan masyarakat dan
pencegahan kejahatan, baik prevensi umum[22]
diharapkan memberikan peringatan kepada masayarakat supaya tidak melakukan
kejahatan. Prevensi umum ini menurut Van Veen mempunyai tiga fungsi, yaitu
menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma. Prevensi
khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku
sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. Sedangkan fungsi perlindungan
kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama
beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin
dilakukan pelaku[23].
Niger Walker menamakan
teori ini sebagai paham reduktif (reductivism)
karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah
untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Penganut reductivism menyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran
melalui satu atau beberapa cara berikut ini[24]:
1. Pencegahan
terhadap pelaku kejahatan yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau
tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap
pidana yang dijatuhkan;
2. Pencegahan
terhadap pelaku yang potensial, dalam hal ini memberikan rasa takut kepada
orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh
pidana yang telah dijatuhkan pidana kepadanya;
3. Perbaikan
si pelaku, yaitu memperbaiki tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran
si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya
rasa ketakutan dari ancaman pidana;
4. Mendidik
masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan
cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan;
5. Melindungi
masyarakat melalui pidana penjara yang cukup lama.
2.
Kerangka Konseptual
Dalam
kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan
dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum ini[25]. Konsep
merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati, menentukan antara
variabel-variabel yang lain, menentukan adanya hubungan empiris[26]. Konsep
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.
Makna Kebijakan
Istilah “kebijakan”
dalam tulisan ini diambil dari Bahasa Inggris “Policy” (inggris) atau
dalam Bahasa Belanda “Politiek” yang secara umum dapat diartikan sebagai
prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti
luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam mengelola, mengatur, atau
menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau
bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian
hukum/peraturan, dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah. Istilah kebijakan
merupakan sesuatu yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan
satu pekerjaan, kepemimpinan atau organisasi; arah tindakan yang memiliki
maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi
suatu masalah atau suatu perubahan.
b. Makna Kepolisian
Kepolisian merupakan segala sesuatu
yang berhubungan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
c. Makna
Tindak Pidana
Tindak Pidana
merupakan suatu perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman; setiap perbuatan yang
diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut dalam KUHP
maupun peraturan perundang-undangan lainnya.
d. Makna Kejahatan
Kejahatan
sebagai salah satu bentuk problema sosial merupakan sebuah kenyataan yang harus
dihadapi oleh setiap lapisan masyarakat. Untuk menganalisa atau mengadakan
diagnosa terhadap kejahatan-kejahatan yang meningkat saat ini, belum dapat
dilakukan, karena keadaan pengetahuan kriminologi dewasa ini belum memungkinkan
untuk tegas menentukan sebab, mengapa orang melakukan kejahatan, sehingga hanya
baru dapat dicari faktor-faktor yang berkaitan dengan kondisi masyarakat
tertentu pada masa tertentu pula, yang berhubungan erat dengan timbulnya
kejahatan. Suatu batasan kejahatan yang dipandang dari sudut yuridis,
dikemukakan oleh Herman Mannheim adalah suatu konsep yuridis berarti tingkah
laku manusia yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana.
d.
Makna Geng Motor
Istilah
geng umumnya dipakai untuk kelompok yang lebih besar dan terbatas pada
kelompok yang kecil. Definisi tentang geng sangat jelas identik dengan
kehidupan berkelompok. Hanya saja geng
memang memiliki makna yang sedemikian negatif. Geng bukan sekedar kumpulan remaja yang bersifat informal. Geng dalam bahasa inggris adalah sebuah
kelompok penjahat yang terorganisasi secara rapi. Dalam sebuah konsep yang
moderat, geng merupakan sebuah kelompok kaum muda yang pergi secara bersama-sama
dan sering kali menyebabkan keributan[27].
Kaum
remaja yang terlibat dalam kehidupan geng
sebenarnya sedang mengalami distorsi komunikasi. Kaum remaja tidak mampu
memahami atau sengaja tidak sudi untuk menyepakati aturan-aturan budaya,
masyarakat, dan komunitas tempat berfungsinya dengan baik.
Dalam
hal kenakalan remaja yang terbentuk dalam suatu geng-geng atau gerombolan-gerombolan anak muda, fokusnya bukan lagi
pelanggaran individual tetapi sudah terhadap kelompok sebagai keseluruhan dalam
arti bahwa kolektivitas itu dipandang sebagai suatu kesatuan yang mengandung
kualitas-kualitas diluar jumlah individu anggota semata-mata.
Geng motor berbeda dengan club motor. Club motor biasanya mengusung merek tertentu atau spesifikasi jenis
motor tertentu dengan perangkat organisasi formal, seperti HDC (harley davidson club), scooter (kelompok pecinta vespa),
kelompok honda, kelompok suzuki, tiger, mio, dan lain sebagainya. Ada juga brotherhood, yaitu kelompok pecinta motor besar tua[28].
Dengan
demikian Geng motor merupakan
kumpulan orang-orang pecinta motor yang doyan kebut-kebutan, tanpa membedakan
jenis motor yang dikendarai.
G.
Metode Penelitian
Dalam penulisan karya ilmiah,
selalu diperlukan data untuk mendukung penulisan yang tengah dilakukan dalam
menyelesaikan tesis ini. Pengumpulan data tersebut diperoleh dengan melakukan
sebuah penelitian.
Metode penelitian merupakan satu unsur
mutlak dalam suatu penelitian dan perkembangan ilmu pengetahuan, demikian pula
dalam penulisan tesis ini penulis menggunakan beberapa metode penelitian,
antara lain sebagai berikut:
1.
Jenis Penelitian
Adapun
jenis penelitian yang digunakan dalam pembahasan tesis ini adalah metode
penelitian yuridis normatif yaitu
suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum dan melakukan inventarisasi
hukum positif yang berkaitan dengan efektifitas peraturan perundang-undangan di
bidang hukum. Sehingga data yang dimaksud dalam
penelitian ini secara
deduktif penelitian ini dimulai dengan menganalisis data sekunder di bidang
hukum, yang berkaitan dengan hal-hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian
ini.
2.
Sumber Data Penelitian
Sumber data yang terhimpun dari
hasil penelitian ini diperoleh melalui penelitian lapangan, yang digolongkan ke
dalam 2 jenis data, yaitu :
1. Data primer
(primary atau basic data), adalah
data yang diperoleh secara langsung di lokasi. Dengan mengadakan wawancara dan
penelitian secara langsung dengan pihak-pihak yang terkait. Dan data diperoleh
secara langsung dari sumber pertama (responden) pada lokasi penelitian.
2. Data
sekunder (secondary data), yaitu data
yang diperoleh berdasarkan studi dokumen yang dihimpun dari aturan
perundang-undangan, buku-buku, arsip atau data di Polresta Medan serta bahan
atau sumber lain yang menjadi faktor penunjang dalam penelitian ini.
3.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data dan informasi adalah
sebagai berikut :
1. Penelitian Lapangan diperoleh langsung dari lokasi penelitian yang
berupa hasil wawancara terhadap petugas kepolisian dan pejabat yang berwenang.
2. Penelitian Kepustakaan dilakukan dengan cara menelaah bahan-bahan
pustaka yang relevan dengan dengan penelitian literatur-literatur, karya ilmiah
(hasil penelitian), peraturan perundang-undangan, media massa, media cetak, dan
dokumentasi dari instansi yang terkait dengan penelitian ini, hal ini
dimaksudkan untuk mendapatkan kerangka teori dari hasil pemikiran para ahli.
Hal ini dilihat dari relevansinya yang terjadi di lapangan.
4.
Teknik Analisis Data
Data
yang diperoleh, baik secara data primer maupun data sekunder dianalisis dengan
teknik kualitatif[29] (analisis dengan menggambarkan faktor-faktor
yang terjadi di lokasi penelitian), kemudian disajikan secara deskriptif yaitu
mengemukakan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan keadaan yang nyata
mengenai terjadinya tindak pidana kejahatan yang dilakukan geng motor.
BAB II
gambaran umum geng motor
di wilayah hukum polresta
medan
A.
Gambaran Umum Keberadaan Geng Motor di Wilayah Hukum Polresta Medan
Kelahiran
geng motor di kota Medan, berawal dari adanya kelompok pengendara bermotor yang sering melakukan
aksi balapan liar seperti di Griya dan
Pasar VIII Padang Bulan. Kelompok ini dahulunya terbilang meresahkan,
namun keresahan yang diciptakan hanyalah
sebatas penggunaan jalan raya untuk arena
balapan liar. Namun beberapa tahun belakangan, teradopsi dari kelompok
pengendara bermotor di kota Bandung yang kerap melakukan perilaku
kekerasan, geng motor mulai lahir dan
tumbuh di kota Medan. Dorongan untuk unjuk gigi
sebagai komunitas motor juga ikut meradang. Mereka ingin tampil beda dan
dikenal luas, caranya dengan melakukan aksi-aksi yang kejahatan yang
sensasional. Mulai dari kebut-kebutan,
hingga melakukan perilaku agresif di jalanan[30].
Kejahatan adalah
suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan
tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si pelaku disebut
sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia
memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang
memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang belum
tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya
semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat
ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat.
Tentang definisi
dari kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan pendapat di antara para
sarjana. R. Soesilo[31]
membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis.
Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah
laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis,
maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang
selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa
hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban. Secara formal kejahatan
dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang oleh Negara diberi pidana. Pemberian
pidana dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat
perbuatan itu. Keseimbangan yang terganggu itu ialah ketertiban masyarakat
terganggu, masyarakat resah akibatnya. Kejahatan dapat didefinisikan
berdasarkan adanya unsur anti sosial. Berdasarkan unsur itu dapatlah dirumuskan
bahwa kejahatan adalah suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas,
tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.
Dalam bukunya, A. S. Alam membagi definisi kejahatan ke dalam
dua sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang hukum (a crime from
the legal point of view). Batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah
setiap tingkah laku yang melanggar hukum pidana. Bagaimanapun jeleknya suatu
perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak dilarang di dalam perundang-undangan
pidana, perbuatan itu tetap sebagai perbuatan yang bukan kejahatan. Kedua,
dari sudut pandang masyarakat (a crime from the sociological point of view).
Batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap perbuatan yang
melanggar norma-norma yang masih hidup di dalam masyarakat.
Kejahatan yang dilakukan geng motor
seperti beberapa berita perilaku agresif yang ditunjukkan anggota geng motor di
kota Medan. Berdasarkan informasi yang
diperoleh dari Kapolresta Medan bahwa ada beberapa geng motor di kota Medan
yang anggotanya pernah melakukan perilaku agresif dan sudah tertangkap oleh
pihak kepolisian kota Medan, geng-geng itu diantaranya adalah geng motor RNR
(Rock n Roll), Simple Life, Water Blue, SKM (Skandal Kota Medan), Netral
Community, DTRC (Daerah Tembung Racing Community), NKB (Nekat Kami Bro), PTC
(Punya Tekat Coy), LRMC (Letsu Rasta Mista Community), Canabis (cara anak nekat
bikin asik), CKM G1 (Cekak Merah Generasi1), Ezto, Batako (batak mentiko), KPK
(Kami Punya Kuasa), dan Segi (setel gila).
Adapun kejahatan yang dilakukan
misalnya, tewasnya Briptu Marisi Silaen anggota Brimob Polda Sumut oleh anggota geng motor di Jalan Sei Serahayu,
Medan[32]. Perampokan
disertai penganiayaan oleh kelompok bermotor terhadap warga di Jalan Yos
Sudarso, menyebabkan korban harus kehilangan sepeda motor Honda Beat dan menderita enam luka tikaman
serta bacokan di tubuhnya[33].
Pengerusakan mobil Honda Jazz silver BK 1023 HV, oleh kawanan geng motor saat
melintasi di Jalan Pattimura Medan[34]. Geng
motor kini memang menjadi salah satu perhatian utama pihak kepolisian karena
perilaku agresif mereka yang semakin mengancam dan menakutkan bagi masyarakat.
Lembaga kepolisian sampai mempermaklumkan akan menembak di tempat anggota geng
motor yang melakukan perilaku agresif. Menurut Indonesian Police Watch (IPW),
perilaku agresif yang dilakukan geng motor tidak hanya merugikan korban secara
materil bahkan sudah mengambil korban jiwa. Dalam setahun terakhir 60 orang
tewas akibat perilaku agresif yang
dilakukan geng motor.
Keberadaan geng motor di Medan, sudah sangat
menakutkan bagi masyarakat. Hampir setiap malam anggota geng motor berkonvoi di
jalanan sambil membawa senjata tajam berjenis golok panjang. Penjahat jalanan ini sudah terbiasa untuk mengambil
nyawa orang lain sebelum merampas harta bendanya, bahkan membunuh korbannya[35].
Sekalipun
belum separah geng-geng motor di pulau Jawa, namun perilaku agresif anggota
geng motor di kota Medan semakin mengkhawatirkan. Hampir setiap malam minggu di
kota Medan, remaja-remaja nakal ini membuat keonaran di jalanan[36].
B. Faktor
Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Kejahatan Geng Motor
Dalam perkembangan, terdapat
beberapa faktor berusaha menjelaskan sebab-sebab kejahatan. Dari pemikiran itu,
berkembanglah aliran atau mazhab-mazhab kriminologi. Sebenarnya menjelaskan
sebab-sebab kejahatan sudah dimulai sejak abad ke-18. Pada waktu itu, seseorang
yang melakukan kejahatan dianggap sebagai orang yang dirasuk setan. Orang
berpendapat bahwa tanpa dirasuk setan seseorang tidak akan melakukan kejahatan.
Pandangan ini kemudian ditinggalkan dan munculah beberapa aliran, yaitu aliran
klasik, kartografi, tipologi dan aliran sosiologi berusaha untuk menerangkan
sebab-sebab kejahatan secara teoritis ilmiah.
Aliran
klasik timbul dari Inggris, kemudian menyebar luaskan ke Eropa dan Amerika.
Dengan aliran ini adalah psikologi hedonistik. Bagi aliran ini setiap perbuatan
manusia didasarkan atas pertimbangan rasa senang dan tidak senang. Setiap
manusia berhak memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Perbuatan
berdasarkan pertimbangan untuk memilih kesenangan atau sebaliknya yaitu
penderitaan. Dengan demikian, setiap perbuatan yang dilakukan sudah tentu lebih
banyak mendatangkan kesenangan dengan konsekuensi yang telah dipertimbangkan,
walaupun dengan
pertimbangan perbuatan tersebut lebih banyak mendatangkan kesenangan[37].
Tokoh utama aliran ini adalah Beccaria yang mengemukakan
bahwa setiap orang yang melanggar hukum telah memperhitungkan kesenangan dan
rasa sakit yang diperoleh dari perbuatan tersebut. Masalah sebab-sebab
kejahatan selalu merupakan persoalan yang sangat menarik. Berbagi teori yang
menyangkut sebab kejahatan telah diajukan oleh para ahli dari berbagai disiplin
dan bidang ilmu pengetahuan.
Namun, sampai dewasa ini masih belum juga ada satu jawaban
penyelesaian yang memuaskan. Meneliti suatu kejahatan harus memahami tingkah
laku manusia baik dengan pendekatan deskriptif, maupun dengan pendekatan
kausal. Sebenarnya dewasa ini tidak lagi dilakuakan penyidikan sebab musabab
kejahatan, karena smapai saat ini belum dapat ditentukan faktor pembawa resiko
yang besar atau yang lebih kecil dalam menyebabkan orang tertentu melakukan
kejahatan, dengan melihat betapa kompleksnya perilaku manusia baik individu
maupun secara kelompok.
Meskipun demikian, para ahli belum bisa menemukan faktor
lingkungan apa dan bagaimana, yang menjadi sebab dan akibat pasti daripada
terjadinya kejahatan. Kriminologi saat ini belum sampai memungkinkan untuk
dengan tegas menentukan sebab-sebab orang melakukan pelanggaran norma hukum
(berbuat kejahatan)[38].
Tingkat pengetahuan kriminologi dewasa ini masih dalam taraf mencari, melalui
penelitian dan penyusunan teori. Dalam usaha mencari dan meneliti sebab-sebab
kejahatan dalam lingkungan masyarakat. Adapun penyebab kejahatan tersebut, yaitu
pertama, Anomie (ketiadaan
norma). Anomie (ketiadaan norma) menekankan pada “normlessness, lessens
social control“ yang berarti mengendornya pengawasan dan pengendalian
sosial yang berpengaruh terhadap terjadinya kemerosotan moral. Hal ini
menyebabkan individu sukar menyesuaikan diri dalam perubahan norma, bahkan
sering terjadi konflik dengan norma dalam pergaulan.
Dikatakan oleh Durkhheim bahwa “tren sosial dalam masyarakat industry perkotaan modern mengakibatkan
perubahan norma, kebingungan dan berkurangnya kontrol sosial atas individu”.
individualisme meningkat dan timbul berbagai gaya hidup baru,
yang besar kemungkinan menciptakan kebebasan yang lebih luas disamping
meningkatkan kemungkinan perilaku yang menyimpang. Satu cara dalam mempelajari
masyarakat adalah dengan melihan pada bagian-bagian komponennya untuk
mengetahui bagaimana masing-masing komponen berhubungan satu sama lain .
Dengan kata lain, kita melihat kepada suatu struktur
masyarakat guna melihat bagaimana ia berfungsi. Jika masyarakat itu stabil, bagian-bagiannya
dapat beroperasi secara lancar, susunan-susunan sosial berfungsi dengan baik.
Masyarakat seperti itu ditandai oleh kepaduan, kerjasama, dan kesepakatan.
Namun, jika bagian-bagian komponenya ternyata dalam keadaan membahayakan secara
keteraturan dan/atau ketertiban sosial, susunan msyarakat itu menjadi disfunctional
(tidak berfungsi). Menurut Durkheim, penjelasan tentang perbuatan manusia
tidak terletak pada diri siindividu, tetapi terletak pada kelompok dan
organisasi sosial. Dalam konteks inilah Durkheim memperkenalkan istilah “anomie
sebagai hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat hilangnya
patokan-patokan dan nilai-nilai”.
Anomie yang dikatakan Emile
Durkheim
juga dipandang sebagai kondisi yang mendorong sifat individualistis (memenangkan
diri sendiri/egois) yang cenderung
melepaskan pengendalian sosial. Keadaan ini akan diikuti dengan perilaku
menyimpang dalam pergaulan masyarakat.
Durkheim meyakini bahwa
jika sebuah masyarakat sederhana berkembang menuju suatu masyarakat yang modren
dan kota, maka kedekatan (intimacy) yang dibutuhkan untuk melanjutkan seperangkat
norma-norma umum (a common set of rules) akan merosot. Seperangkat
aturan-aturan umum, tindakan-tindakan dan harapan-harapan orang di satu sektor
mungkin bertentangan dengan tindakan dan harapan orang lain, sistem tersebut
secara bertahap akan runtuh, dan masyarakat itu berbeda dalam kondisi anomie[39].
Durkheim mempercayai bahwa hasrat-hasrat manusia adalah tidak terbatas karena
alam tidak mengatur batas-batas biologis yang ketat untuk kemampuan manusia
sebagaimana ia mengatur makhluk lain seperti binatang-binatang. Menurut
Durkheim, manusia telah mengembangkan aturan-aturan sosial yang menetapkan
suatu takaran yang realistis di atas aspirasi-aspirsainya. Aturan-aturan ini
menyatu dengan kasadaran individu dan membuatnya menjadi merasa terpenuhi. Akan
tetapi, dengan satu ledakan kemakmuran yang tiba-tiba, harapan-harapan orang
menjadi berubah. Manakala aturan-aturan lama tidak lagi menentukan bagaimana
ganjaran/pengendali atas apa yang orang inginkan[40].
Emile Durkheim juga mengatakan
bahwa kejahatan merupakan suatu fenomena sosial yang normal. Artinya bahwa
kejahatan akan selalu ada dalam masyarakat dan kejahatan merupakan produk dari
suatu masyarakat. Masyarakat memberi andil akan terjadinya kejahatan.
Adapun faktor-faktor yang berperan dan gejala yang dihadapi
Negara-negara berkembang saat ini dalam timbulnya kejahatan, adalah sebagai
berikut[41] :
a. Gelombang
urbanisasi remaja dari desa ke kota-kota jumlahnya cukup besar dan sukar
dicegah;
b. Terjadi
konflik antara norma adat pedesaan tradisonal dengan norma-norma baru yang
tumbuh dalam proses penggeseran sosial yang cepat, terutama di kota-kota besar;
c. Memudarnya
pola-pola kepribadian individu yang terkait kuat pada pola kontrol sosial
tradisionalnya, sehingga anggota masyarakat terutama remanya menghadapi “samar pola”
(ketidaktaatan pada pola) untuk menentukan perilakunya[42].
Secara umum bahwa
faktor-faktor yang dapat mendorong munculnya perilaku kriminal dalam
masyarakat, antara lain bahwa, pertama
sebagai pengaruh dari sistem ekonomi yang buruk, terutama dari sistem kapitalis,
sehingga ada hubungan antara bangunan ekonomi masyarakat dengan kejahatan.
Sementara ada beberapa
faktor ekonomi yang dapat menyebabkan timbulnya kejahatan[43],
yaitu bersumber dari bekerja terlalu muda, tak ada pengharapan maju,
pengangguran berkala tetap, pengangguran biasa dan kekhawatiran dalam hal itu,
berpindahnya pekerjaan dari tempat ke tempat lain, perubahanperubahan gaji
sehingga tidak mungkin membuat anggaran belanja. Sebagai faktor yang sangat
dominan terjadinya tindak kriminal dalam masyarakat diungkapkan oleh Hurwitz
adalah faktor banyaknya pengangguran.
Kedua,
rendahnya penghayatan terhadap norma-norma agama, sehingga nilai-nilai yang
tinggi yang digariskan dalam ajaran agama sebagai tuntunan hidup banyak diabaikan.
Diungkapkan oleh Florence G. Robins, bahwa agama merupakan salah satu kontrol
sosial yang utama melalui organisasinya. Agama itu sendiri dapat menentukan
tingkah laku manusia sesuai dengan nilai-nilai keagamaannya. Atas dasar itu,
diperlukan penataan kehidupan pemuda karena pemuda perlu memainkan peranan yang
penting dalam pelaksanaan pembangunan. Pembinaan dan pengembangan generasi muda
harus menanamkan motivasi kepekaan terhadap masa datang.
Kepekaan terhadap masa
datang membutuhkan pula kepekaan terhadap situasi-situasi lingkungan, untuk
dapat merelevansikan partisipasinya dalam setiap kegiatan berbangsa dan
bernegara. Tanpa peran serta pemuda pembangunan akan sulit berhasil, untuk itu pengembangan
dan pemberdayaan pemuda sangat penting.
Dalam upaya menangani
para pelanggar hukum, para kriminolog beranggapan bahwa perlu dilakukan
tindakan yang lebih komprehensif dan menyeluruh. Hal yang penting dilakukan
adalah dengan mencari akar permasalahan yang lebih substansial. Dalam usaha
untuk mencari sebab-sebab kejahatan telah diterima secara umum bahwa tidak
mungkin dicari hanya satu faktor yang dapat menerangkan sebab kejahatan pada umumnya
maupun kejahatan yang khususnya.
Apa yang dapat dicari
adalah faktor-faktor dalam hubungan dengan sejumlah faktor lain yang akan menghasilkan
kejahatan. Didalam kepustakaan kriminologi terdapat pula beberapa faktor yang
amat sering dihubungkan dengan kejahatan, walaupun faktor-faktor tersebut perlu
dikaji lebih jauh seberapa jauh memiliki hubungan sebab akibat dengan kejahatan.
Faktor lain yang perlu
mendapat perhatian khusus, faktor keluarga. Peranan keluarga sebagai faktor
dalam sebab akibat kejahatan tidaklah disangkal. Akan tetapi mungkin tidak ada
faktor yang begitu banyak dimanipulir sehingga kehilangan pengertiannya seperti
faktor peranan keluarga ini. Menyikapi tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan
geng motor, terdapat hubungan yang sangat erat antara lemahnya ikatan seseorang
dengan keluarga, lingkungan pendidikan dengan perilaku pelanggaran hukum yang
dilakukan para remaja yang merupakan anggota geng motor.
Begitu pula dalam
kaitannya dengan rendahnya tingkat kepercayaan pada norma hukum dan norma agama
pun menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda, dalam arti bahwa rendahnya
kepercayaan seseorang terhadap norma hukum, dan norma agama, cenderung
mendorong seseorang untuk berperilaku menyimpang.
Dengan demikian
terjadinya penyimpangan-penyimpangan perilaku yang melanggar hukum sebagai
akibat dari adanya dorongan-dorongan untuk mencapai keinginannya, baik yang
datang dari individu si pelaku sebagai akibat ketidakmampuan untuk
mengendalikan diri, serta ketidakmampuan seseorang untuk ikut menyesuaikan
dengan norma-norma yang ada dalam lingkungan masyarakat, baik norma yang berlaku
dalam keluarga, lingkungan pendidikan, maupun norma kelompok dimana ia berada.
C. Faktor
Internal dan Eksternal Terjadinya Tindak Pidana Kejahatan Geng Motor
Faktor penyebab terjadinya kejahatan
yang dilakukan oleh geng motor di kota Medan, Sumatera Utara secara garis besar
terbagi menjadi dua yaitu[44]:
1.
Faktor pengaruh minuman keras;
2.
Faktor kondisi psikologis dan emosi
yang kurang stabil;
Dari 2 (dua) faktor penyebab penganiayaan yang dilakukan
oleh geng motor di atas faktor kondisi psikologis dan emosi yang kurang stabil
merupakan faktor yang paling besar mempengaruhi terjadinya kejahatan
penganiayaan yang dilakukan oleh geng motor di Kota Medan. Kerena pelaku geng
motor yang kebayakan berasal dari kaum remaja yang emosinya masih labil. Selain kedua faktor diatas
faktor ekonomi dan pendidikan masyarakaat juga sangat berpengaruh.
Lawrence M. Friedman mengatakan
bahwa unsur sistem hukum ada 3[45],
yaitu:
1. struktur,
yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, dalam
hal ini kepolisian, kejaksaan,dan pengadilan
2. subtansi,
yaitu keseluruhan aturan hukum yang ada
3. kultur
hukum, yaitu budaya hukum yang ada ditengah-tengah masyarakat.
Tiga unsur sistem bukum yang oleh
Fridmen diatas memberikan pengetahuan
kepada kita bahwa jika ingin faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan geng
motor di kota Medan. Pendekatanya bukan hanya dilekatkan pada pelakunya tetapi
juga subtansi hukum serta budaya hukum ditengah masyarakat.
Oleh karena itu pemerintah dalam hal
ini aparat penegak hukum khususnya anggota Kepolisian Resor Kota Besar Medan
dalam menanggulangi tingkat perkembangan kejahatan geng motor harus melakukan
upaya penyelesain bukan hanya upaya dan represif tetapi juga upaya preventif.
Hal ini diperparah oleh adanya
perubahan yang cepat (reformasi) dalam masyarakat. Perubahan pada struktur
sosial memperlemah nilai-nilai tradisional yang berasosiasi dengan penundaan
kepuasan, belum lagi peningkatan jumlah anak muda dari kelas menengah yang
tidak lagi memiliki keyakinan bahwa cara untuk mencapai tujuan mereka adalah
melalui kerja keras dan menunda kesenangan. Perilaku nakal pada remaja
bisa disebabkan oleh faktor dari remaja itu sendiri (internal) maupun faktor dari luar (eksternal).
Faktor internal:
1. Krisis identitas
Perubahan
biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk
integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam
kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan ramaja
terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua.
2. Kontrol diri yang lemah
Remaja
yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima
dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku nakal. Begitupun
bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun
tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan
pengetahuannya.
Faktor eksternal:
1. Keluarga
Perceraian
orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga atau perselisihan
antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan
yang salah di keluargapun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan
pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi
penyebab terjadinya kenakalan remaja.
2. Teman sebaya yang kurang baik
3. Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik
Dapat dilihat dari dua faktor yang
mempengaruhi kenakalan remaja, ketika mereka memiliki krisis identitas, kontrol
diri yang lemah, faktor keluarga, teman sebaya, dan komunitas/lingkungan tempat
tinggal mereka yang kurang baik, yang menyebabkan perilaku mereka tidak sesuai
dengan norma yang ada dilingkungannya sehingga lingkungan menolak mereka,
sehingga mereka bersatu atas penolakan lingkungan yang diberikan kepada mereka
contohnya seperti geng motor.
Disinilah psikologi komunitas
berperan penting untuk masuk keranah masyaraka/komunitas yang bersangkutan.
Memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai kenakalan remaja dan bagaimana
cara menanganinya, terutama pemahaman kepada keluarga mengenai pola asuh anak,
sehingga keluarga dapat mengontrol perkembangan anak, dengan siapa ia bergaul,
dilingkungan mana saja yang anak kunjungi sehingga kenakalan remaja dapat
diatasi lebih dini.
Dalam pendekatan psikologi
penanganan kenakalan remaja memiliki banyak cara yang bervariasi namun dalam
pembahasan fenomena komunitas geng motor kita memfokuskan menggunakan 2 metode,
yaitu:
1. Behavioural methods;
2. Cognitive-behavioral (CBT) methods.
BAB III
KEBIJAKAN POLRESTA MEDAN TERHADAP TINDAK PIDANA
KEJAHATAN YANG DILAKUKAN OLEH KELOMPOK GENG MOTOR
A. Pengertian
Kebijakan
Dalam kehidupan
modern seperti sekarang ini dengan segala kegiatan pemerintahan tidak dapat
lepas dari apa yang disebut sebagai kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut
dapat ditemukan dalam bidang kesejahteraan sosial (social welfare), di
bidang kesehatan, perumahan rakyat, pertanian, pembangunan ekonomi, hubungan
luar negeri, pendidikan nasional dan lain sebagainya.
Menurut Carl Fredrich,
kebijakan adalah suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok
atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan
hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan
untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan
suatu sasaran atau suatu maksud tertentu[46].
Harold D. Laswell
memberikan definisi kebijakan publik sebagai berikut[47]:
1)
Kebijakan Publik adalah suatu program
pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah;
2)
Kebijakan publik adalah apa saja yang
dilakukan maupun tidak dilakukan oleh pemerintah.
Thomas R.Dye
mendefinisikan kebijakan publik sebagai “is whatever government choose to do
or not to do”. Secara sederhana pengertian kebijakan publik
dirumuskan dalam kalimat sebagai berikut[48]:
a. Apa yang dilakukan oleh pemerintah (What
government do?)
b. Mengapa dilakukan tindakan itu (Why
government do?)
c.
Dan apa terjadi kesenjangan antara apa yang ingin diperbuat dengan kenyataan (What
defference it make?)
Lebih lanjut James
Anderson menyatakan 4 (empat) konsep kebijakan publik mempunyai beberapa
implikasi[49]:
1) Kebijakan publik berorientasi pada maksud
atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan;
2) Kebijakan publik merupakan pola tindakan
yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan
keputusankeputusan yang tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan
untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan
beserta dengan pelaksanaannya;
3) Kebijakan publik adalah apa yang sebenarnya
dilakukan pemerintah dan bukan apa yang diinginkan pemerintah;
4)
Kebijakan publik mungkin dalam
bentuknya bersifat positif dan negative. Positif: kebijakan mungkin mencakup
bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah
tertentu. Negative: kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat
pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan
sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah.
B. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
Secara umum,
pengertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah “Policy” adalah suatu perencanaan atau program mengenai apa yang
akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan bagaimana cara melakukan
atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan[50].
Menurut Marc Ancel,
pengertian Kebijakan Hukum Pidana (Penal
Policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai
tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara
lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang,
tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada
penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan[51].
Barda Nawawi Arief
mengemukakan bahwa pola hubungan antara Penal Policy dengan upaya
penanggulangan kejahatan yaitu pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus
digunakan dengan pendekatan integral dan ada keseimbangan antara penal dengan
non penal. Beliau juga mengemukakan bahwa usaha dan kebijakan untuk membuat
peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dijelaskan dari
tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan hukum pidana merupakan tindakan
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pidana (penal).
Usaha penanggulangan
kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha
penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Karena itu sering pula
dikatakan bahwa kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan
penegakan hukum (law enforcement policy)[52].
Usaha penanggulangan
kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga
merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat. Dengan demikian
seandainya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan
menggunakan sarana penal (hukum pidana), maka kebijakan hukum pidana (penal
policy), khususnya pada tahap formulasi/kebijakan legislasi yang merupakan
tugas dari aparat pembuat undang-undang (aparat legislatif), harus
memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial berupa
social welfare dan social
defence[53].
C. Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik
Hubungan hukum
dan kebijakan publik dapat dilihat dari[54]:
1) Formulasi Hukum dan Kebijakan Publik
Hubungan pembentukan
hukum dan kebijakan publik saling memperkuat satu dengan yang lain. Sebuah
produk hukum tanpa ada proses kebijakan publik di dalamnya maka produk hukum
itu akan kehilangan makna substansinya. Sebaliknya sebuah proses kebijakan
publik tanpa ada legalisasi hukum, akan lemah pada tatanan operasionalnya.
2) Penerapan/implementasi hukum dan
kebijakan publik.
Pada dasarnya di dalam
penerapan hukum tergantung pada 4 unsur[55]:
a)
Unsur hukum
Unsur hukum disini oleh
Setiono diartikan sbagai produk atau kalimat, aturan-aturan hukum.
Kalimat-kalimat hukum harus ditata sedemikian rupa hingga maksud yang
diinginkan oleh pembentuk hukum dapat terealisasikan di lapangan yang luas
dengan tetap mengacu kepada satu pemaknaan hukum. Namun bukan berarti pemaknaan
yang diberikan oleh pembentuk hukum harus dipaksanakan sedemikian rupa,
sehingga di semua tempat harus direalisasikan sama persis dengan apa yang
dimaksud oleh para pembentuk hukum. Modifikasi- modifikasi oleh penerap hukum
dilapangan diperlukan sebatas semua itu dilakukan untuk menuju pemaknaan ideal
dari aturan hukum yang dimaksud.
b)
Unsur Struktural
Unsur structural adalah
berkaitan dengan lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi yang diperlukan
dalam penerapan hukum. Pentingnya unsur structural pada penerapan hukum ada dua
:
(1)
Organisasi atau isntitusi seperti apa yang tepat untuk melaksanakan
undang-undang tertentu.
(2) Bagaimana organisasi itu dapat
menjalankan tugasnya dengan baik.
Berkaitan dengan aspek
pemilihan organisasi atau institusi maka pengambilan keputusan harus ekstra
hati-hati untuk memilih organisasi atau institusi mana yang dianggap relevan
dengan produk hukum yang hendak diterapkan itu. Kemudian berkaitan dengan aspek
bagaimana organisasi yang telah ditunjuk mampu optimal dalam menjalankan
tugasnya, ini berkaitan dengan manajemen yang ada pada perusahaan. Tidak jarang
terjadi organisasi yang ditunjuk sudah tepat namun kinerja organisasi sangat
lemah dan tidak professional, sehingga tugas-tugas yang dibebankan tidak dapat
dijalankan dengan baik.
Kebijakan publik dalam
hal ini lebih berperan dalam bagaimana organisasi atau instansi pelaksana itu
seharusnya ditata dan bertindak agar tugas-tugas yang dibebankan hukum
kepadanya dapat dijalankan dengan baik. Menunjuk orang yang dipercaya untuk
mengendalikan organisasi tersebut harus dipilih yang mempunyai kemampuan dalam unsur
structural ini lebih dominan berposisi sebagai sebuah seni, yaitu bagaimana ia
mampu melaksanakan kreasi sedemikian rupa sehingga organisasi dapat tampil
dengan baik.
c)
Unsur Masyarakat
Unsur ini berkaitan
dengan kondisi sosial politik dan sosial ekonomi dari masyarakat yang akan
terkena dampak atas diterapkannya sebuah aturan hukum. Kondisi masyarakat yang
ada harus diselesaikan lebih dahulu demi terselenggara dan lancarnya penerapan
hukum.
d)
Unsur budaya
Dalam unsur ini ada dua
hal. Pertama: sedapat mungkin diupayakan bagaimana agar produk hukum atau
undang-undang yang dibuat itu dapat sesuai dengan budaya yang ada dalam
masyarakat. Kedua: bagaimana produk hukum yang tidak sesuai dengan budaya dalam
masyarakat dapat diterima masyarakat.
Disinilah kebijakan
publik akan sangat berperan. Namun harus diingat bahwa kebijakan publik yang
diambil harus berdasar hukum dibutuhkan improvisasi dan kreasi.
3) Evaluasi Kebijakan Publik
Evaluasi kebijakan
publik adalah suatu evaluasi yang akan menilai apakah kebijakan publik sudah
sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Evaluasi kebijakan publik adalah
sebagai hakim yang menentukan kebijakan yang ada telah sukses atau telah gagal mencapai
tujuan. Evaluasi publik juga sebagai dasar apakah kebijakan yang ada layak
diteruskan, direvisi, atau bahkan dihentikan sama sekali.
Evaluasi kebijakan
dibedakan dalam 3 (tiga) macam[56]:
a) Evaluasi Administratif
Evaluasi administrative
adalah evaluasi kebijakan publik yang dilakukan di dalam lingkup pemerintahan
atau instansi-instansi yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah yang terkait
dengan program tertentu.
b) Evaluasi yudisial
Evaluasi terhadap
kebijakan publik yang berkaitan dengan objek-objek hukum: apa ada pelanggaran
hukum atau tidak dari kebijakan yang dievaluasi tersebut. Yang melakukan
evaluasi yudicial adalah lembaga-lembaga hukum seperti pengacara, pengadilan,
kejaksaan, PTUN dan sebagainya.
c) Evaluasi Politik
Evaluasi politik pada
umumnya dilakukan oleh lembaga-lembaga politik, baik parlemen maupun parpol.
Namun sesungguhnya evaluasi politik bias juga dilakukan oleh masyarakat scara
umum.
D. Tindak
Pidana Kejahatan Kelompok Geng Motor
Kelahiran
geng motor, rata-rata diawali dari kumpulan remaja yang hobi balapan liar dan
aksi-aksi yang menantang bahaya pada malam menjelang dini hari di jalan raya.
Setelah terbentuk kelompok, bukan hanya hubungan emosinya yang menguat,
dorongan untuk unjuk gigi sebagai komunitas bikers juga ikut meradang. Mereka
ingin tampil beda dan dikenal luas. Caranya, tentu membuat aksi-aksi yang
sensasional. Mulai dari kebut-kebutan, tawuran antar geng, tindakan kriminal
tanpa pandang bulu mencuri di toko, hingga perlawanan terhadap aparat keamanan[57].
Dan hal tersebut dapat dikatakan suatu kejahatan geng motor yang merupakan
kejahatan yang sudah menjadi trending
topic dan banyak dilakukan oleh kaum remaja.
Semua kejahatan yang
dilakukan oleh geng motor sangat meresahkan masyarakat Kota Medan. Tidak hanya
pelanggaran ringan seperti pelanggaran lalu lintas, tetapi kejahatan seperti
pengerusakan fasilitas umum, bentrok antar sesama geng motor, penganiayaan yang
sampai merenggut nyawa orang lain, pemalakan, perampokan dan masih banyak
kejahatan-kejahatan lain yang dilakukan oleh kelompok geng motor ini yang sudah
sangat meresahkan masyarakat.
Tindakan
kejahatan penganiayaan yang dilakukan oleh geng motor khususnya di kota Medan
tentunya telah melanggar ketentuan hukum pidana yang berlaku di negara kita
ini. Yaitu yang tertulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 170 KUHP yang
mengatur tentang perkelahian yang dilakukan secara bersama-sama di muka umum
dan Pasal 351 yang mengatur tentang penganiayaan[58].
Tindakan penganiayaan
tersebut dapat juga disebut sebagai tindakan anarkis atau aksi brutal. Aksi
brutal merupakan bentuk pelanggaran hukum yang membahayakan keamanan dan
mengganggu ketertiban umum masyarakat, sehingga perlu dilakukan penindakan secara
cepat, tepat dan tegas dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip HAM serta sesuai
ketentuan hukum yang berlaku dan agar aksi dapat ditangani secara cepat dan
tepat untuk mengurangi dampak yang lebih luas, tugas peran Kepolisian harus
dikedepankan sebagai alat negara yang berperan dalam memeliham kamtibmas,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Keamanan adalah hak warga negara.
Hal ini secara jelas diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Pasal 28G ayat (1) yang berbunyi[59]:
“setiap orang berhak
atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda
yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi ”.
Keamanan warga negara haruslah
diwujudkan oleh negara sebagai fungsi
internalnya. Fungsi internal negara yaitu memelihara ketertiban umum,
ketentraman, keamanan, perdamaian dalam negara serta melindungi hak setiap
orang[60].
Negara mempunyai dua institusi
penting dalam usaha menjaga keamanan dan ketertiban negara. Kedua institusi
tersebut yaitu Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia.
Tentara bertugas menjaga kedaulatan negara dari ganguan yang berasal dari luar
maupun yang dari dalam. Sedangkan polisi bertugas menjaga keamanan dan
ketertiban internal negara[61].
Peran kedua lembaga ini diamanatkan dalam Undang Dasar Negara Republik
Indonesia pasal 30 ayat (2) yang berbunyi[62]:
“usaha pertahanan dan
keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat
semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisisan Negara Republik
Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”.
Kepolisian Republik Indonesia dan
struktur dibawahnya sebagai institusi yang bertugas menjaga keamanan dan
ketertiban internal negara, dalam menjalankan tugas dan fungsinya nampaknya
belum maksimal. Hal ini terlihat dengan keadaan internal negara yang masih
belum aman secara menyeluruh[63].
Indonesia Police Watch[64] melansir
bahwa ditengah-tengah masyarakat saat ini muncul fenomana Geng Motor dengan
aksi anarkis yang meresahkan masyarakat. Indonesian Police Watch
menyarankan pihak Kepolisian segera membentuk tim pemburu geng motor yang
minggu-minggu ini meresahkan masyarakat. Tim pemburu geng motor dianggap
efektif dalam memberantas kejahatan dan tindak kriminal yang dilakukan geng
motor.
Sangat banyak faktor
penyebab remaja terjerumus ke dalam kawanan geng motor. Namun, salah satu
penyebab utama mengapa remaja memilih bergabung dengan geng motor adalah
kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua. Hal ini bisa jadi disebabkan
oleh terlalu sibuknya kedua orang tua mereka dengan pekerjaan, sehingga
perhatian dan kasih sayang kepada anaknya hanya diekspresikan dalam bentuk
materi saja. Padahal materi tidak dapat mengganti dahaga mereka akan kasih
sayang dan perhatian orang tua.
Pada dasarnya setiap orang
menginginkan pengakuan, perhatian, pujian, dan kasih sayang dari lingkungannya,
khususnya dari orang tua atau keluarganya, karena secara alamiah orang tua dan
keluarga memiliki ikatan emosi yang sangat kuat. Pada saat pengakuan,
perhatian, dan kasih sayang tersebut tidak mereka dapatkan di rumah, maka
mereka akan mencarinya di tempat lain. Salah satu tempat yang paling mudah
mereka temukan untuk mendapatkan pengakuan tersebut adalah di lingkungan teman
sebayanya. Sayangnya, kegiatan-kegiatan negatif kerap menjadi pilihan anak-anak
broken home tersebut sebagai cara untuk mendapatkan pengakuan
eksistensinya.
Faktor lain yang juga ikut berperan menjadi
alasan mengapa remaja saat ini memilih bergabung dengan geng motor adalah
kurangnya sarana atau media bagi mereka untuk mengaktualisasikan dirinya secara
positif.
Remaja pada umumnya, lebih
suka memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Namun, ajang-ajang lomba balap
yang legal sangat jarang digelar. Padahal, ajang-ajang seperti ini sangat besar
manfaatnya, selain dapat memotivasi untuk berprestasi, juga sebagai ajang
aktualisasi diri. Karena sarana aktualisasi diri yang positif ini sulit mereka
dapatkan, akhirnya mereka melampiaskannya dengan aksi ugal-ugalan di jalan umum
yang berpotensi mencelakakan dirinya dan orang lain[65].
Faktor lain yang juga ikut berperan yaitu kurangnya
sarana atau media bagi mereka untuk mengaktualisasikan dirinya secara positif.
Remaja pada umumnya lebih suka memacu kendaraan dengan kecapatan tinggi. Namun,
ajang- ajang lomba balap yang legal sangat jarang digelar. Padahal, ajang-ajang
seperti ini sangat besar manfaatnya, selain dapat memotifasi untuk berprestasi,
juga sebagai ajang aktualisasi diri. Karena sarana aktualisasi diri yang
positif ini sulit mereka dapatkan, akhirnya mereka melampiaskan dengan aksi
ugal-ugalan di jalan umum yang berpotensi mencelakakan dirinya dan orang lain[66].
E.
Kebijakan Polresta Medan terhadap
Tindak Pidana Kejahatan Geng Motor
Kepolisian Negara Republik Indonesia
Daerah (Polda) merupakan satuan
pelaksana utama Kewilayahan yang berada di bawah Kapolri. Polda bertugas
menyelenggarakan tugas Polri pada tingkat kewilayahan. Polda dipimpin oleh
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Kapolda), yang bertanggung jawab kepada Kapolri. Kapolda dibantu
oleh Wakil Kapolda (Wakapolda)[67].
Polda membawahi Kepolisian Negara Republik Indonesia Resor (Polres). Polres, membawahi Kepolisian
Negara Republik Indonesia Sektor.
Kepolisian Resort (disingkat Polres) adalah struktur komando Kepolisian Republik Indonesia
di daerah kabupaten/kota.
Kepolisian Resort di wilayah perkotaan biasa disebut "Kepolisian Resort
Kota" (Polresta) atau "Kepolisian Resort Kota Besar"
(Polrestabes). Kepolisian Resort dikepalai oleh seorang Kepala Kepolisian
Resort (Kapolres), Kepolisian Resort Kota dikepalai oleh seorang Kepala
Kepolisian Resort Kota (Kapolresta) dan Kepolisian Resort Kota Besar dikepalai
oleh seorang Kepala Kepolisian Resort Kota Besar (Kapolrestabes).
Adapun tugas dan fungsi
Kepolisian yang dimuat dalam Undang-Undang Kepolisian No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat[68].
Seperti
halnya didalam pergaulan masyarakat, setiap hari terjadi hubungan antara
anggota-anggota masyarakat yang satu dengan lainnya. Pergaulan tersebut
menimbulkan berbagai peristiwa atau kejadian yang dapat menggerakkan peristiwa
hukum[69].
Hal ini pula yang kemudian mempengaruhi semakin beragamnya motif kejahatan dan
tindak pidana yang terjadi saat ini. Dari sekian banyak motif kejahatan dan
tindakan kriminal, salah satu hal yang cukup banyak menarik perhatian adalah
tindak kriminal yang dilakukan oleh geng motor.
Kejahatan
yang dilakukan oleh geng motor, pada dasarnya dapat ditekan jumlahnya. Tetapi
untuk menghilangkannya sangatlah sulit. Oleh karena itu, usaha aparat penegak
hukum khususnya Kepolisian Polresta Medan Sumatera Utara dalam menanggulangi tingkat
perkembangan kejahatan yang dilakukan geng motor dapat dilakukan dengan upaya
preventif dan represif.
Dalam menegakkan hukum pidana, cara penanggulangan atau
penegakan, baik bersifat preventif maupun bersifat represif harus selalu
melibatkan aparat penegak hukum dengan disertai peran aktif masyarakat.
Penanggulangan kejahatan yang bersifat preventif ini juga merupakan tindakan
pencegahan sebelum terjadinya suatu kejahatan. Tindakan preventif ini berusaha
memberantas kejahatan itu dengan jalan menghilangkan
segala sesuatu yang menjadi penyebab terjadinya suatu kejahatan. Dengan kata
lain, kesempatan pelaku yang dicegah.
Dalam
wawancara dengan Iptu S. Sitanggang dengan jabatan Urbin Ops. Sat. Reskrim
Polresta Medan menerangkan bahwa tindakan preventif yang dilakukan oleh Kepolisian
Polresta Medan, antara lain:
1)
Meningkatkan penanganan terhadap daerah yang rawan terjadinya kejahatan;
2)
Melaksanakan kegiatan-kegiatan patroli secara rutin;
3)
Mengadakan penggerebekan terhadap para penjual minuman keras;
4)
Menghimbau kepada seluruh lapisan masyarakat agar secepatnya melaporkan kepada
pihak yang berwajib, apabila terjadi suatu kejahatan yang dilakukan oleh geng
motor;
5) Mengadakan penyuluhan di setiap sekolah[70].
Sementara
upaya penanggulangan kejahatan geng motor dengan bersifat represif merupakan
usaha-usaha yang dilakukan setelah suatu kejahatan terjadi. Tindakan ini dapat
berupa penangkapan, penahanan, dengan menjatuhkan pidana dan menempatkan dalam
lembaga permasyarakataan. Tujuan pemidanaan terhadap perbuatan suatu kejahatan,
untuk memperbaiki tingkah lakunya yang menyimpang dari norma-norma yang hidup
dan dijunjung tinggi oleh masyarakat. Baik norma agama, adat, maupun norma
hukum. Pembinaan merupakan tindakan yang efektif agar seseorang pembuat sesuatu
kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma
yang hidup dalam masyarakat.
Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran[71]
tentang tujuan yang ingin dicapai dalam suatu pemidanaan, yaitu:
1. Untuk memperbaiki
pribadi terpidana
2. Untuk memmbuat orang
menjadi jera untuk melakukan kejahatan
3. Untuk
membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan
yang lain, setelah mereka bebas dari tahanannya.
Adapun upaya represif untuk menanggulangi kejahatan yang
dilakukan oleh geng motor, anggota Polresta Medan Sumatera Utara dan jajarannya
melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
1. Melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap tersangka
kejahatan.
2. Mengadakan pemeriksaan terhadap
tersangka beserta barang bukti upaya lainnya dalam rangka penyidikan kasus
tersebut, dan selanjutnya berkas perkaranya akan dilimpahkan ke Kejaksaan
Negeri untuk diproses selanjutnya. Setelah keluar putusan Pengadilan Negeri,
selanjutnya terdakwa dikirim ke Lembaga Pemasyarakatan untuk diberikan
pembinaan-pembinaan dengan tujuan memperbaiki perilaku tersebut.
Tetapi
pada kasus tindak pidana kejahatan yang dilakukan geng motor memang merupakan
kasus tindak pidana yang sulit diberantas, apalagi semakin maju dan
berkembangnya teknologi canggih, kejahatan yang dilakukan geng motor pun
berlangsung secara terangterangan. Contoh kasus seperti yang terjadi di Jalan
S.Parman Medan[72],
terjadi pada tanggal 17 Februari 2014 jam 01.00 WIB dengan kronologi para tersangka
melakukan perampasan sepeda motor milik korban yang bernama Muhammad Iqbal
Ramadhan. Kepala
korban dihantam kayu broti sebelum sepeda motornya dirampas. Kemudian geng
motor ini kembali melakukan kejahatan di Jl. Ahmad Yani Medan, sekitar setengah
jam kemudian. Ada dua sepeda motor yang dirampas yakni, Yamaha Mio milik
Muhammad Ayub Natawijaya dan Kawasaki Ninja milik Yudi Pranata. Korban
kejahatan yang dilakukan geng motor tersebut langsung melaporkan hal tersebut ke
polisi. Dibantu masyarakat setempat, polisi kemudian meringkus kelompok geng
motor tersebut. Diduga, kelompok ini sudah berulangkali melakukan kejahatan
perampokan sepeda motor. Para pelaku yang dijadikan tersangka itu adalah
anggota geng motor Komuniti Medan Sexy (KMS). Mereka adalah Lerry Tarantino
(17) warga Brigjen Katamso Komplek Rispa No 22 dan Rudi Andriyan (23) warga
Jalan Sakti Lubis Gang Bengkel No 22. Selain itu, Boby Sopian (16) warga Jalan
Sakti Lubis Gang Bengkel No 20, Rudi Pratama Sagala (23) warga Jalan Sakti
Lubis Gang Bali No 4, Putra Maulana (21)
warga Jalan Sakti Lubis Gang Selamat No 1, dan Andi Mei Rizal Tanjung (29) warga Jalan Karya Muda No 12 Pangkalan Masyhur. Modus kejahatan para pelaku dengan cara mengepung korbannya saat mengendarai sepedamotor. Upaya ini dilakukan kelompok ini supaya korban tidak bisa melarikan diri. Setelah itu, dua di antara pelaku kemudian menghantamkan kayu balok ke kepala korbannya.
warga Jalan Sakti Lubis Gang Selamat No 1, dan Andi Mei Rizal Tanjung (29) warga Jalan Karya Muda No 12 Pangkalan Masyhur. Modus kejahatan para pelaku dengan cara mengepung korbannya saat mengendarai sepedamotor. Upaya ini dilakukan kelompok ini supaya korban tidak bisa melarikan diri. Setelah itu, dua di antara pelaku kemudian menghantamkan kayu balok ke kepala korbannya.
Aksi kejahatan jalanan yang semakin
marak tersebut yang dilakukan oleh geng motor di Kota Medan mulai membuat pihak
Kepolisian semakin gerah. Maka dibutuhkan suatu kebijakan dari pihak
kepolisian. Oleh karena itu Kapolresta Medan, Kombes Nico Afinta Karo Karo
membuat suatu kebijakan yaitu “tembak ditempat para pelaku kejahatan geng
motor”. Hal tesebut didukung oleh Polda Sumut atas kebijakan dan tindakan tegas
Kapolresta Medan Kombes Pol. Drs. Nico Afinta
Karo-Karo tersebut.
Dan tindakan
tegas yang dilakukan Polresta Medan tersebut sudah dibuktikan dengan menembak
sejumlah penjahat dan untuk mengantisipasi terjadinya kejahatan, Polresta Medan
mengatensis titik titik rawan.
Namun
bagaimanapun juga tindakan yang dilakukan polisi kepada para pelaku kejahatan, jika
tidak didukung masyarakat, maka tidak akan berjalan sesuai harapan masyarakat.
Oleh
karena itu, masyarakat tidak boleh apatis jika melihat terjadinya kejahatan.
Namun harus bersama-sama mengantisipasi atau menangkap pelaku dan tidak boleh main
hakim sendiri. Semua akan diproses melalui proses hukum. Tindakan yang
dilakukan pihak Kepolisian telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan
tidak ada terjadi pelanggaran.
F.
Kebijakan Penal dan Non Penal
Pada
hakikatnya kebijakan dalam penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua
pendekatan, yaitu kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal
policy) dan kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana
diluar hokum pidana (non penal policy).
Dalam
penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti[73]:
1. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik criminal
dan politik social;
2. Ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan,
penal dan non penal.
Pada dasarnya penal
policy lebih menitik beratkan pada tindakan represif setelah terjadinya
suatu tindak pidana, sedangkan non penal
policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya tindak
pidana. Menurut pandangan dari sudut politik
kriminal secara makro, non penal policy merupakan
kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu
dikarenakan non penal policy lebih
bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya suatu tindak pidana.
Kebijakan
untuk menggunakan sarana-sarana penal didalam menanggulangi tindak pidana
kejahatan yang dilakukan geng motor pada dasarnya lebih menitik beratkan pada
tindakan represif. Usaha dan/atau upaya represif dilakukan setelah terjadinya
peristiwa pidana dengan menjatuhkan hukuman yang berat bagi si pelaku atau
dengan mengasingkan di suatu tempat tertentu.
Tindakan
terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana kejahatan terutama kejahatan
yang dilakukan geng motor yaitu berupa hukuman, maka hal ini juga merupakan
penanggulangan bagi orang lain yang mungkin akan melakukan kejahatan tindak
pidana agar tidak melakukannya lagi karena akibatnya akan dihukum. Namun dalam
upaya represif ini perlu diperhatikan dengan baik sebelum memberikan hukuman.
Upaya
pencegahan ini berarti bahwa hukum pidana juga harus menjadi salah satu
instrumen pencegahan yang kemungkinan terjadinya kejahatan. Ini juga berarti
bahwa penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk
mencegah sebelum suatu kejahatan terjadi.
Dengan
demikian pada intinya kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu hukum pidana yang dapat dirumuskan
dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan
legislatif), kebijakan yudikatif, dan pelaksana hukum pidana (kebijakan
eksekutif).
Berpedoman
pada hukum pidana dan hukum acara pidana dan berbagai Undang-Undang Khusus,
antara lain:
1.
Undang-Undang
No. 8 tahun 1981;
2.
Peraturan
Pemerintah No. 27 tahun 1983;
3.
Undang-Undang
No. 28 tahun 1997;
4.
KUHP
Pasal 170 yang mengatur tentang perkelahian yang dilakukan secara bersama-sama
di muka umum; dan
5.
KUHP
Pasal 351 yang mengatur tentang tindak pidana penganiayaan berat;
6.
KUHP
Pasal 352 ayatt (1) tentang tindak pidana penganiayaan ringan.
Dalam
upaya pencegahan (represif) tindak pidana kejahatan yang dilakukan kelompok
geng motor di kota Medan, maka upaya penal yang dilakukan pihak Kepolisian
POLRESTA Sumatera Utara berdasarkan wawancara[74],
adalah sebagai berikut:
1.
Melakukan
penyelidikan terhadap pelaku tindak pidana kejahatan;
2.
Melakukan
penyelidikan terhadap pelaku kejahatan;
3.
Melakukan
penyelidikan menyeluruh terhadap suatu tindak pidana khususnya tindak pidana
kejahatan penganiayaan, pencurian maupun pembunuhan, kemudian menindak sesuai
prosedur;
4.
Melakukan
tindakan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
5.
Melakukan
LIDIK dan tindak pelaku dengan hukum yang sesuai dengan KUHP;
6.
Melakukan
Penyidikan dan mengharapkan memvonis pelaku semaksimal mungkin sesuai dengan
prosedur yang ada (objektif) agar ada efek jera serta diberikan pembenahan
mental agar si pelaku sadar.
Pada
dasarnya non penal policy lebih
menitik beratkan pada tindakan preventif yaitu usaha untuk mencegah jauh
sebelum terjadi kejahatan. Yaitu bagaimana upaya-upaya yang harus dilakukan
sebelum terjadi kejahatan itu. Mencegah adalah lebih baik daripada mengobati untuk
menyembuhkan suatu penyakit.
Oleh
karena itu, upaya preventif adalah usaha yang baik untuk menanggulangi kejahatan
maka perlu adanya kerjasama yang baik dari aparat pemerintah, penegak hukum,
dan masyarakat dalam mencegah terjadinya kejahatan. Selama ini kota Medan kerjasamanya
tersebut belum kelihatan dimana penanggulangan tindak pidana kejahatan yang
dibuat oleh kelompok geng motor tersebut selalu dilimpahkan kepada penegak
hukum saja yaitu kepolisian, kejaksaan dan hakim.
Upaya
preventif yang dilakukan oleh pihak kepolisian POLRESTA Medan adalah sebagai
berikut:
1.
Upaya
pencegahan kejahatan
Preventif disini dimaksudkan sebagai
suatu usaha pencegahan tindak pidana kejahatan yang dilakukan oleh kelompok
geng motor sebelum tindak pidana kejahatan tersebut terjadi.
a.
Pendidikan nilai-nilai moral bagi
remaja, yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan dan ahli agama.
Pendidikan
nilai-nilai moral saat ini sangat dibutuhkan mengingat perkembangan zaman dan
teknologi yang semakin jauh sehingga dibutuhkan pendidikan nilai-nilai moral
bagi remaja yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan dan ahli agama agar para
remaja dibekali dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai moral sehingga menjadi
manusia yang takut akan TUHAN dan mematuhi juga mentaati peraturan hukum yang
telah dibuat oleh Pemerintah.
b.
Mengadakan peyuluhan kepada masyarakat oleh
pihak aparat penegak hukum (polisi) yaitu melalui kepala lingkungan tentang
masalah lingkungan yang rawan tindak pidana kejahatan yang dilakukan oleh
kelompok geng motor.
Penyuluhan dilakukan oleh aparat penegak
hukum khususnya polisi kepada masyarakat
akan pentingnya kerjasama masyarakat dengan aparat penegak hukum melalui kepala
desa/kepala lingkungan tentang masalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan
kelompok geng motor.
c.
Setiap kasus atau perkara harus
diselesaikan seadil-adilnya hingga tuntas dengan melaksanakan undang-undang
yang berlaku.
Hendaknya
setiap kasus kejahatan yang dilakukan geng motor dapat diselesaikan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku hingga tuntas dan dilakukan dengan
seadil-adilnya agar tidak terjadi kasus yang sama karena pelaku merasa jera
serta masyarakat merasa aman dan tentram.
d.
Mengadakan penggalangan dengan tokoh
agama, pemuda dan tokoh masyarakat.
Penggalangan
yang dilakukan dengan tokoh agama, pemuda dan tokoh masyarakat merupakan usaha
yang dilakukan polisi untuk mencegah terjadinya kejahatan yaitu tokoh agama dan
tokoh masyarakat akan sangat dihormati sehingga warga dapat mentaati segala apa
yang disampaikan oleh tokoh-tokoh tersebut, serta tokoh pemuda yang sangat
berperan aktif dalam penjagaan keamaanan lingkungannya masing-masing.
2.
Pengawasan
Kejahatan
Upaya
pengawasan kejahatan yang dilakukan[75],
antara lain:
a.
Meningkatkan dinas patroli dari pihak
petugas keamanan pengawasan dan razia lebih intensif terutama pada lingkungan
yang rawan (Samapta, Reserse, Satreskrim, Intelkam dan Sat. Narkoba);
b.
Pemantapan sistem keamanan lingkungan
atau Siskamling yang harus digalakkan di setiap daerah;
c.
Mengoptimalkan POLMAS (program dari
Kepolisian);
d.
Melakukan pembinaan penyuluhan pada
masyarakat melalui kepala lingkungan.
Kondisi
sosial yang ditengarai sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan, seperti
yang dikemukakan diatas adalah masalah-masalah yang dulit dipecahkan bila hanya
mengandalkan pendekatan penal semata.
Oleh
karena itu, pemecahan masalah diatas harus didukung oleh pendekatan non penal
berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.
BAB IV
PENERAPAN DAN PENEGAKAN sanksi Pidana terhadap TINDAK PIDANA Kejahatan
Kelompok Geng Motor
a. Sanksi
Pidana
Dalam Pasal 1 KUHP juga mengatakan
bahwa perbuatan yang pelakunya dapat dipidana/dihukum adalah perbuatan yang
sudah disebutkan didalam perundang-undangan sebelum perbuatan itu dilakukan.
Pidana adalah hukuman yang dijatuhkan
atas diri seseorang yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana[76].
Hukum merupakan himpunan
peraturan-peraturan (perintah dan larangan) yang dibuat oleh penguasa negara
atau pemerintah untuk mengatur tingkah laku manusia dalam bermasyarakat,
bersifat memaksa, dan memiliki sanksi yang harus dipatuhi oleh masyarakat.
Menurut “Black's
Law Dictionary Seventh Edition”, sanksi (sanction) adalah:
“A penalty or coercive measure that results from failure to
comply with a law, rule, or order (a sanction for discovery abuse)”
Di Indonesia, secara umum, dikenal
sekurang-kurangnya tiga jenis sanksi hukum yaitu:
1. sanksi hukum pidana
2.
sanksi
hukum perdata
3.
sanksi
administrasi/administratif
Sanksi pidana Menurut R. Soesilo,
adalah:
“Suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim
dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana”
Adapun sifat atau ciri dari
sanksi pidana yaitu[77]:
a) Adanya
perintah dan larangan.
b) Perintah dan
larangan itu harus diputuhi atau ditaati oleh setiap orang.
c) Memiliki
sifat mengatur dan memaksa;
Dikatakan yang bersifat
mengatur yaitu karena hukum memuat peraturan-peraturan berupa perintah dan
larangan yang mengatur tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat demi
terciptanya ketertiban dalam masyarakat. Sementara yang dimaksud dengan sifat
memaksa yaitu karena hukum dapat memaksa anggota masyarakat untuk mematuhinya.
Apabila melanggar hukum akan menerima sanksi yang tegas.
Dalam perilaku sosial, tindak
kejahatan merupakan prilaku menyimpang, yaitu tingkah laku yang melanggar atau
menyimpang dari aturan-aturan pengertian normatif atau dari harapan-harapan
lingkungan sosial yang bersangkutan. Dan salah satu cara untuk mengendalikan
adalah dengan sanksi pidana.
Hakikat
dari sanksi pidana adalah pembalasan, yang bersifat
penderitaan dan siksaan. Hal itu dikarenakan bahwa hukuman tersebut dimaksudkan
sebagai hukuman terhadap pelanggaran, yang dilakukan oleh seseorang terhadap
kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana. Adapun kepentingan hukum
tersebut adalah hidup, jasmani, kehormatan, kebebasan dan hak milik.
Sedangkan tujuan sanksi pidana adalah
penjeraan baik ditujukan pada pelanggar hukum itu sendiri maupun pada mereka
yang mempunyai potensi menjadi penjahat. Selain itu juga bertujuan melindungi masyarakat
dari segala bentuk kejahatan dan pendidikan atau perbaikan bagi para penjahat.
Adapun sanksi tindak pidana
pembunuhan sesuai dengan KUHP bab XIX buku II adalah sebagai berikut :
1.
Pembunuhan biasa, diancam dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
2.
Pembunuhan dengan pemberatan,
diancam dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara
selama-lamanya dua puluh tahun
3.
Pembunuhan berencana, diancam dengan
hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya
dua puluh tahun
4.
Pembunuhan bayi oleh ibunya, diancam
dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun
5.
Pembunuhan bayi oleh ibunya secara
berencana, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun
6.
Pembunuhan atas permintaan sendiri,
bagi orang yang membunuh diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua
belas tahun
7.
Penganjuran agar bunuh diri, jika
benar-benar orangnya membunuh diri pelaku penganjuran diancam dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat tahun.
Dasar
hukum atas sanksi hukum pidana yaitu kejahatan. Kejahatan sebagai dasar bahwa
hukuman itu harus dianggap sebagai “pembalasan”, “imbalan” terhadap orang yang
melakukan perbuatan jahat. Seperti halnya kejahatan yang dilakukan geng motor,
semua telah diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Pengertian sanksi pada umumnya adalah alat pemaksa agar seseorang
mentaati norma-norma yang berlaku[78]. Sanksi dalam bahasa Indonesia
diambil dari bahasa Belanda “sanctie”. Dalam konteks hukum, sanksi berarti hukuman yang dijatuhkan
oleh pengadilan. Sedangkan dalam konteks sosiologi, sanksi dapat berarti
kontrol sosial. Sanksi dalam
hukum pidana yang berupa pidana merupakan sanksi negatif dan hal inilah yang membedakan
sanksi hukum pidana dengan sanksi-sanksi hukum lain.
Sanksi pidana dalam perundang-undangan
kita adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 10 KUHP, hukuman itu
terdiri dari hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman pokok terdiri dari
hukuman mati, hukuman penjara yang dapat berupa hukuman seumur hidup dan
hukuman sementara waktu, hukuman kurungan dan hukuman denda. Sementara hukuman
tambahan dapat berupa pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang
tertentu, dan pengumuman keputusan hakim. Ketentuan hukum pidana mencakup
ketentuan hukum pidana materiel maupun ketentuan hukum pidana formil. Untuk
beberapa hal ketentuan tersebut merupakan pengaturan tersendiri di luar
ketentuan umum yang terdapat dalam KUHAP maupun dalam KUHP.
Pidana berasal kata straf (Belanda),
yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari
istilah hukuman karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II Cetakan IX, pengertian pidana adalah hukum kejahatan (hukum
untuk perkara kejahatan/kriminal)[79].
Istilah ”hukuman” untuk
menyebut ”pidana” dan
merumuskan bahwa huuman adalah suatu perasaan tidak enak/sengsara yang
dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar
undang-undang hukum pidana[80].
Sudarto mendefenisikan dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
B. Penerapan
Sanksi Pidana
Perbedaan Hukum Pidana dengan bidang
hukum lain ialah sanksi Hukum Pidana merupakan pemberian ancaman penderitaan
dengan sengaja dan sering juga pengenaan penderitaan[81].
Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap Hukum Pidana itu sebagai ultimum
remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia,
terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak
melakukan kejahatan. Oleh karena sanksinya bersifat penderitaan istimewa, maka
penerapan hukum pidana sedapat mungkin dibatasi dengan kata lain penggunaannya
dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain tidak memadai lagi[82].
Istilah ultimum remedium
digunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan seorang
anggota parlemen bernama Meckay dalam rangka pembahasan rancangan KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana), yang antara lain menyatakan bahwa:
“Asas tersebut ialah bahwa yang boleh
dipidana yaitu mereka yang menciptakan “wederrechtelijk (perbuatan
melawan hukum)[83]”.
Hal ini merupakan condito sine qua non[84].
Bahwa syarat yang harus ditambahkan ialah bahwa perbuatan melawan hukum itu
menurut pengalaman tidaklah dapat ditekan dengan cara lain. Pidana itu haruslah
tetap merupakan upaya yang terakhir. Pada dasarnya terhadap setiap ancaman
pidana terdapat keberatan-keberatan. Setiap manusia yang berakal dapat juga
memahaminya sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa pemidanaan
harus ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian tentang keuntungan dan
kerugiannya pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang
diberikan lebih jahat dari pada penyakit”.
Memang harus diakui pula, bahwa
tidak semua sarjana hukum memandang pidana itu sebagai ultimum remedium.
Misalnya L.H.C. Hulsman[85]
dalam pidato penerimaan jabatannya sebagai Guru Besar di Rotterdam pada tahun
1965 dan dalam pidato perpisahannya di Leiden mengemukakan bahwa Hukum Pidana
sama halnya dengan hukum lain bertujuan untuk mempertahankan hukum, dan oleh
karenanya Hukum Pidana itu tidak mempunyai sifat yang berdiri sendiri.
Jadi sebagaimana yang telah
diuraikan di atas, bahwa dalil ultimum remedium ini diperlukan untuk
mempertimbangkan dahulu penggunaan sanksi lain sebelum sanksi pidana yang keras
dan tajam dijatuhkan, apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru
dipergunakan Hukum Pidana. Berkaitan dengan karakteristik Hukum Pidana dalam
konteks ultimum remedium ini bahwa penegakan Hukum Pidana dengan sanksi
yang keras dan tajam tetap harus diusahakan agar sedapat mungkin mengurangi
penderitaan bagi pelaku. Dan mengenai penerapan ultimum remedium dalam
penjatuhan sanksi pidana oleh hakim dapat mengakomodasi kepentingan pelaku
tindak pidana, setiap kegiatan yang mengacu kepada penerapan prinsip penjatuhan
pidana penjara sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) tersebut sangat
mendukung pelaku tindak pidana, karena sebelum sanksi pidana yang keras
dijatuhkan, penggunaan sanksi lain seperti sanksi administrasi dan sanksi
perdata didahulukan sehingga ketika fungsi sanksi-sanksi hukum tersebut kurang,
baru dikenakan sanksi pidana.
Namun melihat sisi lainnya melalui
pendapat Van Bemmelen bahwa penerapan ultimum remedium ini harus diartikan
“upaya” (middel), bukanlah sebagai
alat untuk memulihkan ketidakadilan atau untuk memulihkan kerugian, melainkan
upaya untuk memulihkan keadaan yang tidak tenteram di dalam masyarakat, yang
apabila tidak dilakukan sesuatu terhadap ketidakadilan itu, dapat menyebabkan
orang main hakim sendiri.
Seperti yang telah kami paparkan
bahwa sanksi pidana merupakan “obat terakhir” (ultimum remedium)
dari rangkaian tahapan penegakan suatu aturan hukum. “Obat terakhir” ini
merupakan jurus pamungkas jika mekanisme penegakan pada bidang hukum lain
tidak bekerja efektif. Namun, dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia,
sanksi pidana dalam beberapa kasus tertentu bergeser kedudukannya. Tidak
lagi sebagai ultimum remedium melainkan sebagai primum remedium
(obat yang utama). Ketentuan pengaturan mengenai sanksi pidana sebagai primum
remedium ini dapat dilihat dalam UU mengenai terorisme dan tindak pidana
korupsi.
Dari perspektif sosiologis hal ini
dikarenakan perbuatan yang diatur dalam dua UU tersebut merupakan tindakan yang
“luar biasa” dan besar dampaknya bagi masyarakat. Sehingga dalam hal ini tidak
lagi mempertimbangkan penggunaan sanksi lain, karena mungkin dirasa sudah tepat
apabila langsung menggunakan atau menjatuhkan sanksi pidana terhadap para pelaku
tindak pidana tersebut. Dan kini faktanya sanksi pidana itu bukan merupakan
“obat terakhir” (ultimum remedium) lagi, banyak perbuatan-perbuatan
yang bertentangan dengan aturan Undang-Undang yang berlaku dan masyarakat
merasa dirugikan, maka yang diberlakukan adalah sanksi pidana sebagai pilihan
utama (premium remedium). Misalnya penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku
kejahatan yang dilakukan geng motor yang rata-rata pelaku merupakan anak-anak
yang melakukan pencurian atau perbuatan melawan hukum lainnya, adalah tidak
mudah untuk menerapkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium bagi mereka,
mengingat adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
membolehkan adanya pejatuhan pidana penjara terhadap anak yang berumur 12-18
tahun, kemudian masyarakat menganggap keadilan tidak ditegakkan apabila anak
yang melakukan kejahatan tidak dipidana, dan masyarakat menganggap bahwa
siapapun yang melakukan suatu tindak pidana maka wajib dikenai sanksi berupa
pidana penjara agar pelaku jera dan tidak mengulangi perbuatannya, hakim masih
sering menganggap anak sebagai penjahat yang harus dibalas agar jera dan tidak
mengulangi perbuatannya.
Jadi melihat hal tersebut di atas,
bahwa dalam perkembangannya penerapan dalil ultimum remedium ini sulit
diterapkan karena masih banyak mengalami kendala-kendala, dan faktor-faktor
lain salah satunya adalah karena Hukum Pidana memiliki UU yang mengatur setiap
tindak kejahatan dan pelanggaran dan tentunya di dalam penerapan sanksi Hukum
Pidana tersebut tidak mengenal kompromi atau kata damai.
C. Penegakan Hukum
Pidana Terhadap Tindak Pidana Kejahatan Geng Motor
Hukum merupakan sarana yang
didalamnya terkandung nilai-nilai atau konsep-konsep tentang keadilan,
kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya. Kandungan hukum ini bersifat
abstrak. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan
ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak itu. Penegakan hukum merupakan usaha
untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan.[86]
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan
nilai yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan memepertahankan
kedamaian pergaulan hidup.[87]
Penegakan hukum secara konkret adalah
berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut ditaati.
Oleh karena itu, memberikan keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan
perkara dengan menerapkan hukum dan menemukan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum
materiil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.[88]
Jika hakikat penegakan hukum itu mewujudkan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang
memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari
penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari
setiap orang.
Penegakan hukum merupakan suatu proses
yang melibatkan banyak hal. Oleh karena itu, keberhasilan penegakan hukum akan
dipengaruhi oleh hal-hal tersebut. Secara umum, sebagaimana dikemukakan oleh
Soerjono Soekanto, ada lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu:[89]
a.
faktor
hukum sendiri;
b.
faktor
penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum;
c.
faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d.
faktor
masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
e.
faktor
kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Kelima
faktor tersebut diatas saling berkaitan dengan eratnya, karena merupakan
essensi dari penegakan hukum serta juga merupakan tolak ukur daripada
efektivitas penegakan hukum. Pada tulisan Soerjono Soekanto mengatakan bahwa
agar hukum dapat berfungsi dengan baik diperlukan keserasian dalam hubungan
atara empat faktor, yakni sebagai berikut:[90]
a.
Hukum
atau peraturan itu sendiri;
Kemungkinannya adalah bahwa
terjadi ketidakcocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidang
kehidupan tertentu. Kemungkinan lainnya adalah ketidakcocokan antara peraturan
perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Kadangkala
ada ketidakserasian antara hukum tercatat dengan hukum kebiasaan, dan
seterusnya.
b.
Mentalitas
petugas yang menegakan hukum penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi,
jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan, dan seterusnya.Apabila peraturan
perundang-undangan sudah baik, tetapi mental penegak hukum kurang baik, maka
akan terjadi gangguan pada sistem penegakan hukum;
c.
Fasilitas
yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum. Kalau peraturan
perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik, akan tetapi
fasilitas kurang memadai (dalam ukuran tertentu), maka penegakan hukum tidak
akan berjalan dengan semestinya;
d.
Kesadaran
hukum, kepatuhan hukum dan perilaku warga masyarakat.
Keempat
faktor tersebut diatas saling berkaitan dan merupakan inti dari sistem
penegakan hukum. Apabila kempat faktor tersebut ditelaah dengan teliti, maka
akan dapat terungkapkan hal yang berpengaruh terhadap sistem penegakan hukum.
Dalam kaitan ini, Satjipto Rahardjo
mengemukakan bahwa agar hukum berjalan atau dapat berperan dengan baik dalam
kehidupan masyarakat, maka harus diperhatikan hal-hal berikut ini[91]:
a.
Mengenal
problem yang dihadapi sebaik-baiknya;
b.
Memahami
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat;
c.
Membuat
hipotesis-hipotesis dan memilih yang paling layak untuk dapat dilaksanakan;
d.
Mengikuti
jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.
J.B.J.M. ten Berge menyebutkan beberapa
aspek yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan dalam rangka penegakan
hukum, yaitu sebagai berikut[92]:
a. Suatu
peraturan harus sedikit mungkin membiarkan ruang bagi perbedaan interpretasi;
b. Ketentuan perkecualian harus dibatasi secara minimal;
c. Peraturan
harus sebanyak mungkin diarahkan pada kenyataan yang secara objektif dapat
ditentukan;
d. Peraturan
harus dapat dilaksanakan oleh mereka yang terkena peraturan tersebut dan mereka
yang dibebani dengan tugas penegakan hukum.
Dari uraian diatas, maka penulis akan membahas mengenai
penegakan hukum pidana. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang
berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk[93]:
-
Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang
tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi
berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut
-
Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa
kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau
dijatuhi pidana sebagaimanayang telah diancamkan
-
Menentukan dengan cara bagaimana
pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.
Dalam
ilmu hukum ada perbedaan antara istilah “pidana” dengan istilah “hukuman”.
Sudarto mengatakan bahwa istilah “hukuman” kadang-kadang digunakan untuk
pergantian perkataan “straft”, tetapi menurut beliau istilah “pidana”
lebih baik daripada “hukuman. Menurut Muladi dan Bardanawawi Arief “Istilah
hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang
luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang
cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum,
tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama, dan
sebagainya. Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu
ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukan cirri-ciri
atau sifat-sifatnya yang khas”. Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering
disebut dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut
tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu,
maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut
sering dipergunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana,
perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta delik.
Adapun
delik hukum KUHP terhadap tindak pidana kejahatan yang dilakukan kelompok geng
motor yaitu seperti perbuatan pidana penganiayaan terhadap orang
lain yang dapat diancam dengan pasal 351 KUHP yang berbunyi :
(1) Penganiayaan diancam pidana paling lama dua
tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah;
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat
yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
Adapun unsur-unsur
dalam pasal 351 KUHP tentang tindak pidana penganiayaan:
a. Barang siapa.
b. Dengan sengaja.
c.
Akibat yang ditimbulkan: ayat (1) mengakibatkan luka; ayat (2) mengakibatkan
luka berat; ayat (3) mengakibatkan mati.
Apabila penganiayaan
itu direncanakan terlebih dahulu maka diancam dengan pasal 353 KUHP yang
berbunyi :
(1) Penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun;
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat,
yang bersalah dikenakan penjara paling lama tujuh tajun;
(3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, dia
dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Unsur- Unsur dalam
pasal 353 KUHP tentang tindak pidana penganiayaan dengan direncanakan terlebih
dahulu :
a.
Barang siapa.
b.
Dengan sengaja.
c.
Dengan rencana terlebih dahulu.
d. Akibat yang ditimbulkan: ayat (1) mengakibatkan
luka, ayat (2) mengakibatkan luka berat, ayat (3) mengakibatkan mati.
Dalam KUHP Pengeroyokan
termasuk dalam kejahatan terhadap ketertiban umum diancam dengan pasal 170 KUHP
yang berbunyi :
(1)
Barangsiapa terang-terangan dan dengan
tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan
(2) Yang bersalah diancam :
Ke-1.
Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika dengan sengaja
menghancurkan barang atau kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka; Ke-2.
Dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan
luka berat; Ke-3 Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan
mengakibatkan maut[94].
Unsur-unsur dalam pasal
170 KUHP tentang tindak pidana pengeroyokan yaitu:
a. Barang siapa.
b. Terang-terangan dan dengan tenaga
bersama menggunakan kekerasan.
c. Terhadap orang atau barang.
Kejahatan
lain yang dengan sengaja merampas nyawa orang lain atau dengan kata lain yaitu
pembunuhan akan dikenakan Pasal 338 dan Pasal 339 KUHP. Tindak pidana yang diatur dalam
Pasal 338 KUHP merupakan tindak pidana dalam bentuk pokok (Doodslag In Zijn
Grondvorm), yaitu delik yang telah dirumuskan secara lengkap dengan semua
unsur-unsurnya.
Adapun rumusan Pasal 338 KUHP
adalah:
“Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam,
karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Pada pembunuhan biasa ini, Pasal 338 KUHP menyatakan bahwa
pemberian sanksi atau hukuman pidananya adalah pidana penjara paling lama lima
belas tahun. Di sini disebutkan paling lama jadi tidak menutup kemungkinan
hakim akan memberikan sanksi pidana kurang dari lima belas tahun penjara.
Dari ketentuan dalam Pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam
pembunuhan biasa adalah sebagai berikut :
Unsur
subyektif
perbuatan dengan sengaja. Dengan sengaja (Doodslag) artinya bahwa
perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu
juga, karena sengaja (opzet/dolus) yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah
perbuatan sengaja yang telah terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu. Unsur
obyektif : perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain. Unsur obyektif yang
pertama dari tindak pembunuhan, yaitu menghilangkan, unsur ini juga diliputi
oleh kesengajaan; artinya pelaku harus menghendaki, dengan sengaja,
dilakukannya tindakan menghilangkan tersebut, dan ia pun harus mengetahui,
bahwa tindakannya itu bertujuan untuk menghilangkan nyawa orang lain.
Berkenaan dengan nyawa orang lain
maksudnya adalah nyawa orang lain dari si pembunuh. Terhadap siapa pembunuhan
itu dilakukan tidak menjadi soal, meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap
bapak/ibu sendiri, termasuk juga pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP.
Dari pernyataan ini, maka
undang-undang pidana kita tidak mengenal ketentuan yang menyatakan bahwa
seorang pembunuh akan dikenai sanksi yang lebih berat karena telah membunuh
dengan sengaja orang yang mempunyai kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan
khusus dengan pelaku.
Berkenaan dengan unsur nyawa orang
lain juga, melenyapkan nyawa sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat
dihukum, karena orang yang bunuh diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia
tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Pembunuhan Dengan Pemberatan (Gequalificeerde Doodslag)
Hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
“Pembunuhan
yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan
maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk melepaskan
diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman, atau supaya barang yang
didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan
hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh
tahun.”
Perbedaan dengan pembunuhan Pasal
338 KUHP ialah: “diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan”. Kata
diikuti (gevold) dimaksudkan diikuti kejahatan lain. Pembunuhan itu
dimaksudkan untuk mempersiapkan dilakukannya kejahatan lain.
Ketiga, Pembunuhan Berencana (Moord).
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 340 KUHP, unsur-unsur pembunuhan berencana
adalah; unsur subyektif, yaitu dilakukan dengan sengaja dan direncanakan
terlebih dahulu, unsur obyektif, yaitu menghilangkan nyawa orang lain.
Jika unsur-unsur di atas telah
terpenuhi, dan seorang pelaku sadar dan sengaja akan timbulnya suatu akibat
tetapi ia tidak membatalkan niatnya, maka ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP.
Ancaman pidana pada pembunuhan
berencana ini lebih berat dari pada pembunuhan yang ada pada Pasal 338 dan 339
KUHP bahkan merupakan pembunuhan dengan ancaman pidana paling berat, yaitu
pidana mati, di mana sanksi pidana mati ini tidak tertera pada kejahatan
terhadap nyawa lainnya, yang menjadi dasar beratnya hukuman ini adalah adanya
perencanaan terlebih dahulu. Selain diancam dengan pidana mati, pelaku tindak
pidana pembunuhan berencana juga dapat dipidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari uraian tiap bab diatas, maka
dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Geng motor dapat
disamakan dengan kelompok-kelompok bersenjata yang lain lain, jika mereka
terlibat dalam kegiatan kriminal dan kekerasan seperti kelompok bersenjata
lainnya, walaupun biasanya dalam skala yang lebih kecil. Ketika terlibat dalam
kegiatan tersebut, mereka beroperasi di luar hukum. Mereka juga beroperasi di
kota-kota dimana tingkat kekerasan sangat tinggi yang meningkatkan keprihatinan
tentang keberadaan geng. Adapun tindak pidana kejahatan geng motor tersebut
berupa:
a.
Kebut-kebutan di jalanan yang menggangu
keamanan lalu lintas, dan membahayakan jiwa sendiri dan orang lain;
b.
Perilaku ugal-ugalan, berandalan, urakan
yang mengacaukan ketentraman masyarakat sekitarnya;
c.
Perkelahian antar geng, antar kelompok,
antar sekolah (tawuran), sehingga membawa korban jiwa;
d.
Melakukan tindakan kriminalitas antara
lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, maling, mencuri, mencopet,
merampas, menjambret, menyerang, merampok, menggarong, melakukan
pembunuhan, dengan jalan menyembelih korbannya, mencekik, meracun, tindak
kekerasan, dan pelanggaran lainnya;
f. Perkosaan,
agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif seksual atau didorong oleh
raeksi-reaksi kompensatoris dari perasaan inferior, menuntut pengakuan diri,
depresi hebat, rasa kesunyian, emosi balas dendam, dan lain-lain;
g. Kecanduan dan
ketagihan bahan narkotika yang erat bergandengan dengan tindak kejahatan;
h. Tindakan-tindakan pelecehan
seksual secara terang-terangan, tanpa rasa malu dengan cara yang kasar;
i. Perjudian dan
bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan, sehingga mengakibatkan ekses
kriminalitas;
j. Tindakan radikal
dan ekstrem, dengan cara kekerasan, penculikan, dan pembunuhan yang dilakukan
oleh kelompok geng motor;
k. Perbuatan asosial
dan anti asosial lain disebabkan oleh gangguan kejiwaan dan remaja psikopatik,
psikotik, neurotik, dan menderita gangguan kejiwaan lainnya;
2. Gambaran umum keberadaan
anggota geng motor di wilayah hukum Polresta Medan,
yaitu sudah
sangat menakutkan bagi masyarakat. Hampir setiap malam anggota geng motor
berkonvoi di jalanan sambil membawa senjata tajam berjenis golok panjang. Penjahat jalanan ini sudah terbiasa untuk mengambil
nyawa orang lain sebelum merampas harta bendanya, bahkan tega memotong tubuh
korbannya[95].
Sekalipun belum separah geng-geng motor di pulau Jawa, namun perilaku agresif
anggota geng motor di kota Medan semakin mengkhawatirkan. Hampir setiap malam
minggu di kota Medan, remaja-remaja nakal ini membuat keonaran di jalanan[96].
Bahwa
ada beberapa faktor penyebab terjadinya tindak kejahatan anggota geng motor :
a)
Mudahnya mendapatkan sepeda motor yang berpotensi untuk melahirkan
komunitas-komunitas roda dua yang mempunyai kesamaan kepentingan yang sama;
b)
Faktor Lingkungan, seperti kurangnya
pengawasan dari orang tua membuat anak-anak bebas sehingga memberi kesempatan
bagi pelaku melancarkan aksinya;
c)
Pengaruh minuman keras, Penggunaan minuman keras secara berlebihan dan tidak
terkendali yang akan menimbulkan berbagai masalah, baik bagi diri sendiri
maupun orang lain atau lingkungan masyarakat sekitarnya, sehingga lebih mudah
melakukan kejahatan apabila sudah meminum minuman keras;
d)
Minimnya pendidikan formal dalam hal
ini pendidikan moral dan agama yang sangat minim serta tingkat pengatahuan yang
di wabah rata-rata;
e)
Faktor sakit hati dan/atau dendam
merupakan salah satu penyebab kelompok geng motor melakukan kejahatan/
pengrusakan fasilitas umum.
Ada faktor internal dan eksternal
terjadinya tindak pidana kejahatan geng motor, yaitu:
Faktor Internal
a. Krisis Identitas;
b. Kontrol diri yang lemah
Faktor Eksternal
a. Keluarga
Perceraian
orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga atau perselisihan
antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan
yang salah di keluargapun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan
pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi
penyebab terjadinya kenakalan remaja.
b. Teman sebaya yang kurang baik
c. Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik
3. Pengaturan tentang tindak pidana
kejahatan yang dilakukan kelompok geng motor telah diatur dialam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu antara lain Pasal 338 KUHP,
Pasal 351 KUHP, Pasal 353 KUHP, Pasal 339 KUHP dan Pasal 170 KUHP, dan Pasal
lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan geng motor. Adapun rumusan Pasal 338 KUHP
adalah:
“Barang siapa sengaja merampas nyawa
orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun”.
Pada pembunuhan biasa ini, Pasal 338
KUHP menyatakan bahwa pemberian sanksi atau hukuman pidananya adalah pidana
penjara paling lama lima belas tahun. Di sini disebutkan paling lama jadi tidak
menutup kemungkinan hakim akan memberikan sanksi pidana kurang dari lima belas
tahun penjara.
Pembunuhan Dengan Pemberatan (Gequalificeerde
Doodslag) Hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
“Pembunuhan yang diikuti, disertai,
atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan
perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau
pesertanya daripada hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan
melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur
hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.”
Perbuatan pidana penganiayaan
terhadap orang lain, diancam dengan pasal 351 KUHP yang berbunyi :
(1) Penganiayaan diancam pidana paling lama dua
tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah;
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat
yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
Apabila penganiayaan
itu direncanakan terlebih dahulu maka diancam dengan pasal 353 KUHP yang berbunyi
:
(1) Penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun;
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat,
yang bersalah dikenakan penjara paling lama tujuh tajun;
(3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, dia
dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pengeroyokan juga termasuk
dalam kejahatan terhadap ketertiban umum diancam dengan pasal 170 KUHP yang
berbunyi :
(1)
Barangsiapa terang-terangan dan dengan
tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan
(2) Yang bersalah diancam :
Ke-1.
Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika dengan sengaja
menghancurkan barang atau kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka; Ke-2.
Dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan
luka berat; Ke-3 Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan
mengakibatkan maut[97].
4.
Dalam penerapan hukum
pidana dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim dapat mengakomodasi
kepentingan pelaku tindak pidana, setiap kegiatan yang mengacu kepada penerapan
prinsip penjatuhan pidana penjara sebagai upaya terakhir tersebut sangat
mendukung pelaku tindak pidana, karena sebelum sanksi pidana yang keras
dijatuhkan, penggunaan sanksi lain seperti sanksi administrasi dan sanksi
perdata didahulukan sehingga ketika fungsi sanksi-sanksi hukum tersebut kurang,
baru dikenakan sanksi pidana.
5. Dan penegakkan hukum pidana, cara penanggulangan atau
penegakan, baik bersifat preventif maupun bersifat represif harus selalu
melibatkan aparat penegak hukum dengan disertai peran aktif masyarakat.
Penanggulangan kejahatan yang bersifat preventif ini juga merupakan tindakan
pencegahan sebelum terjadinya suatu kejahatan. Tindakan preventif ini berusaha
memberantas kejahatan itu dengan jalan menghilangkan
segala sesuatu yang menjadi penyebab terjadinya suatu kejahatan. Dengan kata
lain, kesempatan pelaku yang dicegah. Ada beberapa hal dalam upaya mengurangi tindak kekerasan
anggota geng motor, yaitu :
a) Meningkatkan penanganan terhadap daerah yang rawan
terjadinya kejahatan;
b) Melaksanakan kegiatan-kegiatan patroli secara rutin;
c) Mengadakan penggerebekan terhadap penjual minuman keras;
d) Menghimbau kepada seluruh lapisan masyarakat agar
secepatnya melaporkan kepada pihak yang berwajib, apabila terjadi suatu
kejahatan yang dilakukan oleh geng motor;
e) Mengadakan penyuluhan di setiap sekolah.
Sementara upaya represif untuk menanggulangi kejahatan yang
dilakukan oleh geng motor, anggota Polresta Medan Sumatera Utara dan jajarannya
melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
1. Melakukan
pengejaran dan penangkapan terhadap tersangka kejahatan.
2. Mengadakan
pemeriksaan terhadap tersangka beserta barang bukti upaya lainnya dalam rangka
penyidikan kasus tersebut, dan selanjutnya berkas perkaranya akan dilimpahkan
ke Kejaksaan Negeri untuk diproses selanjutnya. Setelah keluar putusan
Pengadilan Negeri, selanjutnya terdakwa dikirim ke Lembaga Pemasyarakatan untuk
diberikan pembinaan-pembinaan dengan tujuan memperbaiki perilaku tersebut.
6. Suatu kebijakan harus berdasar hukum dibutuhkan improvisasi dan
kreasi. Maka dalam hal menanggulangi tindak pidana kejahatan yang dilakukan
geng motor yang tidak mudah menanganinya maka pihak Kapolresta Medan, Kombes Nico Afinta
Karo Karo membuat suatu kebijakan yaitu “tembak ditempat para pelaku kejahatan
geng motor”. Hal tesebut didukung oleh Polda Sumut atas kebijakan dan tindakan
tegas Kapolresta Medan Kombes Pol. Drs. Nico Afinta
Karo-Karo tersebut.
Dan tindakan
tegas yang dilakukan Polresta Medan tersebut sudah dibuktikan dengan menembak
sejumlah penjahat dan untuk mengantisipasi terjadinya kejahatan, Polresta Medan
mengatensis titik titik rawan.
Namun
bagaimanapun juga tindakan yang dilakukan polisi kepada para pelaku kejahatan, jika
tidak didukung masyarakat, maka tidak akan berjalan sesuai harapan masyarakat.
5.2. SARAN
Adapun saran yang dapat
direkomendasikan oleh penulis adalah sebagai berikut :
a.
Memperbaiki sistem pengawasan untuk
mencegah terjadinya tindakan-tindakan kejahatan.
b. Menambah personil kepolisian dan personil
penegak hukum lainnya untuk lebih meningkatkan tindakan reprensif maupun
preventif.
c.
Peningkatan kesejahteraan rakyat
untuk mengurangi pengangguran, yang dengan sendirinya akan mengurangi
kejahatan.
d.
Peningkatan penyuluhan hukum untuk
memeratakan kesadaran hukum rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abintoro
Prakoso, Pembaruan Sistem Peradilan
Pidana Anak, Laksbang Grafika, Yogyakarta.
Ali Masyhar,
Gaya Indonesia atas Kebijakan Hukum Tindak Pidana di Indonesia, 2009.
Anwar, Yesmil dan Adang, Kriminologi,
Refika Aditama, Bandung, 2010.
Andi
Zainal Abidin, Penerapan Hukum Pidana
sebagai Langkah Terakhir, 1987.
A. S. Alam, Pengantar Kriminologi, Makassar
2010.
Atmasasmita,
Romli. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT Eresco, Bandung.
Bhineka Teruna Sari Putra, Persepsi Anggota Geng Motor dan Faktor yang
Melatarbelakangi Terjadinya Tindak Pidana Penganiayaan, Purwokerto, 2009.
Barda
Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005.
Budi Winarno, Teori dan Proses
Kebijakan, Media Presindo, Yogyakarta, 2002.
Darwin Siagian, Tinjauan Kriminologis Terhadap Kejahatan Penganiayaan, Makasar,
2011.
Esmi
Warassih Pujirahayu, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis,
Semarang, Suryandaru Utama, 2001.
G. Peter Hoefnagels, The
Criminal, 1989.
J.M.van
Bemmelen, Op.Cit., hal. 28.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Kedua, Jakarta; Balai Pustaka, 1995.
Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Grafindo Persada, Jakarta,
2010.
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1997.
Mandar
Maju, Bandung, 2009.
Mahmud Mulyadi, Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan dalam Penegakan Hukum
Pidana Indonesia, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2006.
Mochtar
Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Dalam
Pembangunan, Alumni, Bandung, 2006.
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Ctk.Keduapuluh enam, Bumi Aksara, Jakarta,2007.
Mooraker Speed Maniac, Geng Motor dari Segi Sosiologi dan Hukum
serta Solusi Meminimalisir Geng Motor, 2011.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
Alumni, Bandung, 1998.
Muh. Sahiri, Tinjauan Kriminologis Terhadap Perilaku
Kekerasan Anggota Geng Motor, 2011.
Nandang Sambas, Penanggulangan
Pelanggaran Hukum yang Dilakukan Geng Motor oleh Kepolisian, MIMBAR, Vol. XXVII, No. 2 (Desember
2011.
Neny Riski Ramadhani, Tinjauan Kriminologis tentang Kejahatan,
Universitas Hasnuddin, Makassar, 2012.
Nigel Walker, Reductivism and Deterrence, dalam A Reader on Punisment, R.A.Duff and David Garland (Ed). New York:
Oxford University Press.
Ninik Widiyanti-Panji Anaroga, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya
Ditinjau dari Segi Kriminologi dan Sosial, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987.
P.A.F.
Lamintang,Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1990.
R. Abdoel Djamali, Pengantar Ilmu Hukum, 2005.
Reksodiputro,
Perkembangan Ilmu Kriminologi, 1996.
Romi Librayanto. Ilmu
Negara. Makassar:Refleksi, 2009.
Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 1999.
Soerjono
Sukanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum
Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Seriono, Bahan Materi Matrikulai
Hukum Kebijakan Publik, Mahasiswa Baru Prodi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS,
2004.
T. Mathiesen, General Prevention as Communication dalam A Reader on Punishment, R.A.Duff and David Garland (Ed), Oxford
University Press, Inc., New York, 1995.
Yaha Harahap M , Beberapa Tinjauan
mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian sengketa, Citra Aditya Bhakti,
Bandung. 1987.
Yesmil Anwar dan Adang, Kriminologi,
Refika Aditama, Bandung, 2010.
WEBSITE
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=312364:awal-tahun-geng-motor-semakin-ganas&catid=14:medan&Itemid=27, waspada
online, diakses pada tanggal 7 April 2014.
http://samchaster.blogspot.com/2012/05/v-behaviorurldefaultvmlo.html diakses pada
tanggal 4 Mei 2013.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)
UNDANG-UNDANG
DASAR 1945 AMANDEMEN (I-IV)
[1] Nandang Sambas, Penanggulangan Pelanggaran Hukum yang
Dilakukan Geng Motor, MIMBAR,
Vol. XXVII, No. 2 (Desember 2011): 225-232, Fak. Hukum Universitas Islam
Bandung.
[2] Mooraker Speed Maniac, Geng Motor dari Segi Sosiologi dan Hukum
serta Solusi Meminimalisir Geng Motor, 2011.
[3]
Kartini Kartono, Patologi Sosial 2
Kenakalan Remaja, GrafindoPersada, Jakarta,2010, hal 6.
[4] Ibid
[5] Bhineka Teruna Sari Putra, Persepsi Anggota Geng Motor dan Faktor yang
Melatarbelakangi Terjadinya Tindak Pidana Penganiayaan, Purwokerto, 2009.
[6]http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=312364:awal-tahun-geng-motor-semakin-ganas&catid=14:medan&Itemid=27, waspada online, diakses pada
tanggal 7 April 2014.
[7] Reksodiputro, Perkembangan Ilmu Kriminologi, 1996,
hal. 6.
[8] Darwin Siagian, Tinjauan Kriminologis Terhadap Kejahatan
Penganiayaan, Makasar, 2011.
[9] http://samchaster.blogspot.com/2012/05/v-behaviorurldefaultvmlo.html diakses pada
tanggal 4 Mei 2013.
[10] http://riasiboro.blogspot.com/2012/04/kelemahan-sistem-penegakan-hukum.html diakses pada tanggal 3 Mei 2013.
[11] Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Kedua, (Jakarta; Balai Pustaka, 1995), Hal. 520
[12] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1999), hal. 254.
[14] Kaelan M.S., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat
(Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat,
Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), Paradigma, Yogyakarta,
2005, hal. 239.
[15] Budi Winarno, Teori dan
Proses Kebijakan, Media Presindo, Yogyakarta, 2002, hal. 16.
[16] Seriono, Bahan
Materi Matrikulai Hukum Kebijakan Publik, Mahasiswa Baru Prodi Ilmu Hukum
Pascasarjana UNS, 2004. Hal 1.
[17] Esmi Warassih
Pujirahayu, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang,
Suryandaru Utama, 2001, hal. 8.
[18] Budi Winarno, Op. Cit. hal. 18.
[19] Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, Universitas Indonesia,
2007, hal. 1.
[20] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
Citra Aaditya, Bandung, 1996, hal. 26-27.
[21] Mahmud Mulyadi, Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan
Pemidanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, Fakultas Hukum,
Universitas Sumatera Utara, 2006,
hal. 9-10.
[22] T. Mathiesen, General Prevention as Communication dalam
A Reader on Punishment, R.A.Duff and
David Garland (Ed), Oxford University Press, Inc., New York, 1995, hal.
221.
[23] J.M.van Bemmelen, Op.Cit., hal. 28.
[24] Nigel Walker, Reductivism and Deterrence, dalam A Reader on Punisment, R.A.Duff and
David Garland (Ed). New York: Oxford University Press, hal. 212.
[25] Soerjono Sukanto dan Sri Mamudi,
Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 7.
[26] Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat.
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 21.
[27]http://mulyanihasan.wordpres.com/2007/04/27/geng-motor-do-kota-bandung. diakses pada tanggal 2 Mei
2013.
[28] Mulyani hasan, op cit, hal. 5
[29] Pendekatan kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang
mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia,
atau pola-pola yang menganalisis gejala-gejala social budaya dengan menggunakan
kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai
pola-pola yang berlaku.
[30] Nugraha, R. (2009). Geng Motor Kota Medan. Surat Kabar
Harian Pos Metro, 11 November.
[32] Harian Analisa, 17 Mei 2013
[33]
http://news.detik.com/read/2013/05/022153/10.
[34]
http://www.tribunmedan.com/2012/08.
[35] Pikiran Rakyat,
27 November 2007.
[36] Nugraha, R. (2009). Geng Motor Kota Medan. Surat Kabar
Harian Pos Metro, 11 November.
[37] Made Darma Weda, Kriminologi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1996, hal. 19.
[38]
Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum
Pidana, Universitas Indonesia, 1995, hal. 3
[39] Ibid., hlm 48
[40] Nandang Sambas, Op.Cit., hal. 225-232.
[41] Walter Lunden dalam Ninik
Widiyanti-Panji Anaroga, Perkembangan
Kejahatan dan Masalahnya Ditinjau dari Segi Kriminologi dan Sosial, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1987, hlm. 2.
[42] A. S. Alam, Pengantar
Kriminologi (Makassar 2010), hlm 46.
[43] Stephan Hurwitz, Kriminologi, saduran Ny. L. Moeljatno,
Bina Aksara, Jakarta, 1982, hal. 161.
[44] Darwin Siagian, Tinjauan Kriminologis Terhadap Kejahatan
Penganiayaan yang Dilakukan Oleh Geng Motor, Makasar, 2009.
[45]
Lawrence M, Friedman, Law and
Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc, hal. 6-7, 1977.
[46] Budi Winarno, Teori
dan Proses Kebijakan, Media Presindo, Yogyakarta, 2002, hal. 16.
[47] Seriono, Bahan
Materi Matrikulai Hukum Kebijakan Publik, Mahasiswa Baru Prodi Ilmu Hukum,
Pascasarjana UNS, 2004, Hal 1.
[48] Esmi Warassih
Pujirahayu, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang,
Suryandaru Utama, 2001, hal. 8.
[49] Budi Winarno, Op. Cit. hal. 18.
[50] Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan
Kejahatan dengan Pidana Penjara, Disertasi, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 1994, hal. 63.
[51] Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
[52] Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 29.
[53] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan
Kejahatan, Op. Cit., hal. 73-74.
[54] Setiono, Op. Cit. hal. 2
[55] Ibid, hal. 3
[56]
Ibid, hal. 6
[57]
http;//kompasiana.com/post/4cd6acc89bc1d45330000/prihatin-brutal-dan-tidak-manusiawi/,
diakses pada tanggal 2 April 2014.
[58] Darwin Siagian, Tinjauan
Kriminologis Terhadap Kejahatan Penganiayaan yang Dilakukan Oleh Geng Motor,
2011, Makasar.
[59] Undang-Undang Dasar 1945 RI.
[60] Romi Librayanto. 2009. Ilmu Negara. Makassar : Refleksi. Hal 123.
[61] Puspen Tentara Nasional
Indonesia. 2012. Perbedaan mendasar
fungsi Tni dan Polri (http://www.tni.mil.id/pages-2-peran-fungsi-dan-tugas.html). Diakses tanggal 1 April 2014.
[62] Undang-undang Dasar 1945.
[63] Indonesia Polive Watch. 2013.
Anarkisme Geng Motor kembali berlanjut. (http://indonesia-policewatch.com/).
Diakses tanggal 1 April 2014.
[64] Cikal bakal
Indonesia Police Watch lahir di awal reformasi, beberapa saat setelah rezim
Orde Baru Soeharto “jatuh”. Saat itu sejumlah aktivisnya terlibat dalam
menggalang berbagai seminar dan diskusi tentang perlunya Polri yang mandiri,
professional, dan terpisah dari ABRI (TNI). Di Awal tahun 2000 lembaga ini
diberi nama Indonesia Police Watch (Lembaga Pengamat Polri).
[66] Mulyani hasan,
http;//mulyanihasan.wordpres.com/2007/04/27/geng-motor-do-kota-bandung/,
diakses pada tanggal 2 April 2014, hal 9.
[67] http://policeworlds.blogspot.com/2012/01/polda-polres-polsek.html. diakses pada tanggal 3 Maret
2014.
[68] Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Republik Indonesia Pasal 13.
[69] Chainur Arasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, 2000,
hlm.133.
[70] Perguruan Nasional Yos Sudarso
Jln. KL. Yos Sudarso No. 50 Pulo Brayan & Yayasan Pendidikan Medan Putri
Jln. Timor Ujung No. 5; SMA Negeri 4 Jln. Gelas No. 12 Medan.
[71] Lamintang, Hukum Panitensier Indonesia, CV. Armico, Bandung, 1988, hal. 23.
[74] Hasil wawancara dengan Iptu S. Sitanggang
dengan Jabatan Urbin Ops. Sat. Reskrim Polresta Medan.
[75] Hasil wawancara dengan Iptu Pol.
Iptu S. Sitanggang dengan jabatan Urbin Ops. Sat. Reskrim Polresta Medan.
[76] Abintoro Prakoso, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak,
Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2013.
[77] http://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum-pidana/ diakses pada tanggal 14 April
2014.
[78] E.Y. Kanter dan
S.R. Sianturi. Asas-Asas hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.
Storia
Grafika. Jakarta. 2002. Hlm. 29.
[79] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi I Cetakan IX.
Balai Pustaka. Jakarta. 1997. Hlm. 360.
[80] R. Soesilo. KUHP
Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia. Bogor. 1996.
Hlm. 35.
[83] Bersifat
Melawan Hukum (wederrechtelijk)
berarti: Bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan larangan atau
keharusan hukum atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh
hukum.Dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum adalah hukum positif (hukum yang
berlaku).
[84] Conditio sine qua non dalam
bahasa Latin menurut kamus hukum edisi lengkap adalah syarat mutlak atau dalam
bahasa Inggris disebut “Absolute (ly) condition” yang menyatakan bahwa suatu
syarat mutlak harus dicantumkan atau dinyatakan untuk menguatkan atau menetapkan
sesuatu perjanjian itu berlaku. Penerapan teori Conditio sine qua non yang
dicetuskan oleh Von Burie kemudian menjadi tren dalam menetapkan satus
tersangka pidana pembunuhan. Hal ini disebabkan karena adakalanya penyidik
sulit menemukan bukti langsung yang sangat kuat untuk dapat dijadikannnya
seseorang sebagai tersangka.
[85] L.H.C.
Hulsman diangkat
sebagai Guru Besar Hukum Pidana dan Kriminologi NEH, Rotterdam, Departemen
Hukum yang baru dibentuk.
Bertujuan untuk mencapai suatu bentuk baru dari pendidikan
hukum sangat terkait dengan disiplin ilmu lain seperti sosiologi, psikologi dan
ekonomi (1964 -1986).
[86] Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum suatu Tinjauan
Sosiologis, Bandung, Sinar Baru, hal. 15.
[87] Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Jakarta, Binacipta,
1983, hal. 13.
[88] Sjachran Basah, Perlindungan Hukum atas Sikap Tindak
Administrasi Negara, Bandung, Alumni, 1992, hal. 14.
[89] Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1983, hal. 4-5.
[90] Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bandung, Bina Cipta,
1983, hal. 15.
[91] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti,
1996, hal. 208.
[92] J.B.J.M. ten Berge, Op. Cit., hal. 376.
[93] P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,
Sinar Baru, Bandung, 1990, hlm. 594.
[94] Moeljatno, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Ctk. Ke- 26, Bumi Aksara, Jakarta,2007, hlm.65.
[95] Pikiran Rakyat,
27 November 2007.
[96] Nugraha, R. (2009). Geng Motor Kota Medan. Surat Kabar
Harian Pos Metro, 11 November.
[97] Moeljatno, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Ctk. Ke- 26, Bumi Aksara, Jakarta,2007, hlm.65.
Komentar
Posting Komentar