Izin Lingkungan Dalam Kaitannya dengan Penegakan Sanksi Administrasi Lingkungan dan Sanksi Pidana Lingkungan Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Merosotnya
kualitas lingkungan yang dibarengi dengan semakin menipisnya persediaan sumber
daya alam serta timbulnya berbagai permasalahan lingkungan telah menyadarkan
manusia betapa pentingnya dukungan lingkungan dan peran sumber daya alam
terhadap kehidupan manusia di alam semesta. Lingkungan tidak dapat mendukung
jumlah kehidupan manusia dan makhluk hidup yang tanpa batas. Apabila bumi ini
sudah tidak mampu lagi menyangga ledakan jumlah manusia beserta aktivitasnya,
maka manusia akan mengalami berbagai kesulitan. Pertumbuhan jumlah penduduk
bumi mutlak harus dikendalikan dan aktivitas manusianya pun harus memperhatikan
kelestarian lingkungan.[1]
Pelestarian
lingkungan hidup mempunyai arti bahwa lingkungan hidup harus dipertahankan
sebagaimana keadaannya. Sedangkan lingkungan hidup itu justru dimanfaatkan
dalam kerangka pembangunan. Hal ini berarti bahwa lingkungan hidup mengalami
proses perubahan. Dalam proses perubahan ini perlu dijaga agar lingkungan hidup
itu tetap mampu menunjang kehidupan yang normal[2],
sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Hukum
lingkungan hidup merupakan instrumen yuridis yang memuat kaidah-kaidah tentang
pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk mencegah penyusutan dan
kemerosotan mutu lingkungan[3].
Dikatakan oleh Danusaputro bahwa hukum lingkungan hidup adalah konsep studi
lingkungan hidup yang mengkhususkan pada ilmu hukum, dengan objek hukumnya
adalah tingkat perlindungan sebagai kebutuhan hidup[4].Hukum
lingkungan pada dasarnya mencakup penataan dan penegakan atau compliance and enforcement[5],
yang meliputi bidang hukum administrasi, bidang hukum perdata dan bidang hukum
pidana.
Makna
penegakan didalam hukum lingkungan dimaksudkan upaya menegakkan hukum material
khususnya yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat dengan
UUPPLH. Penegakan hukum dalam UUPPLH terdiri dari:
1)
penegakan hukum administrasi;
2)
penegakan hukum perdata; dan
3)
penegakan hukum pidana.
Mas
Achmad Santoso[6]
mengatakan bahwa, penegakan hukum lingkungan (environmental enforcement) harus dilihat sebagai sebuah alat (an end). Tujuan penegakan hukum
lingkungan yaitu penataan (compliance)
terhadap nilai-nilai perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkugan
hidup yang pada umumnya diformalkan kedalam peraturan perundang-undangan,
termasuk ketentuan yang mengatur baku mutu limbah atau emisi.
Upaya
preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan
dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dengan memperhatikan
syarat-syarat yang tercantum didalam perizinan. Dalam hal pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa
penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi. Sehingga perlu dikembangkan satu
sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas,
dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan
dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain.
Mendayagunakan
berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum
pidana, diharapkan selain akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan
kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa kini dan masa
depan.
Ketentuan
Pasal 36 UUPPLH, menetapkan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib
memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) wajib memiliki izin
lingkungan. Izin lingkungan diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 UUPPLH atau rekomendasi
UKL-UPL. Izin lingkungan wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam
keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL. Izin lingkungan
diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam izin lingkungan paling lama 1
(satu) tahun sejak undang-undang ini ditetapkan. Dan berdasarkan Pasal 39
UUPPLH, permohonan izin lingkungan dan izin lingkungan wajib diumumkan, dan dilakukan
dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat.
Sistem
perizinan lingkungan sebagai instrumen pencegahan kerusakan dan/atau pencemaran
lingkungan hidup hakikatnya merupakan pengendalian aktivitas pengelolaan
lingkungan hidup. Oleh karena itu, pengaturan dan penyelenggaraan perizinan
lingkungan harus didasarkan norma keterpaduan pada UUPPLH.
Perizinan
terpadu bidang lingkungan hidup dalam hal ini tidak hanya tentang teknis
administrasi (prosedur, waktu dan biaya) sebagaimana dipahami oleh aparat pemerintahan
selama ini. Namun juga berkaitan dengan aspek substansi perizinan bidang
lingkungan hidup itu sendiri. Mencermati ketentuan-ketentuan berkaitan dengan
perizinan dalam UU ini, pada satu sisi, yang dimaksudkan adalah izin lingkungan
sebagai syarat mendapat izin usaha dan/atau kegiatan (sektoral).
Jadi
terdapat kaitan yang erat antara izin lingkungan dengan izin usaha dan/atau
kegiatan. Kedudukan AMDAL sendiri merupakan syarat memperoleh izin lingkungan
dan izin usaha dan/atau kegiatan merupakan satu kesatuan sistem perizinan dalam
UUPPLH.[7]
Kewajiban pemegang izin
lingkungan yaitu menaati persyaratan dan kewajiban-kewajiban yang terdapat
didalam izin pengelolaan lingkungan hidup (Izin PPLH) sebagaimana yang
tercantum didalam izin perlindungan. Izin PPLH antara lain adalah:
1. izin
pembuangan air limbah ke air
atau sumber air;
2. izin
pemanfaatan air limbah untuk
aplikasi ke tanah
3. izin
penyimpanan sementara limbah
B3;
4. izin
pengumpulan limbah B3;
5. izin
pemanfaatan limbah B3;
6. izin
pengolahan limbah B3;
7. izin
penimbunan limbah B3;
8. izin
pembuangan air limbah ke
laut;
9. izin
dumping ke media lingkungan;
10. izin
pembuangan air limbah dengan
cara reinjeksi; dan
11. izin
emisi; dan/atau
Izin PPLH diterbitkan oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangansurat keputusan kelayakan lingkungannya dan rekomendasi UKL-UPLnya.
Semua pengaturan
tentang lingkungan hidup pada dasarnya dimaksudkan agar alam dapat dimanfaatkan
bagi kepentingan kesejahteraan umat manusia pada saat ini dan juga yang tidak
kalah pentingnya yaitu untuk kepentingan kesejateeraan umat dimana mendatang (sustainable development), dengan kata
lain pembuatan UUPPLH serta aturan sektoral lainnya dimaksudkan atau dijiwai
untuk menyelamatkan lingkungan. Sebagaimana diketahui bahwa lingkungan hidup
Indonesia telah mengalami berbagai kerusakan yang sangat mengkhawatirkan dan
untuk itu diperlukan pengaturan yang memadai.
Payung hukum atau umbrella act atau umbrella provision atau dalam ilmu hukum disebut kadarwet atau raamwet yang utama terhadap masalah lingkungan hidup adalah UUPPLH.
UUPPLH ini menjadikan ketentuan payung bagi peraturan-peraturan lingkungan
hidup yang sudah ada (lex lata)
maupun bagi peraturan lebih lanjut dibawahnya (lex ferandai atau ketentuan organik) atas lingkungan hidup.
UUPPLH yang juga
merupakan “payung” pengelolaan lingkungan hidup, maka Undang-Undang sektoral
bidang lingkungan hidup yang diantaranya, kehutanan, perkebunan, dan
pertambangan, harus memenuhi beberapa kondisi. Antara lain, Pertama, UU tersebut harus tunduk pada
UUPPLH. Kedua, pelaksanaan UU
sektoral bidang lingkungan hidup tidak boleh bertentangan dengan UUPPLH. Ketiga, segala penegakan hukum yang
berkaitan dengan lingkungan hidup harus berpedoman kepada UUPPLH.
Penegakan hukum antara
lain penegakan hukum administrasi memiliki beberapa manfaat strategis bila
dibandingkan dengan penegakan hukum perdata maupun pidana. Dan manfaat
strategis tersebut, yaitu:
a. Penegakan
hukum administrasi dibidang lingkungan hidup dapat dioptimalkan sebagai
perangkat pencegahan (preventive).
b. Penegakan
hukum administrasi (yang bersifat pencegahan) dapat lebih efisien dari sudut
pembiayaan dibandingkan penegakan hukum pidana dan perdata. Pembiayaan untuk
penegakan hukum administrasi meliputi biaya pengawasan lapangan yang dilakukan
secara rutin dan pengujian laboratorium lebih murah dibandingkan dengan upaya
pengumpulan bukti, investigasi lapangan, memperkerjakan saksi ahli untuk
membuktikan aspek kausalitas (sebab akibat) dalam kasus pidana dan perdata.
c. Penegakan
hukum administrasi lebih memiliki kemampuan mengundang partisipasi masyarakat.
Partispasi masyarakat dilakukan mulai dari proses perizinan, pemantauan
penataan/pengawasan, dan partisipasi dalam mengajukan keberatan dan meminta
pejabat tata usaha negara untuk memberlakukan sanksi administrasi.
Penegakan hukum
administrasi dalam sebuah sistem hukum dan pemerintahan minimal mempunyai 5
(lima) prasyarat awal dari efektivitas
penegakannya, yaitu, izin yang didayagunakan sebagai perangkat pengawasan dan
pengendalian, persyaratan dalam izin dengan merujuk pada AMDAL, standar baku
mutu lingkungan, peraturan perundang-undangan, mekanisme pengawasan penataan,
keberadaan pejabat pengawas (inspektur)
dengan kuantitas dan kualitas yang memadai, dan sanksi administrasi.
Upaya penegakan sanksi
administrasi oleh pemerintah secara konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada
akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangka menjaga kelestarian fungsi
lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini, penegakan sanksi administrasi
merupakan garda terdepan dalam penegakan hukum lingkungan (primium remedium).
Suatu perbuatan yang diatur dalam hukum pidana lingkungan
untuk dapat dinyatakan sebagai tindak pidana selalu dikaitkan dengan pengaturan
lebih lanjut dalam hukum administrasi, oleh karena didalam rumusan tindak
pidana lingkungan, suatu perbuatan dinyatakan sebagai suatu tindak pidana jika
dilakukan bertentangan dengan persyaratan administrasi.
Keterjalinan antara hukum pidana dengan hukum
administrasi dalam hukum lingkungan kepidanaan, delege lata, merupakan suatu fakta yang harus diterima
keberadaannya dan akan menjadikan penegakan hukum lingkungan lebih baik jika
berjalan dengan bersinergi, atau menjadi kendala jika tidak bersinergi[9].
Perlindungan terhadap obyek hukum lingkungan diberikan
secara tidak langsung, lingkungan hidup mendapat perlindungan hukum pidana,
sepanjang terjadi suatu pelanggaran terhadap kewajiban administrasi, artinya
tidak semua tindak pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dinyatakan
sebagai tindak pidana. Tindak pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
dinyatakan sebagai tindak pidana apabila tindakan tersebut pada saat yang sama
juga merupakan pelanggaran terhadap suatu aturan/persyaratan (kewajiban-kewajiban)
hukum administrasi, seperti kewajiban-kewajiban yang dicantumkan dalam izin,
atau melakukan tindak tersebut dengan tidak memiliki izin.
Formulasi kebijakan-kebijakan didalam hukum
administrasi ikut mendorong konkritisasi unsur melawan hukum dari suatu
perbuatan, sehingga dalam tingkat tertentu ketergantungan hukum pidana
lingkungan terhadap hukum administrasi harus diterima sebagai suatu keharusan
guna mendukung pandangan “kesatuan tertib hukum” dari sudut pandang hukum
administratif maupun sudut pandang hukum pidana, perbuatan apa yang dinyatakan
sebagai perbuatan terlarang oleh penguasa/pemerintah (pelanggaran terhadap
syarat/persyaratan izin) harus juga dipandang oleh hukum pidana sebagai
perbuatan melawan hukum.
Bahwa alasan mengapa hukum pidana lingkungan ketergantungan
pada hukum administrasi dikarenakan yang mengeluarkan izin dan/atau mengetahui
adanya pelanggaran adalah lembaga administrasi. Misalkan apabila ada suatu
ambang baku mutu yang ditetapkan, namun kemudian perusahaan mendapatkan izin
untuk melewati ambang batas tersebut, maka hal tersebut tidak dapat dipidana.
Atau dengan kata lain tindakan yang seharusnya tidak pidana menjadi bukan tidak
pidana karena sifat melawan hukumnya hilang[10].
Pelanggaran
terhadap izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dianggap sebagai
pelanggaran terhadap izin lingkungan, maka berdasarkan Pasal 76 UUPPLH,
Menteri, Gubernur dan/atau Walikota sesuai dengan kewenangannya dapat
menerapkan sanksi administratif kepada pelaku usaha jika dalam pengawasan
ditemukan pelanggaran terhadap izin-izin yang ada dalam izin perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup[11].
Sanksi administratif yang dijatuhkan dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan.
Menteri
Negara Lingkungan Hidup berdasarkan Pasal 77 UUPLH, dapat menerapkan sanksi
administratif terhadap penanggungjawab usaha dan atau kegiatan jika pemerintah
daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap
pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Sanksi administratif tersebut
berdasakan Pasal 78 UUPPLH tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.
Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin
lingkungan berdasarkan Pasal 79 UUPPLH, hal tersebut dilakukan apabila manakala
telah terdapat masyarakat yang terganggu kesehatannya akibat pencemaran atau
perusakan lingkungan dan para penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak
melaksanakan paksaan pemerintah (Bestuurdwang).Paksaan
pemerintah itu dimaksudkan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya
pelanggaran, menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh pelanggaran sebagai
tindakan penyelamatan, penanggulangan serta pemulihan lingkungan atas biaya
penanggung jawab. Paksaan pemerintah tersebut berdasarkan Pasal 80 UUPPLH,
berupa:
a. penghentian sementara kegiatan produksi;
b. pemindahan sarana produksi;
c. penutupan saluran pembuangan air
limbah atau emisi;
d. pembongkaran;
e. penyitaan terhadap barang atau alat yang
berpotensi menimbulkan pelanggaran;
f. penghentian sementara seluruh kegiatan;
atau
g. tindakan lain yang bertujuan untuk
menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.
Paksaan Pemerintah pada Pasal 80 UUPPLH memberi kewenangan kepada Menteri,
Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk melakukan paksaan pemerintah terhadap
penanggung jawab usaha atau kegiatan.
Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran
apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan
lingkungan hidup;
b. dampak
yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran
dan/atau perusakannya; dan/atau
c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan
hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.
Pengaturan atau berkenan dengan perbuatan
pelanggaran atas kebijakan penguasa administratif yang biasanya bersifat preventif,
dan terkait dengan larangan bertindak tanpa izin. Memunculkan pendapat bahwa kewenangan hukum pidana untuk
melakukan penyidikan dan pemeriksaan selebihnya hanya akan dimungkinkan jika
sarana lain (penegakan hukum lainnya) telah diupayakan dan gagal (daya kerja
subsidiaritas hukum pidana).
Memandang ultimum
remedium hukum pidana sebagai upaya terakhir, atau penjatuhan pidana jika
sanksi-sanksi hukum lainnya (administratif atau perdata) terbukti tidak memadai
dalam menanggulangi kasus lingkungan hidup. Pandangan ini tidak sepenuhnya
mengandung kebenaran atau mutlak untuk dijalankan, oleh karena bisa terjadi
adanya keengganan pihak pemerintah untuk melakukan tindakan administratif atau
pemerintah setempat enggan untuk terlibat dalam kasus tersebut karena adanya
hubungan kepentingan personal yang mana pengusaha tersebut memiliki hubungan
dengan partai politik atau pihak penguasa, apakah tetap melaksanakan hukum
pidana sebagai upaya terakhir, sementara telah terjadi pelanggaran terhadap lingkungan
bahkan telah menimbulkan kerugian serta memunculkan rasa ketidakadilan.
Pandangan hukum pidana dapat dipergunakan sebagai instrumen dalam rangka
perlindungan terhadap lingkungan hidup, membawa konsekuensi terhadap
keterjalinan hukum pidana dengan hukum administrasi.
Keterjalinan
upaya penyidikan hukum pidana dengan sarana hukum administrasi (yang lebih
cenderung melaksanakan tugasnya dalam rangka prevensi atau memandang
pelanggaran masalah lingkungan sebagai yang harus dipecahkan, diberi nasehat dan/atau
perbaikan keadaan) akan menjadikan penegakan hukum lingkungan lebih baik jika
berjalan dengan bersinergi, atau menjadi kendala jika tidak bersinergi.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk
mengangkat dan membahasnya dalam bentuk tesis, maka penulis mengangkat berbagai
permasalahan yang timbul diatas menjadi sebuah karya ilmiah berbentuk tesis
dengan judul: “Izin Lingkungan dalam
Kaitannya dengan Penegakan Sanksi Administrasi Lingkungan dan Sanksi Pidana
Linkungan Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH)”.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang diuraikan diatas maka yang menjadi pokok permasalahan
adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana konsep pemanfaatan lingkungan
didalam sistem perizinan lingkungan?
2.
Bagaimana mengajukan gugatan
administratif atas izin usaha dan/atau kegiatan yang telah dimilikinya untuk
dicabut apabila usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau
kegiatan tersebut tidak melaksanakan Pasal 121 UUPPLH jo PermenLH No. 14 Tahun
2010?
3.
Apakah pelaku usaha dan/atau kegiatan
yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan namun tidak melaksanakan Pasal
121 UUPPLH jo PermenLH No. 14 Tahun 2010 dapat dikenakan Pasal 109 UUPPLH?
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan
permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingi dicapai dari
penelitian ini adalah:
1.
Menganalisis dan menjelaskan konsep pemanfaatan
lingkungan didalam sistem perizinan lingkungan.
2.
Menganalisis dan menjelaskan gugatan
secara administratif atas izin usaha dan/atau kegiatan yang telah dimilikinya
untuk dicabut, jika usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha
dan/atau kegiatan tersebut tidak melaksanakan Pasal 121 UUPPLH jo PermenLH No.
14 Tahun 2010.
3.
Menganalisis dan menjelaskan tentang penerapan
Pasal 109 UUPPLH terhadap pelaku usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki
izin usaha dan/atau kegiatan namun tidak melaksanakan Pasal 121 UUPPLH jo
PermenLH No. 14 Tahun 2010.
D.
Manfaat Penelitian
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara
praktis, sebagai berikut:
1.
Secara teoritis hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan menambah wawasan ilmu
pengetahuan khususnya izin lingkungan dan penerapan sanksi administratif
lingkungan dan sanksi pidana lingkungan berdasarkan UUPPLH.
2.
Manfaat Praktis, yaitu terjawabnya
permasalah dalam penilitian ini, sehingga dapat:
a. Diketahuinya
konsep pemanfaatan lingkungan didalam sistem perizinan lingkungan.
b. Diketahuinya
pengajuan terhadap gugatan administrasi atas izin usaha dan/atau kegiatan yang
telah dimiliki Perusahaan untuk dicabut, dalam hal suatu usaha dan/atau
kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan namun tidak melaksanakan
Pasal 121 UUPPLH jo PermenLH No. 14 Tahun 2010.
c. Diketahuinya
penerapan Pasal 109 UUPPLH terhadap pelaku usaha dan/atau kegiatan yang telah
memiliki izin usaha dan/atau kegiatan namun tidak melaksanakan Pasal 121 UUPPLH
jo PermenLH No. 14 Tahun 2010.
E.
Keaslian Penelitian
Berdasarkan
pemeriksaan dan penelusuran kepustakaan dari hasil penelitian yang telah
dilakukan khususnya di Universitas Sumatera Utara maka penulis menerangkan
bahwa penelitian mengenai “Izin Lingkungan dalam Kaitannya Penegakan Sanksi
Administrasi Lingkungan dan Sanksi Pidana Lingkungan Berdasarkan UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)”
belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama oleh peneliti
yang lainnya.Kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penelitian ini
semata-mata adalah sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam penelitian yang
memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan penelitian ini.
F.
Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual
1.
Kerangka Teori
Kerangka teori
merupakan garis besar dari suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukakan
sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa[12].Peristiwa
sebagaimana dimaksud didalam penelitian tersebut adalah Izin Lingkungan. Dalam
penelitian hukum kerangka teori diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh
postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.[13] Teori
hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif,
setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan
kehadiran teori hukum secara jelas.[14]
Defenisi landasan teori pada suatu penelitian merupakan
dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian bersifat
strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian[15].
Landasan teori yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini
adalah Teori Hukum Pembangunan.
Berdasarkan tujuan negara pada Alinea Keempat UUD 1945,
Indonesia termasuk negara hukum kesejahteraan. Tujuan negara tersebut
dilaksanakan salah satunya di bidang lingkungan hidup yang dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan dan perencanaan pembangunan.
Dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan, penting
dipahami tujuan hukum dan fungsi hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat[16].
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum berfungsi sebagai sarana pembaruan atau
sarana pembangunan didasarkan atas anggapan, bahwa hukum dalam arti kaidah atau
peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana
pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia yang ke arah yang
dikehendaki oleh pembangunan[17].
Perwujudan hukum sebagai sarana pembangunan muncul dalam
bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang-bidang kehidupan adalah
pengaturan mengenai lingkungan hidup UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan hukum positif yang mengatur
pokok-pokok pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.Dan dalam rangka
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, maka salah satu
otoritas pemerintah yaitu menerapkan izin lingkungan (environmental licence).
Izin adalah instrumen yang manfaatnya ditentukan oleh
tujuan dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah. Dan juga merupakan
otoritas dan monopoli pemerintah.
Jika
perizinan hanya dimaksudkan sebagai sumber pendapatan, akan memberikan dampak
negatif (disinsetif) bagi pembangunan. Pada sisi yang lain, jika prosedur
perizinan dilakukan dengan cara-cara yang tidak transparan, tidak ada kepastian
hukum, berbelit-belit, dan hanya bisa dilakukan dengan cara yang tidak sehat,
maka perizinan juga bisa menjadi penghambat bagi pertumbuhan sosial ekonomi
daerah. Baik buruknya, tercapai atau tidaknya tujuan perizinan akan sangat
ditentukan oleh prosedur yang ditetapkan dan dilaksanakan. Semakin mudah,
cepat, dan transparan prosedur pemberian perizinan, maka semakin tinggi potensi
perizinan menjadi instrumen rekayasa pembangunan.
Perizinan, inilah
yang kerap kali menjadi persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari
masyarakat biasa sampai pejabat, berkutat dengan perizinan, karena perizinan
berkaitan dengan kepentingan yang diinginkan oleh masyarkat untuk melakukan
aktivitas tertentu dengan mendapat persetujuan atau legalitas dari pejabat
negara sebagai alat administrasi didalam pemerintahan suatu negara. Sebagai
suatu bentuk kebijakan tentunya izin tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan serta norma norma kehidupan yang ada dimasyarakat baik secara
vertikal maupun horizontal. Kebijakan yang berbentuk izin harus mencerminkan
suatu kebijakan yang sesuai dengan prikehidupan dan kenyamanan seluruh masyarakat,
sehingga tujuan negara dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state)
yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 alinea ke-empat, dapat terwujud. Dalam pembukaan UUD 1945 untuk mewujudkan
negara kesejahteraan telah diamanatkan bahwa:
1. Negara berkewajiban memberikan perlindungan kepada
segenap bangsa Indonesia dan seluruh wilayah teritorial Indonesia
2. Negara berkewajiban memajukan kesejahteraan umum
3. Negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam konsep
negara kesejahteraan, peran negara dan pemerintah semakin dominan. Negara
kesejahteraan mengacu pada peran negara yang aktif mengelola dan mengorganisasi
perekonomian. Empat pilar utama negara kesejahteraan:
1. Social citizenship
2. Full democracy
3. Modern industrial relation system
Konsep negara
kesejahteraan berkaitan dengan peranan Hukum Administrasi Negara[19]. Hukum Administrasi
Negara memegang peran yang “besar” sehubungan dengan makin luasnya urusan
pemerintahan yang berkaitan dengan kepentingan publik dan dituntut peran aktif
dalam penyelenggaraan kesejahteraan rakyat.
Dalam konsep negara
kesejahteraan, pemerintah juga dituntut terlibat aktif di bidang lingkungan
hidup. Hal ini dikarenakan bidang ini juga menyangkut kepentingan publik yang
sangat luas dan keterbukaan peran masyarakat.
Maka berdasarkan
uraian diatas bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, hukum lingkungan
tersebut harus merupakan instrumen administrasi negara dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Hukum lingkungan
hidup merupakan instrumen yuridis yang memuat kaidah-kaidah tentang pengelolaan
lingkungan hidup bertujuan untuk mencegah penyusutan dan kemerosotan mutu
lingkungan.Tidak dapat disangkal bahwa adanya hukum lingkungan adalah untuk
mengendalikan perilaku manusia agar tidak merusak lingkungan.
Hukum lingkungan
menjadi pedoman dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Norma perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi pedoman dalam
penyelenggaraan perizinan bidang lingkungan hidup. Perizinan
memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1.
Sebagai instrumen rekayasa pembangunan[20]. Pemerintah
dapat membuat regulasi dan keputusan yang memberikan insentif bagi pertumbuhan
sosial ekonomi. Demikian juga sebaliknya, regulasi dan keputusan tersebut dapat
pula jadi penghambat (sekaligus sumber korupsi) bagi pembangunan.
2.
Sebagai instrumen yuridis yang digunakan
oleh pemerintah untuk mempengaruhi masyarakat agar mau mengikuti cara yang
dianjurkannya guna mencapai suatu tujuan konkret[21].
3.
Sebagai fungsi keuangan (budgetering), yaitu sumber pendapatan
bagi negara[22].
4.
Sebagai fungsi pengaturan (reguleren), yaitu menjadi instrumen
pengaturan tindakan dan prilaku masyarakat[23].
Selanjutnya defenisi izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan
undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu
menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundang-undangan.[24]Dan
perizinan dapat dikatakan merupakan tindakan hukum pemerintah berdasarkan
kewenangan publik yang membolehkan atau memperkenankan menurut hukum bagi
seseorang atau badan hukum untuk melakukan sesuatu kegiatan[25].Izin
dapat juga diartikan sebagai dispensasi atau pelepasan/pembebasan dari suatu
larangan.
Adapun pengertian perizinan adalah salah satu bentuk
pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh
Pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat[26].
Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor
27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menyebutkan: “Izin Lingkungan adalah izin
yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan Usaha dan/atau Kegiatan yang
wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup sebagai prasyarat memperoleh izin Usaha dan/atau Kegiatan.
Dalam
Pasal 1 angka 35 dan 36
UUPPL menyebutkan bahwa:
“Izin lingkungan adalah
izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
yang wajib AMDAL atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau
kegiatan yang izin usaha dan/atau kegiatan tersebut diterbitkan oleh instansi
teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan”.
Sedangkan menurut Pasal 40 UUPPLH menyatakan bahwa
izin lingkungan merupakan persyaratan mendapatkan izin usaha dan/atau kegiatan.
Dalam hal
perizinan, yang berwenang mengeluarkan izin adalah pejabat administratif,
kaitannya adalah dengan tugas pemerintah dalam hal memberikan pelayanan umum
kepada masyarakat. Dalam hal pelayanan publik, izin merupakan bentuk pelayanan
yang harus diberikan kepada masyarakat dalam bentuk pelayanan administratif,
yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan
oleh publik. Izin dapat berbentuk tertulis dan atau tidak tertulis, namun dalam
Hukum Administrasi Negara, izin harus tertulis, kaitannya apabila terjadi
sesuatu hal yang tidak diingikan, maka izin yang berbentuk suatu keputusan
adminstrasi negara (beschicking) dapat dijadikan sebagai alat bukti
dalam pengadilan. Izin yang berbentuk beschiking, sudah tentu mempunyai
sifat konkrit (objeknya tidak
abstrak, melainkan berwujud, tertentu dan ditentukan), individual (siapa yang diberikan izin), final (seseorang yang telah mempunyai hak untuk melakukan suatu
perbuatan hukum sesuai dengan isinya yang secara definitif dapat menimbulkan
akibat hukum tertentu).
Penyelenggaran
pemerintahan yang baik yaitu yang memberikan berbagai kemudahan, kepastian, dan
bersih dalam menyediakan pelayanan dan perlindungan dari berbagai tindakan
sewenang-wenang, baik atas diri, hak maupun atas harta bendanya[27].
Selanjutnya dijelaskan bahwa yang paling bersentuhan dengan rakyat banyak
adalah dua bidang, yaitu administrasi negara dan penegak hukum. Karena itu
sangat wajar apabila penyelenggaraan pemerintahan yang baik terutama ditujukan
kepada pembaharuan administrasi negara dan pembaruan penegakan hukum. Pelayanan
yang dipanjang-panjangkan, bertele-tele, bukan hanya memakan waktu, dapat
menghilangkan peluang, tetapi menjadi suatu fungsi komersial, karena melahirkan
sistem uang pelicin, hadiah, yang tidak lain dari suatu bentuk suap.
Terkait dengan
hal tersebut, di Indonesia dikenal istilah asas-asas umum pemerintahan yang
layak, yang dimaksudkan sebagai perlindungan hukum warga dari tindakan
pemerintah, yaitu sebagai dasar penilaian dalam peradilan dan upaya
administrasi[28].
Jika seluruh hal
diatas dapat diwujudkan oleh penyelenggara pelayanan publik, dalam hal ini pada
penerbitan dan pengawasan izin, maka diharapkan aktivitas masyarakat dapat
diawasi denganbaik sehingga tidak merugikan hak sebagian warga masyarakat yang
lain. Hal mendasar yang menjadi persoalan di Indonesia adalah pelaksanaan di
lapangan. Segala ketentuan yang ada mungkin saja tercipta dan dimaksudkan untuk
menjadi aturan yang ditaati oleh segenap warga negara.
Keterbukaan dan peran
serta masyarakat merupakan asas yang esensial dalam pengelolaan lingkungan yang
baik (good environmental governance), terutama didalam prosedur
administratif perizinan lingkungan sebagai instrumen pencegahan pencemaran
lingkungan[29].
Kemudian akan
dilanjutkan dengan Teori Terapan (applied
theory) yaitu tentang teori penegakan hukum. Penegakan hukum adalah proses
dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara
nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sementara itu penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy) terkandung
didalamnya makna politik kriminal (criminal
policy), yaitu upaya yang rasional untuk menanggulangi kejahatan. Oleh
karena itu upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh melalui pendekatan
kebijakan dalam arti, adanya keterpaduan antara politik kriminal dengan politik
sosial dan keterpaduan antara penggunaan upaya penal dan non penal[30].
Penanganan masalah lingkungan melalui perangkat hukum administrasi merupakan
bagian dari penegakan hukum non penal. Tujuan dari penegakan hukum lingkungan essensinya
adalah penataan (compliance) terhadap
nilai-nilai perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup.
Berkaitan dengan penegakan hukum
lingkungan, Ninik Suparni[31]
menandaskan bahwa, penegakan hukum lingkungan hidup merupakan upaya untuk
mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang
berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan secara
administrasi, keperdataan dan kepidanaan. Untuk itu penegakan hukum dapat
dilakukan secara preventif, yaitu upaya penegak hukum mencegah terjadinya
pencemaran lingkungan hidup. Dan dapat juga dilakukan secara represif, yaitu
upaya penegak hukum melakukan tindakan hukum kepada siapa yang melanggar
ketentuan-ketentuan perundangan-undangan yang berlaku[32].
Untuk menjaga agar lingkungan tidak
rusak semakin parah, maka perlu dilakukan tindakan pencegahan secara dini.
Salah satu bentuk pencegahan dini berupa pengawasan secara intensif terhadap
usaha atau kegiatan yang melanggar ketentuan hukum administrasi. Segera
dilakukan penindakan terhadap pelanggar hukum administrasi tersebut. Penindakan
hukum administrasi jika dilakukan secara optimal, maka dapat dipastikan bahwa
lingkungan tidak akan sempat tercemar apalagi rusak.
Upaya tersebut merupakan upaya non penal yang harus didorong sebagai
sarana menyelesaikan masalah lingkungan secara dini. Jika upaya ini tidak atau
kurang berhasil, maka barulah penindakan secara pidana didayagunakan.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa UUPPLH
terdiri
dari penegakan hukum administratif,
penegakan hukum perdata dan
penegakan hukum pidana.
2. Kerangka Konseptual
Dalam
kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan
dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum ini[33].
Selanjutnya konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian.
Jika masalah dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah
diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian.
Konsep sebenarnya adalah defenisi secara singkat dari kelompok fakta atau
gejala. Maka konsep merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati, menentukan
antara variabel-variabel yang lain, menentukan adanya hubungan empiris[34].
Agar tidak terjadi perbedaan
pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka
konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Izin Lingkungan
Izin berfungsi sebagai instrumen untuk menanggulangi
masalah lingkungan disebabkan aktivitas manusia yang melekat dengan dasar izin
dan juga dapat berfungsi sebagai sarana yuridis untuk mencegah serta
menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Dan menurut ahli hukum Belanda, N.M.
Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, izin merupakan suatu persetujuan penguasa
berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan
tertentu menyimpang dari ketentuan larangan perundang-undangan[35]. Jadi,
segala aktivitas terhadap suatu objek tertentu yang pada dasarnya dilarang jika
tidak mendapatkan izin dari pemerintah/pemerintah daerah yang mengikatkan
perannya dalam kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau pihak yang
bersangkutan.
Dan menurut Prajudi Atmosudirdjo,
izin adalah suatu penetapan yang merupakan dispensasi pada suatu larangan oleh
undang-undang. Yang pada umumnya larangan tersebut diikuti dengan perincian
syarat-syarat, kriteria, dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk
mendapatkan izin yang disertai dengan penetapanprosedur dan petunjuk
pelaksanaan (juklak) kepada pejabat-pejabat administrasi negara yang
bersangkutan[36].
Sedangkan menurut Van Der Pot, izin dalam
arti yang luas merupakan keputusan yang memperkenankan dilakukan perbuatan apa
saja yang pada prinsipnya tidak dilarang oleh pembuat peraturan[37].
Para pejabat yang memiliki wewenang mengeluarkan
izin, sekalipun dapat dikatakan dalam ranah keputusan pemerintahan dapat
mengeluarkan izin ternyata tidak selalu organ pemerintah yang dalam arti badan
eksekutif. Konteks hubungan didalam perizinan memperlihatkan kompleksitas yang
tidak terbatas hubungannya antara pemerintahan dengan rakyat, akan tetapi juga
menyangkut hubungan antar kelembagaan didalam negara.
Selain pengertian izin yang
diutarakan oleh beberapa sarjana diatas, ada pengertian izin yang dimuat
didalam suatu peraturan. Izin tersebut sebagai dokumen yang dikeluarkan oleh
pemerintah yang merupakan bukti legalitas, yang menyatakan sah atau
diperbolehkan seseorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan
tertentu.
Pengertian izin tersebut diatas menunjukkan bahwa
adanya penekanan pada izin yang tertulis, yakni dalam bentuk dokumen tetapi tidak
termasuk izin yang diberikan atau dikeluarkan secara lisan. Pengelolaan lingkungan
hidup hanya dapat berhasil menunjang pembangunan berkelanjutan apabila
administrasi pemerintahan berfungsi secara efektif dan terpadu. Namun bukan
berarti dengan wewenang yang dimiliki Pemerintah/Pemerintah Daerah dapat
memberikan izin sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan aspek lain.
Maka disini dapat juga dikatakan bahwa izin tidak
sama dengan pembiaran. Kalau ada suatu aktivitas dari anggota masyarakat yang
sebenarnya dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi
ternyata tidak dilakukan penindakan oleh aparatur yang berwenang, pembiaran
tersebut bukan berarti diizinkan. Karena izin harus ada keputusan konstitutif
dari aparatur yang berwenang menerbitkan izin.
Ada 2 (dua) jenis izin didalam UUPPLH, yakni pertama, izin lingkungan adalah izin
yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang merupakan prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan (Pasal
1 angka 35). Kedua, izin usaha
dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk
melakukan usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 36).
Didalam UUPPLH, izin lingkungan merupakan syarat
untuk mendapatkan izin usaha dan/atau kegiatan. Untuk memperoleh izin usaha
dan/atau kegiatan, orang atau badan hukum, terlebih dahulu mengurus dan
mendapatkan izin lingkungan. untuk mendapatkan izin lingkungan maupun izin
usaha dan/atau kegiatan, orang atau badan hukum tersebut harus memenuhi syarat-syarat
dan memenuhi prosedur administrasi.
Dengan demikian izin lingkungan
merupakan syarat untuk mendapatkan izin lingkungan dengan izin usaha dan/atau
kegiatan serta ditujukan
untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah serta
menanggulangi pencemaran/perusakan lingkungan hidup.
b. Penegakan Hukum
Penegakan hukum dalam makna yang
sederhana yaitu dalam tataran alikatif adalah, upaya menegakkan hukum materil
agar tercipta kehidupan masyarakat yang sejahtera[38].
Sedangkan penegakan hukum secara
umum merupakan proses
dilakukannya upaya untuk menegakkandan berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai
pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara[39].
Upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit
maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap
perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh
aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh
undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Berbeda
dengan penegakan hukum lingkungan sebagaimana yang tercermin dalam pengaturan
UUPLH (UU No. 23 Tahun 1997 dan 32 Tahun 2009), mencakup tiga dimensi penegakan
hukum, yaitu peegakan hukum administrasi, penegakan hukum perdata, dan
penegakan hukum pidana.
Penegakan
hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga
masyarakat terhadap peraturan yang berlaku. Penegakan hukum lingkungan dapat
dilakukan secara preventif dan represif sesuai dengan sifat dan efektivitasnya[40].
Penegakan hukum yang
bersifat preventif berarti bahwa pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan
kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut peristiwa konkret yang
menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar. Instrumen bagi
penegakan hukum preventif adalah
penyuluhan, pemantauan, dan penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan.
penyuluhan, pemantauan, dan penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan.
Penegakan hukum lingkungan terdiri
atas[41]
:
1.
Tindakan untuk menerapkan perangkat hukum melalui
upaya pemaksaan sanksi hukum guna menjamin ditaatinya ketentuan-ketentuan yang
termuat dalam peraturan perundang-undangan lingkungan hidup;
2.
Penegakan hukum lingkungan bertujuan
penaatan (compliance) terhadap nilai-nilai
perlindungan ekosistem dan fungsi lingkungan hidup.
Pejabat/aparat
pemerintah daerah yang berwenang mencegah pencemaran lingkungan.Upaya untuk menjaga agar lingkungan tidak rusak
semakin parah, maka perlu dilakukan tindakan pencegahan secara dini.Salah satu
bentuk pencegahan dini berupa pengawasan secara intensif terhada usaha atau
kegiatan yang melanggar ketentuan hukum administrasi. Segera dilakukan
penindakan terhadap pelanggar hukum administrasi tersebut dan dilakukan secara
optimal, maka oleh karena itu dapat dipastikan bahwa lingkungan tidak akan
sempat tercemar apalagi rusak. Jika upaya tersebut tidak atau kurang berhasil,
maka barulah penindakan secara pidana baru didayagunakan.
Dengan
demikian, penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai ketaatan
terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang beralaku secara
umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan (ancaman sarana administratif,
keperdataan, dan kepidaan)[42].
c. Penegakan Sanksi
Administrasi
Lingkungan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
menyediakan tiga macam penegakan hukum lingkungan yaitu penegakan hukum
administrasi, perdata dan pidana. Diantara ketiga bentuk penegakan hukum yang
tersedia, penegakan hukum administrasi dianggap sebagai upaya penegakan hukum
terpenting. Hal ini karena penegakan hukum administrasi lebih ditunjukan kepada
upaya mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan. Di samping itu,
penegakan hukum administrasi juga bertujuan untuk menghukum pelaku pencemaran
dan perusakan lingkungan.
Hukum
Administrasi merupakan tindakan pemerintahan atau eksekutif atau bestuurmaatregel atau the measure/action of government terhadap
pelanggaran perundangan-undangan yang berlaku dan bersifat reparatoir (mengembalikan pada keadaan semula).Tindakan
pemerintahan yang dimaksud disini yaitu perbuatan atau kebijakan yang dilakukan oleh Organ
Administrasi Negara dalam melaksanakan tujuan negara.Seperti tidak dipenuhinya syarat pembuangan limbah
kealam bebas oleh suatu usaha atau kegiatan, maka terhadap usaha atau kegiatan
tersebut dapat dikenakan sanksi hukum administrasi.
Defenisi yang lain dari Hukum Administrasi adalah
aturan-aturan hukum yang berisikan peraturan-peraturan yang menjadi pedoman
atau acuan dari aparatur negara dalam menjalankan tugasnya sebagai
penyelenggara pemerintahan.
Istilah
penegakan hukum dalam Bahasa Indonesia membawa kita kepada pemikiran bahwa
penegakan hukum selalu dengan paksaan sehingga ada yang berpendapat bahwa
penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja. Penegakan hukum
memiliki arti yang sangat luas meliputi segi preventif dan represif, cocok
dengan kondisi Indonesia yang unsur pemerintahnya turut aktif dalam
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat[43].
Secara konsepsional, maka inti dan
arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai
rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Penegakan hukum lingkungan merupakan penegakan hukum yang cukup rumit karena
hukum lingkungan menempati titik silang antara antara berbagai bidang hukum
klasik. Penegakan hukum lingkungan merupakan mata rantai terakhir dalam siklus
pengaturan perencanaan kebijakan tentang lingkungan yang urutannya sebagai
berikut:
1. Perundang-undangan,
2. Penentuan
standar,
3. Pemberian izin,
4. Penerapan,
5. Penegakan hukum[44].
Menurut Mertokusumo, kalau dalam penegakan hukum, yang diperhatikan hanya
kepastian hukum, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula kalau yang
diperhatikan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan
dikorbankan. Oleh karena itu dalam penegakan hukum lingkungan ketiga unsur
tersebut yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan harus dikompromikan.
Artinya ketiganya harus mendapat perhatian secara proposional seimbang dalam
penanganannya, meskipun di dalam praktek tidak selalu mudah melakukannya[45].
Berbeda halnya dengan M. Daud Silalahi yang menyebutkan bahwa penegakan hukum
lingkungan mencakup penaatan dan penindakan yang meliputi hukum administrasi
negara, bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana.
Pada UUPPLH terdapat perbedaan penegakan hukum
lingkungan yang mendasar bila dibandingkan dengan UUPLH, yaitu
adanya penguatan yang terdapat dalam UU ini tentang prinsip-prinsip
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola
pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan
instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta
penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek
transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan[46].
Menurut Mas Achmad Santosa[47]
penegakan hukum administrasi terdapat tiga manfaat strategis, yaitu:
a. Penegakan
hukum administrasi di bidang lingkungan hidup dapat dipotimalkan sebagai
perangkat pencegahan (preventive).
b. Penegakan
hukum administrasi (yang bersifat pencegahan) dapat lebih efisien dari sudut
pembiayaan dibandingkan penegakan hukum pidana dan perdata. Pembiayaan untuk
penegakan hukum administrasi meliputi biaya pengawasan lapangan yang dilakukan
secara rutin dan pengujian laboratorium lebih murah dibandingkan dengan upaya
pengumpulan bukti, investigasi lapangan, mempekerjakan saksi ahli untuk
membuktikan aspek kausalitas (sebab akibat) dalam kasus pidana dan perdata.
c. Penegakan
hukum administrasi lebih memiliki kemampuan mengundang partisipasi masyarakat.
Partisipasi masyarakat dilakukan mulai dari proses perizinan, pemantauan
penataan/pengawasan, dan partisipasi
dalam mengajukan keberatan dan meminta pejabat tata usaha negara untuk
memberlakukan sanksi administrasi.
Penegakan hukum administrasi
seyogyanya dioperasionalkan semenjak suatu usaha atau kegiatan mulai memajukan izin usahanya.Hal
ini sejalan dengan Pasal 1 ayat (2)[48]
dari UUPLH lebih mendahulukan upaya pencegahan. Dan penegakan hukum
administrasi apabila dilakukan secara optimal, maka akan sangat besar
pengaruhnya terhadap pencegahan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang lebih parah. Hanya saja sayangnya sampai saat ini penegakan hukum
administrasi ini justru merupakan titik terlemah dari penegakan hukum
lingkungan, sehingga berakibat kerusakan lingkungan semakin parah tanpa dapat
dicegah[49].
Penegakan hukum administrasi sesungguhnya telah ditindaklanjuti oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dengan mengadakan program penilaian kinerja
perusahaan (Proper)[50].
Program pemberian punish dan reward ini sangat bermanfaat untuk menilai dan
menentukan apakah suatu perusahaan sudah taat terhadap peraturan
perundang-undangan lingkungan sehingga harus diberi penghargaan, dan perusahaan
mana yang tidak taat terhadap peraturan perundang-undangan, belum melakukan
pengelolaan lingkungan dengan baik, melakukan kegiatan yang dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana lingkungan, sehingga harus diberi sanksi.
Hasil
penilaian seyogyanya dapat dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum baik
administrasi, perdata maupun pidana untuk melakukan penindakan lebih lanjut
berdasarkan acuan tersebut.
Penegakan
hukum administrasi lingkungan hidup menurut Mas Achmad Santosa[51]pada
dasarnya yaitu berupa kegiatan yang ditujukan untuk mencegah dan menanggulangi
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup melalui pendayagunaan kewenangan
administrasi sesuai dengan mandat yang diberikan oleh Undang-Undang;
Pendayagunaan
hukum administrasi atau penegakan hukum administrasi ini berkaitan dengan
penegakan hukum lingkungan oleh lembaga pemerintah (eksekutif), yang dilakukan
oleh instansi yang terkait dengan lingkungan hidup terutama oleh instansi
pemberi izin atas suatu kegiatan atau usaha. Peran optimal dari instansi
terkait dalam penerapan sanksi administrasi sangat diharapkan.Karena
kerusakan/pencemaran lingkungan dapat dicegah secara dini.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penegakan
sanksi administrasi merupakan garda terdepan dalam penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi
administrasi dinilai tidak efektif, maka dapat dipergunakan sarana sanksi
pidana sebagai senjata pamungkas (ultimum
remedium)[52]. Penegakan hukum administratif mempunyai peranan yang
penting dan strategis, hal ini disebabkan oleh ciri utama sanksi administratif
yang bersifat pencegahan dan pemulihan.
d.
Penegakan Sanksi
Pidana Lingkungan
Sanksi Pidana merupakan
sanksi hukum yang bersifat antisipatif bukan reaktif, terhadap pelaku tindak
pidana yang berbasis pada filsafat determinisme[53]
dalam ragam bentuk sanksi yang dinamis dan spesifikasi, bukan penderitaan fisik
atau perampasan kemerdekaan, dengan tujuan untuk memulihkan keadaan tertentu
bagi pelaku maupun korban[54].
Ketentuan hukum pidana dalam UUPPLH No. 32 Tahun 2009
lebih lengkap bila dibandingkan dengan UULH yang lama atau UU No. 4 Tahun 1982
maupun No. 23 Tahun 1997. Karena pada UU No. 4 Tahun 1982 tersebut hanya
mengatur tentang delik materiil saja.Sementara dalam UU No. 23 Tahun 1997
selain mengatur tentang delik materiil mengatur pula delik formil. Sedangkan
pada UU No. 32 Tahun 2009 lebih terperinci delik yang dilakukan, serta
kriminalisasi terhadap pejabat AMDAL yang tidak memiliki kualifikasi atau tanpa
sertifikasi mengeluarkan izin AMDAL. Pejabat pemberi izin lingkungan yang
menerbitkan izin tidak dilengkapi dengan AMDAL atau UKL, UPL.Demikian pula
pejabat pengawas yang tidak melakukan pengawasan dengan baik sehingga suatu
usaha melakukan pencemarandan/atau perusakan lingkungan hidup.Selanjutnya
memberi informasi palsu, menghilangkan atau merusak informasi yang diperlukan
dalam pengawasan dan penegakan hukum juga dapat dipidana.
Ketentuan hukum pidana dalam UUPPLH
yang baru sebagaimana telah diuraikan diatas tidak hanya mengatur perbuatan
pidana pencemaran dan/atau perusakan (generic crimes) atau delik materiel
sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (2, 3), Pasal 99 ayat (2, 3) dan 108,
akan tetapi mengatur juga perbuatan pelepasan, pembuangan zat, energi dan/atau
komponen lain yang berbahaya dan beracun, serta mengelola B3 tanpa izin (specific crimes) atau delik formil sebagaimana diatur dalam Pasal 98
ayat (1), Pasal 99 ayat (1) sampai dengan Pasal 109.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa penegakan
sanksi pidana adalah penjatuhan hukuman terhadap orang yang melakukan tindak
pidana lingkungan.
e.
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup merupakan upaya manusia untuk berinteraksi dengan lingkungan
guna mempertahankan kehidupan untuk mencapai kesejahteraan dan kelestarian
lingkungan. Istilah “pengelolaan” memiliki arti yaitu mengendalikan, menyelenggarakan
(pemerintahan dan sebagainya), menjalankan dan mengurus (perusahaan ataupun
proyek dan sebagainya). Ada beberapa defenisi pengelolaan yaitu antara lain:
(1) proses,
cara, dan perbuatan mengelola;
(2) proses
melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain;
(3) proses
yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi; dan
(4)
proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam
pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan.
Selama ini, pengelolaan lingkungan hidup cenderung hanya
pada pemanfaatan lingkungan hidup sebagai objek pembangunan, sehingga pada
UUPPLH perlu penambahan kata “perlindungan” yang diharapkan dapat memberikan
keseimbangan dalam rangka upaya untuk mempertahankan fungsi lingkungan hidup
sebagai sebuah ekosistem. Pengelolaan lingkungan hidup berarti manajemen terhadap
lingkungan hidup atau lingkungan dapat dikelola dengan melakukan pendekatan
manajemen. Pendekatan manajemen lingkungan mengutamakan kemampuan manusia
didalam mengelola lingkungan, sehingga pandangan yang lazim disebut dengan “ramah
lingkungan”[55].
Menurut Otto Soemarwoto, ramah lingkungan haruslah
bersifat mendukung pembangunan ekonomi. Dengan kata lain, perkataan, sikap, dan
kelakukan haruslah pro lingkungan dan tidak boleh anti pembangunan[56].
Pendapat diatas mengandung makna bahwa didalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus seimbang antara kepentingan
peningkatan ekonomi dengan kepentingan melestarikan lingkungan. selama ini
kedua hal tersebut terpisah satu sama lainnya. Para pemerintah dan kalangan swasta
dipandang sebagai para pihak yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi
dibandingkan kepentingan pelestarian lingkungan hidup. Sementara di pihak lain,
terutama bagi para penggiat lingkungan memandang pelestarian lingkungan
merupakan aspek utama yang harus benar-benar diperhatikan.
Upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
didasarkan pada norma-norma hukum lingkungan berarti secara seimbang antara
kepentingan ekonomi, pelestarian fungsi lingkungan dengan kondisi sosial.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan dilakukan secara terpadu mencakup
seluruh bidang-bidang lingkungan hidup untuk keberlanjutan fungsi lingkungan
hidup. Pada akhirnya, keseimbangan dan keberlanjutan akan tercapai
kesejahteraan masyarakat. Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
administrasi negara merupakan pihak yang dominan, yang konsekuensinya dari
sebuah negara kesejahteraan.
Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa tujuan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah;
a. Melindungi
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup;
b. Menjamin
keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. Menjamin
kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
d. Menjaga
kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. Mencapai
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan;
f. Menjamin
terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
g. Menjamin
pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak
asasi manusia;
h. Mengendalikan
pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i.
Mewujudkan pembangunan berkelanjutan;
dan
j.
Mengantisipasi isu lingkungan global.
Maka
tujuan hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ialah menciptakan
keseimbangan kemampuan lingkungan yang serasi (environmental harmony)[57].
Dengan demikian perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum[58].
G.
Metode Penelitian
1.
Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis Penelitian yang dilakukan adalah Penelitian Hukum
Normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach)[59].
Dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu hukum yang sedang diteliti, yang dicoba untuk dicari
jawabannya[60].
2. Sumber Data Penelitian
Penelitian
yang digunakan adalah Penelitian Normatif sehingga data yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah sumber bahan hukum. sumber bahan hukum meliputi:
a. Bahan
hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum[61] dan
sumber bahan hukum primer tersebut berupa keputusan peradilan yang telah
berkekuatan hukum tetap di Kementerian Lingkungan Hidup R.I. dan terkait dengan
keputusan tersebut akan dianalisis yang akan dijadikan pertimbangan hakim dalam
memutuskan perkara yang berkaitan dengan izin lingkungan, penegakan sanksi
administrasi lingkungan dan penegakan sanksi pidana lingkungan.
b. Bahan-bahan
hukum primer diperoleh dari peraturan perundang-undanganyang terkait dengan
pokok permasalahan yang akan diteliti,antara lain:
1.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH);
2.
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012
tentang Izin Lingkungan;
c. Bahan
hukum sekunder yang digunakan untuk membantu memahami berbagai konsep hukum
dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer dibantu oleh bahan hukum
sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik jurnal, buku-buku, makalah,
serta karya ilmiah lainnya mengenai konsep izin lingkungan, penerapan sanksi
administratif lingkungan dan sanksi pidana lingkungan dalam kaitannya dengan
izin lingkungan.
d. Bahan
hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi penjelasanterhadap bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder[62].
Bahanhukum tersier yang dugunakan dalam penulisan ini adalah KamusBahasa
Indonesia dan Kamus Hukum.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan bahan hukum menggunakan
sistem kartu dan metoda bola salju (snowball method) adalah metoda
dimana bahan hukum dikumpulkan melalui beberapa literature kemudian dari
beberapa literature tersebut diambil sejumlah sumber yang mendukung literature
tersebut.
Bahan hukum yang diperoleh kemudian dikumpulkan
dengan menggunakan sistem kartu (card sistem). Soerjono Soekanto dan Sri
Mamuji berpendapat bahwa kartu yangperlu disiapkan yaitu[63]
kartu kutipan yang dipergunakan untuk mencatat atau mengutip data beserta
sumber darimana data tersebut diperoleh (nama pengarang/penulis,judul
buku/artikel, halaman, dan sebagainya).
Dalam penelitian ini bahan hukum primer dicatat
dalam kartu kutipan adalah mengenai substansi yang terkait dengan masalah yang
dibahas. Selanjutnya dalam kartu kutipan atas bahan hukum sekunder dicatat
mengenai pendapat para ahli yang dikemukakan dalam kepustakaan yang dibahas
beserta komentar atas pendapatnya. Selanjutnya bahan sekunder yang diperoleh
melalui studi kepustakaan digunakan sebagai pendukung hasil penelitian.
4. Analisis Data
Bahan hukum yang penulis peroleh, selanjutnya dilakukan
pemeriksaan dan pengkajian lebih dalam untuk menjamin keakuratan dan dapat dipertanggungjawabkan
sesuai peraturan, teori dan konsep. Metode atau cara analisa data yang
digunakan adalah analisa deskriptif kualitatif[64]
yaitu analisa terhadap data yang tidak bisa dihitung. Data yang diperoleh
selanjutnya dilakukan pembahasan, pemeriksaan dan pengelompokan kedalam
bagian-bagian tertentu untuk diolah menjadi data informasi. Hasil analisa bahan
hukum akan diinterpretasikan untuk
menjawab persoalan dalam rumusan masalah dan diharapkan dapat memperluas
wawasan khususnya dalam bidang izin lingkungan dan penegakan sanksi
administrasi lingkungan juga sanksi pidana lingkungan.
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2005).
AdrianSutedi,
Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan
Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
AlviSyahrin,
Ketentuan Dalam UU No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Cetakan PT.
Sofmedia, 2011.
Anonim,Pedoman
Penulisan Usulan Penelitian, Universitas
Udayana,Denpasar, 2003.
Bagir
Manan. 2005. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat Studi Hukum, FH
UII-Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
DaudSilalahi,
Manusia Kesehatan dan Lingkungan,
Alumni, Bandung, 1998.
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem penegakan Hukum
Lingkungan Indonesia. (Alumni Bandung, 2001).
Helmi, Hukum Lingkungan
dan Perizinan Bidang Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Unpad Press, Bandung,
2010.
Ilyas
Asaad,Penegakan Hukum yang berkaitan
dengan Hukum Lingkungan di Indonesia, 2008.
Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum secara Umum, 2005.
JhonnyIbrahim,
Teori dan Metodologi Penelitian Hukum
Normatif, Surabaya, Jawa Timur. 2005.
Kaelan
M.S., Metode Penelitian Kualitatif Bidang
Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang
Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), Yogyakarta:
Paradigma, 2005).
Koentjaraningrat,
Metode-metode Penelitian Masyarakat.
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997).
Mas
AchmadSantoso, Good Governance &
Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta, 2001.
Mas AchmadSantosa, Peran Reformasi Hukum dalam Mewujudkan Good Environmental Governance,
Makalah disampaikan pada Environmental
Law and Enforcement Training in Indonesia, Indonesia-Australia Specialised Training Project (IASTP)
III. Manado, 19-24 September 2005.
Mas
AchmadSantosa, Topic I: Sustainable
Development, Good Governance and Environmental Law, Manado, 19-24 September
2005.
MunadjatDanusaputro,
Hukum Lingkungan Buku I, Binacipta,
Bandung, 1985.
N.M.Spelt
dan J.B.J.M.Ten Berge, disunting Philipus M.Hadjon, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, Penerbit Yuridika, Surabaya.
Otto
Soemarwoto, Atur Diri Sendiri, Paradigma
Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2001.
Philipus
Hadjon, M. et al. 2005. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah
Mada University Press, Yogjakarta.
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Tata Perizinan Pada Era Otonomi Daerah,
Makalah, Surabaya, November, 2001.
Peter
MahmudMarzuki, SH, MS, LL.M, Penelitian
Hukum, Prenada Media, Jakarta, Indonesia, 2005.
PramudyaSunu,
Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001, PT Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2001.
Ridwan,
HR., Hukum Administrasi Negara, UII press, Yogyakarta, 2003.
SatjiptoRahardjo,
Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1999).
Siti SundariRangkuti, Keterbukaan dan Peran Serta
Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan, Majalah OZON Volume 3 No.5,
Januari 2002.
SoerjonoSukanto dan SriMamudi, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1995).
Suparto Wijoyo, Karakteristik
Hukum Acara Peradilan Administrasi (PTUN), FH. Universitas Airlangga,
Surabaya, 2005.
Suparni, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta, 1994.
Supriadi, Hukum
Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
I
Gde Pantja Astawa dalam tulisannya, Hubungan
Fungsional Antara Hukum, Administrasi Negara dengan UU No. 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pelaksanaannya, dalam buku
S.F.Marbun, et.al., Dimensi-Dimensi
Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2001.
St.
MunadjatDanusaputro, Hukum Lingkungan
Buku II: Nasional, Binacipta, Bandung, 1985.
Syamsul
Arifin, Hukum Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, PT. Sofmedia, Jakarta, 2012.
Syahrul
Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012.
Tatiek SriDjatmiati, dan, Philipus MHadjon,Tata Perizinan Pada
Era Otonomi Daerah, Makalah,
Surabaya, November, 2001.
Van
Der Pot dalam Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, 1985, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, cetakan kedelapan,
Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta.
Warta
Penegakan Hukum Lingkungan, Edisi Kompilasi II Tahun 2004, Kementerian
Lingkungan Hidup.
WidiaEdorita, Peranan
Amdal Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Di Indonesia Dan Perbandingannya dengan
Beberapa Negar Asia Tenggara, Universitas Andalas, 2007
WijoyoSuparto,
Karakteristik Hukum Acara Peradilan
Administrasi (PTUN), Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya, 2005.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No. 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan
ARTIKEL
DALAM FORMAT ELEKTRONIK
http://taufiqnugroho.blogspot.com/2009/02/penegakan-hukum-lingkungan.html diakses pada
tanggal 9 April 2013
AlviSyahrin,
Isu Hukum: Izin Lingkungan dan Penerapan
Sanksi Administratif Berdasarkan UUPPLH, http://alviprofdr.blogspot.com/2013/02/izin-lingkungan-dan-sanksi-administratif.html. diakses pada
tanggal 2 Maret 2013.
AlviSyahrin,
Izin Lingkungan dan Penerapan Sanksi
Administratif Berdasarkan UUPPLH Terhadap Usaha/Kegiatan yang Telah Memiliki
Izin Usaha/Kegiatan, http://alviprofdr.blogspot.com/2013/03/izin-lingkungan-dan-isuhukumnya.html. diakses pada
tanggal 9 Maret 2013.
[1] Pramudya Sunu, Melindungi
Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001, PT Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, 2001, hal 7.
[2]Widia Edorita, Peranan Amdal Dalam
Penegakan Hukum Lingkungan Di Indonesia Dan Perbandingannya dengan Beberapa
Negara Asia Tenggara, Universitas Andalas, 2007.
[3] St. Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Buku II: Nasional,
Binacipta, Bandung, 1985, hal. 198-201.
[4] St. Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Buku I, Op Cit, hal.
46.
[5] Daud Silalahi, Manusia Kesehatan dan Lingkungan,
Alumni, Bandung, 1998, hal. 215.
[6] Mas Achmad Santoso, Good Governance & Hukum Lingkungan,
ICEL, Jakarta, 2001, hal. 234.
[7] Dr. Helmi, SH, MH, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Sinar
Grafika, 2012.
[8] Penjelasan Pasal 48 ayat (2)
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012.
[9] Alvi Syahrin, Ketentuan Dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Cetakan PT. Sofmedia, 2011,
hal. 23.
[10] Prof. Dr. Andi Hamzah, SH, Penegakan Hukum Lingkungan, Arikha Media
Cipta, Jakarta, 1995.
[11]Alvi Syahrin, Isu Hukum: Izin Lingkungan dan Penerapan
Sanksi Administratif Berdasarkan UUPPLH, http://alviprofdr.blogspot.com/2013/02/izin-lingkungan-dan-sanksi-administratif.html.
diakses pada tanggal 2 Maret 2013.
[12] Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Kedua, (Jakarta; Balai Pustaka, 1995), Hal. 520
[13] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1999), hal. 254.
[15] Kaelan M.S., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat
(Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat,
Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), Yogyakarta: Paradigma,
2005), hal. 239.
[16]Tujuan hukum, selain ketertiban
adalah tercapainya keadilan. Selanjutnya untuk mencapai ketertiban perlu
kepastian hukum dalam kehidupan bernegara, lihat Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
Pembangunan Nasional, Bandung, Bina Cipta, hlm. 2-3. Lihat juga Arief
Sidharta, Refleksi terhadap Paradigma
Ilmu Hukum di Indonesia (Bahan Kuliah Filsafat Hukum pada Program
Pascasarjana Unpad, Bandung, 1999, hlm. 1.
[17] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional,
Bina Cipta, Bandung, 1995, hlm. 13.
[19] Stellinga sebagaimana dikutip
oleh I Gde Pantja Astawa dalam tulisannya, Hubungan
Fungsional Antara Hukum, Administrasi Negara dengan UU No. 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pelaksanaannya, dalam buku
S.F.Marbun, et.al., Dimensi-Dimensi
Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 296.
[20] Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan
Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 193.
[21] Philipus Hadjon, M. et al. 2005.
Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press,
Yogjakarta
[22] Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan
Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 199.
[24]N.M.Spelt
dan J.B.J.M. ten Berge, Ibid., hal.
2.
[25]Philipus
M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Tata
Perizinan Pada Era Otonomi Daerah, Makalah, Surabaya, November, 2001, hal.
1.
[26] Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan
Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 168.
[27] Bagir Manan, 2005. Menyongsong
Fajar Otonomi Daerah. Pusat Studi Hukum, FH UII-Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
[28] Ridwan, HR., Hukum
Administrasi Negara, UII press, Yogyakarta, 2003.
[29]
Siti Sundari Rangkuti, Keterbukaan dan Peran Serta Masyarakat Dalam
Pengelolaan Lingkungan, Majalah OZON Volume 3 No.5, Januari 2002, hal 59
[30] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
Citra Aditya, Bandung, 1996, hal. 26-27.
[31] Ninik Suparni, Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum
Lingkungan Hidup, Sinar Galia, Jakarta, 1992, hal. 160-161.
[32] Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia,
Yogyakarta, Graha Ilmu, 2012.
[33] Soerjono Sukanto dan Sri Mamudi,
Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 7.
[34] Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat.
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 21.
[35] N.M.Spelt dan J.B.J.M.Ten Berge,
disunting Philipus M.Hadjon, 1993, Pengantar
Hukum Perizinan, Penerbit Yuridika, Surabaya, hlm. 2-3.
[37] Van Der Pot dalam Utrecht dan
Moh. Saleh Djindang, 1985, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia,
cetakan kedelapan, Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, hlm. 143.
[38] Syahrul Macmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia,
Yogyakarta, Graha Ilmu, 2012.
[39] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH,
Penegakan Hukum secara Umum, 2005.
[41] Ilyas Asaad,Penegakan Hukum yang berkaitan dengan Hukum Lingkungan di Indonesia,
2008, hal.3.
[43]M. Daud Silalahi, Hukum
Lingkungan Dalam Sistem penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. (Alumni
Bandung, 2001), hlm. 48-49.
[46] Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan
Administrasi (PTUN), FH. Universitas Airlangga, Surabaya, 2005.
[48]Pasal
1 ayat (2) berbunyi sebagai berikut: Pengelolaan Lingkungan hidup adalah upaya
terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan
pengendalian lingkungan hidup.
[49] Syahrul Machmud, Penegakan Hukum
Lingkungan Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012.
[50] Warta Penegakan Hukum
Lingkungan, Edisi Kompilasi II Tahun 2004, Kementerian Lingkungan Hidup.
[51] Mas Achmad Santosa, Good...., Op it, halm. 248.
[52]http://taufiqnugroho.blogspot.com/2009/02/penegakan-hukum-lingkungan.html diakses pada tanggal 9 April
2013.
[53]Filsafat
determinisme
menyatakan pemidanaan menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan pendidikan, searah
dengan hakikat sanksi tindakan yang menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan
pendidikan, searah dengan hakikat sanksi tindakan yang menekankan tidak boleh
adanya pencelaan terhadap perbuatan yang dilanggar oleh pelaku. Tujuan
pemidanaan bersifat mendidik untuk mengubah tingkah laku pelakuu tindak pidana
dan orang lain yang cenderung melakukan tindak pidana.
[54] Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PT. Sofmedia,
Jakarta, 2011.
[55] Lihat Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah
Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 32.
[56] Otto Soemarwoto, Atur Diri Sendiri, Paradigma Baru Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 92.
[57] Prof. H. Syamsul Arifin, SH, MH,
Hukum Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup di Indonesia, PT. Sofmedia, Jakarta, 2012.
[58] Pasal 1 angka (2) UUPPLH No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[59] Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki,
SH, MS, LL.M, Penelitian Hukum,
Prenada Media, Jakarta, Indonesia, 2005.
[60] Dr. Jhonny Ibrahim, SH, M.Hum, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum
Normatif, Surabaya, Jawa Timur. 2005.
[61] Soerjono
Soekanto dan Sri Mamuji, 2001, Penelitian Hukum Normatif suatu
tinjauansingkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13.
[62] Soerjono Soekanto, 1986,Pengantar
Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal.251-262
[63] Soerjono
Soekanto dan Sri Mamuji, 2004, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan
singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 53
[64] Pendekatan kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang
mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia,
atau pola-pola yang menganalisis gejala-gejala social budaya dengan menggunakan
kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai
pola-pola yang berlaku.
mlam..ijin copy ya...untuk bahan tambahan skripsi ya..
BalasHapusboleh di copyy tapi jangan di plagiat ya.. jadikan kutipan untuk catatan kaki (footnote).. thanks
Hapusbung, desain blog nya bikin pusing kalo baca dan scro. maaf ya sebelumnya
BalasHapusya gpp.. nanti saya perbaiki untuk lebih baik..
Hapusgan.. bgus bgt materi thesisx.. kebetulan lg nxari tmbhan refrensi unk skripsi sy...
BalasHapusboleh minta file lgkap hasil penelitianx, ato klo gk bisa hsil penelitian lgkap, daftar isix j jg gpp... krn sy lg cri mteri ttg hk lingkungan yg mendukung penelitian skripsi sy yg terkait dg tata ruang...
ini almt email sy:
uzumakiponta@gmail.com
thnksz..
Trims atas Tesis mengenai lingungan,telah membantu saya dalam refrensi lingkungan.Bisakah ditampilkan hukum adminitrasi positif bagi pelaku lingkungan,sebab selama ini hanya hukum adminitrasi Negatif saja marak ditampilkan,jika brkenan tolong dicarikan keseimbangan antara kedua hukum adm positif dan negatif.Trims atas ulasan saudara di blog ini,salam
BalasHapusEbobet merupakan situs slot online via deposit pulsa aman dan terpercaya, Dengan menggunakan Satu User ID bisa bermain semua game dari Bola, Live Casino, Slot online, tembak ikan, poker, domino dan masih banyak yang lain.
BalasHapusSangat banyak bonus yang tersedia di ebobet di antaranya :
Bonus yang tersedia saat ini
Bonus new member Sportbook 100%
Bonus new member Slot 100%
Bonus new member Slot 50%
Bonus new member ALL Game 20%
Bonus Setiap hari 10%
Bonus Setiap kali 3%
Bonus mingguan Cashback 5%-10%
Bonus Mingguan Rollingan Live Casino 1%
Bonus bulanan sampai Ratusan Juta
Bonus Referral
Minimal deposit hanya 10ribu
EBOBET juga menyediakan berbagai layanan transaksi deposit dan withdraw Bank Lokal terlengkap Indonesia seperti Bank BCA - Bank BNI46 - Bank BRI - Bank Mandiri - Bank Danamon - Bank Cimb Niaga, OVO, Deposit via Ovo. Deposit via Dana, Deposit via Go Pay, Telkomsel dan XL.
Situs :EBOBET
WA : +855967598801
Borgata Hotel Casino & Spa - Mapyro
BalasHapusFind 과천 출장샵 parking costs, opening hours and a parking map of 속초 출장마사지 Borgata Hotel Casino & Spa 4325 W Main 안동 출장안마 St, Atlantic City, NJ 제천 출장안마 08401 (609) 부산광역 출장안마 770-1000.